Pages

Senin, 21 Desember 2015

Saya Bukan Duta

Jamak kita ingin mendapatkan pengakuan dari masyarakat umum, maka ikutlah pemilihan duta. Kesannya prestisius. Dari sekian banyak pemilihan duta, saya hanya tertarik dengan pemilihan duta baca sebab saya senang membaca. Namun, tertarik saja tidak cukup untuk mengikat saya mengikuti ajang itu. Ibarat pepatah kuno pemabuk cinta “cinta tak harus memiliki”, demikianlah.

Ya, saya bukan duta. saya tidak mengikuti ajang duta. saya tidak membenci duta. saya hanya senang membaca, senang memiliki teman yang sama-sama gemar membaca, dan senang mengkompori teman untuk membaca. Bagi saya, saya “duta” tanpa embel-embel duta. 

Teruntuk teman yang pernah mengajak saya mengikuti ajang ini, semoga bisa menjadi jawaban. Saya sudah duta, bahkan sebelum mengikuti ajang duta. 

Saya bukan duta, maka saya tidak memiliki target atau program tahunan. Saya bukan duta, maka saya tidak memiliki massa apalagi penggemar. Saya bukan data, hanya rakyat jelata yang senang membaca dan senang mengajak orang membaca. 

Buku Prophetic Parenting, Cara Nabi Mendidik Anak karya DR. Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid merupakan buku yang baru-baru ini saya gandrungi. Saya butuh maka saya baca. Hingga buku ini turut mengikuti langkah menuju kampus. Sembari menunggu dosen, adanya buku ini bisa menjadi kekasih pengusir sepi. 

Seorang dosen, taksiran usia 60 tahunan, melintas berkali-kali di hadapan saya yang tengah membaca di ruang tunggu. Sedikit terganggu dengan langkah kaki yang terus berderap, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti membaca. Melihat buku yang kini tergeletak di kursi, si Bapak menghampiri, laju mengangkat buku itu sekira 30 cm di hadapan wajahnya. Ia bergumam membaca judul buku. Sekali mengangguk-angguk, melihat ke arah saya, angguk-angguk lagi memperhatikan detail  cover buku yang didominasi warna biru muda ini. 

“Saya maulah”, ucapnya memecah keheningan. Kembali hening karena saya tak buru menjawab dialog. Seolah ini hanya percakapan satu arah hingga kemudian si Bapak kembali berujar kalimat yang sama, “Saya maulah”. Kali ini hanya saya balas dengan senyuman, aiih kenapa saya grogi sekali. 

Melihat kekikukan ini, ia bertanya, ”Dimana kamu beli?”. Saya menjelaskan bahwa buku ini saya pesan pada seorang teman dengan harga 80 ribu, saya kurang tau apakah buku ini tersedia di toko buku sekitaran Banda Aceh. Demikian penjelasan singkat saya. Eh si Bapak kembali mengulang rapalannya, “Saya maulah”, kali ini dengan senyum lebar, sedikit memperlihatkan deretan giginya yang masih rapi untuk usianya. Tampak ia sangat ingin memiliki buku ini. 

Boleh jadi si Bapak percaya yang cinta harus memiliki, hehe. Ia tertarik pada buku ini, dan ingin memiliki. Saya dilema berat, namun dengan pertimbangan siapa yang lebih butuh, akhirnya saya mengalah dengan pernyataan, ”Buku ini buat Bapak saja”. 

Senyum Bapak kembali terangkat. Namun ia khawatir dengan saya, bagaimana dengan saya kalau bukunya beliau ambil. Eh iya juga. Tapi saya mencoba tampil cool dengan mengatakan “Gak apa, Pak. Saya beli lain nanti, Insya Allah”. 

Bapak pemilik senyum manis ini-karena tidak hanya bibirnya yang melengkung, namun matanya ikut berbinar-merogoh saku celananya, kemudian menyerahkan uang sejumlah 80 ribu kepada saya. “Harganya 80 ribu, kan?”, tanyanya memastikan dengan tangan yang masih menggantung di udara. “I...i...iya, Pak”, jawab saya sedikit terbata karena grogi.

“Ambil, kamu beli lain”, katanya dengan nada memaksa. “Baiklah Pak, karena Bapak memaksa”, eh tapi yang ini ngomongnya dalam hati lho ya. Saya menyambut uang itu dengan perasaan tak keruan.

Kemudian ia kembali merogoh sakunya dan menemukan lembaran 10 ribu. “Ini bonus buat kamu”, katanya dengan tidak kalah memaksa. Saya merasa lucu kali ini, karena saya tidak menolak. Wkwkwkwk.

