Pages

Blogger templates

Selasa, 26 Desember 2017

Sentilan 'Penghibur' Hati

“Jadi gimana? Kapan?”, cecar seorang teman. Sebut saja namanya Anggrek. Tapi ia lebih ridho disapa Bulan. Well yeah, kita gabung saja menjadi Anggrek Bulan. ^^

Yang ditanya mematung, tak tahu harus mengarang apa kali ini. Namun ia mencoba berkilah, meski air mata tak menitik, namun hati tak bisa tak meringis. Karena persoalan 'itu'-ah, kata itu amat indah terdengar. Bersabarlah, wahai diri-, bukanlah kuasanya untuk menjawab.

Ada hasrat untuk menimpali, namun ia memilih bungkam. Lagipula, ia sudah terbiasa menahan diri, apa salahnya menekan rasa itu kali ini juga. Semoga tidak menjadi bom atom saja di lain waktu.

Berbicara cinta, luas sekali cakupannya. Jika yang disasar hanya terpautnya hati terhadap lawan jenis, ah, dangkal sekali.

Jika memang belum masanya, mungkin yang demikian cara Tuhan untuk membuat kita yang nyatanya dekat, menjadi lebih dekat dengan keluarga, berbakti lebih banyak terhadap ibu bapak.

Namun, sebagaimana Ali bin Abu Thalib yang menasihati untuk menghibur hati suatu ketika, karena jika dipaksa terus menerus akan sesuatu ia bisa membuta, lantas ia pun memilih untuk menikmati saja lah kedangkalan itu kali ini. Mungkin memang sudah masanya, sedikit sentilan mengena untuk melawan lupa. Semoga tidak menjadi kesombongan intelektual yang berimbas pada melemahnya ukhuwah, pikirnya.

Menunggu juga ujian. Ujian kesabaran dan berdiam dalam ketaatan. Hingga saatnya, tanpa perlu mentergesai.

“Jika Dia saja tak bisa kudekati, gimana pula dengan ia yang hanya makhluk? Solusinya, aku harus mendekati Dia sebelum dia, pun jika dia tak jua bertamu, semoga aku tak kehilangan Dia”, demikian ia berkesimpulan.



Sumber photo: dokumen pribadi

Satu Pesan Ayah

Di tengah kegaduhan ibu kota dengan beragam beritanya, seorang ayah mengajak anaknya untuk menikmati hari liburnya setelah ujian panjang di sekolah yang begitu penat.
“Ayah, mengapa air ini tampak begitu tenang? Tak seperti air laut yang berombak?”, tanya anak itu keheranan. Seminggu sebelum ujian, ayahnya mengajaknya untuk mengamati laut. Tak tahu persis apa yang mereka lakukan selain hanya duduk mengamati pantai dan lautnya.
“Bersyukurlah, Nak, Tuhan masih berbaik hati menciptakan suasana yang mampu menawarkan ketenangan."
“Aku tidak mengerti, Ayah”, sahutnya setelah berpikir sejenak. Gesture tubuhnya berubah-ubah, dimulai dari mengernyitkan dahi, tumpang dagu, mendongak ke arah ayah, hingga kembali menumpang dagu, meniru sang ayah.
Selaksa pertanyaan muncul di kepala Umar kecil, apa maksud ayah kali ini? Tapi melihat ketenangan air, ia pun membisu, memilih menunggu ayah memberi jawaban dan menikmati pemandangan.
“Dalam hidup, kamu akan menemukan dua tipe manusia. Berani dan ganas seperti air laut, namun dalam perjalanannya, ia pecah menjadi buih, atau bahkan tenang seperti danau ini, tak jelas seberapa dalam ianya, namun tak begitu mengherankan jika air setenang ini mampu menghanyutkan.”
“Jangan heran”, sambung ayah sembari menatap danau lekat-lekat, “jika suatu waktu kamu menjumpai orang yang mengaku diri cerdik pandai, padahal nyatanya kusut masai. Berdiskusi layaknya ahli, padahal hasil googling sana sini.”
Ayah merubah posisi duduknya, kedua lututnya diangkat, menyatu sebagai penopang dagu. “Baiklah, anggap saja mereka memang dianugerahi kelebihan dalam beberapa disiplin ilmu, hingga banyak pahamnya. Tapi banyak paham saja tidak cukup jika nyatanya sedikit membaca, ogah mengkaji dan mengaji, dan malas berguru. Hal ini diperparah jika menganggap diri paling benar. Ibarat penyakit, sifat ini telah mencapai stadium akhir, kronis, sekaligus kompilasi. Komplit!”
Ayah menjelaskan penuh semangat, lupa dengan kenyataan bahwa Umar hanyalah anak-anak. Yang mendengar hanya bisa ber-’oh ya?’. Mencoba mencerna setiap untaian kata ayah yang menjelma bagaikan rumusan dalam matematika.
Menyadari perubahan raut wajah Umar, ayah mencoba menyederhanakan kalimatnya. “Kamu tak perlu terlihat pintar agar dipuji. Dengarkan apapun yang orang katakan meski sebenarnya kamu telah mengetahuinya. Jangan sekali-kali bersikap sok pintar dengan menyela dan mengatakan, ‘iya, saya sudah tahu’. Karena apapun yang mereka katakan, percayalah, ada sesuatu yang berbeda dari yang telah kita ketahui sebelumnya. Karena saat kita mengatakan saya sudah tahu, sejatinya kita telah menahan masuknya sebuah ilmu.”
“Hmmm.. tapi aku masih belum paham, Ayah.”
Ayah membentuk lengkungan di bibirnya. “Maafkan Ayah, Nak. Ayah pikir tadi sedang berbicara dengan ibumu. Hehehe.. Aroma ikan bakar pedagang sebelah mengingatkan ayah terhadap ibu”, ayah kembali membentuk lengkungan di bibirnya. Kali ini lebih lebar.
“Kamu hanya perlu mengingat pesan Ayah, Umar. Seiring waktu, kamu akan menemukan jawaban atas ketidakpahaman ini. Sepertinya menu hari ini akan enak. Ayo kita jumpai ibu.”
Tanpa meminta persetujuan Umar, ayah telah bangkit dan melangkah menuju rumah tempat mereka merenda kehidupan. Kali ini lengkungan di bibirnya tak kalah lebar. Entah apa yang dipikirkannya. ^^

