Pages

Kamis, 24 Maret 2016

Kadang Hidup Tak Ubahnya Asam Keu-eung



“Kok Ukhra gak ikutan belajar? Itu teman-temannya semua pada belajar. Oh, Ukhra ni malas kali”, cecar salah satu kakak kost, menelisik telinga Ukhra. 

Tahukan olehmu, sejujurnya ini adalah potret cecaran tanpa pengetahuan. Hanya bermodalkan indra penglihatan. Padahal jauh, jauh, dan jauh hari sebelumnya, Ukhra telah bersiap untuk ujiannya. Ukhra yang tahu kemampuannya biasa saja, memaksa tubuh dan pikirannya untuk bekerja ekstra dua kali lebih keras dari teman-temannya. 

Hari itu adalah ujian statistika dasar. Karena sekamar kost dengan Ukhra, Ukhra pernah bertanya beberapa hal yang ia kurang paham terkait mata kuliah tersebut, beberapa hari sebelum hari ujian. Saya yang mengerti sedikit, mencoba memahamkannya. 

Ukhra kuliah di jurusan Pendidikan bahasa Arab di salah satu Universitas ternama tanah rencong. Ukhra senang Matematika, jadi tak begitu susah untuk memahamkannya. Namun karena telah lama tak bersentuhan dengan Matematika, memaksa ia berusaha lebih keras. Jika temannya belajar tiga jam sehari, maka ia harus belajar nyaris enam jam seharinya, ditambah terbangun tengah malam untuk kembali mengulang. 

“Bagaimana ujiannya? Bisa dijawab?”, tanya saya setiba ia pulang kuliah. Ah, saya lupa untuk menyilakan dia istirahat terlebih dahulu. Seandainya jawabannya tidak mengenakkan, maka alangkah dzalim sekali saya ini. 

“Alhamdulillah, Kak, lulus”, jawabnya berbinar. “Alhamdulillaaah,” jawab saya, “itu yang di luar teman-teman kamu?”, tanya saya ketika mendengar riuh-riuh suara dari luar kamar. 

“Iya, Kak”, jelasnya singkat.

Saya hanya ber-ooo saja. Lalu kami tenggelam dalam aktivitas kami masing-masing sebelum akhirnya kami beranjak menuju dapur dan masak bersama. Saya yang pandir ilmu memasak hanya mengerjakan sebisanya. Yang penting makan.  Mengerti Matematika tak lantas membuat saya cepat mengerti ukuran berapa siung bawang yang harus dikupas, berapa banyak garam yang harus ditabur, atau berapa sendok teh gula yang harus ditakar. Selama ini saya memasak hanya mengandalkan feeling dan beberapa kali mencecap rasa. Tak jarang saya kurang pede dengan rasanya dan meminta Ukhra untuk ikut mencecap sebelum masakan dihidang. Jika sudah pas, Bismillah, kita makan.

Teman-teman Ukhra yang disangka tengah belajar oleh kakak kost tadi itu padahal sedang mengerjakan soal ujian statistika dasar sebagai bentuk remedi dari dosen mereka. Tak harus ikut ujian ulang. Mereka mengerjakan tak jauh dari lokasi perhelatan akbar kami memasak. Melihat Ukhra malah asik mengeksekusi masakan bersama saya, saat inilah cecaran ini dilayangkan. 

“Kok Ukhra gak ikutan belajar? Itu teman-temannya semua pada belajar. Oh, Ukhra malas kali”, cecar demi cecar yang dilayangkan salah satu kakak kost menelisik telinga Ukhra. Yang dicecar tersenyum ke arah saya dan menimpali dengan, “Iya, Kak, nanti saya belajar”, dengan tangan masih gesit mencincang-cincang bawang. Kakak kost itu masih terus mencecar, sementara kami malah dibuat senyam-senyum, ditemani bau khas tumisan bawang. 

Satu hal yang saya pelajari dari jawabannya. Jika hati telah damai, tenang, maka tak perlu lagi pengakuan dari manusia. Karena faktanya, teman yang datang ke kost Ukhra hari itu, justru ingin belajar bersama Ukhra yang telah lulus ujian. 

