Pages

Rabu, 24 Februari 2016

Emak dan Penantian



Sejak merantau dan kuliah di Banda, itulah kali pertama saya berjarak dengan orang tua. Dulu ketika akan masuk SMP, besar harapan saya agar diterima di pesantren Lueng Putu, tapi tak ada izin dari Ayah. Kalau Mak, ikut apa kata Ayah. Akhirnya, saya masuk SMP. Setamat SMP, saya memenuhi kualifikasi untuk mendaftar di SMA Modal Bangsa, namun lagi-lagi, Ayah tak mendukung. Katanya, masih takut dengan kejadian tsunami 3 tahun lalu. Saya kira itu hanya alasan saja. Orang tua mana yang ingin berjarak dengan anaknya. Ya sudah, saya ikuti saja kemauan ayah. Saya rasa, jika Unsyiah ada di Bireuen, mungkin saya akan kuliah di Bireuen juga. Demikian lah.

Satu hal yang saya syukuri juga Unsyiah ada di Banda, dalam artian bukan ingin berjarak dengan orang tua, hanya saja ingin belajar mandiri. Karena jika selalu bersama orang tua, saya merasa selalu berkecukupan. Segala kebutuhan terpenuhi. Saatnya saya belajar memenuhi kebutuhan secara mandiri. Maka, jika ada tawaran untuk tinggal di rumah saudara, batin saya menolak mentah-mentah. Alhamdulillah, orang tua tidak kepikiran kesana, yeay!

Tulisan kali ini tidak mengulas perjalanan hidup saya. Namun bercerita tentang Emak dan Penantian. Ada apa dengan penantian ini? Berikut ulasan yang tak singkatnya.

Minggu (21/2), tiga hari yang lalu, Mak berangkat ke Banda dengan menumpangi bus sekolah dengan rute dari Bireuen menuju Banda. Kabar ini telah saya terima beberapa hari sebelumnya. Kata Mak, beliau berangkat dengan rombongan Linto Baro ke Ujung Batee, jadi saya diminta jemput Mak di Mesjid Raya Baiturrahman selepas acara tersebut. Karena mungkin akan Dzuhur disana. Kabar ini mampu menggenapkan perasaan senang dan sedih. Senang sebab akan berjumpa Mak. Sedih sebab akan melepaskan Mak balik ke Bireuen lagi nantinya.

Jika boleh memilih, saya lebih senang mengunjungi daripada dikunjungi. Karena menjadi orang yang ditinggalkan itu pedih!

Tapi tak mungkin saya menolak kedatangan Mak. 

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Ternyata Mak mengirim pesan untuk menunggu di Simpang Mesra saja, karena bus sekolah akan melewati jalan itu. Jika harus jemput ke mesjid raya, terlalu jauh bagi kami, saya dan Andi, adik saya, demikian dalih mak. Kami pun yes saja. 

Setelah pesan itu sampai di kami, kami laju menuju Simpang Mesra dan memutuskan menunggu di tempat yang mudah dilihat oleh Mak. Andi pun menunjuk halte yang baru dibangun, tak jauh dari bundaran Simpang Mesra. 

“Mangat ta rasa duek di halte sigoe-sigoe, bek hana sagai”, katanya. Saya ikut saja. Karena saya pikir, iya juga. Hahaha

Ternyata pilihan kami tidak salah. Strategis, mudah dilihat, dan diperhatikan. Terbukti, sejak detik pertama kami duduk di halte, siapapun yang melintas, rasanya tidak nikmat jika tidak memperhatikan kami. Adik saya yang risih, langsung berpindah tempat duduk. 

“Kadang dipikee tanyoe pacaran”, demikian pikirnya.

Sebenarnya saya sudah menduga. Hanya saja, saya tidak begitu menghiraukan. Tetiba Mak sms, ”Ini baru siap makan dan naik bus, lagi tunggu satu orang lagi”.

Jiah, baru naik bus? *batin saya berteriak

“Bro, baru geu-ek moto”, kata saya pada mabro. 

Andi tak kalah terperanjat. Demi melihat air mukanya yang menjadi tak beraturan, saya tak kuasa menahan gelak. 

“Ya Allah, dengan Ujung Batee that jioh. Dengan ibuk-ibuk lom that jai macam buet. Golom ibuk-ibuk yang asik selfie lom”, gerutunya. 

