Pages

Sabtu, 31 Oktober 2015

Mereka Salatnya Gimana?

Pagi menjelang siang tadi saya menjumpai seorang guru di sekolah MTsN M*d** tempat dimana saya merencanakan melakukan penelitian. Tidak ada yang begitu istimewa terkait beberapa diskusi kami. Hanya diskusi ringan seputar bagaimana prosedur penelitian dan alternatif yang akan dipakai jika keadaan menjadi tidak terkendali. Sebab, mengajar itu 'gli-gli meunan' kadang-kadang.

Diskusi perencanaan penelitian tidak berlangsung lama. Karena poin yang saya butuhkan telah cukup. Bisa diperkirakan hanya berlangsung lima belas menit. Biar gak kobong cepat kali pulang, akhirnya pembicaraan beralih ke seputar thesis beliau. Ngomong-ngomong, kami sama-sama tengah berjuang lho. Jadi bisa dibilang, kami sudah sehati dan saling mengerti. Eeeaaa..

Hingga saatnya tiba, beliau tiba-tiba bertanya, saya dulunya PPL dimana. Sempat terbersit di hati saya, pasti ujung-ujungnya nanya prestasi anak didik di sekolah tempat saya mengabdi selama kurang lebih tiga bulan itu. Apa yang membedakan mereka dengan murid di sekolah lain. Biasanya yang suka tanya, penasaran akan hal itu. Sama satu lagi, "Jadi ngajarnya pakai bahasa Inggris?", dengan nada seperempat terkejut.

Well yeah, tenang. Bahasa Inggris saya masih standar untuk anak sekolahan kok. TOEFL saja masih belum lewat-lewat. Masih banyak perjuangan saya ternyata. Kalau kata Afghan, "terlalu sadis caramu".

Hanya-mungkin-Tuhan punya rencana lain untuk saya sehingga saya bisa PPL disana. Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah. Demikian De Masiv pernah menasihati saya secara personal lewat liriknya yang amboi mendayu-dayu, bikin mata kuyu dan sayu. *hah? personal? apa-apaan! dan lagi, jangan tanya apa arti kuyu. Hanya pernah baca dan kayaknya keren aja gitu jika disandingkan dengan kata sayu.

Benar saja. Apa yang terbersit dan bermain di pikiran saya tadi terealisasi. Beliau bertanya, saya menjawab. Namun, pertanyaan anti mainstream yang saya dapat adalah, "Mereka salatnya gimana?". Nanyain salat, Bro.

Demi menjawab pertanyaan tak terduga, tak terencana dan perdana ini, saya terdiam beberapa saat, tapi tidak membisu. *Maksudnya?
Selow lah, selow. Gak usah heboh gitu.

Perasaan saya haru, namun sekaligus serasa diskak mat. Ibarat catur, raja tersudutkan oleh aksi cantik mess (kami bilangnya mess, sebutan untuk ratu/ menteri) dan benteng dari pihak lawan. Maju kena, mundur kena.
Ibu ini penasaran seputar salat mereka. Saya urung bertanya apa yang menyebabkan ibu ini bertanya demikian. Seolah ada sedikit keraguan disana. Tapi, ah sudahlah. Meski dalam perjalanan pulang, terbayang-bayang juga. Ada sesal untuk sebuah pertanyaan yang tidak jadi saya tanyakan itu. Penasaran, meeen.

Makin ngefans lah sama ibu ini. Meski jawaban saya sangat sederhana, namun saya salut untuk pertanyaan yang saya anggap 'cerdas' ini, karena tak terpikirkan oleh penanya yang sudah-sudah. Itu!

Kamis, 01 Oktober 2015

Mahasiswa Baru : Nyesal Pilih Aceh!

Menceburkan diri dalam aktivitas membaca cukup membantu mengurangi penatnya aktivitas menyelesaikan tugas akhir. Maka, eloklah putusan untuk hijrah ke toko buku menjadi pilihan menyilaukan. Ada beberapa buku yang menjadi incaran hari ini. Meski sebenarnya buku yang beberapa waktu lalu belumlah khatam.

Sayang, toko bukunya tutup. Tak ingin berpindah ke lain hati (baca: toko), saya memutuskan untuk pulang. Mencoba menikmati suasana sore di jalanan, hingga sampai di jalan Inong Balee, terlihat seorang gadis berlari-lari tidak karuan. Sontak hal ini menjadi pemandangan asing bagi beberapa orang di sekitar jalanan, terlebih pandangan saya.

Laju motor sengaja saya pelankan, mencoba menerka ada gerangan apa. Akal dan hati kali ini tumben sejalan. Saya memutuskan untuk menoleh ke arahnya saat laju motor kian mendekat.

Dan hasilnyaaaa..

“Kak...Kak...”, sapa gadis ini sambil memainkan tangannya, persis seperti penumpang menyetop taksi. Refkles, tangan berhenti mengegas motor.

“Iya”, jawab saya sekenanya. Bukan sekena sebenarnya, namun hanya kata itu yang meluncur manakala melihat mata gadis ini gerimis dan mencoba mengatur pernapasan.

“Kakak mau kemana?”, dia memulai tanya. “Pulang”. Saya heran kenapa jadi “cool” seperti ini jawaban yang meluncur deras dari seorang saya.

“Kakak pulang kemana?”. Terdengar jelas suara ngos-ngosannya. Tak terduga berapa jauh dia lari-lari tadi. “Boleh saya numpang sampai Asrama Bidikmisi Unsyiah?”, tanyanya sambil menunjuk arah menuju asrama yang dituju.

