Pages

Sabtu, 19 Maret 2016

Benarkah Ini Cinta Atau Nafsu Belaka?



Kamu, kali ini izinkanlah aku menuliskan hal yang pernah terpatri dalam diri. Hal-hal yang boleh jadi sejatinya tidak ada tapi lebih terlihat mengada-ada. Atau mungkin pernah ada, tapi hanya sepintas lalu. Mungkin dulu pernah ada kata ‘saling’, lalu aku dibuat khawatir dalam bersikap. Khawatir hal itu benarlah mengada-ada. Hingga akhirnya terciptalah sekat yang membuat kita berjarak. Sejujurnya aku ingin tahu. Maukah kau memberi tahu? Benarkah itu ada atau benarkah aku yang mengada-ada? 

Ada satu titik dimana akhirnya pertahananku runtuh. Salahku tak bisa menguasai diri hingga jatuh dibalik benteng yang tak lagi kokoh sejak kau terus menggempur pertahanan. Sekuat-kuatnya benteng, akhirnya ia roboh juga jika diserang habis-habisan.

Jika menurutkan nafsu, mungkin aku akan menerima sekerat daging yang pernah kau tawarkan dalam satu jamuan. Sekerat daging yang tak sengaja membuat mata kita saling bertemu. Sekerat daging yang kau beri dengan senyum termanis saat itu. Ah, aku masih ingat tatkala aku dibuat terkejut karena tak menyangka akan digempur lagi dan lagi. Aku tersudutkan untuk penawaran yang haruskah diterima atau tidak. Tiga detik yang begitu berkecamuk dalam jiwa. Tiga detik yang seakan ada angin topan tengah melanda. Tiga detik yang memaksa jantung berdebar dan seolah terlempar keluar. Mungkin kau anggap ini berlebihan. Akan tetapi, jika saja kau mau kupinjamkan jantungku barang sejenak, maka rasakanlah debaran itu. 

Dalam hati terus digempur tanya, “Sebenarnya apa maksudmu?”

Perang batin tak dapat dielakkan. Aku jahat memaksa, “Ambil sajalah. Kamu lihat, dia memberikan daging itu dengan tulus disertai senyum menawan. Lagian, ini bukan berarti ada apa-apa diantara kalian. Ambil saja. Ambil!!!”

Aku baik menasihati, “Kamu sekali lagi, jangan sekali-kali jatuh untuk hal remeh-temeh seperti ini. Ini jelas ada apa-apanya. Tidak usah terima jika tidak ingin mendurhakai hati. Ingat, hati pun bisa saja berzina”.

Tiga detik yang andai kau tahu, benar-benar melelahkan. Perang batin justru lebih menggempur dibanding gempuranmu. Aku baik kala itu menang. Tapi tak menutup kemungkinan, aku jahat terus mencari celah. Sebenarnya itu penawaran yang sangat manis jika diberikan pada istri. Nah aku? Aku pun hanya ingin menerima itu dari pasangan halalku. Untuk hal ini, maka terimalah sepotong maaf dariku, untuk sekerat daging yang tak dapat kuterima saat itu darimu. 

Kurasa aku mulai tidak waras. Meski hati terus beistighfar, tapi maksiat yang masih bercokol dalam raga, getol membuatku terus mengingat-ingat yang tak selayaknya diingat. Belum layakkah? Atau memang tak layak? Ah, aku dibuat pusing untuk urusan satu ini. Benarlah jika dari sejak zaman purba, urusan perasaan memang akan selalu begitu rumusnya, bagai benang dipilin yang sempurna masai. 

Jika dipaksa berbicara, jelas aku tak kuasa, maka bungkam adalah pilihan terbaik yang aku punya agar penampakannya tak begitu kentara. Aku sadar yang aku tidaklah semulia Khadijah yang mampu menanyai Muhammad yang terpercaya. Apalagi secerdas Aisyah. 

Jika melihat aib diri, bahkan aku merasa hina jika menganggap sekufu denganmu. Aku masihlah sangat jauh dari standar pasangan ideal idaman. Kau tentu belum tahu aku seutuhnya. Ah, begitupun sebaliknya. 

Maka, jika pun urusan ini berbuah tidak manis--tetaplah ini perasaan yang entah itu datangnya dari syaithan atau Tuhan--, kukembalikan pada Tuhan agar kita diberi yang terbaik. Semoga Allah terus membimbingku menuju jalan yang telah disiapkan untukku agar dapat membersamainya yang entah siapapun itu menapaki titian surga. Kuharapkan pula yang terbaik untukmu, agar dapat membersamai bidadarimu menuju Surga-Nya. 

Sekali lagi, itupun jika kau berkenan, maukah kau memberi tahuku sebuah rahasia? Sejatinya itu ada atau akunya saja yang telah terjerembab, terpingkal, dan terjatuh sendiri sehingga mampu mengada-ada? Jika urusan ini terlihat begitu pelik, kau tak harus berkata-kata. Tak ada paksaan dalam urusan ini. Aku akan berusaha memahami sisi terbaik dari sikap kita. Hah? Kita? Bahkan saat menulis kita-jelas menunjukkan aku dan kamu-,aku malu. Dan hei, kau tentu paham sekali kenapa aku malu. 

Hingga kini hati masih terus bertanya. Ini cinta dari Tuhan atau syaithan?
Benarkah ini cinta atau nafsu belaka?

Jalanan ini masih panjang, semoga kau diberi teman perjalanan yang menyenangkan. 

Senin Selasa Rabu
Aku pergi ke toko buku
Malam Minggu yang kelabu
Ada catatan baru

Aku tidak menyangka bisa bikin pantun sememaksa ini. 
Kamu, selamat malam. 
Novelnya segera menyusul yang entah kapan itu. Sedang digarap. Mohon doanya ya teman-teman pembaca. Berharap judulnya KAMU. Eh, sepertinya Tere Liye sudah duluan booking. Ya sudahlah, aku mah apa atuh dibandingkan masternya urusan perasaan ini. Tentu saja ini versiku, bukan versi On The Spot itu.

1 komentar:

  1. iyaaakkk.. curahan hatinya daleeem eeuy...
    moga di balas ya helka... Aamiin

    yang di sini terus berdoa yang terbaik untukmu

    BalasHapus