Saya  men-duta-kan diri sendiri. Saya duta bagi diri sendiri, bukan khalayak. Secara tidak sengaja mengajak si Bapak ikut membaca, membuat saya pulang dengan senyum-senyum, senang tak keruan. 

Benar, bahagia itu sederhana, selama kita mendefinisikan dengan cara sederhana. 

Duta baca hanya satu tiap tahunnya. Jika menunggu jadi duta untuk kampanye baca, ya bisa berjamur nunggunya. Tak perlu jadi duta untuk mengajak membaca. Mari bantu duta mengajak ‘kita’ membaca.  

Ayo banyak baca, biar keren. Eh, jangan salah kaprah. Membaca tidak hanya karena hobi, namun karena kita merasa butuh. Kita butuh baca. Seperti aku butuh kamu. 

*Kaaa lom



Jumat, 11 Desember 2015

Perintah Baca (Koran) dari Ayah

“Makanya, bacalah koran! Jangan rugi Ayah beli tiap hari”. Kalimat ini sering diulang ayah manakala yang kami lakukan hanya mengangguk dengan tatapan tak berarti gegara tak nyambung saat diajak diskusi mengenai permasalahan di negeri ini. Jika sudah begini, maka kami siap pasang telinga untuk selanjutnya diberi siraman rohani. 

Berlangganan koran Seram** menjadikan ayah sosok yang banyak tahu, menurut pandangan saya, sehingga saya sering menjadikannya sebagai tempat bertanya.

Ayah jarang menyatakan kata-kata cinta, tapi ayah tak jarang memberikan petuah-petuah bernuansa cinta. Meski belum tergolong ke dalamnya, tapi darinya saya belajar kesederhanaan dalam berkehidupan. 

Pernah suatu ketika ayah menyesali ketidakmampuannya membawa kami mengelilingi ibu pertiwi, namun ia berharap banyak dengan membaca koran, kami bisa menjelajah negeri. 

Lebih dari itu, banyak-banyaklah membaca! 

Pesan ini saya tangkap sambil lalu saat meminta uang untuk keperluan membeli buku, ayah tak pernah bertanya banyak, bahkan bersemangat dan bersedia menemani berbelanja. Berbeda halnya dengan barang mewah sekayak laptop dan hape. Ayah akan bertanya detail keperluannya untuk apa. Heuheu. Baginya, hape yang bisa smsan dan telponan itu sudah cukup. 

Dibandingkan saudara saya yang lain, bolehlah dikata yang saya memiliki sedikit kesamaan dalam hal membaca. Ayah senang membaca koran dan Quran, sedang saya senang membaca buku bacaan.

Ah, buku-buku bagus dan menarik terus saja bermunculan.
Siap.. sedia.. tembak.. dor!!!

Kamis, 12 November 2015

Seorang Gadis dan Penjaga Perpus

Kalau dalam persamaan matematikanya, menunggu = bosan. Bosan = mati karier. Maka saya putuskan untuk beranjak ke pustaka FKIP sekalian mengembalikan buku yang beberapa waktu lalu saya pinjam. Kabar buruknya, alamat kena denda nih. Soalnya, sudah melewati batas pengembalian. Kabar baiknya, itu dia, dendanya belum seberapa. Masih sangguplah diri ini menanggung.

Nah, saat mengantri mengembalikan buku, di depan saya ada seorang gadis. Usianya, sepantaran saya lah. Dia baru saja menyerahkan kartu perpustakaan kepada penjaga perpus yang mengontrol pengembalian buku berikut dengan bukunya. Momen ini tidak bisa tidak saya rekam dan simpan. Pasalnya, ada dialog menarik antara si gadis dan penjaga perpustakaannya.

“Kapan kamu pinjam buku ini?”, tanya penjaga pustaka mengawali percakapan. Tangannya masih lincah memainkan tuts komputer untuk melacak tanggal peminjaman dan tanggal seharusnya buku dikembalikan. Namun terlihat sedikit kerutan di keningnya saat menatap layar komputer, menandakan ada hal yang ganjil.

Si gadis tak langsung menjawab. Entah lah. Besar dugaan, dia kebingungan, karena biasanya jika memang telah melewati batas pengembalian, penjaga perpus langsung menyebutkan berapa jumlah nominal yang harus kita tanggung. Lha ini? Kok tanya kami pulak?

Menyadari situasi tak biasa ini, si gadis pun melongok ke komputer. Saya juga penasaran dan ikut melirik. Meski saya tak begitu mengerti. Karena ada beberapa tabel yang tak tau juga maksudnya apa. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak melirik lagi.

