Pages

Kamis, 25 Agustus 2016

Baarakallaahu Laka.. Bahagianya Merayakan Wisuda


Mengutip sedikit judul bukunya Salim A. Fillah, cerita kali ini gue beri judul 'Baarakallaahu Laka.. Bahagianya Merayakan Wisuda'. Jujur aja, gue paling susah nentuin judul, dan kebetulan buku ustadz Salim yang ini terlihat oleh gue, dan ya, selanjutnya sudah tertebak, judul buku itu, dijadikan judul tulisan di blog dengan sedikit gubahan. Cinta menjadi Wisuda.Yihaa..

Sebelum kita mulai cerita kali ini, gue mau ngasih tau sesuatu biar cerita kali ini lebih terarah. Perkenalkan, gue Helka, sulung dari 4 bersaudara. Hari ini, adik pertama gue, Andi, wisuda di kampus yang sama dengan gue. Sehari sebelumnya, Yoga, adik gue yang nomor dua sidang. Yoga kuliah di daerah asal gue. Nah, yang bontot masih unyu, kelas 2 SMP. Gue? Hmmm nyaris sidang. Kebayang apa rasanya jadi gue, dilangkahi sidang dan wisuda dua adik gue. So, yaaa.. gue mesti pasang muka tebal banget menghadapi kedua orang tua gue yang akan datang ke Banda untuk wisuda Andi. (Sungguh bukan paragraf pembuka yang efektif, hitung aja tuh gue nya ada berapaan). 

Gue dan Andi tinggal di rumah yang berbeda. Ayah punya alasan sendiri untuk gak menyewa satu rumah untuk kita. Alasannya simpel. Ayah tidak ingin satu diantara kita risih jika kedatangan teman suatu waktu ke rumah. Oleh karenanya, Andi ngekost sendiri, gue juga. 

Nah, sehari sebelum wisuda, gue terpaksa beres-beres kamar deh ni. Biasanya ini kamar nggak ada bersih-bersihnya. Buku, lembaran-lembaran penelitian skripsi, dan pakaian yang baru diangkat dari jemuran berserakan di atas kasur. Saking malasnya, pernah gue biarin mereka berserakan di kasur, lha guenya tidur di lantai papan. Aiiih, kebayang begitu malasnya ini gadis. Walhasil, bangun-bangun, sakit sekujur badan, dan gak lagi-lagi deh kayak gitu. Heuheu..

Rencana awal, Yoga dan adik gue paling bontot, Vanny, akan ikut serta menghadiri perayaan wisuda Andi. Namun Yoga masih harus menjalani sidang pada saat Emak dan Ayah berangkat. Ya sudahlah, akhirnya Mak dan Ayah saja yang pergi. Tiba di Banda, malamnya Ayah menginap di kost-an Andi, sementara Emak bareng gue. Semalam saja bareng Emak, kamar gue rasanya kayak hidup banget gitu lho ya. Gak tau kenapa. Hehe.. 

Setelah bermufakat, akhirnya Ayah mengalah, dan diputuskan Emak lah yang akan masuk ke gedung perayaan wisuda oleh karena undangan yang dibagikan ke para wisudawan hanya untuk satu orang. Rencananya gini, Ayah mau melobi yang jagain pintu. Kali aja jebol. Gue sih udah yakin gak bakalan bisa, dan mencoba meyakinkan Ayah. Tapi Ayah inih! Hmmm,, gitulah ya.^^

Ayah dan Emak sempat kecewa, sebab Andi lulus cumlaude, namun undangannya cuma satu. Hmmm.. Gue bisa ngerasain gimana dilemanya adik gue harus memilih antara Emak atau Ayah yang harus masuk. Mungkin kalau gue dulu udah wisuda bakal dilema kayak gitu juga. Huft!

Esoknya hujan lebat, Alhamdulillah yang wisuda adik gue ini cowok. Gak begitu ribet lah dengan pernak pernik hiasan dan riasan. Tapi Emak gue...

“Sayang kali anak mamak ini. Gimana ya? Hujan pula jam segini. Eka ada payung?”, tanya Emak dengan raut wajah penuh cemas dan harap.

Gue sih santai aja, meeen. Jarak kost-an Andi dengan gedung nggak lah jauh-jauh amat. Ibarat kata, ngesot juga sampai. Tapi Emak inih! Gitulah yaa.. hehe.. Jadi, gue sebisa mungkin mencoba santai dan nggak panik. Kalau gue juga panik, Mak panik. Duh, gak sanggup pikir. 

