Pages

Jumat, 14 Agustus 2015

Benarkah Ini Hipnotis?

Saya tidak menyarankan Anda untuk membaca ini. Namun jika memiliki sedikit waktu luang, silakan. :)

Cuaca ekstrim Banda Aceh beberapa hari ini sulit ditebak. Beberapa hari yang lalu hujan mengguyur tanpa ampun. Hari ini kita dipaksa untuk menyipitkan mata jika hendak bepergian keluar rumah. Agak maksa ya openingnya. Tapi yadahlah.

Panas yang menyengat menggugah selera untuk menyantap minuman yang dingin. Saya pun memilih untuk melabuhkan sepeda motor di lapangan tugu untuk sekedar membeli minuman. Kali ini jatuh hati ke sop buah. Sengaja memilih pedagang yang pengunjungnya tidak terlalu ramai. Karena apa? Gak kenapa-napa juga sih. Hitung-hitung meratakan rezeki para pedagang. 

Bukan kebetulan, karena saya merasa ada yang menggerakkan hati untuk berhenti di tempat ini. Kuat dugaan saya, Allah telah menitipkan rezeki untuk kakak ini melalui perantaraan saya sebagai pembeli. Yaelah, mau belanja aja ribet banget.

“Kak”, kata saya memulai perbincangan, “sop buah satu ya, dibungkus”.

Melihat kakak ini tidak langsung merespon, saya merasa ada yang salah dengan ucapan saya.

“Tunggu sebentar ya, Dek”, jawab beliau. “Buahnya gak ada, duduk dulu biar kakak beli buahnya”.

Tuh, kan! Akhirnya saya memutuskan untuk menunggu di kursi yang disediakan bagi pembeli yang memesan dan makan di tempat. Tentu dengan memastikan kembali bahwa di gerobak memang ada tulisan yang membuktikan bahwa saya tidak salah. Tulisan yang terpampang di gerobak adalah:
   ES CAMPUR
   ES TELER
   SOP BUAH 
   ES KELAPA 
Seingat saya demikian. Yang jelas, ada tulisan SOP BUAH nya.

Sempat mikir aneh. Ini gimana ya orang jualan. Bilangnya tersedia sop buah, eh buahnya gak ada. Ck ck ck. Barangkali udah habis, demikian saya berpikir, tidak mau pusing-pusing. Baiklah, saya akan menunggu untuk sesuatu yang gak apa-apa. *Loh?

Sebelum pikiran ini mengakar kemana-mana, kakak ini mendatangi saya. “Dek, boleh pinjam motornya? Kakak mau beli buah disana”, tanya beliau sambil menunjuk ke arah sana. Sampai berita ini diturunkan, saya masih tidak tahu sana mana yang dituju oleh si kakak.

“Boleh, Kak”, jawab saya enteng dan memberikan kunci motor.

Sampai tahap ini saya masih normal. Hingga akhirnya kenormalan ini berakhir ketika kakak ini menstarter motor dan melintas di hadapan saya.Yang terjadi saat itu, saya hanya bisa menyaksikan motor saya dikendarai oleh seseorang yang tidak saya kenal sebelumnya. Orang yang tak saya kenal!

Sepersekian detik saya pun tersadar. Oh, apakah barusan saya dihipnotis? Ya Allah.

Pikiran yang bukan-bukan pun bermain. Berulang kali beristighfar belum juga berhasil mengusir kegundahan. Kembali terpikir, apa kesalahan yang saya buat hari ini hingga Allah menegur saya seperti ini?

Ada kecemasan yang bertanggung jawab tatkala memikirkan kejadian ini. Sambil menangkupkan kedua tangan di bawah dagu, saya memikirkan bagaimana cara mengabarkan ini kepada orang tua di kampung. Saya masih mengira ini modus pencurian berkedok pedagang sop buah. Astaghfirullah. Saya kembali mencoba mengingat wajah si kakak. Na’as, saya bukanlah pemerhati yang handal. “Andai saja ada kamera CCTV di balik pohon-pohon ini”, gumam saya dalam hati. Tentu dengan hati yang tak menentu.

Jika memang iya beliau mencuri, akankah saya menyita gerobaknya? Ah, apa yang akan saya lakukan dengan gerobak ini? Kembali teringat, begitu mudahnya saya melepaskan motor pemberian orang tua yang diiming-imingi barteran sebungkus sop buah yang dihargai HANYA enam ribu rupiah. Bila dibandingkan dengan harga sepeda motor, saya rasa penggunaan kata 'hanya', pas.

