Pages

Sabtu, 27 Desember 2014

Jumat Berkah

Pagi ini, seperti biasa, ibuku selalu mengantar anak bungsunya ke sekolah. Adik yang paling bontot hari ini akan mengikuti ujian semesteran. Pantas saja dua hari yang lalu dia sibuk menanyaiku perihal soal matematika melalui gaya paling klasik, sms-an.

Aku, seperti biasa. Sibuk dengan aktivitas menyibukkan diri sebagai mahasiswa yang rindu akan foto dengan jas berdasi. Hingga suatu ketika aku menerima sms dari Ibu. “Tadi mamak mogok honda sepulang antar adek ke sekolah.”

Hehe, ibu selalu mengatakan sepeda motor dengan sebutan honda. Well yeah, mungkin sudah menjadi kebiasaan di wilayah Aceh, mengatakan sepeda motor dengan sebutan honda. Atau  kalau gak satu lagi, ‘kereta’. Yang jelas, semua paham apa maksudnya. Satu dua mencoba membenarkan. Selebihnya, tutup telinga, menerima dengan penerimaan yang entah. Entahlah sejak kapan kebiasaan ini muncul.

“Gimana ceritanya?”, aku membalas singkat.

Ibu membalas sms dengan menceritakan kronologi kejadian. Sedikit lebih panjang. Kali ini seperti sedang baca koran.

“Ya, pantaslah mogok, Mak. Dari rumah memang minyak nya udah mau habis. Mamaak, mamak”, balasku penuh prihatin.

Aku pun, selalu mengatakan bensin dengan minyak honda. Ya salaam. Contoh Ibu-anak yang kompak.

Ternyata memang bensin nya sudah sedang sakaratul maut sejak di rumah. Nyaris syahid. Tapi ibu tetap yakin dengan rencananya untuk mengisi bensin selepas mengantar adikku ke sekolah. Walhasil, ternyata bensin bukanlah teman yang cocok untuk diajak kompromi. Tepat di depan lampu merah, sepeda motor nya benar-benar berhenti.

“Jadi mamak dorong lah hondanya ya?”, tanyaku. *tu kan Honda lagi!

Ya, akhirnya ibu terpaksa mendorong motornya hingga ke depan pendopo Bireuen. Untuk sekedar melepas lelah. Akhirnya Ibu memanggil RBT (sepupunya tukang ojek) untuk dimintai tolong membelikan bensin. Dalam jeda menunggu RBT, ternyata datang bapak-bapak yang murah hatinya mengantarkan bensin untuk ibu.

“Alhamdulillah, di zaman sekarang masih ada yang peduli seperti bapak ini. Semoga Allah melancarkan rezeki bapak ini”, demikian sms penutup dari ibu berikut dengan peng-aamiin-an dariku.

Semoga kisah si bapak yang baik hati bisa menjadi pembelajaran bagi kita untuk menjadi manusia yang senantiasa mempermudah urusan dan membantu kesulitan orang lain.

Oiya hampir lupa dengan si adek. “Gimana ujian matematikanya?”, aku meng-sms-inya selepas maghrib. “Insya Allah bisa jawab tadi”, balasnya.

Insya allah bisa jawab? Aku sedikit bingung. Maksudnya apa? Akhirnya aku sms lagi. “Berapa soal semuanya? Berapa soal yang gak bisa jawab?”, ngotot bertanya.

“40 soal semuanya, 4 soal yang gak bisa”, balasnya tidak kalah singkat.

Alhamdulillah. Meskipun tidak dapat nilai sempurna, paling tidak, nilainya memuaskan. Insya Allah. Padahal belajarnya lewat sms-an aja dengan kakaknya ini. Semoga nanti ketika menjelang UN, aku bisa balik ke kampung halaman untuk mengajarinya matematika. UN sudah dekat. Semoga aku bisa membantunya. Oh iya, adikku ini masih kelas 6 SD lho. Masih imut-imut. Hihihi..

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaii wasallam bersabda: “Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hambaNya selama hambaNya itu suka menolong saudaranya”. (HR. Muslim) Lihat juga Kumpulan Hadits Arba’in An-Nawawi hadits ke-36).

“Ya Rasulullah, siapakah manusia yang paling dicintai Allah dan apakah perbuatan yang paling dicintai oleh Allah?” Rasulullah Saw. menjawab, “Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain. Sedangkan perbuatan yang paling dicintai Allah adalah memberikan kegembiraan kepada orang lain atau menghapuskan kesusahan orang lain, atau melunasi hutang orang yang tidak mampu untuk membayarnya, atau memberi makan kepada mereka yang sedang kelaparan. Dan jika seseorang itu berjalan untuk menolong orang yang sedang kesusahan itu lebih aku sukai daripada beri’tikaf di masjidku ini selama satu bulan,” (HR. Thabrani).

19 Desember 2014


Catatan Hati Seorang Sarjana

“Mau jadi apa kamu?”, Ayah menaikkan volume suaranya, “Jika kerjaanmu selalu tidur tengah malam, bangun kesiangan. Lihat si Afdhal, anaknya Pak Rahmat, sudah jadi anak gedongan dia sekarang, punya mobil mewah pula. Lha, kamu?”, Ayah menghentikan ucapannya. Takut-takut salah ucap. Sementara ibu, jengah dan hanya mengelus-ngelus dada, terlihat kelelahan. Saban hari seisi rumah ribut hanya karena persoalan aku yang sampai saat ini masih menjadi pengangguran.

Ya, pengangguran. Label yang melekat bagi seorang sarjana pendidikan seperti aku. Dari segi akademik, sebenarnya aku termasuk mahasiswa yang cukup pintar dan jarang mendapatkan nilai di bawah standar. Itu yang aku tau dari teman-teman seperjuanganku. Terbukti dengan hasil kredit semesterku yang selalu melewati batas 3,5. Predikat cumlaude pun ku raih. Ayah dan ibu begitu bangga melihatku memakai baju toga saat itu. Buliran bening menghinggapi sudut mata ayah. Memang, ayah yang begitu menggebu-gebu menyarankan ku untuk meneruskan studi di fakultas pendidikan. Menyambung cita-citanya menjadi guru yang tidak kesampaian. Sementara ibu, ibu adalah sosok wanita yang selalu mendukung setiap pilihan yang aku ambil. Kebahagiaanku, kebahagiaannya pula.

Seperti kebanyakan ibu-ibu lainnya, aku pun diperlakukan spesial oleh ibu. Tidak hanya ibu. Kedatanganku balik ke kampung, disambut spesial oleh sanak saudara dan kerabat. Senang sekali rasanya, saat tiba di kampung, ayah begitu bersemangat menampakkan ijazahku pada saudara-saudara yang berkunjung ke rumah. Maklum, dari kampung tempatku dibesarkan, akulah sarjana pertama. Tak heran, penduduk kampung begitu mengelu-elukan namaku. Bak superstar yang masuk ke kampung. Namaku pun tersiar hingga ke kampung sebelah. Sehari setelah diwisuda, seperti kebanyakan orang, aku pun ditanyai, “Sudah dapat tawaran kerja dimana? Sudah daftar CPNS belum?”

Aku bukan tipe orang yang suka berbasa-basi. Jadi ku jawab saja sekenanya. Hari pertama pasca penobatanku sebagai sarjana, ku lalui dengan santai. “Ah, akhirnya aku terbebas dari penjara pendidikan itu!”, pekikku dalam hati.

Sebulan pertama di kampung kuhabisi untuk bermain dengan sepupu-sepupuku. Mengujungi sanak saudara yang telah lama tak bertegur sapa. Perbincangan semakin hangat manakala ayah ikut mendominasi perbincangan. Dan, bisa ditebak, ayah kembali mengagung-agungkanku. Oh, indahnya dunia.