Meski saya puas dengan jawaban bijak Ukhra, “Iya, Kak. Nanti saya belajar”, namun saat mendengar cecaran itu, sebenarnya hati saya bergemuruh. Ukhra, yang telah saya anggap sebagai adik, harus dijaga kehormatannya. Cecaran itu seakan menembus pori-pori, meresap ke aliran darah, menghujam ke otak dan memaksa saya berpikir. Saat itu saya sedang menumis bumbu, namun pikiran saya tak lagi ke masakan. 

Maka tak bisa tidak, sehabis makan, saya menghampiri ia yang masih memasak. 

“Masak apa?”, tanya saya basa basi. “Cuma masak nasi goreng saja”, jawabnya sambil tersenyum. Secara naluriah, kami tidak ada konflik apa-apa. Alhamdulillah teman di kost, cukup asik untuk diajak diskusi dan berbincang, maka meski mungkin cecarannya hanya becanda, namun karena hati keburu gemuruh, saya tidak bisa tinggal diam. Saya menghampirinya saat suasana sedang sepi-sepinya, karena saya juga tak ingin menjatuhkan kehormatan siapapun, sebagaimana saya keras menjaga kehormatan diri. 

“Keren ya si Ukhra, karena lulus ujian, kawan-kawannya minta belajar sama dia. Padahal dia kuliah di Bahasa Arab, tapi bagus juga nilai matematikanya. Kalau saya, cukup matematika saja lah, jangan sodorin lain-lain. Gak paham sayanya”, canda saya menertawai kebodohan diri, mencoba membuka hatinya. Entahlah, cuma itu cara menasihati yang terpikirkan oleh saya agar kesalahpahaman ini tak terus berlanjut. 

“Oh, jadi yang tadi itu...”, tanyanya dengan kalimat menggantung. 

“Iya”, jawab saya diplomatis. Mendapati ekspresi wajahnya berubah menjadi tak beraturan, saya nyaris tersenyum. Alisnya berkedut, sepertinya ia sedang berpikir, atau sedang memutar rekaman. Entahlah, saya biarkan saja jeda beberapa detik itu sambil meminta izin untuk merasakan masakannya. Ia hanya mengangguk, tak berkata-kata. 

“Hmm nasi gorengnya enak ni. Mantap!”, puji saya sambil lalu dan minta diri untuk wudhu. 

Kadang hidup tak ubahnya Asam Keu-eung, Meski mengaduk-aduk lambung, tetap lidah dibuat manja olehnya.  Tak jarang hidup kita dihiasi dengan pernak-pernik tingkah seperti ini. Terlalu cepat berkomentar dan mengambil kesimpulan untuk hal-hal yang kita sendiri tak tahu duduk persoalannya. 


Rabu, 23 Maret 2016

Kontradiksi Hati



Saat bertemu, tak bertegur sapa.
Saat tak bersama, dicari, dirindukan.
Saat berbicara, grogi, seolah ingin menghilang dari hadapan.
Saat tak disapa, malah dinanti-nantikan.

Pernahkah merasa gamang dan senang saat bersamaan? Tak pelak, sepertinya kau sedang kasmaran. Seakan dunia sedang bergetar, padahal hati saja yang tengah berguncang.

Awalnya, aku tak benar-benar sekacau itu. Kepikiran pun tidak. Mungkin kau penggemar lagu Dewa 19, fanatik Dewa, stalker Dewa atau siapanyalah Dewa yang tengah mengamalkan salah satu single nya yang bertajuk “Risalah Hati”. Boleh jadi kau seoptimis sosok dalam lagu ini.

Gotcha! You made it, man. I mean it. 

Kata-katamu biasa, tapi aku seperti tersihir seorang diri di saat yang lain bertingkah biasa saja. Duniaku berubah. Kalimat dan intonasi berbicaramu magis, seakan aku tak lagi berpijak di bumi. 

Mungkin kau tau, kelemahanku adalah diajak berbicara lembut. Kau laki-laki, dan kau mengajakku berbicara. Rasanya ingin kutempeleng saja kau saat berlembut-lembut ria dengan volume suara minimalis. Memaksa telinga fokus meski sering gagal fokus. Wajar saja, sebab tahukah kau? aku hampir meleleh mati dibuatnya. Sejak saat itu, aku menghindari berbicara denganmu. Meski ingin, tapi aku khawatir tertangkap basah. 