sumber photo: dokumen pribadi

Senin, 04 Desember 2017

Pernyataan yang Menjadi Pertanyaan

Ku mulai menduga-duga, perasaan apa ini. Saat kau mengajak bicara, melihat saja aku sudah serba salah tingkah. Kepalaku disusupi beribu pertanyaan dan jawaban yang terpaksa kurangkai asal. Ah, lagi-lagi aku terperangkap dengan rasa bersalah. Kurasa ada yang salah dengan diri ini, jika tidak ingin menyebutnya gila. Sejak dua tahun belakangan aku terpenjara untuk satu pertanyaan besar yang membalut diri. Apa gunanya mengikat sesuatu yang menginginkan kebebasan? 

Aku masih terus berputar-putar mencari pembenaran untuk segala kemungkinan jawabannya. Pandanganku kembali suram bilamana memikirkan hendak jadi apa ke depannya. Sudah berkali-kali peluang terlewati begitu saja. Bukan membiarkan, hanya saja aku rasa belum siap untuk setiap kenyataan ke depan, hingga ku paksa mengulur, lagi dan lagi. 

Sematan prestisius harusnya bisa kucapai. Aih, tapi aku tidak terlalu bergairah lagi untuk mendapatkannya hingga ia pun ngacir. Tahukah kau apa hal yang paling takut kuhadapi? 
Tak ada lain, aku takut menghadapi ketakutanku sendiri. 

Apa ia seorang introvert akan sulit berkembang? Pertanyaan ini mulanya merupakan sebuah pernyataan dari seorang sahabat. Pernyataan yang sangat menampar. Sekali waktu aku merasa introvert, jika berada di lingkungan asing. Tapi aku akan sangat ekstrovert di kalangan introvert. Ada apa ini? Mungkinkah kepribadian ganda? Hm.. agaknya ini mulai menjalar ke luar konteks. 

Teringat dengan pesan Ibnu al Qayyim al Jauziyah, "Jangan kamu rusak kebahagiaanmu dengan rasa cemas. Jangan rusak akalmu dengan kepesimisan”

Ucapan itu terus membatin. Sekali waktu ia sukses, namun di kali lain, aku sempurna gagal. 

Minggu, 03 Desember 2017

Ketika Cinta Bertahta

Andai setiap pecinta menyadari, yang dicinta hanyalah titipan, maka tidak akan ada kisah tragis seperti Layla dan Majnun. Tidak ada pula peristiwa menyejarah Romeo dan Juliet yang digaungkan sebagai cinta suci. Penuh ujian dan problematika. Diimpikan setiap anak muda. Ketergilaan atas nama cinta yang terdengar heroik, padahal na’udzubillaahi min dzaalik. Inilah yang dinamakan candu cinta, biusnya mematikan. Demikian sederet kisah cinta yang tanpa landasan agama.

Mari kita tilik kembali sejarah kecintaan nabi kita, Ibrahim ‘alaihi salam. Kecintaan Sang Nabi terhadap putranya, Ismail, tak lantas membuatnya mengingkari perintah Allah. Perintah menyembelih putra tercinta. Menariknya, Allah tidak rela hamba yang dikasihinya menderita, sehingga menggantikan tubuh Ismail kecil dengan seekor domba kibas. Inilah ujian yang agung. Kecintaan yang menghamba. Kecintaan yang menjadi tunas yang menumbuhkan perintah untuk berqurban di Hari Raya Idul Adha. Cinta dengan landasan agama. Cinta pada Yang Maha Mencinta.