Demikianlah. Karena niatan tak ingin Mak yang menunggu kami, akhirnya kami stand by begitu cepat menunggu Mak. Hening, kami terdiam dengan pikiran dan khayalan masing-masing. Kami duduk dan memandang ke arah yang sama.

“Oman, hawa teuh eh krem nyan”, tiba-tiba Andi memecah hening, “Mak pasti trep mantong”, demikian ia membuat kesimpulan. 

Eng ing eeeng.  Sejujurnya sejak awal saya juga sudah mantap, ingin membeli es krim di swalayan seberang. Akhirnya, saya mengutus Andi untuk membeli Magnum versi murahnya, hehe

Kami sepakat untuk "Jak ta foto sigoe, bah na kenang-kenangan duek di halte" xixixixi

Harapan kami, dengan memakan es krim, rasa lapar dan lelah menunggu kian meluber dan lenyap seiring dengan lelehan es krim. Namun senikmat-nikmatnya es krim, ianya hanya bisa dinikmati dalam waktu yang sejenak. Sama seperti jika sedang bersama kekasih hati, satu jam rasanya seperti baru jumpa. Ternyata teori relativitas berlaku juga saat menikmati es krim. Hmm..

Percakapan kami pun bervarian. Dimulai dari rencana konser Bergek di Bireueun yang digagalkan oleh FPI setempat. Kami punya pandangan yang berbeda. Bahkan berasal dari buah cinta orang tua yang sama, kami punya pandangan yang berbeda. Maka, tidak heran untuk menyatukan dua pendapat itu sulit, dibutuhkan pengertian dan pemahaman dalam penyatuannya. Sedarah saja bisa beda. 

Namun berbeda tetap bisa mengikat. Selain sedarah, kami punya pemahaman, toleransi, dan alasan masing-masing yang sama kuatnya. Sehingga, tak ada yang namanya, memaksakan opini masing-masing. Biarlah kesimpulan kami dapatkan sendiri. Sering percakapan kami berakhir begitu saja, tak ada kesimpulan. Namun tak ada kesimpulan juga kesimpulan. Kesimpulan bahwa tak ada kesimpulan. *Tere Liye banget

Sebenarnya jauh dari itu, masing-masing kami kembali memikirkan apa yang lawan bicara kami katakan. Maka tak jarang, kami akhirnya sepakat dengan satu kesimpulan, meski dalam waktu yang berbeda. 

Lama berbincang, tetiba hape bergetar dan mendapati nama Mak muncul, “Kami singgah sebentar di Mesjid Kajhu ya, salat disini”. 

Saya mebaca ulang apa yang tertera di layar hape, dan sudah tertebak apa yang akan terjadi dengan mabro. Dengan lebaynya dia berucap “iiyyyaaa Allllllaaaaaaahhhh”

Dengan gerutu yang sama. Ibu-ibu yang lamban, selfie-selfie, dan penumpang yang gak penuh-penuh, entah terjebak dimana.

Ternyata ekspresi lebaynya tak luput dari pesepeda motor. Beberapa pengendara sepeda motor sengaja melambatkan laju sepmornya demi memperhatikan apa yang terjadi. Aih, saya dibuat malu jadinya, dan pura-pura gak kenal adik saya. 

“Saya gak kenal, Bang. Saya gak kenal”, batin saya sambil melihat ke arah sembarangan.

Akhirnya, dek bro memutuskan tidur-tiduran di halte yang saat itu hanya dikuasai oleh kami berdua. 
“Lon jak eh siat, teungeut that. Keterlaluan that miseu mak han deuh geu kalon tanyoe”, katanya becanda dan mulai rebahan. 
 
Benar juga kalau dipikir-pikir. Sebab, baik pejalan kaki, maupun pengendara sepeda motor, tak ada yang luput memperhatikan kami. Entah apanya yang aneh. Hmmm.. Keterlaluan memang jika mak melewatkan kami. Heuheu

Senyaman-nyamannya kursi halte, seratus kali lebih nyaman kasur yang meski sudah tak lagi empuk. Terlihat dek bro berkali-kali menggeliat dan akhirnya memutuskan untuk duduk kembali.

“Mak peu na geu-sms lom?”

Sejujurnya tak ingin menyampaikan, namun ya dah lah.

