Pages

Rabu, 23 Maret 2016

Kontradiksi Hati



Saat bertemu, tak bertegur sapa.
Saat tak bersama, dicari, dirindukan.
Saat berbicara, grogi, seolah ingin menghilang dari hadapan.
Saat tak disapa, malah dinanti-nantikan.

Pernahkah merasa gamang dan senang saat bersamaan? Tak pelak, sepertinya kau sedang kasmaran. Seakan dunia sedang bergetar, padahal hati saja yang tengah berguncang.

Awalnya, aku tak benar-benar sekacau itu. Kepikiran pun tidak. Mungkin kau penggemar lagu Dewa 19, fanatik Dewa, stalker Dewa atau siapanyalah Dewa yang tengah mengamalkan salah satu single nya yang bertajuk “Risalah Hati”. Boleh jadi kau seoptimis sosok dalam lagu ini.

Gotcha! You made it, man. I mean it. 

Kata-katamu biasa, tapi aku seperti tersihir seorang diri di saat yang lain bertingkah biasa saja. Duniaku berubah. Kalimat dan intonasi berbicaramu magis, seakan aku tak lagi berpijak di bumi. 

Mungkin kau tau, kelemahanku adalah diajak berbicara lembut. Kau laki-laki, dan kau mengajakku berbicara. Rasanya ingin kutempeleng saja kau saat berlembut-lembut ria dengan volume suara minimalis. Memaksa telinga fokus meski sering gagal fokus. Wajar saja, sebab tahukah kau? aku hampir meleleh mati dibuatnya. Sejak saat itu, aku menghindari berbicara denganmu. Meski ingin, tapi aku khawatir tertangkap basah. 

Jika tak penting sekali, maka kau akan kuhubungi setelah beribu-ribu kali pikir. Meski ada harap, tapi aku mulai khawatir kecewa. Ah, mungkinkah aku mulai merasa ingin memiliki? Astaghfirullah. Sebab, sesuatu dirundung kecewa kerap erat kaitannya karena ada harapan ingin memiliki. 

Keberpunyaan mengindikasikan harapan. Saat harapan bertepuk sebelah tangan, barulah rasanya kita terbangun dari sebuah mimpi dan berujar, “Ah, ternyata ini hanya mimpi”. 

Meski pandir bahasa kode-kodean, perempuan mana yang tak bergetar hatinya jika sudah tersentuh. Hanya berbeda saja penampakan dari luarnya. Ada yang kelihatan bergetar hebat, seolah dunia hanya miliknya seorang diri. Namun ada juga yang degil menutupi, seolah tak terjadi apa-apa, masih percaya pada ketetapan Tuhan. 

Kamu, kira-kira aku berada di posisi mana? Kuharap aku masih waras dan tak seterguncang itu. Aku takut menyakiti jodohku nantinya jika pun kita tak ditakdirkan bersama. Ah, kita. Aku masih belum terbiasa dengan kata ini. Maafkan aku yang telah melampaui rasam-rasam emosi.


KAMU, Part II




0 komentar:

Posting Komentar