Pages

Rabu, 22 Oktober 2014

Ketika Iqra' Tak Lagi Sebatas Membaca

“Seeeh penulis”, sapa teman kampusku suatu ketika. “Sibuk nulis cerpen ya? Makanya ‘gak siap-siap’. ‘Gak siap-siap’? Apanya? gak perlu dijelaskan lah ya. Perih!

Hanya karena beberapa notes yang aku post kan di jejaring sosial facebook, aku kian menjelma menjadi seorang penulis. Tentu saja hanya di kalangan beberapa teman. Belum, belum. Belum merambah ke dunia penerbitan kok, apalagi ke dunia tarik suara. *eh. Tapi tak mengapa, meskipun terkadang terkesan ulok, aku anggap saja sebagai doa. Semoga memang ie babahnya masen kalau kata orang tua jaman dulu. Hehe..

Akhir-akhir ini aku kian semangat membaca. Apapun itu. surat kabar kah, berita yang sering muncul di facebook kah, novel kah, majalah kah, pokoknya apapun, bahkan tempelan sticker di sepeda motor orang sekalipun. 

Karena kata orang-orang, jika tidak rajin membaca maka tulisan yang kita hasilkan akan seperti sayur tanpa garam. Enak, tapi kurang enak. Sama seperti jika mendapatkan nilai A tapi ada tanda minus di sisi sayap kanannya. Sakitnya tuh disini!

Ada lagi, katanya menulis tanpa membaca sama dengan omong kosong. Apa yang mau ditulis jika jarang membaca. Maka agar tulisan sedikit berisi, aku mencoba untuk rajin membaca meskipun hasil tulisan masih standar gini. Belum layak terbit sebenarnya. Tapi cukup untuk menghibur hati yang sedang dirundung rindu akan kebebasan itu. Ituuuu. Gak usah dijelaskan lagi lah yaaa.. Udah paham semua kan? Hehe..

Terlepas dari keinginan untuk menjadi seorang penulis yang baik, dalam artian, tulisannya tidak hanya menghibur, namun ada manfaat di dalamnya, membaca adalah perintah pertama Allah swt kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan Malaikat Jibril. Iqra’!! udah pada tau semua kan?

Nah, Iqra’! atau Bacalah! Merupakan satu perintah singkat yang memiliki pesan maha dahsyat. Allah menitipkan pesan singkat pada Malaikat Jibril untuk disampaikan kepada seorang yang ummi (tidak pandai baca tulis). “Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Satu hal penting, lagi-lagi don’t judge a book from the cover bermain disini. Buktinya Allah menganugrahkan perintah membaca pada seorang yang ummi ini. 

Namun, tanpa menyelewengkan esensi membaca itu sendiri, alangkah indahnya lagi jika kita bisa membaca sesuatu yang tidak berupa tulisan. ‘Membaca’ keadaan misalnya, ‘membaca’ situasi, ‘membaca’ lingkungan, hingga ‘membaca’ raut wajah dan ‘membaca’ pikiran. *Loh..

Alam raya bak perpustakaan Ilahi. Yakinlah, akan ada ilmu di setiap titiknya bagi mereka yang berpikir.

Sejatinya membaca akan menambah wawasan. Tak berguna saat ini apa yang kita baca, tidak menutup kemungkinan akan berguna suatu saat nanti. Takkan lah merugi orang-orang yang membaca.

Terlebih jika membaca tidak hanya diartikan layaknya memperhatikan dan memahami untaian kalimat. Rasulullah saw telah menerapkannya pada awal mula penyebaran agama Islam. Beliau tak lantas menyebarkan Islam secara terang-terangan karena khawatir akan mudharatnya. Perlahan, namun pasti, rasulullah saw mulai menyebarkan Islam secara sembunyi-sembunyi. Apakah harus pintar membaca dalam artian sebenarnya pada kasus ini? Tentu tidak sama sekali. Kelihaian rasulullah saw dalam ‘membaca’ lingkungan, memahami kondisi, bersahabat dengan situasi, mampu membuka tirai kegelapan, menyibak belenggu yang bersemayam dalam nurani masyarakat. 

Tidak hanya pandai ‘membaca’, rasulullah saw dengan penuh kesabaran dan keyakinan terus menyebarkan Islam sampai tiba waktu terbaiknya, Islam tak lagi menjadi sesuatu yang asing dan kemudian mulai disebarkan secara terang-terangan. Hingga sampailah Islam pada kita-kita ini.

Mengamati lingkungan sejatinya membuat kita lebih terbuka terhadap sekitar. Melipatgandakan rasa syukur, peduli, pun menjadi ladang amal bagi mereka yang peka.

‘Membaca’, tak kan lah menjadikan kita sebagai generasi tutup mata melihat fenomena jahiliyah kembali mencuat, lantas dibiarkan. Melihat virus ‘tangan di bawah’ kian merebak, lalu dikasihi. Pemandangan buruk kian menghiasi kanvas-kanvas kehidupan, kemudian kita berjalan, berlalu, seolah-olah tidak tahu. Tak jelas, tak tahu ataukah tak mau tahu. Karena toh, itu bukan aku.

‘Membaca’, tak juga menjadikan kita sebagai generasi tutup mulut menyadari sesuatu yang patutnya disuarakan. Masa bodoh, toh aku tidak dapat keuntungan apa-apa. Toh, disampaikan juga tidak berdampak apa-apa. Toh, ada tidaknya itu, kita masih bisa hidup bahagia. Berikut toh-
toh lainnya. Sadarkah kita, karena toh kita itu, kita telah memenjarakan segenap kepentingan ummat. Mau bahagia kok sendiri aje?

Pun, ‘membaca’. takkan pula menjadikan kita sebagai generasi yang tutup telinga manakala kita dipercayakan untuk mendengarkan. Hanya segelintir orang yang dianugerahi kepercayaan untuk mendengarkan. Mari jadikan telinga sebagai ladang pula untuk meraup pahala.

‘Membaca’ sekali lagi menunjukkan eksistensinya. Tak berguna sekarang. Insya allah akan berguna suatu saat nanti. Tak kan lah merugi orang yang pandai ‘membaca’. Perhatikan sekitar. Pahami lingkungan. Peduli sesama. Amati dan peka. Niscaya kita akan menemukan sesuatu di balik ‘membaca’. Karena ‘membaca’ itu sesuatu. Hehe.

Aku ingin menjadi generasi seperti itu. Generasi yang tidak tutup mata, mulut dan telinga. Tidak akan seketika berubah seperti power rangers yang bisa membela kebenaran. Tak pula seperti doraemon yang punya kantong ajaib dan seketika mengabulkan permintaan. Pun, sebenarnya orientasi kita bukan pada pahlawan fiktif itu. Tapi paling tidak, mari menjadi generasi yang mau berusaha!

Ngomong sih enak, apalagi nulis. Hmmmm.. *pasang kuda-kuda