Loh loh, ini kenapa skenarionya jadi seperti ini?

Saya masih trauma dengan aksi hipnotis tempo lalu. Meski sebenarnya bukan, tapi trauma sepanjang masa masih belum bisa ditepis.

Dalam pertimbangan, saya sempat memperhatikan setelan pakaian dan gerak gerik tubuhnya. Tidak ada yang mencurigakan memang, terlebih di tangannya, ia hanya sedang menggenggam kantong plastik minuman. Dugaan saya saat itu, Pop Ice. Alhamdulillah bukan pisau atau senjata tajam lainnya. (Ya elah, masak iya mau hipnotis atau ngerampok terang-terangan?). Jika pun ia ingin mencelakakan saya, maka tidak mungkin celaka hanya dengan sekantong plastik minuman Pop Ice.

Maka akhirnya...

“Boleh, Dek”, jawab saya setelah drama pertimbangan berkecamuk. Tak jelas kekuatan apa yang mendorong saya menjawab seperti itu. Hanya mencoba mensuplai energi positif, dan Bismillah, kita berangkat.

Masih dengan isak tangisnya, saya mencoba mengajukan pertanyaan yang umum ditanyakan saat melihat adegan seperti ini. “Ada apa, Dek? Kenapa tadi lari-lari?”

Sungguh jawaban yang ia sampaikan bukanlah jawaban yang ingin saya, Anda, dan kita semua dengar. Jawaban yang bikin saya tetiba, deg! Diam dalam ketidakpercayaan.

“Sepulang dari kampus”, ia berusaha menata suaranya yang jelas terdengar bergetar, “tiba-tiba ada Bapak-Bapak entah Abang-Abang menawarkan diri untuk membonceng saya sampai rumah, tapi dia minta pegang “itu” saya, Kak”, jawabnya dengan tangis yang semakin isak. Mungkin pikirannya masih menerawang, mencoba mereka ulang kejadian, hingga tangisnya pecah.

Astaghfirullah. Saya mencoba membatin berkali-kali. Masih tidak percaya dengan apa yang saya dengar dan adik ini alami. Wajar jika akhirnya ia melarikan diri dari sosok yang (maaf) menjijikkan itu.

Selama ini, saya hanya mendengar berita seperti ini dari teman, surat kabar, atau media televisi. Hanya saja sekarang saya mendengar langsung dari bakal calon korban.

Pengakuan tadi menjadi satu hal yang sangat memalukan. Pengakuan selanjutnya lebih mencengangkan, terutama bagi saya, selaku pihak yang menerima pesan langsung.

“Saya mahasiswa baru dari Medan. Tau seperti ini, nyesal pilih Aceh!”, akunya masih dengan isak tak terkendalikan.

Belum sembuh luka pendengaran saya mendengar pengakuan awal adek ini, telinga saya dipaksa kembali menderita mendengar pengakuan terakhirnya.

Ingin saya serbu adek ini dengan “Yang sekarang nolongin adek ini orang Aceh lho”. Agar ia sadar, tak semua orang Aceh seperti itu. Dan pun kan belum ada kepastian, laki-laki itu orang Aceh atau bukan. Satu lagi, “kenapa gak kuliah di Medan aja, kan enak tempat sendiri?”. Namun urung. Itu hanya pertanyaan imajinasi yang dipenuhi amarah tak terbendung. Bukan saat yang tepat untuk mencari perkara. Pun saya sadar, kalimat seperti itu hanya akan menimbulkan perpecahan.

Perjalanan yang mungkin hanya menghabiskan waktu lima menit ini, tidak banyak nasihat yang bisa saya berikan selaku mahasiswa yang lebih senior di Kota Banda. Hanya beberapa kalimat stagnan layaknya “Lain kali kalau jalan sendirian, hati-hati. Cari jalanan yang biasa ramai dilalui orang”.

Sebenarnya jika mau sedikit berpikiran jernih, tidak hanya di Banda Aceh, dimanapun lokasinya, kejadian seperti ini akan tetap ada, bahkan mungkin lebih mengerikan. Namun, saya tidak ingin memaksakan pikiran saya pada adek ini. Tugas saya hanya mengantar. Tak baik mengajak ngobrol perempuan yang hatinya tengah meringis. Barangkali setelah beberapa waktu, biarlah teman sekamarnya yang menenangkan dan dalam kesendiriannya ia merenung. Tugas saya selesai, dan pulang dengan perasaan yang saya tak mampu mendeskripsikannya.

Kecewa. Jika memang laki-laki itu orang Aceh, maka betapa bobroknya moral laki-laki Aceh kita. Parahnya, sang korban bukan orang Aceh. Semakin menambah daftar hitam catatan negeri kita di samping catatan hitam plintingan ganja. Ah, saya tak habis pikir jika adek ini menceritakan ke seluruh teman, keluarga dan kenalannya. Malu sekali jadi orang Aceh rasanya. -­_-

Karena khawatir dengan mudharat tulisan ini, saya tidak berniat menshare tulisan ini, seperti kebiasaan dulu-dulu, share di facebook. Kali ini hanya untuk menambah jumlah postingan tahun ini yang sangat menyayat-nyayat mata memandangnya.

Biarlah ini menjadi rahasia saya, Tuhan, dan Anda, yang mungkin nyasar ke blog dan postingan ini.
Syukur-syukur bisa kita ambil ibrah darinya.