Lain halnya dengan kecintaan Abdurrahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq r.a terhadap istrinya, Atikah. Tak ada prahara atau konflik rumah tangga, melainkan setiap harinya selalu penuh cinta. Dengan misi membangun jembatan di surga dunia dengan titian mencapai surga akhirat.

Hal ini yang menjadikan Abu Bakar ash-Shiddiq gusar. Ia khawatir, cinta Abdurrahman terhadap Atikah malah menjauhkannya dari ibadah dan jihad. Saat inilah episode ujian cinta Abdurrahman-Atikah dimulai.  Abu  Bakar memerintahkan Abdurrahman untuk menceraikan istrinya. Kekhawatiran Abu Bakar bukannya tanpa alasan, mengingat rumah tangga yang dibangun anak dan menantunya, jauh dari kata ‘cacat’.

Begitu mulianya Abdurrahman melepaskan istri yang sangat dicintainya demi bakti dan cintanya terhadap orang tua. Kegamangan yang dirasakan turut melahirkan syair yang begitu syahdu.
Demi Allah, tidaklah aku melupakanmu
Walau mentari kan terbit meninggi
Dan tidaklah terurai airmata merpati itu
Kecuali berbagi hati

Tak pernah kudapati orang sepertiku
Menceraikan orang seperti dia
Dan tidaklah orang seperti dia
Ditalak karena dosanya

Dia berakhlak mulia, beragama,
Dan bernabikan Muhammad
Berbudi pekerti tinggi, bersifat pemalu,
Dan halus tutur katanya

Akhir episode ujian cinta Abdurrahman-Atikah tak sedrama kisah Romeo-Juliet yang konon katanya sehidup semati. Tak pula menyedihkan seperti kisah Layla dan Qais yang akhirnya menjadi majnun, gila karena cinta. Sebab inilah pembuktian cinta yang berlandaskan agama. Abdurrahman membuktikan cintanya terhadap istri tercinta tak menjadikan cinta terhadap Allah luput. Ia pun syahid di medan perang tak lama setelah rujuk dengan Atikah. Inilah cinta dengan landasan agama. Dengan akhir yang agung.

Lalu, masihkah kita akan terbutakan oleh cinta? Ataukah kita sepatutnya memilih cinta yang mampu menghantarkan kita pada akhir yang agung? Cinta yang mampu membersamai menapaki jalan menuju surga. Memperoleh barakah cinta dari Yang Maha Mencinta. Saatnya menentukan pilihan.


Matematika dan Mematematikakan Kehidupan

Jadi kan dek. Kadang hidup itu seperti matematika juga dia. Gak cukup hanya dengan menghafal simbol dan rumus. Penguatan konsep amatlah penting melalui latihan yang kontinu. Begitulah hidup. Kadang kita harus menghadapi ujian dan latihan berkali-kali untuk mengerti dan paham arti syukur, ikhlas, tawakal, dan teman-temannya yang (maaf) gak bisa dimention satu-satu untuk selanjutnya bisa melewati standar kelulusan. Karena tanpa ujian dan latihan, syukur dan teman-temannya itu kurang nempel, kurang membekas, kurang bermakna. Sama seperti rumus yang dihafal tanpa dilatih atawa diulang-ulang, lama-lama akan tumpul juga. 

Dan hei, mematematikakan kehidupan juga ada kalanya sedikit menyusahkan, sama susahnya saat pertama kali berkenalan dan mengerjakan perhitungan formulasi algoritma matematika yang sistematis. Salah input dikit aja, error. Mesti ikuti langkahnya dari awal lagi. Salah lagi, ulang lagi. Salah dan ulang menjadi teman yang sangat akur hingga kita hafal betul prosedur perhitungannya bersebab telah terbiasa. 

Ini membuktikan, Tuhan menjadikan itu sulit bukan karena itu memang sulit. Namun karena kesulitan akan selalu dipertemukan dan disandingkan dengan kemudahan. Bukan kata saya. Ini Kalamullah. Mari kita buka kembali Al-Quran. Penjelasan tersebut tertuang dalam Surat Al-Insyirah ayat ke, nah ini PR, yang buka dan hafal pasti tahu. Tidak hanya sekali, penjelasan tersebut diulang dua kali. 

Bahkan saat malam dengan kondisi rumah tengah dilanda pemadaman listrik,  melangkah sajalah keluar rumah, niscaya kita dapati terangnya bulan. Seperti kata pepatah terkenal apa itu? Yang kita hafal sekali di luar kepala “Where there is a will, there is a way”. Selalu ada jalan. 
Lagi dek, ternyata mematematikakan jodoh juga, ah, sudahlah. Mari kita ngopi. Biar apa sikit kepala kita. 


