Merawat
4 orang buah hati bukan perkara gampang bagi seorang istri. Apalagi dalam
mengurusi keperluan rumah tangga. Belanja untuk keperluan dapur, bangun lebih
awal, bergegas menyiapkan sarapan, mengantar anak-anak ke sekolah, mencuci
piring, membersihkan rumah, menjemput anak-anak sekolah. Malamnya, menyambut
suami pulang, menyiapkan makan malam, dan tidur paling telat. Hal yang mungkin
belum tentu bisa dilakukan oleh seorang suami. Yap, hanya bisa dilakukan oleh
istri yang benar-benar ikhlas mengabdikan diri kepada sang suami. Begitulah
rutinitas Shazia selama 30 tahun terakhir.
“Selamat
ulang tahun, Bunda”, sapa Rahmat pada Shazia yang telah menjadi pendampingnya
selama berpuluh tahun. Dua sejoli yang tak lagi muda ini telah dikaruniai empat
orang anak yang telah mumpuni. Semuanya memiliki pekerjaan tetap dan
berpenghasilan lumayan untuk keluarga yang berasal dari kasta sederhana. Bahkan
si sulung telah menetap di Jepang karena suatu kepentingan yang disebut
“karir”.
“Ah,
ayah, ternyata kamu masih ingat dengan tanggal ulang tahunku, meskipun kamu
selalu lupa dimana kamu menaruh kunci mobilmu”, sambil sesekali memperhatikan
uban yang menjamur di rambut suaminya. Saban hari memang begitulah aktivitas 2
kawula tak muda ini. Memupuk kasih sayang dalam rumah tangga meskipun usia
telah jauh dari sebutan ABG. Tapi tidak menghalangi dua sejoli ini untuk
membangun romantisme dalam biduk rumah tangga mereka.
Dengan
tersenyum kecut, Rahmat memencet hidung si Kecil, panggilan sayang untuk istri
tercinta. “Bukalah”, Rahmat menyodorkan sebuah kotak sebagai kado ulang tahun
istrinya yang ke 57. “Apa ini?”, tanya istrinya dengan mata yang berbinar-binar.
Istri yang dikenal berpuluh-puluh tahun silam tentu adalah sosok yang sama
dengan wanita 35 tahun lalu. Sosok wanita pekerja keras, ringan tangan, dan
pintar.
Istri
yang ditemuinya pada saat mereka mengikuti sebuah perlombaan debat. Memanglah,
takkan lari gunung dikejar. Rahmat dan Shazia yang masuk ke babak final. Namun Shazia
yang keluar sebagai pemegang medali. Disitulah awal ketertarikan Rahmat muncul.
Layaknya
laki-laki pada umumnya, tidak akan berhenti sebelum mendapati kata “ya”. Begitu
pula Rahmat. Tidak ada dalam kamus nya kalimat patah satu, tumbuh seribu. Dengan
bermodalkan nekat dan keberanian, perawakan Shazia yang santun menolak untuk
didekati, semakin menambah daya juang Rahmat. Ibarat batu yang terus-terusan
ditetesi air, lama-kelamaan berlubang juga. Pun hal ini berlaku pada sepasang
insan ini. Semangat juang Rahmat yang super duper akhirnya berhasil menempati
satu ruang kecil di sudut hati Shazia.
Itu
cerita 35 tahun silam. Dimana Shazia merupakan kembang di desanya. Bola mata
yang belok, badan ramping, tinggi, senyum yang menawan, pembawaannya yang
bersahaja, sederhana, namun elegan. Sudah lebih dari cukup untuk membuat hati
para pria berdesir ketika melihatnya. Memang, banyak yang lebih cantik darinya,
tapi tak banyak yang berhati mulia sepertinya.
Pernah
suatu ketika, Shazia baru saja pulang dari warung untuk membeli nasi bungkus
dan mendapati pengemis yang sedang menengadahkan tangan. Tak tega melihat momen
itu, akhirnya dia memberikan nasi bungkus itu kepada pengemis tersebut. Itulah
kali pertama dia melihat bidadari di mata wanita pujaannya.
Shazia
pun membuka bungkusan kado yang berwarna pink dengan hiasan berbentuk hati di
sekitarnya. Tak sabar, dia lalu bertanya “apa ini?”, sambil sesekali
mengguncang-guncangkan kotak kadonya. “Buka saja”, jawab Rahmat dengan lemah
lembut sambil menatap lekat mata istrinya.
Sebuah
gaun panjang yang lebih dikenal dengan sebutan gamis keluar dari kotak persegi
itu. Rahmat yang tau betul warna kesukaan istrinya, sengaja memilihkan gamis
berwarna putih. Buliran air mata mulai bercucuran dari mata sang istri.
Sudah
lama ia tidak memiliki baju baru sejak krisis finansial melanda perekonomian
keluarga. Beruntung, Rahmat memiliki istri yang tahan banting. Selalu sabar
dengan penghasilan yang pas-pasan. Tidak sekalipun mengeluh jika Rahmat hanya
membawa pulang uang seadanya. Hanya sebuah lengkungan kecil yang selalu
menghiasi bibir Shazia. Lagi-lagi ia melihat bidadari di mata istrinya. Kesabaran
yang berbuah manis. Kini mereka telah memiliki perusahaan dengan omset per
tahun nya mencapai nominal yang fantastis.
“Coba
kamu pakai”, pinta Rahmat, menghentikan laju deraian air mata Shazia. Shazia
bergegas mencoba pakaian barunya. “Kamu masih sama seperti yang dulu. Selalu
cantik”, kata Rahmat sambil memperbaiki kacamatanya. “Terima kasih, Ayah. Aku
tidak mau melepas baju ini seharian. Akan aku pakai untuk masak, makan siang,
hingga nanti malam.” Rahmat hanya tersenyum menanggapi permintaan istrinya.
“Baiklah,
karena ini hari ulang tahunmu, mari ku ajak berkeliling-keliling kota. Oiya, kau
lihat kunci mobilku?”, tanya Rahmat sambil mondar mandir mencari kunci mobil. Shazia
tersenyum manis melihat tingkah suaminya yang mulai pikun. “Itu di saku
bajumu”, jawab Shazia sambil tersenyum manis. Begitu menenangkan.
Tak
heran bila Rahmat lebih menyukai tinggal di rumah ketimbang keluyuran di
jalanan. Ia selalu bisa melihat bidadari di mata istrinya. Lalu, nikmat mana
pula yang bisa didustakan.
“Haha,
oiya, ini dia, maafkan aku bila selalu merepotkanmu”, ucap Rahmat sambil
mengambil kunci mobilnya dan bergegas memanaskan mobil. “Ayolah, jangan
lama-lama, tidak perlu dandan kamu juga akan tetap selalu cantik di mataku”,
ucap Rahmat pada Shazia yang sedang membetulkan jilbab nya.