Jadi tadi pagi tu kan di
sekolah ada anak SD yang sedang ikut acara untuk memeriahkan hari Kartini. Dah
cantik-cantik pake kebaya dan kain sarung batik, tapi dianya malah datar aja
wajahnya. Saya menangkap sinyal-sinyal tidak menyenangkan dari wajahnya. Mengingat
dia bolak-balik masuk ke perpustakaan yang akhir-akhir ini menjadi wilayah
kekuasaan kami selaku anak PPL.
Lalu bertanyalah kami
akan dia yang saat itu sedang duduk sendiri tiada berteman. "Kok adik gak
duduk di bawah tenda?", dia cuma jawab, "Panas, Miss." Singkat,
padat, berisi. Dia langsung keluar perpustakaan meninggalkan kami, anak-anak
PPL yang keren ini. Mungkin dia gak ingin diganggu kali ya. Oke, oke. Kami pun
kembali ke tempat duduk masing-masing sambil menikmati sarapan dengan khidmat.
Gak lama kemudian, dia kembali ke perpustakaan dan mengalihkan dunia saya dari
sarapan yang menggoda.
Penasaran. Saya kembali
mendekatinya. "Masih panas ya, Dek, di luar?". Alih-alih menjawab
pertanyaan saya, saya malah dikacangin sama ini bocah. Dia melengos gitu aja
meninggalkan saya yang tersangak karena dicuekin anak SD. Sekali lagi, saya
harus menghadapi semua ini seorang diri dan kembali ke tempat duduk saya dengan
wajah berantakan, petak, tidak beraturan.
Kembali menyantap sarapan
dengan beringas karena malu dilihatin sama beberapa anak SMA yang menyadari
saya dicuekin sama entu bocah. Eh, beberapa detik berselang, dia kembali ke
perpustakaan dengan wajah sendunya. Saya gak mau open lagi. Capek di PHP-in.
Akhirnya saya kembali mengunyah sarapan dengan semangat tiada tara.
Sarapan habis, trus Ibu
harus ngapain anak-anaaaakkk?? Buang sampah padaaaa........tempatnyaaaa. Iyak,
bagus. Pergilah saya membuang sampah di keranjang dekat perpustakaan melewati
adek tu yang sedang menunduk menghadap meja. Tidak jelas apa yang
dipikirkannya. Niat awalnya mau balas cuekin balek, eeeh gak tega. Akhirnya
saya kembali mendekatinya. *Belum jera-jera
Kali ini strategi
pendekatannya lebih halus. "Kakak boleh duduk disini, Dek?" (belum
terbiasa panggil Miss untuk diri senidri). Hanya dibalas dengan anggukan kecil
yang sedikit ragu-ragu. Yes, strategi awal beres. Kami pun duduk bersisian.
Saya di sisi kanannya. Dia di sayap kiri saya. Perfect.
Lanjut ke ajang
perkenalan. Akhirnya saya tahu namanya Difa. Tapi sayang, tak sedikit pun dia
tertarik untuk menanyakan nama saya siapa. Well, perkenalan ini pun bertepuk
sebelah tangan.
"Tadi pergi
sekolahnya sama siapa?", tanyaku penasaran. "Diantar bunda",
jawabnya singkat dengan suara pelan. Saya terpaksa membuka telinga lebar-lebar
demi menanti sebuah jawaban, sambil sesekali (eh gak, berkali-kali yang
benernya) menimpali dengan "Haa, apa dek?". Biasa, faktor usia.
Percakapan awal masih
seputar nama, alamat, kelas berapa, sekelas dengan siapa, berapa bersaudara,
dan hal-hal lain yang tidak bisa saya jelaskan satu-satu. Standar lah untuk
sebuah perkenalan dan PeDeKaTe. Kemudian, ntah hapa yang saya pikirkan hingga
meluncurlah pertanyaan "Cita-cita Difa kalau udah besar mau jadi
apa?". "Mau jadi guru", jawabnya tanpa intonasi dan ekspresi.
Malah saya yang
berekspresi berlebihan tak tertahankan. "Apppah?? guuuruuuu? wah, sama
donk kita." Saya menjerit menjadi-jadi dalam hati. Yah, meskipun itu bukan
lah cita-cita awal saya. Setelah beberapa pendekatan kecil akhirnya saya tahu
kalau dia ingin menjadi guru bahasa Inggris.
Tidak ingin melewatkan
momen ini begitu saja. Mulailah saya mengajaknya berbicara dalam bahasa
inggris. Tentu bahasa Inggris yang masih jauh dari sebutan
"woooowww". Dari sini saya sedikit mengorek-ngorek informasi perihal
kenapa dia tidak betah duduk di bawah tenda menyaksikan anak-anak lain berfashion-show ria mengenakan dress
code ala Kartini.