Negeri (bisa) Basi

Ini aku. Bertitelkan mahasiswa kampus elit dalam negeri tanah indatu. Ah, mahasiswa, yang bagi pemangku kekuasaan dulunya disegani dan ditakuti. Karena apa? Suaraku, suara mahasiswa. Bukan suara Tuhan yang digaungkan sistem demokrasi hasil cipta makhluk, yang timpang sana sini. 

Suaraku, suara mahasiswa. Melihat bagaimana rekaman para demonstran unjuk rasa pada masa-masa penggulingan pemerintahan Soeharto, masihkan mahasiswa dewasa ini disebut mahasiswa? Tubuh-tubuh gagah nan kokoh menggebrak istana dan menelan beberapa korban jiwa yang sebagian besar adalah mahasiswa. Bergemeretak gigi pejabat eksekutif menyaksikan aksi mahasiswa. Tidur tak tenang, makan tak kenyang.

Jika suaraku masih layak disebut suara mahasiswa, akankah elit politik bisa tertidur pulas saat rapat akbar? Kurasa tidak. Gemetar kakinya apabila mendengar suaraku. Karena suaraku, suara mahasiswa. Pelajar terpandang yang disegani dan ditakuti pria berdasi yang doyan korupsi.

Suaraku, suara mahasiswa. Astaga. Masihkah kata ini membuatmu gentar, wahai tuan? Ataukah kami tak sekokoh mahasiswa zaman dulu, shaf kami tak serapat pendahulu kami yang gagah melakukan aksi besar-besaran hingga pak polisi dibuat pusing dengan pertahanan abang-abang kami? Dan hei, malah aku sendiri pernah menyaksikan, lebih banyak aparat yang berjaga-jaga tinimbang para demonstran. Hingga pelintas jalan raya bukannya bertanya, “Ada demo apa ini?”, tapi berubah dengan, “Kenapa ada banyak polisi?”

Karena ini zaman teknologi. Mungkin kami tak akan lagi menggunakan otot untuk mengguncang pagar perlindungan tuan. Namun kami akan mengandalkan tulisan yang akan menghujam pikiran, menggerogoti tiap malam. Yang terlibat kasus rekening gendut, siap-siap saja. Betapa tidak, janjimu sungguh jambu, janjimu busuk. Satu juta per KK apanya. Dulu pernah kudengar ada yang menagih janji ini, tapi kini tak pernah ku dengar lagi suara gugatan atas janji itu.

Aku sadar. Oh, salah. Kami sadar, barisan kami tak lagi serapat barisan abang-abang yang telah mendahului kami. Diiming-imingi makan bersama di istana, kami pun bungkam. Kami menginsyafi ketidakberdayaan kami. Alangkah baiknya, tuan, anggaplah kami ini singa yang tengah tertidur. Sebelum kami terbangun, sadarlah wahai tuan berdasi.


Bukanlah ini ancaman, tuan. Mari kita duduk ngopi jika ingin negeri ini tak jadi negeri basi. Mari kita bangun negeri agar tak hanya dikenal sebagai tanah bekas tsunami. 

Sabtu, 16 September 2017

Yang Muda, Yang Berkarya

“Sebenarnya apa tujuanmu ikut bela diri?”, tanya seorang teman meyakinkan dirinya sendiri terhadap keputusanku,”tapi...”,lanjutnya dengan setengah angguk-angguk dan jeda beberapa detik,”Terserah kamu sih, hmm..tapi skripsimu gimana? Oya, kalau bisa hindari ikut pertandingan ya”, pintanya harap-harap cemas.

“Tentu tidak”, jawabku setengah girang,”Kali ini tolong dengarkan aku dulu. Jangan sela sebelum kuminta.”

Kulihat ia hanya mengangguk-angguk tanda setuju. 

“Aku hanya ingin memanfaatkan waktuku secara optimal di samping mengerjakan skripsi dan mengajar. Selain itu, kamu tau kan, jarang sekali kita lihat seorang pelatih bela diri seorang wanita. Banyak gadis seusia kita yang ogah-ogahan ikut bela diri selepas mengetahui ternyata pelatihnya adalah seorang pria. Boleh jadi, jika sudah mahir, sudah expert di bidangnya, aku bisa melatih mereka, meski hanya basicnya, paling tidak mereka punya dasar mempertahankan diri dari tangan-tangan usil nantinya. Siapa tau anak gadis di masa yang akan datang mau diajari oleh pelatih imut seperti aku”, terangku dengan senyum mengembang pengen dilempar. 

Yang mendengar hanya bisa ber-wuuuuu...kesal.

“Tapi, sepertinya itu terlalu muluk ya?”, setengah ragu aku mengomentari kalimatku sendiri. “Aku ingin melatih anakku saja deh. Untuk jadi atlit saat ini usiaku sudah terlambat rasanya, tapi tidak untuk anakku. Semoga saja anakku punya cita-cita yang sama seperti ibunya. Yoo-hooo!!!”. Senyumku tak kalah lebar sampai temanku ber-wuuu tak kalah besar.

