Menceburkan diri dalam
aktivitas membaca cukup membantu mengurangi penatnya aktivitas menyelesaikan
tugas akhir. Maka, eloklah putusan untuk hijrah ke toko buku menjadi pilihan
menyilaukan. Ada beberapa buku yang menjadi incaran hari ini. Meski sebenarnya
buku yang beberapa waktu lalu belumlah khatam.
Sayang, toko bukunya
tutup. Tak ingin berpindah ke lain hati (baca: toko), saya memutuskan untuk
pulang. Mencoba menikmati suasana
sore di jalanan, hingga sampai di jalan Inong Balee, terlihat seorang gadis
berlari-lari tidak karuan. Sontak hal ini menjadi pemandangan asing bagi
beberapa orang di sekitar jalanan, terlebih pandangan saya.
Laju motor sengaja saya
pelankan, mencoba menerka ada gerangan apa. Akal dan hati kali ini tumben
sejalan. Saya memutuskan untuk menoleh ke arahnya saat laju motor kian
mendekat.
Dan hasilnyaaaa..
“Kak...Kak...”, sapa gadis ini
sambil memainkan tangannya, persis seperti penumpang menyetop taksi. Refkles, tangan berhenti
mengegas motor.
“Iya”, jawab saya
sekenanya. Bukan sekena sebenarnya, namun hanya kata itu yang meluncur manakala
melihat mata gadis ini gerimis dan mencoba mengatur pernapasan.
“Kakak mau kemana?”, dia
memulai tanya. “Pulang”. Saya heran kenapa jadi “cool” seperti ini jawaban yang
meluncur deras dari seorang saya.
“Kakak pulang kemana?”.
Terdengar jelas suara ngos-ngosannya. Tak terduga berapa jauh dia lari-lari
tadi. “Boleh saya numpang sampai Asrama Bidikmisi Unsyiah?”, tanyanya sambil
menunjuk arah menuju asrama yang dituju.
Loh loh, ini kenapa
skenarionya jadi seperti ini?
Saya masih trauma dengan
aksi hipnotis tempo lalu. Meski sebenarnya bukan, tapi trauma sepanjang masa
masih belum bisa ditepis.
Dalam pertimbangan, saya
sempat memperhatikan setelan pakaian dan gerak gerik tubuhnya. Tidak ada yang
mencurigakan memang, terlebih di tangannya, ia hanya sedang menggenggam kantong plastik
minuman. Dugaan saya saat itu, Pop Ice. Alhamdulillah bukan pisau atau senjata
tajam lainnya. (Ya elah, masak iya mau hipnotis atau ngerampok
terang-terangan?). Jika pun ia ingin mencelakakan saya, maka tidak mungkin celaka
hanya dengan sekantong plastik minuman Pop Ice.
Maka akhirnya...
“Boleh, Dek”, jawab saya
setelah drama pertimbangan berkecamuk. Tak jelas kekuatan apa yang mendorong
saya menjawab seperti itu. Hanya mencoba mensuplai
energi positif, dan Bismillah, kita berangkat.
Masih dengan isak
tangisnya, saya mencoba mengajukan pertanyaan yang umum ditanyakan saat melihat
adegan seperti ini. “Ada apa, Dek? Kenapa tadi lari-lari?”
Sungguh jawaban yang ia
sampaikan bukanlah jawaban yang ingin saya, Anda, dan kita semua dengar. Jawaban
yang bikin saya tetiba, deg! Diam dalam ketidakpercayaan.
“Sepulang dari kampus”, ia
berusaha menata suaranya yang jelas terdengar bergetar, “tiba-tiba ada Bapak-Bapak entah Abang-Abang
menawarkan diri untuk membonceng saya sampai rumah, tapi dia minta pegang “itu”
saya, Kak”, jawabnya dengan tangis yang semakin isak. Mungkin pikirannya masih
menerawang, mencoba mereka ulang kejadian, hingga tangisnya pecah.
Astaghfirullah. Saya mencoba
membatin berkali-kali. Masih tidak percaya dengan apa yang saya dengar dan adik ini
alami. Wajar jika akhirnya ia melarikan diri dari sosok yang (maaf) menjijikkan
itu.
Selama ini, saya hanya
mendengar berita seperti ini dari teman, surat kabar, atau media televisi.
Hanya saja sekarang saya mendengar langsung dari bakal calon korban.
Pengakuan tadi menjadi
satu hal yang sangat memalukan. Pengakuan selanjutnya lebih mencengangkan,
terutama bagi saya, selaku pihak yang menerima pesan langsung.
“Saya mahasiswa baru dari
Medan. Tau seperti ini, nyesal pilih Aceh!”, akunya masih dengan isak tak
terkendalikan.
Belum sembuh luka
pendengaran saya mendengar pengakuan awal adek ini, telinga saya dipaksa
kembali menderita mendengar pengakuan terakhirnya.
Ingin saya serbu adek ini
dengan “Yang sekarang nolongin adek ini orang Aceh lho”. Agar ia sadar, tak
semua orang Aceh seperti itu. Dan pun kan belum ada kepastian, laki-laki itu
orang Aceh atau bukan. Satu lagi, “kenapa gak kuliah di Medan aja, kan enak
tempat sendiri?”. Namun urung. Itu hanya pertanyaan imajinasi yang dipenuhi
amarah tak terbendung. Bukan saat yang tepat untuk mencari perkara. Pun saya
sadar, kalimat seperti itu hanya akan menimbulkan perpecahan.
Perjalanan yang mungkin
hanya menghabiskan waktu lima menit ini, tidak banyak nasihat yang bisa saya
berikan selaku mahasiswa yang lebih senior di Kota Banda. Hanya beberapa
kalimat stagnan layaknya “Lain kali kalau jalan sendirian, hati-hati. Cari
jalanan yang biasa ramai dilalui orang”.
Sebenarnya jika mau
sedikit berpikiran jernih, tidak hanya di Banda Aceh, dimanapun lokasinya,
kejadian seperti ini akan tetap ada, bahkan mungkin lebih mengerikan. Namun,
saya tidak ingin memaksakan pikiran saya pada adek ini. Tugas saya hanya
mengantar. Tak baik mengajak ngobrol perempuan yang hatinya tengah meringis.
Barangkali setelah beberapa waktu, biarlah teman sekamarnya yang menenangkan dan
dalam kesendiriannya ia merenung. Tugas saya selesai, dan pulang dengan perasaan
yang saya tak mampu mendeskripsikannya.
Kecewa. Jika memang
laki-laki itu orang Aceh, maka betapa bobroknya moral laki-laki Aceh kita.
Parahnya, sang korban bukan orang Aceh. Semakin menambah daftar hitam catatan
negeri kita di samping catatan hitam plintingan ganja. Ah, saya tak habis pikir
jika adek ini menceritakan ke seluruh teman, keluarga dan kenalannya. Malu
sekali jadi orang Aceh rasanya. -_-
Karena khawatir dengan
mudharat tulisan ini, saya tidak berniat menshare tulisan ini, seperti
kebiasaan dulu-dulu, share di facebook. Kali ini hanya untuk menambah jumlah
postingan tahun ini yang sangat menyayat-nyayat mata memandangnya.
Biarlah ini menjadi
rahasia saya, Tuhan, dan Anda, yang mungkin nyasar ke blog dan postingan ini.
Syukur-syukur bisa kita
ambil ibrah darinya.