Saat bertemu, tak bertegur sapa.
Saat tak bersama, dicari,
dirindukan.
Saat berbicara, grogi, seolah
ingin menghilang dari hadapan.
Saat tak disapa, malah
dinanti-nantikan.
Pernahkah
merasa gamang dan senang saat bersamaan? Tak pelak, sepertinya kau sedang
kasmaran. Seakan dunia sedang bergetar, padahal hati saja yang tengah
berguncang.
Awalnya,
aku tak benar-benar sekacau itu. Kepikiran pun tidak. Mungkin kau penggemar
lagu Dewa 19, fanatik Dewa, stalker Dewa atau siapanyalah Dewa yang tengah
mengamalkan salah satu single nya yang bertajuk “Risalah Hati”. Boleh jadi kau
seoptimis sosok dalam lagu ini.
Gotcha! You made it, man. I mean
it.
Kata-katamu biasa, tapi aku
seperti tersihir seorang diri di saat yang lain bertingkah biasa saja. Duniaku
berubah. Kalimat dan intonasi berbicaramu magis, seakan aku tak lagi berpijak
di bumi.
Mungkin kau tau, kelemahanku
adalah diajak berbicara lembut. Kau laki-laki, dan kau mengajakku berbicara.
Rasanya ingin kutempeleng saja kau saat berlembut-lembut ria dengan volume
suara minimalis. Memaksa telinga fokus meski sering gagal fokus. Wajar saja,
sebab tahukah kau? aku hampir meleleh mati dibuatnya. Sejak saat itu, aku
menghindari berbicara denganmu. Meski ingin, tapi aku khawatir tertangkap
basah.
Jika tak penting sekali, maka kau
akan kuhubungi setelah beribu-ribu kali pikir. Meski ada harap, tapi aku mulai
khawatir kecewa. Ah, mungkinkah aku mulai merasa ingin memiliki?
Astaghfirullah. Sebab, sesuatu dirundung kecewa kerap erat kaitannya karena ada
harapan ingin memiliki.
Keberpunyaan mengindikasikan harapan. Saat harapan
bertepuk sebelah tangan, barulah rasanya kita terbangun dari sebuah mimpi dan
berujar, “Ah, ternyata ini hanya mimpi”.
Meski pandir bahasa kode-kodean,
perempuan mana yang tak bergetar hatinya jika sudah tersentuh. Hanya berbeda
saja penampakan dari luarnya. Ada yang kelihatan bergetar hebat, seolah dunia
hanya miliknya seorang diri. Namun ada juga yang degil menutupi, seolah tak
terjadi apa-apa, masih percaya pada ketetapan Tuhan.
Kamu, kira-kira aku berada di
posisi mana? Kuharap aku masih waras dan tak seterguncang itu. Aku takut menyakiti
jodohku nantinya jika pun kita tak ditakdirkan bersama. Ah, kita. Aku masih belum
terbiasa dengan kata ini. Maafkan aku yang telah melampaui rasam-rasam emosi.
KAMU, Part II
0 komentar:
Posting Komentar