Memang, mata ini akhirnya urung melirik, namun tidak dengan telinga. Telinga ini tidak bisa tidak mendengar. Karena jarak obrolan hanya beberapa senti di depan saya. Menyimak percakapan mereka, akhirnya saya tau ternyata di komputer kakak pustaka tak tersimpan tanggal si gadis meminjam buku. Kok bisa?

Menyadari keteledorannya, kakak ini pun berujar ,”Ya udah, Dek, gak apa”, seraya tangannya menyilakan si gadis untuk bergeser agar antrian yang keburu panjang bisa segera dilayani. Alhamdulillah (dalam hati). Sekarang giliran saya. Namun, ternyata….

Si gadis tak bergeser semili pun. Saya mulai heran dan memperhatikan antrian yang bertambah beberapa baris hingga si kakak menegaskan,”Mau kembalikan buku kan? Udah, gak apa”, jawab kakak perpus dengan senyuman yang tidak dibuat-buat, seraya tangannya masih sama, menyilakan si gadis untuk bergeser agar pengantri berikutnya lebih leluasa. Hey, itu aku, gadis pengantri berikutnya.

 “Tapi di belakang buku ini kan ada tertera tanggal pengembaliannya, Kak”, ujar gadis tadi. Ya ampun, baiklah, saya akan menyimak kembali obrolan ini.

“Hmm… 20 Oktober yaaa”, gumam kakak perpus yang dapat didengar oleh kami bertiga. Saya, si gadis, dan kakak itu sendiri.

“Sekarang tanggaaaal…”, ujar kakak ini sambil menatap loteng,”12 November. Berarti udah sekitar 20 hari. Ya udah 10 ribu, Dek”. Kesimpulan pun didapat. 10 ribu, jumlah nominal yang harus si gadis bayar untuk keterlambatannya mengembalikan buku.

Setelah membayar, baru lah gadis ini beranjak masuk dan bertebaran di dalam pustaka untuk selanjutnya, entahlah apa yang dicarinya. Mungkin nasibnya sama seperti saya, mencari buku untuk keperluan skripsi. Atau mungkin lebih baik? Masih semester 6 atau 7, entahlah.

Satu hal yang pasti, saya kagum dengan keteguhannya untuk membayar denda atas keterlambatannya memulangkan buku. Padahal kakak pustaka jelas telah menyilakan ia pergi tanpa harus membayar satu sen pun. Karena ini (boleh jadi) keteledorannya saat menginput data. Tapi yang terjadi, di luar dugaan.

Kejujuran seperti ini tidak serta merta ada dan terjadi kapan saja, karena ia nya butuh proses panjang sehingga terbentuklah pribadi seperti ini.

Ingin sekali rasanya berkenalan dengan orang tuanya, siapa tahu punya anak laki-laki yang masih lajang, daaan ah ya, bukan itu maksudnya. Kalian asik mikir itu aja. Malas lii ada. :v

Sabtu, 31 Oktober 2015

Mereka Salatnya Gimana?

Pagi menjelang siang tadi saya menjumpai seorang guru di sekolah MTsN M*d** tempat dimana saya merencanakan melakukan penelitian. Tidak ada yang begitu istimewa terkait beberapa diskusi kami. Hanya diskusi ringan seputar bagaimana prosedur penelitian dan alternatif yang akan dipakai jika keadaan menjadi tidak terkendali. Sebab, mengajar itu 'gli-gli meunan' kadang-kadang.

Diskusi perencanaan penelitian tidak berlangsung lama. Karena poin yang saya butuhkan telah cukup. Bisa diperkirakan hanya berlangsung lima belas menit. Biar gak kobong cepat kali pulang, akhirnya pembicaraan beralih ke seputar thesis beliau. Ngomong-ngomong, kami sama-sama tengah berjuang lho. Jadi bisa dibilang, kami sudah sehati dan saling mengerti. Eeeaaa..

Hingga saatnya tiba, beliau tiba-tiba bertanya, saya dulunya PPL dimana. Sempat terbersit di hati saya, pasti ujung-ujungnya nanya prestasi anak didik di sekolah tempat saya mengabdi selama kurang lebih tiga bulan itu. Apa yang membedakan mereka dengan murid di sekolah lain. Biasanya yang suka tanya, penasaran akan hal itu. Sama satu lagi, "Jadi ngajarnya pakai bahasa Inggris?", dengan nada seperempat terkejut.

Well yeah, tenang. Bahasa Inggris saya masih standar untuk anak sekolahan kok. TOEFL saja masih belum lewat-lewat. Masih banyak perjuangan saya ternyata. Kalau kata Afghan, "terlalu sadis caramu".