Anak mana yang tak terharu manakala hasil kerja kerasnya bisa menaikkan harkat dan martabat keluarga. Keluargaku pun kena imbas tenarnya. Menjadi perbincangan dalam kalangan ibu-ibu. Terlebih saat membeli sayur-sayur pada pedagang keliling. 

Pejuang Subuh

Ada yang hadir untuk dikenang. Ada yang hadir untuk melengkapi hidup. Ada yang hadir untuk menjadi teman berbincang. Ada pula yang hadir hanya sekedar hadir, kemudian dilupakan.

Demikian hidup. Kita cukup memilih ingin hadir sebagai apa, dan ingin dikenang seperti apa. Jikalau boleh, maka tidak ada yang memilih untuk menjalani hidup yang kemudian dilupakan.

Sebut saja namanya Somat. Kini telah memiliki tiga anak dari seorang istri dari kampung kelahirannya. Masa mudanya dihabiskan seperti laki-laki pada umumnya. Bermain bola di lapangan, main hujan di sawah, sekolah, dan mengaji. Tidak ada yang begitu spesial dari diri Somat. Pun, ia bukan tipe laki-laki yang digandrungi para wanita. Terbukti, seumur hidup, ia tidak pernah terlihat dekat dengan seorang wanita, terlebih pacaran.

Santun bahasanya, bijak kata-katanya, membuat siapapun yang berbincang dengannya akan betah berlama-lama. Siapa sangka pribadi yang sederhana ini begitu dikenang oleh seorang ibu kost, tempat dulu ia pernah menjadi anak kostnya.

Terkenang oleh ibu kost suatu ketika, “Setiap subuh Somat selalu berjalan kaki menuju meunasah dan mengumandangkan adzan disana.”

Ternyata ini rahasianya. Jarak meunasah dan kost-an Somat tidaklah jauh. Maka ia bisa menuju kesana hanya dengan bermodalkan sepasang sandal jepit. Setiap subuh ia menghidupkan meunasah dengan lantunan suara adzannya yang begitu syahdu.

Tak banyak anak muda yang dekat dengan mesjid dan bersedia mengumandangkan adzan tiap subuh. Karena itu sama artinya, setiap subuh ia harus rela dibalut dinginnya suasana subuh dan melangkahkan kaki menuju meunasah. Namun, Somat bisa menjalani rutinitas ini dengan senang hati. Setiap subuh dia mengemban amanah untuk menghidupkan meunasah. Satu hal sederhana yang dilakukan namun memberi efek yang luar biasa bagi peradaban.  Bayangkan, jika seluruh pemuda dalam satu kampung begitu ringan langkahnya menuju mesjid, meunasah, atau mushalla, maka semakin iri dan takutlah kaum Yahudi. Konon katanya, kaum Yahudi sedang gencar-gencarnya mencanangkan program agar pemuda muslim jauh dari mesjid dan alquran.

Tak heran pula, banyak pemuda yang kini telah menjadi bapak-bapak yang selalu menanyakan kabar Somat manakala suatu ketika bersilaturrahmi ke rumah ibu kost. Mereka rindu akan masa-masa berjuang bangun di pagi subuh. Menjadi pejuang subuh untuk menghidupkan meunasah kompleks tempat mereka dulu menetap sebagai mahasiswa.


Tak perlu melakukan hal besar untuk mengubah dunia. Cukup mulai dari diri sendiri untuk melakukan hal sederhana, namun berefek besar. Dengan sendirinya, dunia akan mengikutimu. 

Catatan Suka Duka '7 Huruf'

Bagi sebagian orang, menjadi mahasiswa tingkat akhir yang tidak kunjung wisuda menjadi momok tersendiri. Tak jarang, pertanyaan seperti, sudah bab berapa? Kapan sidang? Kapan wisuda? Menjadi pertanyaan yang paling sensitif dan tak layak untuk diangkat ke publik. Ada hal-hal yang cukup dijelaskan dengan isyarat senyuman. Karena kita terlahir dengan perbedaan dan rahasia masing-masing.

Namun jangan salah, sebenarnya pertanyaan itu pun bisa menjadi motivasi agar kita tidak terlalu santai dengan zona nyaman. Bahkan ada seorang teman yang telah wisuda dan nikah menyampaikan guyonan seperti ini:
Teman: Sepertinya kamu harus dimotivasi untuk nikah biar cepat siap skripsinya.
Aku: Aduh, aku masih polos gini
Teman: Kamu kira aku udah bermotif?

Entahlah itu bagian dari skenario memotivasi atau bukan. Well yeah, mengerjakan skripsi membutuhkan motivasi dan dukungan yang besar memang. Percuma dikerjakan giat seharian, namun liburrnya sebulan. *Hihi pengalaman pribadi

Prof. Rando Kim dari Seoul University dalam bukunya yang berjudul “Time of Your Life” mengatakan setiap bunga akan mekar pada musimnya. Mungkin saat ini musimmu belum tiba. Ada bunga yang kuncupnya sedikit lebih lama mekar. Namun, pada saat mekar, ia akan mekar dengan sangat indah seperti bebungaan lainnya. Jemputlah musimmu!

Setiap bunga akan mekar pada waktunya. Kita memiliki masa keemasan masing-masing. So, jangan pernah berpikir kalau kita ketinggalan dengan teman-teman yang lain. Pun, definisi sukses bisa dipandang dalam berbagai sisi. Relatif. Tapi, perlu dicatat pula, jika tidak dijemput, maka kesuksesan pun enggan menghampiri. Memiliki masa mekar, bukan berarti kita hanya duduk menunggu. Sembari menunggu, mari diisi dengan kegiatan bermanfaat dan menyibukkan diri dengan terus memperbaiki diri. Serta berkumpullah dengan orang-orang yang memiliki energi positif. Tidak melulu mengeluhkan pahitnya hidup.

Kenapa engkau mempedulikan gonggongan anjing, tapi justru mengacuhkan nyanyian merpati? Kenapa yang kau lihat hanya pekatnya malam, sedangkan indahnya bulan kau abaikan? Kenapa engkau hanya mengadukan sakitnya sengatan lebah dan melupakan manisnya madu?

Melulu mengeluhkan skripsi tidak akan menyelesaikan masalah. Terlebih menyalahkan dosen yang sibuk. Sejatinya, tidak ada dosen yang sibuk. Kita lah yang menyibukkan diri dengan sibuk mengatakan dosennya sibuk. Terlena dengan aktivitas yang boleh dikatakan tidak bermanfaat. *tamparan keras buat diri sendiri sebenarnya

Tidak perlu menjelaskan apa alasan keterlambatan kita menyelesaikan skripsi. Karena ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Pun, mengerjakan skripsi juga adalah pilihan. Skripsi sekedar formalitas untuk mendapatkan ijazah, ataukah skripsi sebagai sarana pengembangan akademik, yang dengannya kita akan terbiasa melakukan hal-hal yang dianggap kaku, menguras air mata, serta mengikis dompet.




Jumat, 21 November 2014

Di Persimpangan

“Mari berdamai dengan hati. Karena ianya punya hak untuk sejenak berelaksasi”, kataku.

“Hah, Kau bilang apa?”, katamu dengan suara meledak. Membuat nyaliku ciut. “Omong kosong! Kau memang selalu menggebu sesaat. Meledak-ledak di awal. Sumbumu pun bahkan belum terbakar sempurna.” 