Bodo amat. Tapi demikianlah. Sekalinya curhat, aku hanya ingin didengar saja, terlepas dari ada atau tidaknya solusi. Bersyukur aku diberikan teman-teman yang amanah. Setidaknya, itu menurutku. 

Siapa sangka, haba bangai ini menemui benang merahnya. Setelah beberapa bulan vakum berlatih dikarenakan harus berpindah domisili, aku dihubungi oleh sabeum, sebutan kami untuk pelatih bela diri Hapkido dan Taekwondo yang sedang kutekuni. Kedua bela diri ini berasal dari tanah para oppa; Korea. 

***

Beberapa waktu lalu, Aceh mengirimkan beberapa atlit Hapkido untuk mengikuti sebuah kejuaraan di Yogyakarta. Alhamdulillah, teman-teman satu dojang denganku berhasil meraih satu medali emas dan tiga medali perunggu. Berita baik ini tidak baik jika dipendam sendiri, lantas aku pun turut andil menyiarkan berita ini dari laman jejaring sosial. 

Tak berselang lama pasca sabeum dan teman-teman balik lagi ke Aceh, sabeum menghubungi. Bak gayung bersambut, sabeum menawarkan angin surga agar bendera Hapkido bisa ikut berkibar di Bireuen. Dengan tanpa beban aku pun mengiyakan dengan penuh harap agar Hapkido juga berkembang di tanah juang. Namun yang menjadi pertanyaannya adalah, siapa yang akan melatih kami? 

Pertanyaan yang sama kulontarkan ke sabeum. Tak dinyana, jawabannya tak pelak bikin terhenyak. “Ya, Helka lah”. 

Saat itu, aku sama sekali tak kepikiran untuk melatih orang lain. Lha untuk sendiri saja masih harus berlatih ekstra keras. Namun, setelah diskusi panjang lebar, curhat takut ini takut itu, dan segala bentuk kekhawatiran lainnya, (biasa, perempuan, banyak kali khawatirnya) sabeum memercayakan Hapkido Bireuen kepadaku, yang mungkin juga akan turut dibantu oleh sabeum Johari dari Aceh Utara, yang hingga tulisan ini diposting, aku sama sekali belum mengenal wajah dan karakternya. 

Entahlah. Kepercayaan sabeum kepada jiwa-jiwa muda seketika bikin aku percaya diri. Namun percaya diri saja tanpa bekal yang cukup sama saja bunuh diri. Esoknya sabeum menghubungi bahwa teman-teman dari UIN, teman satu dojangku selama berlatih siap membantu. 

Masyaa Allah.. Apa mungkin ini jalan Tuhan membukakan pintu menuju mimpiku? Tidak hanya bisa melatih anak sendiri, namun bisa melatih orang lain. Yang kupahami, menyenangkan sekali rasanya bisa mengerjakan sesuatu yang kita senangi. Terkait rezeki, Allah saja lah yang mengatur.

Sejujurnya, berita ini belum kukabari ke kedua orang tua. Aku masih menunggu momen yang pas untuk memberi tahu. Bagi Ayah, besar kemungkinan akan mendukung keputusanku. Bahkan mungkin akan menuangkan ide-ide secara sukarela untuk membantuku. Lain halnya dengan ibuku, yaaaa,,, seperti wanita pada umumnya, terlalu banyak khawatir. Seperti itulah ibuku. Semencoba bijak apapun aku memberi tahu, biasanya ibu tetap memberi izin, namun dengan berat hati. Nah, ‘namun’ inilah yang ingin aku hilangkan, untuk itu aku masih menunggu waktu yang baik. Ridha ibuku harus bisa kugenggam agar mudah ku melangkah ke depan. 

Haba bangai yang sempat menjadi bahan cang panah bersama teman sedang on the way menuju realisasinya. Apakah satu bulan? Dua bulan? Setahun? Entahlah. Hanya saja aku sedang berada di puncak percaya diri. Semoga Tuhan berbaik hati dan tidak serta merta menjatuhkanku dari atas puncak. 



Minggu, 06 Agustus 2017

Untukmu, 'Hilal'

Untukmu, yang sedang atau akan memperjuangkanku dengan cara baik-baik. Sama sepertimu, aku pun ingin melakukan hal serupa. Mengawalinya dengan cara yang baik-baik. Maka maaf, jika dalam perjalananku, kau mungkin pernah merasa tidak dicintai. 

Sungguh, bukan maksud sok alim, apatah lagi sok suci. Jauh panggang dari api. Karena aku pernah jatuh dan terperosok, untukmu aku tak ingin jatuh. Karena bersamamu, aku ingin membangun. 

