Pages

Selasa, 26 Desember 2017

Sentilan 'Penghibur' Hati

“Jadi gimana? Kapan?”, cecar seorang teman. Sebut saja namanya Anggrek. Tapi ia lebih ridho disapa Bulan. Well yeah, kita gabung saja menjadi Anggrek Bulan. ^^

Yang ditanya mematung, tak tahu harus mengarang apa kali ini. Namun ia mencoba berkilah, meski air mata tak menitik, namun hati tak bisa tak meringis. Karena persoalan 'itu'-ah, kata itu amat indah terdengar. Bersabarlah, wahai diri-, bukanlah kuasanya untuk menjawab.

Ada hasrat untuk menimpali, namun ia memilih bungkam. Lagipula, ia sudah terbiasa menahan diri, apa salahnya menekan rasa itu kali ini juga. Semoga tidak menjadi bom atom saja di lain waktu.

Berbicara cinta, luas sekali cakupannya. Jika yang disasar hanya terpautnya hati terhadap lawan jenis, ah, dangkal sekali.

Jika memang belum masanya, mungkin yang demikian cara Tuhan untuk membuat kita yang nyatanya dekat, menjadi lebih dekat dengan keluarga, berbakti lebih banyak terhadap ibu bapak.

Namun, sebagaimana Ali bin Abu Thalib yang menasihati untuk menghibur hati suatu ketika, karena jika dipaksa terus menerus akan sesuatu ia bisa membuta, lantas ia pun memilih untuk menikmati saja lah kedangkalan itu kali ini. Mungkin memang sudah masanya, sedikit sentilan mengena untuk melawan lupa. Semoga tidak menjadi kesombongan intelektual yang berimbas pada melemahnya ukhuwah, pikirnya.

Menunggu juga ujian. Ujian kesabaran dan berdiam dalam ketaatan. Hingga saatnya, tanpa perlu mentergesai.

“Jika Dia saja tak bisa kudekati, gimana pula dengan ia yang hanya makhluk? Solusinya, aku harus mendekati Dia sebelum dia, pun jika dia tak jua bertamu, semoga aku tak kehilangan Dia”, demikian ia berkesimpulan.



Sumber photo: dokumen pribadi

Satu Pesan Ayah

Di tengah kegaduhan ibu kota dengan beragam beritanya, seorang ayah mengajak anaknya untuk menikmati hari liburnya setelah ujian panjang di sekolah yang begitu penat.
“Ayah, mengapa air ini tampak begitu tenang? Tak seperti air laut yang berombak?”, tanya anak itu keheranan. Seminggu sebelum ujian, ayahnya mengajaknya untuk mengamati laut. Tak tahu persis apa yang mereka lakukan selain hanya duduk mengamati pantai dan lautnya.
“Bersyukurlah, Nak, Tuhan masih berbaik hati menciptakan suasana yang mampu menawarkan ketenangan."
“Aku tidak mengerti, Ayah”, sahutnya setelah berpikir sejenak. Gesture tubuhnya berubah-ubah, dimulai dari mengernyitkan dahi, tumpang dagu, mendongak ke arah ayah, hingga kembali menumpang dagu, meniru sang ayah.
Selaksa pertanyaan muncul di kepala Umar kecil, apa maksud ayah kali ini? Tapi melihat ketenangan air, ia pun membisu, memilih menunggu ayah memberi jawaban dan menikmati pemandangan.
“Dalam hidup, kamu akan menemukan dua tipe manusia. Berani dan ganas seperti air laut, namun dalam perjalanannya, ia pecah menjadi buih, atau bahkan tenang seperti danau ini, tak jelas seberapa dalam ianya, namun tak begitu mengherankan jika air setenang ini mampu menghanyutkan.”
“Jangan heran”, sambung ayah sembari menatap danau lekat-lekat, “jika suatu waktu kamu menjumpai orang yang mengaku diri cerdik pandai, padahal nyatanya kusut masai. Berdiskusi layaknya ahli, padahal hasil googling sana sini.”
Ayah merubah posisi duduknya, kedua lututnya diangkat, menyatu sebagai penopang dagu. “Baiklah, anggap saja mereka memang dianugerahi kelebihan dalam beberapa disiplin ilmu, hingga banyak pahamnya. Tapi banyak paham saja tidak cukup jika nyatanya sedikit membaca, ogah mengkaji dan mengaji, dan malas berguru. Hal ini diperparah jika menganggap diri paling benar. Ibarat penyakit, sifat ini telah mencapai stadium akhir, kronis, sekaligus kompilasi. Komplit!”
Ayah menjelaskan penuh semangat, lupa dengan kenyataan bahwa Umar hanyalah anak-anak. Yang mendengar hanya bisa ber-’oh ya?’. Mencoba mencerna setiap untaian kata ayah yang menjelma bagaikan rumusan dalam matematika.
Menyadari perubahan raut wajah Umar, ayah mencoba menyederhanakan kalimatnya. “Kamu tak perlu terlihat pintar agar dipuji. Dengarkan apapun yang orang katakan meski sebenarnya kamu telah mengetahuinya. Jangan sekali-kali bersikap sok pintar dengan menyela dan mengatakan, ‘iya, saya sudah tahu’. Karena apapun yang mereka katakan, percayalah, ada sesuatu yang berbeda dari yang telah kita ketahui sebelumnya. Karena saat kita mengatakan saya sudah tahu, sejatinya kita telah menahan masuknya sebuah ilmu.”
“Hmmm.. tapi aku masih belum paham, Ayah.”
Ayah membentuk lengkungan di bibirnya. “Maafkan Ayah, Nak. Ayah pikir tadi sedang berbicara dengan ibumu. Hehehe.. Aroma ikan bakar pedagang sebelah mengingatkan ayah terhadap ibu”, ayah kembali membentuk lengkungan di bibirnya. Kali ini lebih lebar.
“Kamu hanya perlu mengingat pesan Ayah, Umar. Seiring waktu, kamu akan menemukan jawaban atas ketidakpahaman ini. Sepertinya menu hari ini akan enak. Ayo kita jumpai ibu.”
Tanpa meminta persetujuan Umar, ayah telah bangkit dan melangkah menuju rumah tempat mereka merenda kehidupan. Kali ini lengkungan di bibirnya tak kalah lebar. Entah apa yang dipikirkannya. ^^