Hanya-mungkin-Tuhan punya rencana lain untuk saya sehingga saya bisa PPL disana. Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah. Demikian De Masiv pernah menasihati saya secara personal lewat liriknya yang amboi mendayu-dayu, bikin mata kuyu dan sayu. *hah? personal? apa-apaan! dan lagi, jangan tanya apa arti kuyu. Hanya pernah baca dan kayaknya keren aja gitu jika disandingkan dengan kata sayu.

Benar saja. Apa yang terbersit dan bermain di pikiran saya tadi terealisasi. Beliau bertanya, saya menjawab. Namun, pertanyaan anti mainstream yang saya dapat adalah, "Mereka salatnya gimana?". Nanyain salat, Bro.

Demi menjawab pertanyaan tak terduga, tak terencana dan perdana ini, saya terdiam beberapa saat, tapi tidak membisu. *Maksudnya?
Selow lah, selow. Gak usah heboh gitu.

Perasaan saya haru, namun sekaligus serasa diskak mat. Ibarat catur, raja tersudutkan oleh aksi cantik mess (kami bilangnya mess, sebutan untuk ratu/ menteri) dan benteng dari pihak lawan. Maju kena, mundur kena.
Ibu ini penasaran seputar salat mereka. Saya urung bertanya apa yang menyebabkan ibu ini bertanya demikian. Seolah ada sedikit keraguan disana. Tapi, ah sudahlah. Meski dalam perjalanan pulang, terbayang-bayang juga. Ada sesal untuk sebuah pertanyaan yang tidak jadi saya tanyakan itu. Penasaran, meeen.

Makin ngefans lah sama ibu ini. Meski jawaban saya sangat sederhana, namun saya salut untuk pertanyaan yang saya anggap 'cerdas' ini, karena tak terpikirkan oleh penanya yang sudah-sudah. Itu!

Kamis, 01 Oktober 2015

Mahasiswa Baru : Nyesal Pilih Aceh!

Menceburkan diri dalam aktivitas membaca cukup membantu mengurangi penatnya aktivitas menyelesaikan tugas akhir. Maka, eloklah putusan untuk hijrah ke toko buku menjadi pilihan menyilaukan. Ada beberapa buku yang menjadi incaran hari ini. Meski sebenarnya buku yang beberapa waktu lalu belumlah khatam.

Sayang, toko bukunya tutup. Tak ingin berpindah ke lain hati (baca: toko), saya memutuskan untuk pulang. Mencoba menikmati suasana sore di jalanan, hingga sampai di jalan Inong Balee, terlihat seorang gadis berlari-lari tidak karuan. Sontak hal ini menjadi pemandangan asing bagi beberapa orang di sekitar jalanan, terlebih pandangan saya.

Laju motor sengaja saya pelankan, mencoba menerka ada gerangan apa. Akal dan hati kali ini tumben sejalan. Saya memutuskan untuk menoleh ke arahnya saat laju motor kian mendekat.

Dan hasilnyaaaa..

“Kak...Kak...”, sapa gadis ini sambil memainkan tangannya, persis seperti penumpang menyetop taksi. Refkles, tangan berhenti mengegas motor.

“Iya”, jawab saya sekenanya. Bukan sekena sebenarnya, namun hanya kata itu yang meluncur manakala melihat mata gadis ini gerimis dan mencoba mengatur pernapasan.

“Kakak mau kemana?”, dia memulai tanya. “Pulang”. Saya heran kenapa jadi “cool” seperti ini jawaban yang meluncur deras dari seorang saya.

“Kakak pulang kemana?”. Terdengar jelas suara ngos-ngosannya. Tak terduga berapa jauh dia lari-lari tadi. “Boleh saya numpang sampai Asrama Bidikmisi Unsyiah?”, tanyanya sambil menunjuk arah menuju asrama yang dituju.

Loh loh, ini kenapa skenarionya jadi seperti ini?

Saya masih trauma dengan aksi hipnotis tempo lalu. Meski sebenarnya bukan, tapi trauma sepanjang masa masih belum bisa ditepis.

Dalam pertimbangan, saya sempat memperhatikan setelan pakaian dan gerak gerik tubuhnya. Tidak ada yang mencurigakan memang, terlebih di tangannya, ia hanya sedang menggenggam kantong plastik minuman. Dugaan saya saat itu, Pop Ice. Alhamdulillah bukan pisau atau senjata tajam lainnya. (Ya elah, masak iya mau hipnotis atau ngerampok terang-terangan?). Jika pun ia ingin mencelakakan saya, maka tidak mungkin celaka hanya dengan sekantong plastik minuman Pop Ice.