“Ya Allah, jika memang ini rezeki saya, maka kakak ini pasti kembali”, demikian sugesti diri yang dapat saya gencarkan. Saya hanya berpura-pura bersikap normal, namun pada kenyataannya, gundah ini belum juga bisa ditepis.

Saya mengotak-ngatik hape yang sebenarnya tidak ada bekeperluan, hanya sekedar pelepas gundah saat itu. Akankah saya menghubungi orang tua hanya untuk mengabarkan berita buruk ini? Gila saja. Tapi jika mereka tau dari orang lain, maka itu akan semakin memperuncing masalah.

Sampai di menit ke sekian, saya belum menemukan tanda-tanda jawaban yang cocok. Kejadian ini akan menjadi tragedi yang menyejarah sepanjang hidup bila benar dugaan saya. Astaghfirullah, saya kembali mencoba menenangkan diri dan berharap bahwa saya tidak menitipkan motor ini pada orang yang tidak tepat. Karena biasanya hanya pada orang yang saya percaya saja yang berani saya pinjami motor ini.

Benar saja, ternyata Allah tidak membiarkan kegundahan ini berlangsung lama. Sekitar 10 menit kemudian kakak ini kembali dengan sebungkus tentengan yang berisi buah-buahan. Puji syukur Allah masih menaungi saya dengan orang-orang berhati bersih. Padahal, jika terbesit saja niatan tidak baik, maka kakak ini cukup berhasil membuat saya kehilangan motor dan harus menghadapi kecemasan yang bertanggung jawab tadi. Hmmm...

Meski sepuluh menit, ternyata pikiran saya telah mengelana kemana-mana. Semoga rezeki kakak ini lancar dan berkah. Aamiiin. Mungkin untuk ke depan, saya tidak akan menemui orang sebaik ini, maka dari itu saya harus lebih mawas diri. Karena bang napi pernah berpesan, pencurian terjadi bukan hanya disebabkan oleh niatan pelakunya, namun juga karena ada peluang yang tercipta. Waspada menjadi harga mati. Demikan akhir kisah ini.
Saya pun kembali ke rumah kost dengan hati yang lapang dan penuh syukur. Ternyata Allah masih mempercayakan motor ini pada saya. Alhamdulillah.

Namun ternyata kisah ini tak berhenti sampai disini. Sedang asik menyantap sop buah, di luar kost ada yang sedang memberi salam. Bisa diperkirakan itu suara laki-laki dewasa, maka saya pun menjawab salam dari kamar saja, tanpa harus menemui pria ini. Besar harapan saya ada anak kost yang lain yang menjumpai beliau. 

Namun ternyata, setelah berkali-kali diberi salam, tak satupun yang menjumpai beliau. Akhirnya saya keluar dan menghadap.

“Saya mau ambil motor ini untuk ditambal bannya, udah dipesan sama Ibuk, kuncinya juga udah diserahkan ke saya”, demikian bapak yang tidak saya kenal ini mengawali perbincangan begitu melihat saya melintas.

Oh Tuhan, cobaan apalagi ini? Kenapa harus dengan objek yang sama? Sepeda motor!

Bedanya, kali ini targetnya sepeda motor yang biasa dikendarai ibu kost untuk pergi ngajar ke sekolah dan ke kebun. Jangan-jangan, terbebas dari modus yang tadi, saya terperangkap dalam modus yang satu ini. Pikiran buruk kembali mengambil peran. Jangan-jangan, kali ini beneran aksi hipnotis.

“Tunggu sebentar, Pak”, saya menyela. Saya berhamburan ke ruangan dimana kira-kira ada ibu kost, dan tak ada jawaban. Sepertinya beliau masih di sekolahan, pikir saya.

Dengan hati yang terus merapal doa, saya memberanikan diri untuk memastikan, “Itu kuncinya memang Ibu kost sendiri yang ngasih?”

Ups, kali ini saya berpikir kalau pertanyaan saya terlalu lancang. Khawatir bapak ini tersinggung. Saya kembali memikirkan cara terbaik untuk menghubungi ibu kost sambil menahan bapak ini untuk membawa motor ini pergi.