sumber photo: dokumen pribadi

Senin, 04 Desember 2017

Pernyataan yang Menjadi Pertanyaan

Ku mulai menduga-duga, perasaan apa ini. Saat kau mengajak bicara, melihat saja aku sudah serba salah tingkah. Kepalaku disusupi beribu pertanyaan dan jawaban yang terpaksa kurangkai asal. Ah, lagi-lagi aku terperangkap dengan rasa bersalah. Kurasa ada yang salah dengan diri ini, jika tidak ingin menyebutnya gila. Sejak dua tahun belakangan aku terpenjara untuk satu pertanyaan besar yang membalut diri. Apa gunanya mengikat sesuatu yang menginginkan kebebasan? 

Aku masih terus berputar-putar mencari pembenaran untuk segala kemungkinan jawabannya. Pandanganku kembali suram bilamana memikirkan hendak jadi apa ke depannya. Sudah berkali-kali peluang terlewati begitu saja. Bukan membiarkan, hanya saja aku rasa belum siap untuk setiap kenyataan ke depan, hingga ku paksa mengulur, lagi dan lagi. 

Sematan prestisius harusnya bisa kucapai. Aih, tapi aku tidak terlalu bergairah lagi untuk mendapatkannya hingga ia pun ngacir. Tahukah kau apa hal yang paling takut kuhadapi? 
Tak ada lain, aku takut menghadapi ketakutanku sendiri. 

Apa ia seorang introvert akan sulit berkembang? Pertanyaan ini mulanya merupakan sebuah pernyataan dari seorang sahabat. Pernyataan yang sangat menampar. Sekali waktu aku merasa introvert, jika berada di lingkungan asing. Tapi aku akan sangat ekstrovert di kalangan introvert. Ada apa ini? Mungkinkah kepribadian ganda? Hm.. agaknya ini mulai menjalar ke luar konteks. 

Teringat dengan pesan Ibnu al Qayyim al Jauziyah, "Jangan kamu rusak kebahagiaanmu dengan rasa cemas. Jangan rusak akalmu dengan kepesimisan”

Ucapan itu terus membatin. Sekali waktu ia sukses, namun di kali lain, aku sempurna gagal. 