Jika tak penting sekali, maka kau akan kuhubungi setelah beribu-ribu kali pikir. Meski ada harap, tapi aku mulai khawatir kecewa. Ah, mungkinkah aku mulai merasa ingin memiliki? Astaghfirullah. Sebab, sesuatu dirundung kecewa kerap erat kaitannya karena ada harapan ingin memiliki. 

Keberpunyaan mengindikasikan harapan. Saat harapan bertepuk sebelah tangan, barulah rasanya kita terbangun dari sebuah mimpi dan berujar, “Ah, ternyata ini hanya mimpi”. 

Meski pandir bahasa kode-kodean, perempuan mana yang tak bergetar hatinya jika sudah tersentuh. Hanya berbeda saja penampakan dari luarnya. Ada yang kelihatan bergetar hebat, seolah dunia hanya miliknya seorang diri. Namun ada juga yang degil menutupi, seolah tak terjadi apa-apa, masih percaya pada ketetapan Tuhan. 

Kamu, kira-kira aku berada di posisi mana? Kuharap aku masih waras dan tak seterguncang itu. Aku takut menyakiti jodohku nantinya jika pun kita tak ditakdirkan bersama. Ah, kita. Aku masih belum terbiasa dengan kata ini. Maafkan aku yang telah melampaui rasam-rasam emosi.


KAMU, Part II




Senin, 21 Maret 2016

Sekilas Tentang Empunya Blog

Well, well, well, ternyata udah tiga tahun aja nih. Rasanya baru kemarin lusa gue minta bantu teman gue untuk ngebuatin ini blog. Biasa, guenya mah gaptek. Kagak ngerti barang ginian. Ini mau nge-post tulisan aja belajarnya ampun gilak. 

Tolong deskripsikan diri Anda, Mbak. Bukan blognya. 

Eh, maap-maap. Apa tadi? Deskripsi? Aduh, jangan ngomong berat donk, Mas. 

Deskripsi, Mbak, deksripsi. Bukan skripsi.

Oh ealllaaah, maap, maap. Deskripsiin diri gue? Hmm gue mau mulai dari mana yak. Bingung. Mending mas mulai aja wawancaranya biar gue jawab. Gimana kalau kita mulai dengan nama aja kali ya. Nama gue Helka. Lengkapnya Helka Pratiwi. Bekennya Hekal.  

Lho, kok?
 
Jangan heran. Sebutin nama gue, maka loe bakal ngira itu cowok. Soalnya orang-orang pada dengernya Hekal sih, bukan Helka. Gue malah sering dikira cowok, sebelum pada akhirnya orang-orang ber-ooo ria ketika ngeliat pemilik nama Helka ternyata cewek.  Malah ada nih temen gue mau pamitan sama Bapaknya, katanya mau main ke rumah Helka. Lha, si Bapak refleks nanya, ngapain kamu ke rumah cowok. Temen gue yang cewek ini dipaksa meluruskan nama gue sampai izin untuk main ke rumah gue pun dikantongi. Adeeeuh kasian juga temen gue kalau dipikir-pikir. Perjuangan main ke rumah aja ampek segitunya.

Waduh, iya juga ya, Mbak. Awalnya juga saya kirain bakal ngewawancarain seorang laki-laki. Tapi pas dikasih tau si bos, lengkapnya Helka Pratiwi, saya jadi ragu-ragu. Meski saya yakin ini pasti nama perempuan, ee ternyata bener. 

Biasa. Gue mah udah biasa digituin. Malah teman di kampus awalnya susah banget nyebutin Helka. Nasib gue deh dipanggil Hekal mulu. Tapi seru sih, kedengarannya lucu. 

Ah, Mbak bisa aja. Oia Mbak, keseharian Mbak gimana?          

Hmm akhir-akhir ini gue masih terus bergelut dengan skripsi gue yang belum kelar-kelar. Selebihnya ya jumpa fans, eh maksudnya wartawan seperti mas ini. Eh gak ding. Sejujurnya, gue senang membaca dan menulis. Jadi jika ada luang waktu, kalau gak menulis ya membaca. Udah macam kebutuhan gitu deh, Mas. Karena basicly, twenty nine my age yeah, gue kuliah di kampus keguruan, ya gue nyambi kerja juga di bimbel. Kalau ada kemudahan rezeki, gue sering kebagian tawaran privat ke rumah-rumah. Malahan ke sekolah ada juga, tapi yang ini sifatnya berkala. Biasanya menjelang UN tawaran ini meledak. Ceileh, bahasanya meledak. 