Sedari tadi pagi Emak sudah siap, sudah rapi, dan begitu bersemangat. Gue juga, meski belum mandi. Hanya sikat gigi dan semprot sana sini. Gue ngiranya gini, gue hanya mengantar Emak saja, dan Ayah juga bisa masuk ke ruangan sebab Ayah malamnya pede sekali akan berhasil melobi yang jagain pintu masuk. Jadi ngapain gue nunggu lama-lama di luar gedung, mending gue balik ke kost-an kan ya. Pukul 11 nanti gue mandi dan kemas-kemas. Gitu sih gue mikirnya. Namun yang terjadi....

Ayah gagal masuk ruangan dan gue mesti nemenin Ayah di luar gedung, tepatnya di tenda yang disediakan pihak penyelenggara wisuda. Buset dah, ini gue belum mandi lho ya dan pakaian gue, dah lah gak tau bilang. Biasanya sih, gue pede-pede aja keluar seperti itu. Namun ini, acara wisuda bro. Masak gue sendiri yang ngegembel. “Plis ya Allah, jangan pertemukan hamba dengan yang mengenal hamba”, doa pagi gue.

Alhamdulillah Allah gak ngebiarin gue berlama-lama menunduk malu. Ayah dipertemukan dengan teman kerjanya dulu. Bincang-bincang hangat pun terjalin. Yes, ini saatnya gue beraksi. Gue segera pamitan ke Ayah untuk balik ke kost sebab mendadak gue mules. Ini biasa terjadi kalau gue ngeliat orang rame. Huft! Malas li da. 

Ayah dan salah satu teman kerjanya yang dipertemukan saat acara wisuda.
Ecek-eceknya sedang menatap masa depan.

Pukul 08.55 di hape, gue meluncur ke kost-an. Gue sih matokin diri siap kemas-kemas dalam satu jam. Eh rupanya, tidak kurang dari 30 menit gue siap. Gue aja sekayak gak percaya diri. Ini gue? Bisa secepat ini? Hayyaa! Bisa lah diajak ikut perang, kalau kata orang dulu. Hehehe..

Gue langsung meluncur balik ke tenda, berharap Ayah masih disana. Alhamdulillah masih, dan hujan kembali turun setibanya gue bertemu Ayah. Memang Allah sebaik-baik perencana. Awalnya gue menangkap rona-rona kecewa yang begitu dalam sebab Ayah tidak bisa melihat langsung anaknya diwisuda. Karena ini wisuda pertama dalam keluarga kami. Tapi setelah muter-muter gedung, dan bertemu sejumlah teman kerja dulu, Ayah tidak lagi semurung tadinya. Sebab ternyata teman-temannya juga menyerahkan undangan ke para istri. Xixixixi.. Ayah baru sadar, sepertinya cuma Ayah yang ngebet pengen masuk ruangan. Keh keh keh, gue nyaris ketawa. Ayah inih!

Singkat cerita, menjelang dzuhur, acara wisuda pun selesai. Tidak bisa tidak, gue dan Ayah segera merapat ke dalam ruangan, mencari sosok Emak dan Andi dalam lautan manusia. Binar-binar bangga tak bisa tertutupi dari wajah Emak dan Ayah. Alhamdulillah, satu anak laki-lakinya telah menyelesaikan tanggung jawabnya dengan sangat baik. Lu keren, Bro.

Momen ini pun kita abadikan dalam sejumlah foto dari kamera hape yang ala kadar ini. Kita bukan keluarga yang gila-gilaan dengan hape keren. Tapi saat itu, kita seperti menyesal gak satu pun yang punya hape keren. Kriiik.. kriiik.. *hening cipta

Berikut ini beberapa foto dari kamera hape yang alakadar. Ketahuilah, kita gak ada yang ngerti dengan pencahayaan di hape. Gimana mengatur kontras yang bagus, apalagi angle yang tepat yang bisa ngeluarin sisi terbaik. Heuheu..

Alakadar sekali kan foto ini.. hehehe.. Buram di segala sisi. ^^


Sekali-kali boleh kan ya, ngerasain duduk di kursi panas pejabat kampus itu gimana.
 Lihat! Ayah sampai merem-merem.

Ini Ayah saat dipaksa Emak buat eksis berdua saja. Hehehehehe..