Na’as yang kedua, pulsa tinggal seribu tiga ratus sekian. Mencoba menelepon ibu kost, namun yang terdengar hanya ocehan operator yang berakhir dengan tut tuuut tuuut. Sementara si Bapak tidak memiliki hape, tepatnya, mungkin tidak sedang membawa hape.

“Ya udah, adek ikut kami saja, kalau tidak percaya”,kata beliau seperti menangkap rona ketidakpercayaan dari wajah saya. Kebetulan beliau datang bersama dengan seorang temannya.

Celaka!

“Adek udah makan? Biar nanti kami traktir minum”, lanjutnya.

Musibah!

Saya tidak menjawab satu pun pertanyaannya, meski sebenarnya jelas terdengar apa yang baru saja ditawarkan. Terdengar bercanda memang.

Saya kembali menekan tombol di hape. Meng-sms-i adik saya untuk segera megirim pulsa. Jika dulu ada modus mama minta pulsa, maka sekarang ada modus, kakak minta pulsa.

Na’as yang ketiga, sms balasan yang saya terima berisi mukaddimah, “tinggal pulsa yang 5 ribu adanya”.

Ya ampun, padahal udah jelas-jelas isi smsnya untuk dikirimi pulsa segera. Berapapun itu. 
Maka, dengan tidak memperpanjang mukaddimah, saya balas, “Boleh juga”, agar penderitaan ini segera berakhir.

Na’as yang kesekian, ternyata Bapak ini telah hilang kesabarannya, dan besar kemungkinan merasa dicuekin oleh saya yang sibuk mengutak ngatik hape, tidak mempedulikan obrolannya.

“Ya udahlah, Dek. Karena adek gak percaya, ini motornya saya tarok disini. Nanti jangan salahkan saya”.

Deg! Ini Bapak kenapa jadi ngancam-ngancam saya?

Lalu beliau berlalu meninggalkan saya yang masih terheran-heran akibat trauma yang bertubi-tubi.

“Maaf Pak, yaaaa”. Cuma itu kalimat terakhir yang bisa saya ucapkan, dengan nada yang sedikit memelas. Karena besar dugaan saya, bapak ini pasti merasa tercabik-cabik harga dirinya oleh saya, akibat ketidakpercayaan saya. Namun, beliau menjawab “Iyaaa”, dengan nada yang tanpa beban. Terdengar sedikit menyejukkan, ataukah ini hanya perasaan saya? Entahlah.

Meski bapak ini telah menghilang dari pandangan saya, namun sejumlah pertanyaan tak berhenti menggelayuti ruang pikir. Saya masih menganggap bahwa ini modus pencurian. Tak bisa dibiarkan. Apa jadinya jika saya membiarkan beliau membawa motor ini? Bukankah itu sama artinya dengan saya menyilakan beliau mengambil motor ini? Oh, bukankah ini sama artinya dengan saya merupakan komplotan para pencuri ini? Bisa kena pasal berapa lapis saya?

Kali ini, pikiran saya sudah bermain ke kantor polisi segala.

Kembali ke kamar dengan langkah gontai. Seakan masih tidak percaya dengan apa yang saya lalui hari ini. Di kamar bukannya tenang. Malah semakin kepikiran. Jika memang bapak tadi berniat jahat, bukankah bapak ini bisa saja melarikan motor ibu kost tanpa harus berkali-kali mengucap salam dan meminta izin?

Astaghfirullah. Sebuah kekeliruan besar saya tidak mempercayai beliau. Hingga akhirnya saya menanyakan pendapat teman di kost yang bersebelahan kamar dengan saya.

Meski sependapat, namun tak urung memberi efek positif dalam benak. Khawatir ibu kost marah dan menganggap saya telah mencampuri urusannya, meski-demi Allah-niat saya baik saat itu. Namun pikiran yang tidak-tidak ini segera saya tepis, mengingat ibu kost berprofesi sebagai guru BK di sebuah sekolah menengah. Pasti beliau ngerti lah, pikir saya. 

Kegundahan ini segera berakhir manakala akhirnya ibu kost pulang dan saya menceritakan duduk persoalan, berikut kekhawatiran saya. Ternyata memang benar, ibu kost telah menitipkan kunci ke bapak tadi untuk membawa motor itu.

Kali ini saya cuma bisa menyesal yang diikuti cengengesan yang tak berbentuk, meski ibu kost berkali-kali mengatakan “Kamu juga tidak salah”. Hehehehehehe..