Pages

Minggu, 03 Desember 2017

Negeri (bisa) Basi

Ini aku. Bertitelkan mahasiswa kampus elit dalam negeri tanah indatu. Ah, mahasiswa, yang bagi pemangku kekuasaan dulunya disegani dan ditakuti. Karena apa? Suaraku, suara mahasiswa. Bukan suara Tuhan yang digaungkan sistem demokrasi hasil cipta makhluk, yang timpang sana sini. 

Suaraku, suara mahasiswa. Melihat bagaimana rekaman para demonstran unjuk rasa pada masa-masa penggulingan pemerintahan Soeharto, masihkan mahasiswa dewasa ini disebut mahasiswa? Tubuh-tubuh gagah nan kokoh menggebrak istana dan menelan beberapa korban jiwa yang sebagian besar adalah mahasiswa. Bergemeretak gigi pejabat eksekutif menyaksikan aksi mahasiswa. Tidur tak tenang, makan tak kenyang.

Jika suaraku masih layak disebut suara mahasiswa, akankah elit politik bisa tertidur pulas saat rapat akbar? Kurasa tidak. Gemetar kakinya apabila mendengar suaraku. Karena suaraku, suara mahasiswa. Pelajar terpandang yang disegani dan ditakuti pria berdasi yang doyan korupsi.

Suaraku, suara mahasiswa. Astaga. Masihkah kata ini membuatmu gentar, wahai tuan? Ataukah kami tak sekokoh mahasiswa zaman dulu, shaf kami tak serapat pendahulu kami yang gagah melakukan aksi besar-besaran hingga pak polisi dibuat pusing dengan pertahanan abang-abang kami? Dan hei, malah aku sendiri pernah menyaksikan, lebih banyak aparat yang berjaga-jaga tinimbang para demonstran. Hingga pelintas jalan raya bukannya bertanya, “Ada demo apa ini?”, tapi berubah dengan, “Kenapa ada banyak polisi?”

Karena ini zaman teknologi. Mungkin kami tak akan lagi menggunakan otot untuk mengguncang pagar perlindungan tuan. Namun kami akan mengandalkan tulisan yang akan menghujam pikiran, menggerogoti tiap malam. Yang terlibat kasus rekening gendut, siap-siap saja. Betapa tidak, janjimu sungguh jambu, janjimu busuk. Satu juta per KK apanya. Dulu pernah kudengar ada yang menagih janji ini, tapi kini tak pernah ku dengar lagi suara gugatan atas janji itu.

Aku sadar. Oh, salah. Kami sadar, barisan kami tak lagi serapat barisan abang-abang yang telah mendahului kami. Diiming-imingi makan bersama di istana, kami pun bungkam. Kami menginsyafi ketidakberdayaan kami. Alangkah baiknya, tuan, anggaplah kami ini singa yang tengah tertidur. Sebelum kami terbangun, sadarlah wahai tuan berdasi.


Bukanlah ini ancaman, tuan. Mari kita duduk ngopi jika ingin negeri ini tak jadi negeri basi. Mari kita bangun negeri agar tak hanya dikenal sebagai tanah bekas tsunami. 

0 komentar:

Posting Komentar