Sia-sia semua penjelasan yang telah tertata rapi. Kau tak mengerti. Takkan mengerti. Sejak awal aku telah salah melangkah. Memberi penjelasan hanya akan memperpanjang rentetan “sidang”.

“Kau bilang, kau akan mengikuti semua kataku. Kau ingat itu, kan? Dengar, Kau telah mengawalinya dengan jaya. Posisimu aman terkendali. Namun, apa yang ada di pikiranmu?”, katamu dengan wewangi kebencian dan raut wajah masam.

Hening malam kian menemani. Menebarkan aroma bangkai tak terperi.  Busuk. Sebusuk kalimatmu yang menusuk. 

“Langkahmu terhenti, bahkan sebelum mencapai finish. Terlalu lama berdiam di tempat. Kau kehilangan kendali. Kehilangan penunjuk arah. Kehilangan tujuan. Kaaaau… Aaaargh!!”, kau buru-buru mengakhiri kalimat sebelum kata-kata makian meluncur deras tak tertahankan. 

Aku tak begitu jelas merekam semua kalimat yang kau utarakan. Karena otakku sedang menjelajah masa-masa jaya yang kau sebutkan. Apa? Jaya? Kau sebut itu jaya? Bagiku, itu tak lebih hanya sekedar maya. Kamuflase yang kau ciptakan sebagai penghibur hati. 

Bagaimana bisa aku meluruskan ranting yang bengkok? Memaksakan hanya akan membuatnya patah. 

Diam menyergap. Kau kehabisan kata-kata. Aku? Sejak kau mengambil alih pembicaraan, maka itu artinya, tidak ada waktu bagiku untuk menyela. Karena katamu, kau memberiku waktu. Kau bersedia mendengarkan terlebih dahulu. Tapi na’as bagiku, hanya satu kalimat, kau langsung merebut setir. Ini lah bukti, kemarahan sesaat tak berbanding lurus dengan logika. 

Aku hanya bisa memandangi kegusaranmu. Gurat kecewa jelas terlukis di wajah yang kini telah mengeriput. Tak tahan, kau akhirnya diam-diam menyeka lajur bening yang melintas di kedua pipimu. Gambaran itu tertangkap oleh kedua mataku yang hanya bisa duduk menatapmu dari “kursi pesakitan”. 

Ada perasaan sesak menggelayut dan menyentuh titik sensitif nuraniku yang kebal dengan suara-suara sumbang. Seumur-umur, aku belum pernah melihat kau menyeka kedua matamu. Kau selalu tampak kuat di hadapanku. Di hadapan mereka. Terlihat riang, meski terkadang di saat sepi, kau terlihat murung dan termenung. Fokusmu hanya satu. Foto yang selalu menghiasi dompetmu. Sosok yang mengantarmu memutar kembali memori kenyataan pahit yang harus kau terima saat aku masih mengenakan seragam merah putih. Sosok yang membuatmu merasa begitu spesial. Sosok yang bersamanya kau mengikat janji suci.

Kau kembali menyeka sudut matamu untuk kedua kalinya. Keheningan yang kau ciptakan membuatku sakit. Kau tak lagi bersuara keras. Hanya isak demi isak yang begitu kentara terdengar beriringan dengan suara detak jarum jam. Mendengarmu berteriak-teriak memang menyakitkan. Tapi melihatmu terduduk lemas tak berdaya jauh lebih menyakitkan dari pada hanya sekedar makian yang kau ucapkan. Meski kau selalu menghindar dari sumpah serapah itu.

Meski samar-samar, tapi terdengar jelas saat kau mengatakan aku berhenti bahkan sebelum mencapai garis finish. Terdengar kabur. Tapi aku mengerti maksudmu. Bahkan aku sendiri tak paham dengan apa yang sedang berkecamuk dalam diri. Aku tak lagi bersemangat seperti katamu, aku hanya membakar ujung sumbu dan mematikan nya sendiri sebelum sumbu itu menjalar dan membakar habis dirinya.

Resah. Namun aku sendiri pun tak mampu mendefinisikan resah yang ku rasa. Ibarat kata, hidup segan mati tak mau. Begitulah perumpamaan hidup yang sedang ku jalani. 

Kau perlahan bangkit meraih sesuatu. Melangkah lemah ke arahku. Aku tak kuasa bertatapan dengan wajahmu yang dipenuhi air muka kesedihan. Maka kutundukkan wajahku dalam-dalam. Sambil merapal doa semoga kau tidak kembali menghakimiku. “Ya Tuhan, ampuni aku, tolong akhiri segera malam panjang ini,…”, ingin ku lanjutkan rapalan lain, namun segera terhenti saat kau menyodorkan sesuatu.

“Ini, sudah berapa lama kau tidak menyentuhnya?”, kau bertanya dengan nada yang lebih teratur. Aku mendongak. Air mukamu kini jauh lebih menenangkan.

Aku mendapatimu kembali sebagai pemimpin keluarga sekaligus ayah. “Pergilah berwudhu dan menghadap Sang Pemilik Rencana. Benamkan wajah dan memintalah kepadanya agar kau bisa kembali menjalani kehidupanmu yang normal. Tidak seperti zombie yang menyusahkan”, katamu dengan sedikit menyunggingkan senyum. 

Aku tahu, meski kau mudah meledak-ledak, kau tetaplah Ayah yang selalu aku banggakan. Pejuang yang selalu ku kagumi. Artis yang selalu bisa berperan sebagai ibu saat aku butuhkan.

Tak butuh berlama-lama, aku bangkit menuju peraduan. Membenamkan muka menyesali kehidupan yang telah aku sia-siakan. Teramat sesal karena khilaf melupakan sosok ayah yang menaruh harapan besar untuk keberhasilanku. Besar harapannya, paling tidak saat ia pergi, aku sudah mampu hidup mandiri.

Ku dekap lamat-lamat mushaf yang berdebu itu. Lama sekali aku tak menyentuh hadiah pemberian ibu saat aku berhasil menjuarai lomba cerdas cermat tingkat SD. Meski saat itu, aku tak mengerti mengapa ibu menghadiahkan barang ini, di saat teman-temanku yang lain dihadiahkan mainan seperti mobil, pesawat, dan robot. Aku tak banyak bertanya karena aku terlampau senang menerima hadiah.

(Bersambung kapan ingin disambung)

Sabtu, 08 November 2014

S.Pd Yang Gak Bikin Pede

Rembulan enggan tersenyum. Dihiasi awan kelabu yang turut mewakili kedukaan dan lara. Rintik hujan mulai menggenangi kubangan tempat nyamuk beranak pinak. Dedaunan kian menari melambai-lambai diterpa angin. Hujan semakin menggila. Aku buru-buru menutup jendela kamar. Kaca jendela seketika menguap, tanda embun sedang mempertontonkan aksinya. Samar-samar aku pandangi dedaunan dan kelopak bunga yang baru akan bersemi seketika luruh. Jatuh. Terkulai lemah tersapu debu. Aku terpaku menyaksikan kehidupan yang sejatinya baru saja akan dimulai. Pandanganku tak lepas dari dedaunan dan kelopak malang itu.

Aku hanya menatap dedaunan itu dan merasa iba. Hening. Aku kembali melangkah malas menuju tempat tidur. Kuhidupkan murattal untuk menemani tidur. Jarum pendek telah bertengger di angka 1. Album murattal telah habis terputar. Sementara kodok di luaran sana masih asyik menyanyikan lagunya. Apa yang terjadi? Aku tidak bisa terlelap. Lelap yang kurindukan sejak terakhir aku diwisuda.

Pikiranku menyesak. Menembus ruang dan lorong waktu. Kembali teringat memori indah satu tahun silam.

***

“Cepatlah, Nak. Nanti kau bisa terlambat.”