Usut punya usut, ternyata orang tuanya tidak datang. Mereka sedang ada kerjaan
kantor ke Bandung. Oke, sedikit melow untuk bagian yang satu ini memang.
Kita skip aja
ya.
Lama-lama berbincang
dengannya, akhirnya saya kehabisan bahan untuk bertanya apa lagi. Saya pun
menawarkan diri agar dia bertanya soal matematika yang mungkin ada yang tidak
dimengerti di kelas. Dia hanya menggeleng. "Yadah, tanyakan apa aja deh,
Dek, apa aja". Dia kembali menunduk menghadap meja.
Waduh,, PeDeKaTe nya lama
juga ya. Sabaar.
Hening beberapa saat
memikirkan pertanyaan dan dialog berikutnya.
Tadaaaa,, ada ide. Ambil buku,
ambil pulpen. Kita mulai menulis. Rencananya sih mau mencoba mencanangkan
gerakan gemar menulis sejak dini. Ekekekekek. Modusnya gini, "Kalau kakak
minta Difa untuk nulis, Difa mau nulis surat untuk siapa?".
Lagi-lagi pertanyaan saya
terabaikan. Eit, tapi kali ini ada sedikit kemajuan. Dia meraih pulpen dan buku
yang saya pegang. Mulai menuliskan sesuatu di halaman tengah buku. Bereh. Gak
buruk-buruk amat ternyata.
Eh, tapi tunggu dulu.
Ternyata dia tidak menulis surat. Malah membuat gambar seorang anak kecil yang
berseragam sekolah Fatih (jelas terlihat dari simbol di baju yang di
gambarnya), dan mengikat rambut kepang dua.
Yah, meskipun program
saya gagal total. Tidak berhasil membuatnya menulis sejak dini. Paling tidak,
saya berhasil membuatnya bersuara. Hihihihihi
Saya memintanya untuk
bercerita mengenai gambar itu. Untuk ukuran anak SD kelas 2, bahasa Inggrisnya
goyang kali wak. Saya terkesima dibuatnya. Selesai bercerita, dia semakin
semangat untuk menggambar di halaman belakangnya. Kali ini dia menggambar
sebuah bintang dan gambar Dora dan membubuhi kalimat "D is for Dora"
di bawah gambar.
Suaranya semakin membesar
pada saat dia bercerita gambar di halaman kedua, ketiga, dan keempat. Tidak
perlu lagi mengernyitkan dahi demi mendengar suaranya. Saya hanya bisa
tersenyum dibuatnya. Ntah lah PeDeKaTe ini berhasil atau tidak. Terlepas dari
itu semua. Saya senang melihat dia begitu antusias menceritakan
gambar-gambarnya dengan segala imajinasi kanak-kanaknya.
Tak terasa, jarum pendek
telah bertengger di angka 12. Petanda sesaat lagi mereka harus segera pulang.
Benar saja. Kakaknya Difa menjemputnya di dalam perpustakaan. Saya harus rela
melepaskan kepergian Difa.. fuh fuh. Syeddih.
Akhirnya Difa pulang
sambil melambaikan tangan dan tersenyum dengan sangat manis. "Bye,
Miss.""Bye, Difa."
Ah iya, aku ingat satu
gambarnya tertulis kalimat "I'm so happy today." Yah, semoga saja
happy nya itu karena saya,, hahah, ngarep, boleh donk. Secara pedekatenya lama
gini. Hehehe..
Happy ending gak ya
kira-kira?
Oke, beda lagi dengan
saat mengunjungi Mie Razali. Sedang ayik-asyiknya menyantap mie pesanan, ada
anak-anak yang terus ngeliyatin saya. Salah sendiri sih, siapa suruh
julur-julurin lidah pas anak tu masuk toko. Hahah. Saya mulai pucaat dilihatin
terus dan mulai sedikit grogi menyantap mie nya.
Sedikit lega ketika emak
si anak itu memanggil nya untuk duduk di kursi. Fyuhhh. Gak lama kemudian dia
kembali berdiri di belakang saya dan menonton saya makan. Plis deh, Dek.
"Dini, apa oi yang
salah? Cak lihat baek-baek", tanya saya sambil nunjuk-nunjuk ke wajah
sendiri. Saya semakin penasaran dengan anak berpipi chubby itu. Sementara Dini
hanya tersenyum menyebalkan. Geram, saya habiskan juga mie nya si Dini.
hahahahaha..
Begitulah pengalaman saya
dengan anak-anak hari ini.
Sekian cerita dari saya.
Wabillahi taufiq wal
hidayah