Minggu, 03 Desember 2017

Ketika Cinta Bertahta

Andai setiap pecinta menyadari, yang dicinta hanyalah titipan, maka tidak akan ada kisah tragis seperti Layla dan Majnun. Tidak ada pula peristiwa menyejarah Romeo dan Juliet yang digaungkan sebagai cinta suci. Penuh ujian dan problematika. Diimpikan setiap anak muda. Ketergilaan atas nama cinta yang terdengar heroik, padahal na’udzubillaahi min dzaalik. Inilah yang dinamakan candu cinta, biusnya mematikan. Demikian sederet kisah cinta yang tanpa landasan agama.

Mari kita tilik kembali sejarah kecintaan nabi kita, Ibrahim ‘alaihi salam. Kecintaan Sang Nabi terhadap putranya, Ismail, tak lantas membuatnya mengingkari perintah Allah. Perintah menyembelih putra tercinta. Menariknya, Allah tidak rela hamba yang dikasihinya menderita, sehingga menggantikan tubuh Ismail kecil dengan seekor domba kibas. Inilah ujian yang agung. Kecintaan yang menghamba. Kecintaan yang menjadi tunas yang menumbuhkan perintah untuk berqurban di Hari Raya Idul Adha. Cinta dengan landasan agama. Cinta pada Yang Maha Mencinta.

Lain halnya dengan kecintaan Abdurrahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq r.a terhadap istrinya, Atikah. Tak ada prahara atau konflik rumah tangga, melainkan setiap harinya selalu penuh cinta. Dengan misi membangun jembatan di surga dunia dengan titian mencapai surga akhirat.

Hal ini yang menjadikan Abu Bakar ash-Shiddiq gusar. Ia khawatir, cinta Abdurrahman terhadap Atikah malah menjauhkannya dari ibadah dan jihad. Saat inilah episode ujian cinta Abdurrahman-Atikah dimulai.  Abu  Bakar memerintahkan Abdurrahman untuk menceraikan istrinya. Kekhawatiran Abu Bakar bukannya tanpa alasan, mengingat rumah tangga yang dibangun anak dan menantunya, jauh dari kata ‘cacat’.

Begitu mulianya Abdurrahman melepaskan istri yang sangat dicintainya demi bakti dan cintanya terhadap orang tua. Kegamangan yang dirasakan turut melahirkan syair yang begitu syahdu.
Demi Allah, tidaklah aku melupakanmu
Walau mentari kan terbit meninggi
Dan tidaklah terurai airmata merpati itu
Kecuali berbagi hati

Tak pernah kudapati orang sepertiku
Menceraikan orang seperti dia
Dan tidaklah orang seperti dia
Ditalak karena dosanya

Dia berakhlak mulia, beragama,
Dan bernabikan Muhammad
Berbudi pekerti tinggi, bersifat pemalu,
Dan halus tutur katanya

Akhir episode ujian cinta Abdurrahman-Atikah tak sedrama kisah Romeo-Juliet yang konon katanya sehidup semati. Tak pula menyedihkan seperti kisah Layla dan Qais yang akhirnya menjadi majnun, gila karena cinta. Sebab inilah pembuktian cinta yang berlandaskan agama. Abdurrahman membuktikan cintanya terhadap istri tercinta tak menjadikan cinta terhadap Allah luput. Ia pun syahid di medan perang tak lama setelah rujuk dengan Atikah. Inilah cinta dengan landasan agama. Dengan akhir yang agung.

Lalu, masihkah kita akan terbutakan oleh cinta? Ataukah kita sepatutnya memilih cinta yang mampu menghantarkan kita pada akhir yang agung? Cinta yang mampu membersamai menapaki jalan menuju surga. Memperoleh barakah cinta dari Yang Maha Mencinta. Saatnya menentukan pilihan.


Matematika dan Mematematikakan Kehidupan

Jadi kan dek. Kadang hidup itu seperti matematika juga dia. Gak cukup hanya dengan menghafal simbol dan rumus. Penguatan konsep amatlah penting melalui latihan yang kontinu. Begitulah hidup. Kadang kita harus menghadapi ujian dan latihan berkali-kali untuk mengerti dan paham arti syukur, ikhlas, tawakal, dan teman-temannya yang (maaf) gak bisa dimention satu-satu untuk selanjutnya bisa melewati standar kelulusan. Karena tanpa ujian dan latihan, syukur dan teman-temannya itu kurang nempel, kurang membekas, kurang bermakna. Sama seperti rumus yang dihafal tanpa dilatih atawa diulang-ulang, lama-lama akan tumpul juga. 