Ayah tak sabaran mendampingiku di hari wisuda. Tak heran, sebagai anak pertama yang akan diwisuda, aku menjelma menjadi selebriti keluarga. Mendongkrak pamor ayah yang hanya sebagai pekerja serabutan. Sementara ibu, ibuku sudah lama menghadap ilahi rabbi. Sejak melahirkan adik perempuanku. Kehabisan banyak darah katanya. Adik perempuanku sangat menggemaskan. Ditambah dengan rambut ikal dan pipi chubbinya. Aku geram dan sesekali mencubit nakal pipinya. Di ruangan lain, ayah tengah terisak menangisi kepergian ibu.

“Gimana penampilan ayah?”. Boro-boro melihat penampilanku, ayah malah sibuk merapikan rambut klimisnya. Dengan setelan baju batik dan sepatu kilatnya, ayah tak kalah mentereng dengan penampilanku yang mengenakan jas alakadar bin apa adanya.

“Yaaaah, ayah. Aku yang mau diwisuda, lha ayah yang repot-repot dengan penampilan.” Ayah hanya senyum-senyum. Masa bodoh dengan ucapanku. Ayah kembali menyisiri rambutnya. Aku hanya bisa menggeleng-geleng kepala dan menarik napas dalam-dalam.

***

Adakah hal lain yang lebih menakutkan daripada hantu PNS? Batinku kesal. Ya, sejak saat itu aku mulai menyebut PNS dengan sebutan hantu. Tiap malam selalu menggelayut di sudut kamar. Menghiasi dinding-dinding kamar yang ku penuhi dengan poster-poster pemain Real Madrid kesayangan. Bisa kau bayangkan, baju bola dan sepatu olahraga Cristiano Ronaldo berubah menjadi seragam ala PNS. Benar-benar buruk. Bahkan lebih buruk dari yang aku bayangkan jika suatu hari Ronaldo memutuskan gantung sepatu. Aku menarik napas dalam-dalam dan kembali menghempaskan diri di atas tikar yang menjadi alas tidurku selama ini.

Sejak aku telah ditetapkan sebagai sarjana, ayah mulai sibuk menanyakan tentang persiapanku menuju tes CPNS. Ini membuatku sesak.

“Bagaimana? Apa kau telah mendengar kabar mengenai tes CPNS?”, tanya ayah seraya mengepulkan asap rokoknya.

Demikian percakapan awal kami pagi itu. Aku yang tengah menyeruput kopi, menghentikan seduhanku. Lantas menggeleng tanpa suara. Bukannya aku belum mendengar kabar itu, hanya saja aku tak pernah berkeinginan untuk menjadi PNS, yang katanya pilihan sejuta umat.

“Bagaimana bisa kamu belum mendengar kabar yang santer dibicarakan oleh anak muda seusiamu?”, tanya ayah dengan suara yang sedikit ditinggikan. Melihat alis mata ayah yang demikian runcing, aku bergeming. Sedikit bergetar tak tertahankan. Sebegitu besarkah keinginan ayah agar aku menjadi PNS. Sedangkan aku? Tak sedikit pun terlintas untuk menjadi PNS pasca menjadi sarjana. Ah, aku menghela napas sebelum mengambil alih pembicaraan. 

“Ayah, ayah sudah makan? Sebentar Afdhal belikan nasi bungkus untuk ayah.”

Dhuuaaarr. Menyebalkan. Niatnya ingin meyakini ayah bahwa menjadi PNS bukanlah tujuanku. Aku bisa menjadi apa saja asal tidak PNS. Sejak kecil aku terbiasa memilih jalan hidupku sendiri. Begitu pun untuk yang satu ini. Tapi, apa yang aku lakukan? Bukannya mengambil alih pembicaraan, aku malah menanyainya sudah makan atau belum. Bukannya memberi pencerahan ala Mario Sungguh, aku malah menawarinya nasi bungkus. Apa-apaan ini. Sial. Tiba-tiba aku mengutuki diri sendiri. Berlalu meninggalkan ayah tanpa mendengar jawabannya.

Saban hari tempat tongkronganku selain rumah adalah warung kopi wak Jali. Tidak ada yang spesial dari warung kopi ini. Hanya warung kopi sederhana yang ramah alam. Propertinya terbuat dari sentuhan alam, kayu dan atapnya berupa daun rumbia. Hanya saja, disini bisa menjadi ruang tempatku bernafas lega. Kenyataanya, aku lari dari kehidupan. Ingin menjadi reporter, tapi lamaranku ditolak. Minim pengalaman, ditambah ijazahku yang lulusan Sarjana Pendidikan.

“Kamu ini, wong kamu lulusan sarjana pendidikan, mau jadi reporter segala, gak nyambung toh nduk.”

Aku tak kuasa membantah. Ayah berharap besar dengan ijazah ini, aku bisa mendaftar tes CPNS. Tapi aku, lagi-lagi tak kuasa menahan hasratku untuk menjadi reporter. Bukan PNS.

Langkahku kembali gontai. Saat-saat krusial seperti ini, jika bukan ke warung kopi, maka aku akan mengurung diri di kamar untuk kemudian membenamkan diri di bawah bantal. Menafakuri jalan hidup yang tak kunjung berpihak padaku.

Terdengar muadzin tengah mengumandangkan adzan, tanda aku harus segera melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslim. Namun, sekali lagi, entah setan mana, selalu saja berhasil menghasutku untuk menghentikan gerakku menghadap sang pemilik rencana.

“Ah, 15 menit lagi saja salatnya”, well, kembali aku menjadi terhasut. Jujur saja, aku benci kehidupanku yang seperti ini. Kehidupan statis yang tidak bermanfaat.

“Afdhal, sudah salat, Nak? Salat dulu sana. Jika kamu menunda-nunda salat, maka jangan heran jika Allah juga menomorduakan dan menunda-nunda permintaanmu.”

Jleb. Perkataan ayah yang selalu mengingatkan aku untuk salat kali ini benar-benar membuat pikiranku bergerak cepat. Instingku bermain. Benar kata ayah. Selama ini aku selalu menunda-nunda kewajiban yang satu ini. Mungkin karena itu aku selalu gagal ketika wawancara menjadi reporter. Selain tidak mendapat ridha orang tua. Aku pun tidak mendapat berkat dari Allah.

“Baik, Ayah.”

Jika ayah sudah membawa-bawa nama Allah dan ibu, aku tidak mampu berbicara banyak. Agaknya, ayah tau rahasia membungkam mulutku.

“Mari kita salat berjama’ah. Kamu yang jadi imam kali ini”, perintah Ayah. 

“Siap, Ayah”, jawab Afdhal mantap.

Tak dapat dihindari, sepertinya aku harus mengikuti kata ayah. Ikut tes CPNS. Pun tidak lulus, baru aku akan mengikuti keinginanku, menjadi reporter. Demikian kesepakatan aku dan ayah selepas bermusyawarah panjang. Karena musyawarah, aku jadi jarang marah-marah. *Loh

TAMAT
Selamat malam Indonesia
Cling.. *menghilang

*Sebuah tulisan yang terinspirasi dari seorang sahabat dengan judul yang asal-asalan.

Senin, 03 November 2014

Hujan Part II

Dalam sesaat, gue sempat ngerasa egois karena hujan beberapa hari ini. You know what? Kerjaan gue cuma bisa ngeluh, ngeluh, dan ngeluh.

