Pages

Minggu, 16 Maret 2014

Kamu Masih Seperti yang Dulu


Merawat 4 orang buah hati bukan perkara gampang bagi seorang istri. Apalagi dalam mengurusi keperluan rumah tangga. Belanja untuk keperluan dapur, bangun lebih awal, bergegas menyiapkan sarapan, mengantar anak-anak ke sekolah, mencuci piring, membersihkan rumah, menjemput anak-anak sekolah. Malamnya, menyambut suami pulang, menyiapkan makan malam, dan tidur paling telat. Hal yang mungkin belum tentu bisa dilakukan oleh seorang suami. Yap, hanya bisa dilakukan oleh istri yang benar-benar ikhlas mengabdikan diri kepada sang suami. Begitulah rutinitas Shazia selama 30 tahun terakhir.

“Selamat ulang tahun, Bunda”, sapa Rahmat pada Shazia yang telah menjadi pendampingnya selama berpuluh tahun. Dua sejoli yang tak lagi muda ini telah dikaruniai empat orang anak yang telah mumpuni. Semuanya memiliki pekerjaan tetap dan berpenghasilan lumayan untuk keluarga yang berasal dari kasta sederhana. Bahkan si sulung telah menetap di Jepang karena suatu kepentingan yang disebut “karir”.

“Ah, ayah, ternyata kamu masih ingat dengan tanggal ulang tahunku, meskipun kamu selalu lupa dimana kamu menaruh kunci mobilmu”, sambil sesekali memperhatikan uban yang menjamur di rambut suaminya. Saban hari memang begitulah aktivitas 2 kawula tak muda ini. Memupuk kasih sayang dalam rumah tangga meskipun usia telah jauh dari sebutan ABG. Tapi tidak menghalangi dua sejoli ini untuk membangun romantisme dalam biduk rumah tangga mereka. 

Dengan tersenyum kecut, Rahmat memencet hidung si Kecil, panggilan sayang untuk istri tercinta. “Bukalah”, Rahmat menyodorkan sebuah kotak sebagai kado ulang tahun istrinya yang ke 57. “Apa ini?”, tanya istrinya dengan mata yang berbinar-binar. Istri yang dikenal berpuluh-puluh tahun silam tentu adalah sosok yang sama dengan wanita 35 tahun lalu. Sosok wanita pekerja keras, ringan tangan, dan pintar.

Istri yang ditemuinya pada saat mereka mengikuti sebuah perlombaan debat. Memanglah, takkan lari gunung dikejar. Rahmat dan Shazia yang masuk ke babak final. Namun Shazia yang keluar sebagai pemegang medali. Disitulah awal ketertarikan Rahmat muncul.

Layaknya laki-laki pada umumnya, tidak akan berhenti sebelum mendapati kata “ya”. Begitu pula Rahmat. Tidak ada dalam kamus nya kalimat patah satu, tumbuh seribu. Dengan bermodalkan nekat dan keberanian, perawakan Shazia yang santun menolak untuk didekati, semakin menambah daya juang Rahmat. Ibarat batu yang terus-terusan ditetesi air, lama-kelamaan berlubang juga. Pun hal ini berlaku pada sepasang insan ini. Semangat juang Rahmat yang super duper akhirnya berhasil menempati satu ruang kecil di sudut hati Shazia.

Itu cerita 35 tahun silam. Dimana Shazia merupakan kembang di desanya. Bola mata yang belok, badan ramping, tinggi, senyum yang menawan, pembawaannya yang bersahaja, sederhana, namun elegan. Sudah lebih dari cukup untuk membuat hati para pria berdesir ketika melihatnya. Memang, banyak yang lebih cantik darinya, tapi tak banyak yang berhati mulia sepertinya. 

Pernah suatu ketika, Shazia baru saja pulang dari warung untuk membeli nasi bungkus dan mendapati pengemis yang sedang menengadahkan tangan. Tak tega melihat momen itu, akhirnya dia memberikan nasi bungkus itu kepada pengemis tersebut. Itulah kali pertama dia melihat bidadari di mata wanita pujaannya.

Shazia pun membuka bungkusan kado yang berwarna pink dengan hiasan berbentuk hati di sekitarnya. Tak sabar, dia lalu bertanya “apa ini?”, sambil sesekali mengguncang-guncangkan kotak kadonya. “Buka saja”, jawab Rahmat dengan lemah lembut sambil menatap lekat mata istrinya.

Sebuah gaun panjang yang lebih dikenal dengan sebutan gamis keluar dari kotak persegi itu. Rahmat yang tau betul warna kesukaan istrinya, sengaja memilihkan gamis berwarna putih. Buliran air mata mulai bercucuran dari mata sang istri.

Sudah lama ia tidak memiliki baju baru sejak krisis finansial melanda perekonomian keluarga. Beruntung, Rahmat memiliki istri yang tahan banting. Selalu sabar dengan penghasilan yang pas-pasan. Tidak sekalipun mengeluh jika Rahmat hanya membawa pulang uang seadanya. Hanya sebuah lengkungan kecil yang selalu menghiasi bibir Shazia. Lagi-lagi ia melihat bidadari di mata istrinya. Kesabaran yang berbuah manis. Kini mereka telah memiliki perusahaan dengan omset per tahun nya mencapai nominal yang fantastis.

“Coba kamu pakai”, pinta Rahmat, menghentikan laju deraian air mata Shazia. Shazia bergegas mencoba pakaian barunya. “Kamu masih sama seperti yang dulu. Selalu cantik”, kata Rahmat sambil memperbaiki kacamatanya. “Terima kasih, Ayah. Aku tidak mau melepas baju ini seharian. Akan aku pakai untuk masak, makan siang, hingga nanti malam.” Rahmat hanya tersenyum menanggapi permintaan istrinya.

“Baiklah, karena ini hari ulang tahunmu, mari ku ajak berkeliling-keliling kota. Oiya, kau lihat kunci mobilku?”, tanya Rahmat sambil mondar mandir mencari kunci mobil. Shazia tersenyum manis melihat tingkah suaminya yang mulai pikun. “Itu di saku bajumu”, jawab Shazia sambil tersenyum manis. Begitu menenangkan.

Tak heran bila Rahmat lebih menyukai tinggal di rumah ketimbang keluyuran di jalanan. Ia selalu bisa melihat bidadari di mata istrinya. Lalu, nikmat mana pula yang bisa didustakan.

“Haha, oiya, ini dia, maafkan aku bila selalu merepotkanmu”, ucap Rahmat sambil mengambil kunci mobilnya dan bergegas memanaskan mobil. “Ayolah, jangan lama-lama, tidak perlu dandan kamu juga akan tetap selalu cantik di mataku”, ucap Rahmat pada Shazia yang sedang membetulkan jilbab nya.