Dan hei, mematematikakan kehidupan juga ada kalanya sedikit menyusahkan, sama susahnya saat pertama kali berkenalan dan mengerjakan perhitungan formulasi algoritma matematika yang sistematis. Salah input dikit aja, error. Mesti ikuti langkahnya dari awal lagi. Salah lagi, ulang lagi. Salah dan ulang menjadi teman yang sangat akur hingga kita hafal betul prosedur perhitungannya bersebab telah terbiasa. 

Ini membuktikan, Tuhan menjadikan itu sulit bukan karena itu memang sulit. Namun karena kesulitan akan selalu dipertemukan dan disandingkan dengan kemudahan. Bukan kata saya. Ini Kalamullah. Mari kita buka kembali Al-Quran. Penjelasan tersebut tertuang dalam Surat Al-Insyirah ayat ke, nah ini PR, yang buka dan hafal pasti tahu. Tidak hanya sekali, penjelasan tersebut diulang dua kali. 

Bahkan saat malam dengan kondisi rumah tengah dilanda pemadaman listrik,  melangkah sajalah keluar rumah, niscaya kita dapati terangnya bulan. Seperti kata pepatah terkenal apa itu? Yang kita hafal sekali di luar kepala “Where there is a will, there is a way”. Selalu ada jalan. 
Lagi dek, ternyata mematematikakan jodoh juga, ah, sudahlah. Mari kita ngopi. Biar apa sikit kepala kita. 


Negeri (bisa) Basi

Ini aku. Bertitelkan mahasiswa kampus elit dalam negeri tanah indatu. Ah, mahasiswa, yang bagi pemangku kekuasaan dulunya disegani dan ditakuti. Karena apa? Suaraku, suara mahasiswa. Bukan suara Tuhan yang digaungkan sistem demokrasi hasil cipta makhluk, yang timpang sana sini. 

Suaraku, suara mahasiswa. Melihat bagaimana rekaman para demonstran unjuk rasa pada masa-masa penggulingan pemerintahan Soeharto, masihkan mahasiswa dewasa ini disebut mahasiswa? Tubuh-tubuh gagah nan kokoh menggebrak istana dan menelan beberapa korban jiwa yang sebagian besar adalah mahasiswa. Bergemeretak gigi pejabat eksekutif menyaksikan aksi mahasiswa. Tidur tak tenang, makan tak kenyang.

Jika suaraku masih layak disebut suara mahasiswa, akankah elit politik bisa tertidur pulas saat rapat akbar? Kurasa tidak. Gemetar kakinya apabila mendengar suaraku. Karena suaraku, suara mahasiswa. Pelajar terpandang yang disegani dan ditakuti pria berdasi yang doyan korupsi.

Suaraku, suara mahasiswa. Astaga. Masihkah kata ini membuatmu gentar, wahai tuan? Ataukah kami tak sekokoh mahasiswa zaman dulu, shaf kami tak serapat pendahulu kami yang gagah melakukan aksi besar-besaran hingga pak polisi dibuat pusing dengan pertahanan abang-abang kami? Dan hei, malah aku sendiri pernah menyaksikan, lebih banyak aparat yang berjaga-jaga tinimbang para demonstran. Hingga pelintas jalan raya bukannya bertanya, “Ada demo apa ini?”, tapi berubah dengan, “Kenapa ada banyak polisi?”

Karena ini zaman teknologi. Mungkin kami tak akan lagi menggunakan otot untuk mengguncang pagar perlindungan tuan. Namun kami akan mengandalkan tulisan yang akan menghujam pikiran, menggerogoti tiap malam. Yang terlibat kasus rekening gendut, siap-siap saja. Betapa tidak, janjimu sungguh jambu, janjimu busuk. Satu juta per KK apanya. Dulu pernah kudengar ada yang menagih janji ini, tapi kini tak pernah ku dengar lagi suara gugatan atas janji itu.

Aku sadar. Oh, salah. Kami sadar, barisan kami tak lagi serapat barisan abang-abang yang telah mendahului kami. Diiming-imingi makan bersama di istana, kami pun bungkam. Kami menginsyafi ketidakberdayaan kami. Alangkah baiknya, tuan, anggaplah kami ini singa yang tengah tertidur. Sebelum kami terbangun, sadarlah wahai tuan berdasi.


Bukanlah ini ancaman, tuan. Mari kita duduk ngopi jika ingin negeri ini tak jadi negeri basi. Mari kita bangun negeri agar tak hanya dikenal sebagai tanah bekas tsunami.