Hujan bikin suasana hati dan badan guwe ikut-ikutan mati karier. Sabtu dan Minggu rencananya gue mau nyelesein proposal dan beberapa agenda penting yang udah gue masukin ke dalam buku agenda gue. Tapi hujan kali ini bikin gue malas semalas-malasnya. Gue cuma bisa ngeluh dalam hati. Mengeluhkan cucian yang tidak kunjung kering, mengeluhkan jalanan yang becek. Kasihan motor gue yang baru didoorsmeer beberapa hari lalu.

Gue harus bawa motor dengan pelan-pelan banget nyaris mencapai 0 km/jam saat melewati jalanan yang berlobang. Demi apa? yaa demi motor gue agar tidak ter'make-up' kembali lah. Gue berat hati motor gue terjiprat air dari kubangan itu. Gue ngerasa rugi aja gitu kalo harus mendoorsmeer ulang motor gue. *beda tipis antara hemat dan pelit

Belum lagi dengan agenda gue yang harus keluar rumah. Ngerjain proposal yang konon bisa dikerjain di rumah aja gue ogah. Dalam artian, banyak mikir-mikirnya. Apalagi agenda yang harus outdoor. Cailah. Gaya kali gue. Biasanya gue nulis sesuatu pakek sapaan aku atau saya. Tapi karena kali ini suasana hati gue sedang bagus, jadinya gue pengen pakek gue aja. No protest! No protest! *Sambil runcingin alis mata dan goyang-goyangin jari telunjuk

Hmm, salah satu agenda wajib gue yaitu ngajar di sebuah bimbel ternama. Phibeta. Cari tau kalo pada belum tau. Karena gue harus ngajar, gue ngerasa malas banget keluar rumah kudu pakek "mobil" segala. Eh, mobil? Keren banget gue. Tenang. Itu mobil maksudnya mantel. Atau dalam bahasa Jepangnya biasanya mereka sering sebutnya jas hujan geto. Kalo gue lebih seneng nyebutnya mobil. Lebih menggembirakan hati.

Tapi apalah daya, gue tetep, kudu, wajib menjalankan kewajiban gue. Sebisa mungkin gue harus melawan gaya gravitasi bumi yang bersemayam di tempat tidur. Hujan-hujan gini paling asik buat malas-malasan kalo jadi gue. Tidur, makan, pantengin laptop, sambil sesekali melirik ke luar jendela dan mengeluarkan kalimat stagnan yang becokol dalam hati, “Kapan hujan ini akan berhenti?”. Gue seneng berbicara sendiri kalo udah gini.

Dulunya gue suka hujan. Sekarang suka juga sih. Tapi bedanya, dulu gue bisa melakukan banyak hal menyenangkan. Dulu itu kira-kira 15 tahun yang lalu. Gue bisa mandi hujan sambil bershampo ria ala model shampo di bawah geraian hujan. Tapi sekarang, gue malu melakukan hal bodoh itu. Hmm, sekarang aja bilangnya bodoh. Dulu? Ngesot-ngesot minta izin mandi hujan. hihihi *nyengir bego'

Tadinya gue ke kampus karena sebuah janji. Karena janji, gue bela-belain pakek "mobil". Karena janji, sebenarnya gue belum rela ngeluarin motor gue karena takut kena becek lagi, tapi dengan sedikit terpaksa harus gue keluarin. Karena janji, gue harus lari-larian dengan pakek "mobil" dan helm sampai ke depan pintu sekret himpunan gue di kampus. Karena janji, gue ngerasa jadi model geto gara-gara lari-larian tadi sambil makek "mobil". Mungkin perasaan gue aja kali yak. Gue perasa banget sih. Haft. Karena sebuah janji, gue berasa heroik sendiri pagi ini. Bisa menembus hujan dan mengalahkan gaya gravitasi tadi wak.

Gue menikmati mandi hujan tadi. Karena ada "mobil", gue ngerasa sedikit aman. Paling gak, gue sadar, begitu nyampek rumah gue gak akan basah kuyup. Bermodalkan "mobil", gue gak harus balap-balap karena takut basah. Punya mobil dengan tanda kutip aja udah cukup buat gue senang dan membantu gue, apalagi kalau punya mobil tanpa tanda kutip. Eh?

Banyak kejadian yang tiba-tiba melintas di pikiran gue. Gue jadi teringat masa kecil gue yang melakukan hal bodoh tadi. Namun bukan disitu poinnya. Gue jadi lebih bersyukur dengan kehidupan gue. Gue ngerasa bersalah tadinya suka mengeluhkan hal-hal yang tidak begitu penting.

Lihatlah, betapa ada kejadian yang lebih miris ketimbang hanya mengeluhkan cucian yang tidak kunjung kering. Terlihat kakek tua yang mengamankan jualannya agar tidak terkena hujan. Bisa dibayangkan apa yang dia peroleh selama hujan, lalu jualannya tak kunjung laku.

Anak muda berlarian menuju bangku sekolah. Sungguh mulia niat menuntut ilmu itu. Bahkan, tak memiliki kendaraan pun tak menyurutkan langkah kaki kecil itu melangkah.

Plak! gue berasa tertampar. Gue yang tadi-tadinya malas-malasan disuguhkan pemandangan luar biasa ini.

Belum lagi dengan kabar beberapa daerah di Aceh telah amblas akibat terus diguyur hujan. Banjir di sejumlah titik. Kok bisa-bisanya gue mengeluhkan jemuran di saat lokasi rumah gue masih dalam kondisi aman terkendali.

Memang kita tidak tahu apa rencanaNya. Boleh jadi hujan membawa berkah bagi kita, karena dosen tiba-tiba tidak datang, dan ujian dibatalkan. Berkah karena sebelumnya kita tidak belajar dengan maksimal. Lalu kita bersorak gembira tak tertahankan. Namun di saat yang sama, sebuah keluarga meringis kedinginan karena atap rumah yang bocor. Kontras sekali.

Rasulullah saw telah mengajarkan adab dalam tertawa. Sekedarnya saja. 

Aisyah meriwayatkan, dia berkata, “Tidak pernah sekalipun aku melihat Rasulullah saw ketawa terbahak-bahak sehingga kelihatan kerongkongannya. Akan tetapi, ketawa baginda adalah dengan tersenyum.” ( HR. Al-Bukhari no. 8217)

Bagi sebagian kita, mungkin tertawa lepas akan menenangkan hati. Berasa beban yang buat urat saraf menegang ngacir gitu aja. Gue juga gitu. Tapi tidak merugi jika kita mencoba meneladani Rasul. Mencoba menjadikan hari-hari kita lebih dekat dengan penebar senyum ini melalui kebiasaan-kebiasaan kita.

Sehabis mandi hujan, jadi juga 1 tulisan. Awalnya mau dijadiin status, eeh kepanjangan. Akhirnya ianya gue jadiin note aja deh. 

"Allahummaj'alha rahmatan wa la taj'alha 'adzaban..waghfir lana ya rabbal 'alamin..".
 Ya Allah jadikanlah hujan ini rahmat (kepada kami), dan jangan jadikan hujan ini 'adzab dan ampuni dosa kami..

Rabu, 22 Oktober 2014

Ketika Iqra' Tak Lagi Sebatas Membaca

“Seeeh penulis”, sapa teman kampusku suatu ketika. “Sibuk nulis cerpen ya? Makanya ‘gak siap-siap’. ‘Gak siap-siap’? Apanya? gak perlu dijelaskan lah ya. Perih!

Hanya karena beberapa notes yang aku post kan di jejaring sosial facebook, aku kian menjelma menjadi seorang penulis. Tentu saja hanya di kalangan beberapa teman. Belum, belum. Belum merambah ke dunia penerbitan kok, apalagi ke dunia tarik suara. *eh. Tapi tak mengapa, meskipun terkadang terkesan ulok, aku anggap saja sebagai doa. Semoga memang ie babahnya masen kalau kata orang tua jaman dulu. Hehe..