Apa itu memang cita-cita Mbak untuk jadi seorang guru?

Ah, Mas bisa aja becandanya. 

Lalu? Bukankah Mbak kuliah di keguruan, dan basicly tadi juga seneng ngajar. 

Hmm iya benar gue kuliahnya di keguruan. Sejujurnya cita-cita gue boleh jadi apa aja yang keren-keren. Tapi, jadi guru gue gak pernah kepikiran sama sekali sejak gue ingusan sampek berjerawat gini. Kecil aja gue trauma ngeliat guru TK dan SD gue ampun-ampunan mendidik kami. So, jadi guru langsung di-blacklist. Satu-satunya jawaban yang bisa gue jawab kenapa gue malah kuliah di keguruan, ya mungkin takdir kali, Mas. Semoga rezekinya berkah disini. Tapi sejak SD gue udah tergila-gila sama Matematika. Alasan gue senang dengan ini pelajaran karena Ayah gue. Meski tamatan SMA, gue ngerti Matematika dari Ayah lebih dari yang gue dapat dari sekolahan. Malahan kita sering berlomba iseng ngitungin puluhan kali puluhan tanpa kertas apalagi alat tulis. Awalnya gue sering kalah cepat, tapi belakangan gue menang terus. Entah Ayah yang mengalah. Wallahu ‘alam. Tapi sejak diajak adu siapa cepat berhitung, gue jadi terbiasa menjumlah, mengurang, mengali, apalagi membagi tanpa menggunakan kalkulator. Menggunakan kalkulator sama dengan haram hukumnya. Jadi, kalau pun gue gunain kalkulator, tak lebih saat keperluan trigonometri untuk sudut-sudut tak indah alias tak istimewa. Tapi seneng Matematika aja gak cukup untuk bikin gue serius bercita-cita menjadi guru. 

Wah, saya gak menyangka Mbak menyukai pelajaran yang bagi banyak anak-anak dianggap horor. Ternyata ada sosok Ayah yang gemar berhitung dibalik layar. Apakah ada suatu pencapaian yang Mbak dapat dari kesenangan Mbak bersama Matematika?

Alhamdulillah, Mas. Sejak SD sampai SMA gue terpilih mewakili sekolahan untuk mengikuti ajang Olimpiade Matematika. Paling banter sih cuma sampai tingkat provinsi. Karena target gue cuma agar jawara di kabupaten Bireuen, tempat gue mengenyam pendidikan dasar dan menengah. Paling nggak, gue gak kalah di kandang sendiri. Kalau ditanya prestasi lain mah gue gak punya. Hehehe adanya cuma ini. Di luar itu ya sama aja. Lomba berhitung cepat. Karena lomba-lomba lainnya gue kurang tertarik dan kurang kompeten di bidangnya. Gue duluan kalah sebelum bertanding. Hehehe

Wah, luar biasa, Mbak. Saya sendiri paling anti sama yang namanya itung-itungan. Ribet. Makanya nilai Matematika saya cuma cukup sampai makan siang aja, gak nyampek sampai makan malam. Apalagi pencuci mulut, boro-boro. Jadi, mbak pernah bercita-cita buat jadi apa aja dulunya?

Sejak kecil, gue suka pantengin siaran berita TVRI, sebab di rumah gue waktu itu cuma adanya siaran itu. Sebenarnya sih yang nonton berita itu ayah gue, gue mah ogah. Boro-boro ngerti, mending gue main kejar-kejaran, main kelereng, atau kalau gak main sepedaan, main apa aja deh sama temen gue. Otak gue adanya cuma main. Cuma ya sekali waktu gue ikut terpaksa juga pantengin layar kotak itu, saat-saat makan siang atau makan malam. Padahal gue juga kagak ngerti orang di dalam TV itu bicara apa. Satu hal yang gue ngerti, gue pengen masuk TV. Gue pengen jadi news anchor seperti di TV-TV itu. Nah, keinginan ini kian melangit menjelang kelas 4 SD lah ya. Seingat gue dalam buku Bahasa Indonesia, gue nemu artikel tentang Arief Suditomo. Artikel itu berkisah tentang perjalanan Arief menjadi seorang reporter, jurnalis, hingga pembawa berita yang berawal dari hanya iseng-iseng memasukkan lamaran untuk sebuah lowongan wartawan di sebuah koran nasional yang justru menghantarkan ia untuk mencintai dunia jurnalistik. Gue baru tau beliau ini sering bawain berita di beberapa stasiun pertelevisian ternama tanah air. Sejak saat itu, gue baru rajin nonton berita demi ngeliat dia, bukan beritanya. Hehehe... tapi mau gak mau, gue pernah bercita-cita kesana. Menjadi reporter, pembawa berita, ataupun jurnalis gitu. Menurut gue sih itu keren. Karena gue juga suka nulis. Nah, mungkin sekali waktu kita bisa adu ketajaman tulisan deh, Mas. Berani?

