Kamu, kali ini izinkanlah aku
menuliskan hal yang pernah terpatri dalam diri. Hal-hal yang boleh jadi sejatinya
tidak ada tapi lebih terlihat mengada-ada. Atau mungkin pernah ada, tapi hanya
sepintas lalu. Mungkin dulu pernah ada kata ‘saling’, lalu aku dibuat khawatir
dalam bersikap. Khawatir hal itu benarlah mengada-ada. Hingga akhirnya terciptalah
sekat yang membuat kita berjarak. Sejujurnya aku ingin tahu. Maukah kau memberi
tahu? Benarkah itu ada atau benarkah aku yang mengada-ada?
Ada satu titik dimana akhirnya
pertahananku runtuh. Salahku tak bisa menguasai diri hingga jatuh dibalik
benteng yang tak lagi kokoh sejak kau terus menggempur pertahanan.
Sekuat-kuatnya benteng, akhirnya ia roboh juga jika diserang habis-habisan.
Jika menurutkan nafsu, mungkin
aku akan menerima sekerat daging yang pernah kau tawarkan dalam satu jamuan.
Sekerat daging yang tak sengaja membuat mata kita saling bertemu. Sekerat
daging yang kau beri dengan senyum termanis saat itu. Ah, aku masih ingat
tatkala aku dibuat terkejut karena tak menyangka akan digempur lagi dan lagi. Aku tersudutkan untuk penawaran yang haruskah diterima atau tidak. Tiga
detik yang begitu berkecamuk dalam jiwa. Tiga detik yang seakan ada angin topan
tengah melanda. Tiga detik yang memaksa jantung berdebar dan seolah terlempar
keluar. Mungkin kau anggap ini berlebihan. Akan tetapi, jika saja kau mau
kupinjamkan jantungku barang sejenak, maka rasakanlah debaran itu.
Dalam hati terus digempur tanya, “Sebenarnya
apa maksudmu?”
Perang batin tak dapat dielakkan.
Aku jahat memaksa, “Ambil sajalah. Kamu lihat, dia memberikan daging itu dengan
tulus disertai senyum menawan. Lagian, ini bukan berarti ada apa-apa diantara
kalian. Ambil saja. Ambil!!!”
Aku baik menasihati, “Kamu sekali
lagi, jangan sekali-kali jatuh untuk hal remeh-temeh seperti ini. Ini jelas ada
apa-apanya. Tidak usah terima jika tidak ingin mendurhakai hati. Ingat, hati pun
bisa saja berzina”.
Tiga detik yang andai kau tahu,
benar-benar melelahkan. Perang batin justru lebih menggempur dibanding gempuranmu.
Aku baik kala itu menang. Tapi tak menutup kemungkinan, aku jahat terus mencari
celah. Sebenarnya itu penawaran yang sangat manis jika diberikan pada istri.
Nah aku? Aku pun hanya ingin menerima itu dari pasangan halalku. Untuk hal ini,
maka terimalah sepotong maaf dariku, untuk sekerat daging yang tak dapat
kuterima saat itu darimu.
Kurasa aku mulai tidak waras. Meski
hati terus beistighfar, tapi maksiat yang masih bercokol dalam raga, getol
membuatku terus mengingat-ingat yang tak selayaknya diingat. Belum layakkah?
Atau memang tak layak? Ah, aku dibuat pusing untuk urusan satu ini. Benarlah jika
dari sejak zaman purba, urusan perasaan memang akan selalu begitu rumusnya, bagai
benang dipilin yang sempurna masai.
Jika dipaksa berbicara, jelas aku
tak kuasa, maka bungkam adalah pilihan terbaik yang aku punya agar
penampakannya tak begitu kentara. Aku sadar yang aku tidaklah semulia
Khadijah yang mampu menanyai Muhammad yang terpercaya. Apalagi secerdas Aisyah.
Jika melihat aib diri, bahkan aku merasa hina jika menganggap sekufu denganmu.
Aku masihlah sangat jauh dari standar pasangan ideal idaman. Kau tentu belum tahu
aku seutuhnya. Ah, begitupun sebaliknya.
Maka, jika pun urusan ini berbuah
tidak manis--tetaplah ini perasaan yang entah itu datangnya dari syaithan atau
Tuhan--, kukembalikan pada Tuhan agar kita diberi yang terbaik. Semoga Allah
terus membimbingku menuju jalan yang telah disiapkan untukku agar dapat
membersamainya yang entah siapapun itu menapaki titian surga. Kuharapkan pula
yang terbaik untukmu, agar dapat membersamai bidadarimu menuju Surga-Nya.
Sekali lagi, itupun jika kau
berkenan, maukah kau memberi tahuku sebuah rahasia? Sejatinya itu ada atau akunya
saja yang telah terjerembab, terpingkal, dan terjatuh sendiri sehingga mampu
mengada-ada? Jika urusan ini terlihat begitu
pelik, kau tak harus berkata-kata. Tak ada paksaan dalam urusan ini. Aku akan
berusaha memahami sisi terbaik dari sikap kita. Hah? Kita? Bahkan saat menulis
kita-jelas menunjukkan aku dan kamu-,aku malu. Dan hei, kau tentu paham sekali
kenapa aku malu.
Hingga kini hati masih terus bertanya.
Ini cinta dari Tuhan atau syaithan?
Benarkah ini cinta atau nafsu
belaka?
Jalanan ini masih panjang, semoga
kau diberi teman perjalanan yang menyenangkan.
Senin
Selasa Rabu
Aku
pergi ke toko buku
Malam
Minggu yang kelabu
Ada catatan baru
Aku tidak menyangka bisa bikin
pantun sememaksa ini.
Kamu, selamat malam.
Novelnya segera menyusul yang
entah kapan itu. Sedang digarap. Mohon doanya ya teman-teman pembaca. Berharap
judulnya KAMU. Eh, sepertinya Tere Liye sudah duluan booking. Ya sudahlah, aku
mah apa atuh dibandingkan masternya urusan perasaan ini. Tentu saja ini
versiku, bukan versi On The Spot itu.
iyaaakkk.. curahan hatinya daleeem eeuy...
BalasHapusmoga di balas ya helka... Aamiin
yang di sini terus berdoa yang terbaik untukmu