Jika pun memang ini cinta, toh kita tidak akan menghabiskan masa untuk bergaya ala muda mudi.  Menghabiskan waktu bersama untuk saling mengenal diri. Mojok dan melanggar batas-batas pemahaman. Seolah dengan begitu, tersingkaplah semua jati diri yang nyatanya hanyalah pencitraan. 

Tak dapat dipungkiri, kita hidup di era yang berbeda dengan orang tua kita zaman dulu, dimana menganggap pergi berduaan dengan yang non muhrim adalah hal tabu dan 'haram' hukumnya. Apalah daya, kita teramat sering disuguhkan pemandangan kawula muda yang beradegan layaknya sinema televisi. Lantas, apa salah jika kita lebih memilih mengasingkan diri dari pergaulan demikian? 

Memang benar. Gejolak untuk bergaul dengan lawan jenis memang telah menjadi fitrah. Ada keresahan bilamana tak bersama. Untuk itulah Tuhan berbaik hati memberikan solusi bagi kita.

Apa itu?  

Ya, pernikahan. 

Karena jika memang cinta, kita tentu paham, yang bisa kita ikhtiarkan saat ini hanyalah 'berpuasa'. Lagi-lagi kutegaskan, kita ini ibarat pelaku puasa yang sedang menanti berbuka. Bukankah sejauh ini kita bisa melaluinya? Jadi, apa boleh jika kita menunggu lagi untuk beberapa jenak? Menunggu hingga tiba masanya kamu menjabat tangan waliku dan halal menggandeng tanganku. Gimana? Boleh? 

Bukannya menutup diri, hingga membuat jarak dan muncullah syakwasangka. Karena aku ingin belajar menahan diri darimu. Belajar mencintai tanpa perlu kesana kemari. Mencintai dalam diam dan doa. 

Kita ingin menapaki jalan baik menuju pernikahan, bukan? Kenapa tidak kita awali sejak sekarang? Mengawali dengan yang baik-baik, dengan hanya mengharap Allah dan keluarga kita meridhai. Lantas apa yang bisa kita lakukan sembari menunggu waktu berbuka?

Banyak. Sungguh banyak sekali. 

Karena pernikahan tidak hanya soal dekap mesra, manis manja, dan tawa canda. Pahit manis akan silih berganti seiring bertambahnya usia pernikahan. Ada banyak pelajaran yang bisa kita pelajari sembari menunggu. Bagaimana menentukan visi misi dalam keluarga. Karena sungguh, kita tentu ingin mencetak generasi yang tidak hanya cerdas duniawi namun lemah dari segi ukhrawi. Anak merupakan investasi akhirat. Alangkah baiknya kita pikirkan sejak dini mau seperti apa kehidupan kita bersama nantinya. 

Lalu belajar bagaimana memenuhi hak-hak dan kewajiban bertetangga. Memahami sifat-sifat yang pasti ada di setiap istri maupun suami. Bertanya, berguru, bahkan membaca buku-buku parenting maupun pernikahan, dan yang terpenting, mempersiapkan diri untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan saat kita masih sendiri. Banyak sekali lho ini, dan, ya, bahkan itu hanya sedikit dari deretan aktivitas yang bisa kita kerjakan selagi menunggu. 

Jika kau suka berkebun, berkebunlah. Suka bertani, bertanilah. Bisa menjahit, silakan menjahit. Sungguh tidak akan sia-sia waktu yang kau gunakan untuk mengisinya dengan kegiatan bermanfaat. Apa kau tahu? Aku harus belajar itu semua darimu. Mengoptimalkan waktu untuk hal-hal yang bermanfaat. 

Kamu.. Iya.. Kamu, mau kan, mengajariku? 

Sudah barang tentu aku tidak akan semulia Khadijah, secerdas Aisyah, dan setegar Fatimah. Aku juga tidak bisa menjanjikan bahwa kau akan bahagia bersamaku. Karena urusan ini, kuserahkan pada Allah saja-saja. Dia lah yang Maha membolak-balikkan hati. Untuk itu, lagi-lagi aku punya permintaan. Kumohon kau bisa bersabar dalam membimbingku dengan kebaikan menuju ketaatan. Bisa, kan? Layaknya Umar yang begitu sabar menghadapi istrinya meski tengah bermuka masam. 

Untukmu, 'Hilal'..

Rabu, 12 April 2017

Bercerminlah, Wahai Diri

Menjadi pemenang mungkin menyenangkan. Tapi menjaga kehormatan, jauh di atas segalanya. Imam Syafi'i, satu dari empat imam madzhab yang diakui di dunia, yang paling banyak pengikutnya, yang tajam pemahaman dan bagus daya tangkapnya, mendapat peran penting dalam tulisan kali ini. 

Dari sekian banyak petuahnya, beberapa diantaranya menjelaskan tentang pentingnya menjaga kehormatan diri, terlebih kehormatan lawan bicara. Semisal, ada baiknya jika ingin menasihati, nasihatilah dalam keadaan sunyi agar nasihat tersebut sampai dan tidak mencederai harga diri orang yang dinasihati. 