Maka akhirnya...

“Boleh, Dek”, jawab saya setelah drama pertimbangan berkecamuk. Tak jelas kekuatan apa yang mendorong saya menjawab seperti itu. Hanya mencoba mensuplai energi positif, dan Bismillah, kita berangkat.

Masih dengan isak tangisnya, saya mencoba mengajukan pertanyaan yang umum ditanyakan saat melihat adegan seperti ini. “Ada apa, Dek? Kenapa tadi lari-lari?”

Sungguh jawaban yang ia sampaikan bukanlah jawaban yang ingin saya, Anda, dan kita semua dengar. Jawaban yang bikin saya tetiba, deg! Diam dalam ketidakpercayaan.

“Sepulang dari kampus”, ia berusaha menata suaranya yang jelas terdengar bergetar, “tiba-tiba ada Bapak-Bapak entah Abang-Abang menawarkan diri untuk membonceng saya sampai rumah, tapi dia minta pegang “itu” saya, Kak”, jawabnya dengan tangis yang semakin isak. Mungkin pikirannya masih menerawang, mencoba mereka ulang kejadian, hingga tangisnya pecah.

Astaghfirullah. Saya mencoba membatin berkali-kali. Masih tidak percaya dengan apa yang saya dengar dan adik ini alami. Wajar jika akhirnya ia melarikan diri dari sosok yang (maaf) menjijikkan itu.

Selama ini, saya hanya mendengar berita seperti ini dari teman, surat kabar, atau media televisi. Hanya saja sekarang saya mendengar langsung dari bakal calon korban.

Pengakuan tadi menjadi satu hal yang sangat memalukan. Pengakuan selanjutnya lebih mencengangkan, terutama bagi saya, selaku pihak yang menerima pesan langsung.

“Saya mahasiswa baru dari Medan. Tau seperti ini, nyesal pilih Aceh!”, akunya masih dengan isak tak terkendalikan.

Belum sembuh luka pendengaran saya mendengar pengakuan awal adek ini, telinga saya dipaksa kembali menderita mendengar pengakuan terakhirnya.

Ingin saya serbu adek ini dengan “Yang sekarang nolongin adek ini orang Aceh lho”. Agar ia sadar, tak semua orang Aceh seperti itu. Dan pun kan belum ada kepastian, laki-laki itu orang Aceh atau bukan. Satu lagi, “kenapa gak kuliah di Medan aja, kan enak tempat sendiri?”. Namun urung. Itu hanya pertanyaan imajinasi yang dipenuhi amarah tak terbendung. Bukan saat yang tepat untuk mencari perkara. Pun saya sadar, kalimat seperti itu hanya akan menimbulkan perpecahan.

Perjalanan yang mungkin hanya menghabiskan waktu lima menit ini, tidak banyak nasihat yang bisa saya berikan selaku mahasiswa yang lebih senior di Kota Banda. Hanya beberapa kalimat stagnan layaknya “Lain kali kalau jalan sendirian, hati-hati. Cari jalanan yang biasa ramai dilalui orang”.

Sebenarnya jika mau sedikit berpikiran jernih, tidak hanya di Banda Aceh, dimanapun lokasinya, kejadian seperti ini akan tetap ada, bahkan mungkin lebih mengerikan. Namun, saya tidak ingin memaksakan pikiran saya pada adek ini. Tugas saya hanya mengantar. Tak baik mengajak ngobrol perempuan yang hatinya tengah meringis. Barangkali setelah beberapa waktu, biarlah teman sekamarnya yang menenangkan dan dalam kesendiriannya ia merenung. Tugas saya selesai, dan pulang dengan perasaan yang saya tak mampu mendeskripsikannya.

Kecewa. Jika memang laki-laki itu orang Aceh, maka betapa bobroknya moral laki-laki Aceh kita. Parahnya, sang korban bukan orang Aceh. Semakin menambah daftar hitam catatan negeri kita di samping catatan hitam plintingan ganja. Ah, saya tak habis pikir jika adek ini menceritakan ke seluruh teman, keluarga dan kenalannya. Malu sekali jadi orang Aceh rasanya. -­_-

Karena khawatir dengan mudharat tulisan ini, saya tidak berniat menshare tulisan ini, seperti kebiasaan dulu-dulu, share di facebook. Kali ini hanya untuk menambah jumlah postingan tahun ini yang sangat menyayat-nyayat mata memandangnya.

Biarlah ini menjadi rahasia saya, Tuhan, dan Anda, yang mungkin nyasar ke blog dan postingan ini.
Syukur-syukur bisa kita ambil ibrah darinya.