Eh... Hmmm... Apanya, Mbak?

Gak mas, gue becanda kali. Iya, gue emang suka nulis. Tapi ya nulis aja. Apa yang gue suka. Tanpa ada aturan harus begini begitu. Rasanya plong aja gitu, meski ada beberapa teman yang nyaranin buat diseriusin, eh tapi guenya masih belum siap. Karena sejauh ini, nulis ya sekadar hobi dan mengisi waktu luang. Belum serius-serius amat untuk nyari duit apalagi profesi. Belum kepikiran kesana sih, Mas, saat itu. Tapi melihat prospek ke depan untuk menulis lumayan menjanjikan, gue pernah kepikiran untuk ngejadiin menulis gak sekadar hobi, tapi juga untuk mendulang pundi. Wah, Mas mesti hati-hati sebelum kursinya gue lengser. 

Eh, oh. Hmmmm...

Hehehehe nyantai kali, Mas. Gue gak seserius itu kok. Susah ya jadi introvert. Guenya becanda, eh malah disangka serius. Giliran serius, orang-orang pada ngacir. Kadang gue suka bingung juga ya, Mas. Kadang gue introvert di kalangan baru. Tapi bisa jadi ektrovert banget di kalangan introvert. Nasib.. nasib.. wah, gue malah curhat,, hehe lanjut, Mas, ada lagi?

Ah, elu mah aktingnya kebangetan. 

Jiah, entar dulu. Kok udah nyerah aja. Lagi donk main wawancara-wawancaranya.  

Gak ah, udahan ya. Capek mainnya. 

Yah, elu mah, gak bisa liat gue senang bentaran aja. Lagi napa?

Ogaaah!!! Main noh sendiri.

Masak gue ngewawancara diri sendiri. Gile lu ndro.



Sabtu, 19 Maret 2016

Benarkah Ini Cinta Atau Nafsu Belaka?



Kamu, kali ini izinkanlah aku menuliskan hal yang pernah terpatri dalam diri. Hal-hal yang boleh jadi sejatinya tidak ada tapi lebih terlihat mengada-ada. Atau mungkin pernah ada, tapi hanya sepintas lalu. Mungkin dulu pernah ada kata ‘saling’, lalu aku dibuat khawatir dalam bersikap. Khawatir hal itu benarlah mengada-ada. Hingga akhirnya terciptalah sekat yang membuat kita berjarak. Sejujurnya aku ingin tahu. Maukah kau memberi tahu? Benarkah itu ada atau benarkah aku yang mengada-ada? 

Ada satu titik dimana akhirnya pertahananku runtuh. Salahku tak bisa menguasai diri hingga jatuh dibalik benteng yang tak lagi kokoh sejak kau terus menggempur pertahanan. Sekuat-kuatnya benteng, akhirnya ia roboh juga jika diserang habis-habisan.

Jika menurutkan nafsu, mungkin aku akan menerima sekerat daging yang pernah kau tawarkan dalam satu jamuan. Sekerat daging yang tak sengaja membuat mata kita saling bertemu. Sekerat daging yang kau beri dengan senyum termanis saat itu. Ah, aku masih ingat tatkala aku dibuat terkejut karena tak menyangka akan digempur lagi dan lagi. Aku tersudutkan untuk penawaran yang haruskah diterima atau tidak. Tiga detik yang begitu berkecamuk dalam jiwa. Tiga detik yang seakan ada angin topan tengah melanda. Tiga detik yang memaksa jantung berdebar dan seolah terlempar keluar. Mungkin kau anggap ini berlebihan. Akan tetapi, jika saja kau mau kupinjamkan jantungku barang sejenak, maka rasakanlah debaran itu. 