Akhir-akhir ini aku kian semangat membaca. Apapun itu. surat kabar kah, berita yang sering muncul di facebook kah, novel kah, majalah kah, pokoknya apapun, bahkan tempelan sticker di sepeda motor orang sekalipun. 

Karena kata orang-orang, jika tidak rajin membaca maka tulisan yang kita hasilkan akan seperti sayur tanpa garam. Enak, tapi kurang enak. Sama seperti jika mendapatkan nilai A tapi ada tanda minus di sisi sayap kanannya. Sakitnya tuh disini!

Ada lagi, katanya menulis tanpa membaca sama dengan omong kosong. Apa yang mau ditulis jika jarang membaca. Maka agar tulisan sedikit berisi, aku mencoba untuk rajin membaca meskipun hasil tulisan masih standar gini. Belum layak terbit sebenarnya. Tapi cukup untuk menghibur hati yang sedang dirundung rindu akan kebebasan itu. Ituuuu. Gak usah dijelaskan lagi lah yaaa.. Udah paham semua kan? Hehe..

Terlepas dari keinginan untuk menjadi seorang penulis yang baik, dalam artian, tulisannya tidak hanya menghibur, namun ada manfaat di dalamnya, membaca adalah perintah pertama Allah swt kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan Malaikat Jibril. Iqra’!! udah pada tau semua kan?

Nah, Iqra’! atau Bacalah! Merupakan satu perintah singkat yang memiliki pesan maha dahsyat. Allah menitipkan pesan singkat pada Malaikat Jibril untuk disampaikan kepada seorang yang ummi (tidak pandai baca tulis). “Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Satu hal penting, lagi-lagi don’t judge a book from the cover bermain disini. Buktinya Allah menganugrahkan perintah membaca pada seorang yang ummi ini. 

Namun, tanpa menyelewengkan esensi membaca itu sendiri, alangkah indahnya lagi jika kita bisa membaca sesuatu yang tidak berupa tulisan. ‘Membaca’ keadaan misalnya, ‘membaca’ situasi, ‘membaca’ lingkungan, hingga ‘membaca’ raut wajah dan ‘membaca’ pikiran. *Loh..

Alam raya bak perpustakaan Ilahi. Yakinlah, akan ada ilmu di setiap titiknya bagi mereka yang berpikir.

Sejatinya membaca akan menambah wawasan. Tak berguna saat ini apa yang kita baca, tidak menutup kemungkinan akan berguna suatu saat nanti. Takkan lah merugi orang-orang yang membaca.

Terlebih jika membaca tidak hanya diartikan layaknya memperhatikan dan memahami untaian kalimat. Rasulullah saw telah menerapkannya pada awal mula penyebaran agama Islam. Beliau tak lantas menyebarkan Islam secara terang-terangan karena khawatir akan mudharatnya. Perlahan, namun pasti, rasulullah saw mulai menyebarkan Islam secara sembunyi-sembunyi. Apakah harus pintar membaca dalam artian sebenarnya pada kasus ini? Tentu tidak sama sekali. Kelihaian rasulullah saw dalam ‘membaca’ lingkungan, memahami kondisi, bersahabat dengan situasi, mampu membuka tirai kegelapan, menyibak belenggu yang bersemayam dalam nurani masyarakat. 

Tidak hanya pandai ‘membaca’, rasulullah saw dengan penuh kesabaran dan keyakinan terus menyebarkan Islam sampai tiba waktu terbaiknya, Islam tak lagi menjadi sesuatu yang asing dan kemudian mulai disebarkan secara terang-terangan. Hingga sampailah Islam pada kita-kita ini.

Mengamati lingkungan sejatinya membuat kita lebih terbuka terhadap sekitar. Melipatgandakan rasa syukur, peduli, pun menjadi ladang amal bagi mereka yang peka.

‘Membaca’, tak kan lah menjadikan kita sebagai generasi tutup mata melihat fenomena jahiliyah kembali mencuat, lantas dibiarkan. Melihat virus ‘tangan di bawah’ kian merebak, lalu dikasihi. Pemandangan buruk kian menghiasi kanvas-kanvas kehidupan, kemudian kita berjalan, berlalu, seolah-olah tidak tahu. Tak jelas, tak tahu ataukah tak mau tahu. Karena toh, itu bukan aku.

‘Membaca’, tak juga menjadikan kita sebagai generasi tutup mulut menyadari sesuatu yang patutnya disuarakan. Masa bodoh, toh aku tidak dapat keuntungan apa-apa. Toh, disampaikan juga tidak berdampak apa-apa. Toh, ada tidaknya itu, kita masih bisa hidup bahagia. Berikut toh-
toh lainnya. Sadarkah kita, karena toh kita itu, kita telah memenjarakan segenap kepentingan ummat. Mau bahagia kok sendiri aje?

Pun, ‘membaca’. takkan pula menjadikan kita sebagai generasi yang tutup telinga manakala kita dipercayakan untuk mendengarkan. Hanya segelintir orang yang dianugerahi kepercayaan untuk mendengarkan. Mari jadikan telinga sebagai ladang pula untuk meraup pahala.

‘Membaca’ sekali lagi menunjukkan eksistensinya. Tak berguna sekarang. Insya allah akan berguna suatu saat nanti. Tak kan lah merugi orang yang pandai ‘membaca’. Perhatikan sekitar. Pahami lingkungan. Peduli sesama. Amati dan peka. Niscaya kita akan menemukan sesuatu di balik ‘membaca’. Karena ‘membaca’ itu sesuatu. Hehe.

Aku ingin menjadi generasi seperti itu. Generasi yang tidak tutup mata, mulut dan telinga. Tidak akan seketika berubah seperti power rangers yang bisa membela kebenaran. Tak pula seperti doraemon yang punya kantong ajaib dan seketika mengabulkan permintaan. Pun, sebenarnya orientasi kita bukan pada pahlawan fiktif itu. Tapi paling tidak, mari menjadi generasi yang mau berusaha!

Ngomong sih enak, apalagi nulis. Hmmmm.. *pasang kuda-kuda 

Rabu, 24 September 2014

Modis Sesuai Syari’at, Kenapa Tidak?

Berbicara tentang wanita, maka berbicara tentang fashion dan style. Anggapan jika tidak mengikuti style, maka dianggap kolot tidak perlu dipertanyakan lagi. Sama seperti anggapan jika laki-laki tidak merokok maka dianggap tidak macho. Seolah merokok telah menjadi gaya terbaru yang patut diimplementasikan dalam kehidupan sosial. Tidak jelas apa landasan yang digunakan sehingga label demikian bisa melekat manakala pelaku tidak mengikuti fashion dan style yang sedang gencar diikuti.

Maraknya fenomena jilboobs yang beredar melalui foto-foto di dunia maya telah banyak menyedot perhatian publik. Jilboobs sendiri merupakan istilah yang digunakan bagi para wanita yang menggunakan jilbab dan pakaian yang “membungkus”. Berpakaian, tapi sejatinya tidak. Saat melihat foto tersebut muncul di beranda jejaring sosial media, seperti facebook, maka titik fokus kita dapat dipastikan hanya berhenti pada satu titik. Titik yang bagi kaum perempuan harusnya menjadi perhiasan yang tidak begitu saja dijajakan dan dinikmati publik.