Ada rahasia dibalik nasihat. Ada jalan setapak yang penuh kehati-hatian dalam penyampaiannya. Namun agaknya prilaku seperti ini sedikit langka dewasa ini. Apalagi dengan penggunaan medsos yang bukan lagi barang langka bagi segenap lapisan masyarakat. Tidak ada yang salah dengan penggunaan medsos selama berbanding lurus dengan kebutuhan. 

Hanya saja, penggunaannya menjadi sedikit tercederai manakala berkumpulnya orang yang mengaku diri cerdik pandai, padahal nyatanya kusut masai. Berdiskusi layaknya ahli, padahal hasil googling sana sini. Okelah anggap saja mereka memang dianugerahi kelebihan dalam beberapa disiplin ilmu, hingga banyak pahamnya. 

Tapi banyak paham saja tidak cukup jika nyatanya sedikit membaca, ogah mengkaji dan mengaji, dan malas berguru. Hal ini diperparah jika menganggap diri paling benar. Ibarat penyakit, sifat ini telah mencapai stadium akhir, kronis, sekaligus kompilasi. Komplit!

Barangkali kita sama. Sependapat bahwa mereka yang jago debat adalah sekumpulan orang cerdas yang dianugerahi pola pikir kritis. Tapi jika semua bersuara, siapa yang akan mendengar. Dewasa ini setiap rahang dipaksa terbuka untuk memperoleh pengakuan. Sedikit yang masih memperbaharui bacaan, mengkaji ulang, mengaji, dan berguru untuk mendapatkan sejumput ilmu baru. 

Tak heran jika saya lagi-lagi terkesan dengan petuah Imam Syafi'i satu ini. Petuah yang berkali-kali saya share di satu-satunya akun medsos saya yang masih aktif. "Pendapatku ini benar," ujar beliau suatu ketika, "Tetapi mungkin mengandung kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran."

Saksikanlah.. Betapa merendahnya seorang Imam Syafi'i, cendekiawan yang dengan kecerdasannya mampu mematahkan argumen cerdik pandai pada masanya. Bahkan jika ia berargumen bahwa sebatang ranting kayu yang nyatanya bengkok adalah lurus, menanglah ia sebab ketangkasannya dalam mengolah kata dengan redaksi yang fasih. Namun perlu diketahui, ia tidak akan berdebat untuk menang. Ia tidak akan mendebat orang sombong, lagi bodoh. Sebab ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan pernah sampai bagi orang yang dalam hatinya masih ada sifat congkak. 

Bercerminlah, wahai diri. Setiap hari. 

Rabu, 05 April 2017

Mengemudi di JalanNya

Bukanlah hal membanggakan menghabiskan masa studi untuk meraih gelar sarjana dengan masa kelulusan di atas 4 tahun. Lulus dengan predikat nyaris depresi. Pertanyaan kapan wisuda pun akhirnya terjawab sudah. Orang tua adalah alasan primer kenapa aku harus menyelesaikan apa yang telah kumulai. Alasan sekunder, namun nyaris premiernya adalaaah... yaaa semakin lama wisuda, semakin tertunda rencana nikah.. *eaaakk,, ngomong seakan-akan udah ada calon. Padahaaaaal...eng ing eeeng.. 

Hmmm berbicara mengenai pasangan hidup, sesungguhnya ini merupakan ujian tersendiri bagi kami yang dijuluki kaum perempuan modern nan dinamis ini. Pasalnya, keputusan untuk berhijrah dari zaman jahiliyah ini sudah kukantongi bulat-bulat sejak pertengahan 2013. 

Jemput bola. Istilah ini terdengar akrab bagi kami, tapi bukan hal yang lumrah untuk kami lalui. Meski contoh konkretnya telah nyata diimplementasikan bunda Khadijah terhadap Rasulullah saw. Jemput bola dengan cara elegan namun tidak menjatuhkan harga dirinya sebagai kaum hawa. 

Bagi kami, yang menganut adat ketimuran, jemput bola masih menjadi hal yang tabu. Maka lagi-lagi ini menjadi ujian kesabaran. Sabar menanti hingga saatnya tiba. Sabar layaknya puasa. Menanti hingga adzan tiba dan berbuka. Sabar untuk sama-sama tak mengusik hingga jelas kapan 'aa' jodoh' akan mendatangi kedua orang tua untuk selanjutnya membicarakan bab krusial. "Saya ingin menghalalkan anak Bapak". Hmm.. gitu-gitu lah ya.. cuma nulis saja rasanya seperti kehilangan pijakan. 

