Ini aku. Bertitelkan mahasiswa
kampus elit dalam negeri tanah indatu. Ah, mahasiswa, yang bagi pemangku
kekuasaan dulunya disegani dan ditakuti. Karena apa? Suaraku, suara mahasiswa. Bukan
suara Tuhan yang digaungkan sistem demokrasi hasil cipta makhluk, yang timpang
sana sini.
Suaraku, suara mahasiswa. Melihat
bagaimana rekaman para demonstran unjuk rasa pada masa-masa penggulingan
pemerintahan Soeharto, masihkan mahasiswa dewasa ini disebut mahasiswa? Tubuh-tubuh
gagah nan kokoh menggebrak istana dan menelan beberapa korban jiwa yang
sebagian besar adalah mahasiswa. Bergemeretak gigi pejabat eksekutif
menyaksikan aksi mahasiswa. Tidur tak tenang, makan tak kenyang.
Jika suaraku masih layak disebut
suara mahasiswa, akankah elit politik bisa tertidur pulas saat rapat akbar?
Kurasa tidak. Gemetar kakinya apabila mendengar suaraku. Karena suaraku, suara
mahasiswa. Pelajar terpandang yang disegani dan ditakuti pria berdasi yang
doyan korupsi.
Suaraku, suara mahasiswa. Astaga.
Masihkah kata ini membuatmu gentar, wahai tuan? Ataukah kami tak sekokoh
mahasiswa zaman dulu, shaf kami tak serapat pendahulu kami yang gagah melakukan
aksi besar-besaran hingga pak polisi dibuat pusing dengan pertahanan
abang-abang kami? Dan hei, malah aku sendiri pernah menyaksikan, lebih banyak
aparat yang berjaga-jaga tinimbang para demonstran. Hingga pelintas jalan raya
bukannya bertanya, “Ada demo apa ini?”, tapi berubah dengan, “Kenapa ada banyak
polisi?”
Karena ini zaman teknologi. Mungkin
kami tak akan lagi menggunakan otot untuk mengguncang pagar perlindungan tuan.
Namun kami akan mengandalkan tulisan yang akan menghujam pikiran, menggerogoti
tiap malam. Yang terlibat kasus rekening gendut, siap-siap saja. Betapa tidak,
janjimu sungguh jambu, janjimu busuk. Satu juta per KK apanya. Dulu pernah
kudengar ada yang menagih janji ini, tapi kini tak pernah ku dengar lagi suara
gugatan atas janji itu.
Aku sadar. Oh, salah. Kami sadar,
barisan kami tak lagi serapat barisan abang-abang yang telah mendahului kami.
Diiming-imingi makan bersama di istana, kami pun bungkam. Kami menginsyafi
ketidakberdayaan kami. Alangkah baiknya, tuan, anggaplah kami ini singa yang
tengah tertidur. Sebelum kami terbangun, sadarlah wahai tuan berdasi.
Bukanlah ini ancaman, tuan. Mari
kita duduk ngopi jika ingin negeri ini tak jadi negeri basi. Mari kita bangun
negeri agar tak hanya dikenal sebagai tanah bekas tsunami.
0 komentar:
Posting Komentar