Fenomena jilboobs yang sebagian besar dilakoni oleh kaum hawa mulai meresahkan masyarakat. Pasalnya, kebiasaan menggunakan jilbab yang tidak syar’i tersebut mau tidak mau telah berhasil memposisikan dirinya sebagai tren baru di kalangan fashionista. Maka, seperti yang dikatakan di awal, jika tidak mengikuti tren, maka bisa dipastikan mendapatkan label kuno, kolot, katro, tidak gaul, dan lain sebagainya. Ditambah lagi dengan aksi ikut-ikutan yang telah menjadi habit bagi remaja itu sendiri. Akibatnya, peran perempuan yang menjalankan dakwah dengan menggunakan jilbab yang syar’i--dalam artian sesuai dengan aturan Islam--tenggelam dengan hadirnya muda mudi yang labil seperti ini.

Pendidikan Agama Merupakan Modal Utama
Apakah Provinsi Aceh yang notabene berlabelkan Serambi Mekkah juga terjangkiti virus jilboobs? Sayangnya, jawabannya adalah ya. Hal inilah yang menjadi salah satu tolak ukur, sudah sejauh manakah implementasi syari’at Islam di bumi Serambi Mekkah. Jangan-jangan selama ini hanya berada di serambinya saja. Tak beranjak dari zona nyaman tersebut.

Miris. Minimnya pengetahuan agama boleh jadi merupakan satu dari banyak faktor penyebabnya. Di samping, penggunaan televisi dan penyalahgunaan sosial media. Hal ini menjadi PR besar bagi kita selaku masyarakat dengan penduduk Muslim terbanyak kedua di Indonesia setelah Sumatra Barat.

Kita kembali pada fenomena jilboobs. Berpakaian, tapi sejatinya tidak. Benarkah wanita yang berpakaian tapi telanjang tidak masuk surga bahkan tidak mencium baunya? Mari kita tilik kembali hadist berikut: “Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Dua golongan dari penghuni neraka yang belum aku temui; suatu kaum yang selalu membawa cemeti bagaikan ekor-ekor sapi, dengannya dia memukuli manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, cenderung tidak taat, berjalan melenggak-lenggok, rambut mereka seperti punuk onta, mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium bau surga padahal bau surga tercium dari jarak sekian“. (HR. Muslim)

Dapat dibayangkan, untuk mencium baunya saja tidak bisa, apalagi memasukinya. Na’udzubillah. Terlebih mudharat yang didapatkan oleh perempuan-perempuan pengguna jilboobs ini. Sudah tak terkirakan berapa banyak foto mereka yang tersebar dan menyeraki dinding para facebooker. Tujuan penulisan ini bukanlah untuk menghakimi ataupun menyalahkan pilihan para perempuan yang fashionholic. Saya perempuan. Barangkali Anda pun perempuan yang memiliki anak perempuan atau cucu perempuan.

Siapa sih perempuan yang tidak suka fashion? Namun perlu digarisbawahi. Fashion syar’i. Memangnya ada? Tentu saja. Allah menyukai segala sesuatu yang indah. Fashion adalah kata lain untuk mengungkapkan keindahan. Bagaimana kita bisa terlihat modis namun tetap berpenampilan syar’i. Pastinya bukan jilboobs solusinya. Kita bisa mensiasati penampilan dengan tetap menggunakan kerudung yang lebar yang dimodifikasi namun tidak melupakan esensinya yang menutupi dada dan pakaian yang longgar.

Syarat Mutlak Pakaian Wanita Muslimah
Ada kecenderungan bagi wanita yang taat menjalankan perintah agama untuk menjadikan rumah sebagai basecamp demi memelihara keselamatan lahiriahnya. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al-Ahzab ayat 33 yang berbunyi: “Dan tetaplah kamu dalam rumahmu.” Ayat ini menjelaskan betapa Allah memuliakan kedudukan wanita dalam Islam. Ibarat berlian yang begitu berharga dan tersembunyi. Namun, ini bukan berarti ajaran Islam seolah menyembunyikan wanita dalam peradaban. Sama sekali tidak. Inilah bentuk kecintaan Allah pada hamba-hambaNya. Untuk itulah Allah mengatur sedemikian banyak aturan agar hamba-hambaNya dapat menjalankan roda kehidupan yang benar sesuai syariat. Jika pun harus keluar rumah untuk suatu kepentingan yang begitu mendesak, maka diperintahkan untuk memakai pakaian syar’i. Paling tidak, memenuhi beberapa poin berikut.

1. Menutupi aurat
Menutupi aurat dalam pengertian benar-benar menutupi sesuai yang disyariatkan, yaitu tidak ketat dan menampakkan lekuk tubuh. Banyak cara memodifikasi pakaian agar terlihat modis, namun tetap syar’i. Apalagi dengan kehidupan yang semakin global dan canggih seperti ini.

2.  Motif dan warnanya tidak mencolok
Alangkah baiknya menggunakan pakaian yang tidak tembus pandang dan warnanya yang tidak mencolok agar tidak mengundang perhatian laki-laki. Demikian Allah telah mengatur aturan berpakaian demi menjaga kehormatan perempuan. Di samping itu, perempuan dilarang memakai pakaian yang terlalu bermewah-mewahan. Karena sejatinya, sesuatu yang berlebih-lebihan pastilah tidak baik.

3. Tidak menyerupai pakaian laki-laki dan kaum kafir
Untuk yang satu ini, jelas Allah telah menerangkan dalam Al-Quran yang bahwa sanya jika kita mengikuti satu kaum, maka kita termasuk ke dalam golongan kaum itu. Rasullullah juga telah menerangkan secara tegas larangan memakai wangi-wangian bagi para wanita, “Siapa saja perempuan yang memakai harum-haruman, maka janganlah ia menghadiri (sholat) ‘Isya (di masjid) bersama kami.” (Shahih riwayat Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i dari Abu Hurairah). Lebih lanjut Rasulullah SAW bersabda “Siapa saja perempuan yang memakai minyak wangi kemudian ia keluar, lalu ia melewati suatu kaum (orang banyak) supaya mereka mendapati (mencium) baunya, maka dia itu adalah perempuan zina/tuna susila.” (Hasan riwayat Ahmad, Nasa’i, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban, Hakim, Ibnu Khuzaimah, dan Thahawi dari Abu Musa).

Allah telah mengatur semuanya untuk memudahkan kita. Lalu, nikmat mana pula yang kita dustakan?

Tulisan ini pernah diposting di http://www.potret-online.com/index.php/news-flash/1384-modis-sesuai-syariat-kenapa-tidak?fb_comment_id=871386656205608_871419982868942#fa921aaa8

Selasa, 23 September 2014

For "The New One"

Mari kita flashback sejenak. Sekitar awal Febuari aku mengenalnya. Tak ada yang spesial untuk saat itu. Hanyalah seorang gadis berkacamata yang lebih tinggi dariku. Usia kami juga tidak terpaut jauh. Kebetulan hari itu adalah jadwal kami untuk ikut kelas pembekalan PPL. Yah, PPL, sebuah kegiatan di luar kampus yang wajib diikuti oleh setiap mahasiswa jurusan pendidikan. Penempatan sekolah yang sama menakdirkan kami untuk bertemu.

Jurusanku adalah Pendidikan Matematika, sementara dia dari Pendidikan Fisika. Jurusan yang saling terpaut. Tapi sayang, tidak begitu dengan hati kami. Hohohoho. Maklum, saat itu kami belum pernah berjumpa sama sekali sebelumnya. Jadi, tidak ada bahasan menarik yang bisa memancing ketertarikan kami untuk mengobrol satu sama lain. Ditambah saat itu, kami sedang serius menyimak dosen yang sedang memberi materi pembekalan.