Adapun salah satu ikhtiar yang bisa kami usahakan adalah tidaK hanya memilih suami untuk diri kami sendiri. Namun memenuhi hak anak kami sejak dini, yaitu memperoleh Ayah yang sholeh, yang tahu dan paham betul tanggung jawabnya. Bahwa pernikahan sejatinya bukan hanya soal dekap mesra, manis manja, maupun tawa canda. Pernikahan bukan sesuatu yang diburui dan ditergesai. Pernikahan adalah kesiapan. Siap menuju titian surga bersama. 

Surga terdengar begitu indah sekali, bukan? Namun tak sedikit yang tergelincir dan salah arah, jika tak ingin mengatakan salah pilih. Mereka memilih menjalin hubungan sebelum akad dengan alasan ingin mengenal satu sama lain. Seakan-akan hubungan tersebut akan menguak sisi terdalam setiap pasangan. 

Menikah merupakan sunnah Nabi. Fitrah yang menuai berkah. Solusi bagi kecenderungan tiap individu terhadap lawan jenisnya. Maka sekali lagi, menikah tidak hanya soal dekap mesra, manis manja, maupun canda tawa. Menikah adalah kesiapan. Siap dengan segala ujian pernikahan. Tidak mudah, karena yang ditawarkan Tuhan juga bukan hal yang murah. Surga!

Siapkah kamu, duhai calon ayah untuk anak-anak kami, mengemudikan hati kami menuju jalan lurus bermuara surga? Kami tidak begitu tertarik dengan lelaki pintar, tapi ketahuilah, lelaki akan jauh lebih menarik bagi kami jika mau terus belajar. Karena pintar, dekat dengan kesombongan. Sementara mau belajar, identik dengan kesederhanaan dan welas asih. Perjalanan cinta ini tidak hanya butuh iman, namun juga butuh ilmu, dan tentu saja amal. 

Ngomong-ngomong, dari bahasan wisuda, kok ya loncat ke pasal menikah? Hmmm.. biasalah, otak dan hati lagi tak sehati. huhu..

Yang akan dipost-kan berikut ini adalah momen-momen wisudaku beberapa waktu lalu. Pernah ada teman yang nelpon tanyain kabar, ujung-ujungnya nanya, "eh, udah wisuda?". Karena aku jujur dan rajin menabung, kujawab lah kan apa adanya. "Udah".  Eh teman ini gak percaya aja orangnya, hingga aku harus meyakinkannya kurang lebih 2 menit. Hmmm barangkali karena tak ada foto wisudaku di jejaring sosmed kali ya? Sekayak di fb. Well yeah, sini tak post-kan di blog saja ya, nduk. ^^ *Terserah dia tahu blog ini apa nggak. heuheu.. 

Biasanya Helka jadi Hekal. Nah ini Pratiwinya yang bermasalah, malah jadi Pratiwis. Heuheu. Yang bikin papan bunganya begadang barangkali. Kita-kita pun gak ada yang nyadar 
bahwa ada kejanggalan disitu. Soale kita sibuk nyuri-nyuri kesempatan buat foto-foto 
dan lihat-lihat kendaraan lewat.  Letaknya di lintas kendaraan sih. 
Anyway, thanks a bunch untuk papan bunganya ya, guys ^^



Aku dan Mak di sela-sela menuju gedung perayaan wisuda


Ini aku bareng Mak, sahabat-sahabat, my bro and the crew


Aku diapit Mak dan dek bro


Dek bro stand by di depan gedung. Kodak sekali lah. Cekrek! ^^ 


Ini dek bro dan segenap kru yang bertugas. 
Kalian ini sedang apa dengan angka 3?
Biar kayak di film 3 idiot apa yak?


Ini keluarga dari Bireuen, jauh-jauh ke Banda. Jadi terharum. Heuheu


Ini teman-teman satu kost-an. Kita kompakan bikin tanda V. 
Ini pose biar tangan bisa main, gak kaku kalau difoto. Wkwkwkwk..


Keluarga Taekwondo-Hapkido UIN Ar-Raniry.
Makasi yaa untuk kehadiran dan papan bunganya. 


Terima kasih untuk hadiah wisuda ini. Namanya juga hadiah. Gratis.
Pasti rasanya lebih lezat. Muehehehehe..
Yang gak bisa dimakan, tak simpan saja ya, sebagai kenangan,
bahwa kita pernah menjadi satu keluarga.
Semoga selalu bersama dalam ikatan 'kekeluargaan'. 


Meski gak bisa berhadir karena udah masuk kuliah, tak mengapa.
Terima kasih ya neng geulis Diniya, untuk hadiah wisudanya,
Ini buku udah lama lho ane cari-cari. Eh namanya juga jodoh kan ya.
Malah dikasih gratis. Di momen spesial lagi.. Duh duh.. 

Well guys, sepertinya ini udah cukup kan ya untuk membuktikan kalau aku beneran lho udah diwisuda. heuheu.. Udah cukup ya nulisnya, ntar malah makin ngawur. dari bab wisuda, ke bab nikah, eh ntar malah ngebahas Roronoa Zoro. Kan gak lucu. Hmmm..