 
Ini gak mungkin. Bagaimana ini bisa terjadi? Kok lu tiba-tiba ganteng ya, Bro?
Biasanya kan manis. ^^


 
Ini mobil buat gaya-gayaan aja. Nyatanya itu bukan punya kitorang.
Jadi beu selow, bek panik, dan
jangan ada kheun-kheun meulikot antara geutanyoe dua. :D

Apa? Lagi?
Duh, ini foto juga udah melewati serangkaian proses seleksi ketat. Best of the best kalau kata orang-orang. Aw.. aw..

Sekian.










Kamis, 11 Agustus 2016

Kepada Sebuah Nama



Untukmu...

Tunggu, lagi-lagi aku memulai tulisan dengan kata ini. Entah sebab rindu atau apa, aku mulai bergairah menulis jika itu tentang kamu. Kurasa aku mulai menyukai kata-kata ini. 

Namun kali ini, simaklah ulasanku dengan saksama dan hati-hati. Karena aku tidak tahu cara memenangkan hatimu, dan aku bukanlah gadis yang lihai dalam berkata-kata, maka melalui ini, bacalah! 

Apakah kau akan membacanya? Entah. Aku tak begitu yakin. Tapi kutulis saja, mana tau takdir yang akan membawamu berkunjung kemari. Entah kapan. Entah kapan. 

Aku pernah merasa cenderung terhadapmu. Apa kau sadar itu? Ah, aku terlalu sibuk untuk memikirkan apa yang kau pikirkan. Kau pun sibuk dengan tanggung jawabmu. Maka kubiarkan saja jawabannya menguap. Yang kutahu, aku hanya pernah cenderung. Entah sejak kapan. Entah sejak kapan.

Kamu memiliki kepercayaan diri dan kebebasan berekspresi. Sesuatu yang tidak kumiliki. Di samping yang pernah kudengar, kau pun cakap dalam pendidikan agama. Aku larut dalam fantasi gila hingga ku sadar akan diri yang tidak menarik dan membosankan ini. Hei, apa hebatnya sosok yang susah bergaul dan monoton? Sejak saat itu, aku pun mulai menarik diri terhadapmu. Aku kehilangan rasa percaya diri. Kucoba merayu hati agar tidak terlalu cenderung terhadap sosok yang belum tentu jodohku. Namun kau tahu, susah betul aku melawan nafsu yang masih betah bersemayam. 

Tulisan ini akan menjadi tulisan terakhirku tentangmu. Ah, kenapa ini terdengar seperti nada ancaman ya? Hmm.. itulah kenapa sejak awal aku memintamu untuk membacanya dengan saksama dan hati-hati.

Jika suatu saat kau mendapati lagi tulisanku yang kuawali dengan kata ‘untukmu’, ku harap kau tak berpikiran itu kamu. Karena kamu kini menjadi kenangan yang akan kusimpan rapat. Tapi jangan pernah menyalahkan diri sendiri, karena ini boleh jadi cara Tuhan menghukumku karena lalai akan janji Tuhan. Ketidaksabaranku akan ketetapan-Nya, ketidaksabaranku akan sosok yang telah disiapkan-Nya membuatku jatuh berkali-kali pada sosok yang tak pasti, sosok yang kucoba rangkai-rangkai dan mencari persamaan dengan cara tersendiri. 

Aku mulai lelah dengan soalan ini. Karena kepastian darimu, juga dari Tuhan, belum juga kukantongi. Maka untukmu, aku berhenti. Jika Tuhan berbaik hati, pasti ada jalan dari-Nya untuk memudahkan soalan ini. Dan Tuhan pastilah berbaik hati. Jika pun bukan denganmu, aku yakin, sosok yang mendampingiku kelak akan lebih baik darimu. Aihh, pede sekali. Tapi memang sudah seharusnya seperti itu. Maka, izinkanlah aku menghibur sedikit hati yang tengah terguncang ini.

Kuharap Tuhan menampakkan yang tak terindra olehku, olehmu, dan membantuku meneguhkan hati hingga datang sosok yang pasti. Tentu ini bukan jalan yang mudah. Karena jodoh ini perkara waktu yang tepat dan rahasia Tuhan. Namun bukan tak mungkin. 

Maka untukmu, ku mencoba mengikhlaskan. 
Semoga ini menjadi awalan yang baik untukku, juga untukmu. 

Jumat, Agustus 2016