Singkat cerita, kami pun mulai menginjakkan kaki di sekolah Teuku Nyak Arif Fatih Bilingual School atau yang akrab disapa dengan Fatih Putri. Agaknya biar singkat aja gitu yaa. Disinilah kami mengabdi selama kurang lebih 3 bulan.

Lagi-lagi, di awal pelaksanaan PPL ini, kami jalani dengan kikuk. Tidak banyak haha hihi atau ngobrol dan santai ringan selayaknya perempuan pada umumnya. Kami larut dengan dunia kami sendiri. Bahkan seekor nyamuk yang melintas pun, kalian bisa menangkap suara jeritannya. Gak gak, yang ini lebai.

Oh ya, perkenalkan, kita punya dua member PPL lagi, Resha dan Shirin. Mereka berasal dari prodi yang sama, yaitu Pendidikan Biologi. Mereka tidak satu kelas dengan kami saat pembekalan, jadi kami mulai berkenalannya yaaa pada saat di sekolah Fatih sendiri. Semakin menambah kekikukan ini pemirsah. Fyuh.

Beruntung kami memiliki Shirin, seorang gadis Turkmenistan (bukan Turki yaa, jangan salah2, ntar dia marah, karena Turki dan Turkmenistan berbeda dan lumayan jauh jaraknya). Kenapa beruntung? Karena, menurut hematku, Shirin ini lah yang merubah jurang pemisah diantara kami yang ku sebut “sekat” menjadi sebuah keharmonisan yang kunamai “dekat”. “Sekat” yang menuai “dekat”. Halah.

Meskipun berbeda budaya, bahasa dan kebiasaan, tidak menjadikan Shirin minder dengan kami-kami yang apalah ini. Dia, aku, dan Resa masih kekeuh dengan ke’cool’’an kami. Hahah. Gak gitu juga sih sebenarnya. Intinya, pada masa awal PPL ini, tidak banyak bahan yang bisa menjadi obrolan kami. Gitu yaa.

Baik, mari kita lupakan sejenak soal Resa dan Shirin. Mereka hanya menjadi pendukung cerita kali ini. Untuk Resa dan Shirin, jangan bersedih, akan ada waktu terbaik ku untuk kalian. Mungkin lain waktu akan aku ceritakan “How special you two, guys!” khi khi khi  *cengengesan

Hmm ya, dia itu adalan Dini, the new one yang aku bilang di awal tadi. Sosok nya yang berkacamata, cocok dengan wawasan nya yang global. Banyak hal yang aku ceritakan dan minta pendapatnya. Terkadang kami membahas masalah serius, seperti sirah nabawiyah, eh ujung-ujungnya malah nyangkut ke hal lain yang tidak ada kaitan nya sama sekali. Terlalu banyak ‘eh’ nya. Contoh: “Eh, tadi kan....”, dah gitu nyambung ke ‘eh’ lainnya. “Eh, tau apa...”. Begitu seterusnya. Tapi, itulah poin penting nya. Pembicaraan kami begitu meluas dan tidak terjebak pada satu topik. Kami menikmati saat-saat diskusi itu. Bahkan hingga sekarang.

Karena ini jugalah yang sedikit tidaknya membuat kami nyaman satu sama lain. Saling berdiskusi dan tukar pikiran. Meski lebih banyak curhat.
Awalnya, Dini kelihatan sangat pendiam dan cool abis. Namun, banyak kejadian konyol yang kami lalui selama 7 bulan hubungan kami ini. Bagi Dini, aku orangnya humoris. Tapi bagiku, Dini orangnya serius abis. Dua sifat yang seperti air dan minyak. Sulit disatukan, katanya.
Aku teringat satu dialog fenomenal kami suatu malam. Kebetulan hari itu adalah hari terakhir kami PPL.

Aku    : “kalo udah gak PPL lagi, kita masih sering jumpa gak ya?”

Saat bertanya seperti itu, jujur saja ada perasaan sesak yang menggunung sebelum akhirnya pertanyaan itu meluncur begitu saja. Rasa-rasanya, malam itu akan menjadi malam terakhir kami berjumpa sebelum kami menunaikan tugas dan kewajiban masing-masing sebagai mahasiswa tingkat akhir. Saat aku larut dalam slow motion ini, Dini malah senyum-senyum menanggapi pertanyaanku. Kalian tahu, itu benar-benar menyebalkan.

  Dini    : “Kenapa Helka tanya kek gitu?” (sambil senyum-senyum)

Dini menyadari perubahan raut wajahku yang tidak ingin menjawab pertanyaannya. Kemudian, mari kita simak jawabannya.

“Insya allah kita akan jumpa lagi, Helka. Yang penting kita selalu ngasih kabar aja. Sms-an, seperti biasanya.”

Aku tidak tahan dengan kondisi seperti ini. Jika saja ada jurus menghilang seperti di film bidadari, mungkin sudah ku praktekkan segera. Ah, bidadari, jadi ingat Bombom tiba-tiba. Ada kok yang di film bidadari tu, masak gak ingat. 

Hmm, baiklah, sebenarnya inti dari tulisan ini adalah untuk mengenang sosok Dini yang pernah hadir dalam hidupku. Hari ini, tepat usianya 22 tahun. Usia yang tidak muda lagi ya, Dini. Jadi, jangan lagi lah kita meudawa-dawa siapa yang lebih imut diantara kita berdua yaa. Wkwkwkwk.
Baiklah, di hari spesial Dini, kami cuma mau ngasih 1 puisi yang mungkin bisa menginspirasi Dini. Jangan lihat siapa yang mengatakan, tapi perhatikan baik-baik apa yang disampaikan. Semoga bermanfaat.

Puisi ini ditulis oleh bunda Theresa, seorang Katolik taat dari Calcutta, India, yang terkenal dengan kebaikannya dalam melayani dan merawat orang-orang miskin. Ambil saja semangat dalam berbuat kebaikan yang terkandung dalam puisi ini. Terlepas dari siapa yang mengatakannya.

Selalu antara Engkau dan Tuhan 

Orang kerap kali tidak bernalar, tak logis dan egois
Biar begitu, maafkanlah mereka

Bila engkau jujur dan berterus terang, orang mungkin akan menipumu
Biar begitu, tetaplah jujur dan berterus terang

Bila engkau sukses,engkau akan mendapat teman-teman palsu dan teman-teman sejati
Biar begitu, tetaplah meraih sukses

Apa yang engkau bangun bertahun-tahun, mungkin akan dihancurkan seseorang dalam semalam
Biar begitu, tetaplah membangun

Bila engkau menemukan ketenangan dan kebahagiaan, orang mungkin akan iri hati dan dengki
Biar begitu, tetaplah berbahagia dan temukan kedamaian hati

Kebaikan yang engkau lakukan hari ini, mungkin akan dilupakan orang keesokan harinya
Biar begitu, tetaplah lakukan kebaikan

Ketahuilah, pada akhirnya,
Sesungguhnya semua ini adalah antara engkau dan Tuhan

Tidak pernah antara engkau dan mereka

Perth,

See, tetaplah menebar kebaikan dimanapun dan kapanpun meskipun..........
Semoga kebaikan dan keberkahan selalu bersama Dini dan keluarga. Kami memang tidak pandai dalam mengungkap cinta, tapi semoga tulisan ini bisa menjadi pelipur lara. *tsaaaaahh

For ‘the new one’ yang sudah bersedia menjadikan kami sebagai teman berbagi cerita, selamat ulang tahun ya, Diniya. Semoga kesehatan, umur panjang, keberkahan rezeki, dan kesuksesan selalu menyertai Dini. Aaamiin..
Maaf telat, karena memang ingin jadi yang terakhir yang ngucapin,, hahaha

Salam, 
Helka yang imoeethh