Dalam hati terus digempur tanya, “Sebenarnya apa maksudmu?”

Perang batin tak dapat dielakkan. Aku jahat memaksa, “Ambil sajalah. Kamu lihat, dia memberikan daging itu dengan tulus disertai senyum menawan. Lagian, ini bukan berarti ada apa-apa diantara kalian. Ambil saja. Ambil!!!”

Aku baik menasihati, “Kamu sekali lagi, jangan sekali-kali jatuh untuk hal remeh-temeh seperti ini. Ini jelas ada apa-apanya. Tidak usah terima jika tidak ingin mendurhakai hati. Ingat, hati pun bisa saja berzina”.

Tiga detik yang andai kau tahu, benar-benar melelahkan. Perang batin justru lebih menggempur dibanding gempuranmu. Aku baik kala itu menang. Tapi tak menutup kemungkinan, aku jahat terus mencari celah. Sebenarnya itu penawaran yang sangat manis jika diberikan pada istri. Nah aku? Aku pun hanya ingin menerima itu dari pasangan halalku. Untuk hal ini, maka terimalah sepotong maaf dariku, untuk sekerat daging yang tak dapat kuterima saat itu darimu. 

Kurasa aku mulai tidak waras. Meski hati terus beistighfar, tapi maksiat yang masih bercokol dalam raga, getol membuatku terus mengingat-ingat yang tak selayaknya diingat. Belum layakkah? Atau memang tak layak? Ah, aku dibuat pusing untuk urusan satu ini. Benarlah jika dari sejak zaman purba, urusan perasaan memang akan selalu begitu rumusnya, bagai benang dipilin yang sempurna masai. 

Jika dipaksa berbicara, jelas aku tak kuasa, maka bungkam adalah pilihan terbaik yang aku punya agar penampakannya tak begitu kentara. Aku sadar yang aku tidaklah semulia Khadijah yang mampu menanyai Muhammad yang terpercaya. Apalagi secerdas Aisyah. 

Jika melihat aib diri, bahkan aku merasa hina jika menganggap sekufu denganmu. Aku masihlah sangat jauh dari standar pasangan ideal idaman. Kau tentu belum tahu aku seutuhnya. Ah, begitupun sebaliknya. 

Maka, jika pun urusan ini berbuah tidak manis--tetaplah ini perasaan yang entah itu datangnya dari syaithan atau Tuhan--, kukembalikan pada Tuhan agar kita diberi yang terbaik. Semoga Allah terus membimbingku menuju jalan yang telah disiapkan untukku agar dapat membersamainya yang entah siapapun itu menapaki titian surga. Kuharapkan pula yang terbaik untukmu, agar dapat membersamai bidadarimu menuju Surga-Nya. 

Sekali lagi, itupun jika kau berkenan, maukah kau memberi tahuku sebuah rahasia? Sejatinya itu ada atau akunya saja yang telah terjerembab, terpingkal, dan terjatuh sendiri sehingga mampu mengada-ada? Jika urusan ini terlihat begitu pelik, kau tak harus berkata-kata. Tak ada paksaan dalam urusan ini. Aku akan berusaha memahami sisi terbaik dari sikap kita. Hah? Kita? Bahkan saat menulis kita-jelas menunjukkan aku dan kamu-,aku malu. Dan hei, kau tentu paham sekali kenapa aku malu. 

Hingga kini hati masih terus bertanya. Ini cinta dari Tuhan atau syaithan?
Benarkah ini cinta atau nafsu belaka?

Jalanan ini masih panjang, semoga kau diberi teman perjalanan yang menyenangkan. 

Senin Selasa Rabu
Aku pergi ke toko buku
Malam Minggu yang kelabu
Ada catatan baru

Aku tidak menyangka bisa bikin pantun sememaksa ini. 
Kamu, selamat malam. 
Novelnya segera menyusul yang entah kapan itu. Sedang digarap. Mohon doanya ya teman-teman pembaca. Berharap judulnya KAMU. Eh, sepertinya Tere Liye sudah duluan booking. Ya sudahlah, aku mah apa atuh dibandingkan masternya urusan perasaan ini. Tentu saja ini versiku, bukan versi On The Spot itu.