“Mak peugah baru neuk ek moto nyoe”, demikian penjelasan singkat saya, tak sanggup meneruskan kalimat demi melihat wajahnya yang kembali menjadi tak beraturan. Wkwkwkwk

“Adeeeeuh, teupeu lagee nyoe, ka beh saboh pilem lon nonton”, jawabnya asal.

“Hana peu lah sigoe-goe tapreh. Pajan lom lagee nyoe”, jawabku tak kalah asal.

Sebenarnya kekesalannya hanya sebagai becandaan, karena menyesali keputusan kami untuk pergi ke Simpang Mesra terlalu cepat, sehabis salat Dzuhur. Mungkin terlalu bersemangat menjemput Mak. Sehingga kejadian tak terduga ini terjadi. Menunggu lebih dari satu jam dengan belum makan siang. Penyesalan tak seberapa untuk menunggu seseorang yang gak apa-apa. *kalimat akibat lapar

“Ci tanyong Mak di pat, meuhan bah tanyoe jemput keudeh mantong”, ujarnya.

Saya yang tengah menghayal, dibuat kekeh. Sebab itu baru kepikiran sekarang. Tapi sekali lagi, itu hanya becanda, agar kekesalan tak menumpuk di batin. Jadi saya tak terlalu menanggapi lagi. Hanya saja masih terkekeh dengan ucapan itu. 

Karena bosan, akhirnya kami memutuskan untuk membincangkan siapapun pelintas jalan raya yang memandangi kami, bahkan yang tidak peduli sekalipun, kaminya yang over peduli. Entah itu laki-laki yang mengendarai sepeda motor PINK, entah itu bapak-bapak yang mengendarai mobil tanpa atap, terlihat macho untuk ukuran bapak-bapak. Sampai ke mobil polisi yang kami berdua takjub, kenapa bisa dikenali meski jaraknya masih jauh. Becak pun tak luput dari perbincangan kami. Karena sudah lama tak lagi menaiki becak. Kami pun bernostalgia ke zaman SD dulu, sering naik becak Bang Suh. Sekarang Bang Suh sudah semakin sejahtera dan semakin banyak pelanggan becaknya. 

Tak lagi mengomel, kami bahkan menikmati sekali membincangkan orang lain. wkwkwkwk.

Hingga akhirnya bus sekolah muncul dari bundaran Simpang Mesra. Kami bertanya-tanya, apa benar itu bus yang dinaiki Mak, jangan-jangan bukan. Sebab Mak tidak menelepon atau meng-sms-i satu dari kami. 

Tiba-tiba saja bus berhenti di halte kami. Saya jadi salah tingkah dipandangi banyak pasang mata. Aih, kenapa saya harus segrogi ini. Mata kami liar mencari Mak. Alhamdulillah ada Mak diantara kerumunan. 

“Hampir saja kami sms Mamak, bilang Mamak dimana sekarang? Biar kami aja yang jemput kesana”, kataku usai membawa bawaan Mak sambil menunjuk-nunjuk mabro. “Andi yang bilang gitu, Mak. Bukan Eka”, kilah saya. 

Mak hanya tersenyum. Senyum paling manis di dunia. 


Tak ada yang lebih mengikat dari keluarga dan persaudaraan. Maka, no fb, no twitter pada hari itu. Just saya, mak, dan dek bro. Kehadiran Mak sudah lebih dari cukup untuk mengisi kegersangan diri. Kehadiran mak bak oase di padang tandus, layaknya tanah kering dan pecah-pecah yang disirami air hujan. *Perumpamaannya apa kali.


 Sayang Mak hanya semalam menginap akibat Ayah yang tak bisa jauh-jauh dari Mak. Sebentar-bentar nelpon. Kebiasaan kalau Mak udah pergi jauh. Huhuhu..







Sabtu, 20 Februari 2016

Me And Malam Minggu

Menurut gue, Sabtu sore itu paling asik buat jalan-jalan ke toko buku. Karena apa? Bagi yang belum ada pasangan halal kayak gue, baiknya malam Minggunya diisi dengan membaca buku-buku bermanfaat. Jadi, kalau ada yang latah nanya-nanya,”Kok gak malam mingguan?”, Kita punya jawaban keren ”Sorry, Bro, Sist, malam Minggu gue terlalu berharga jika dihabiskan dengan hanya jalan-jalan”. Kerennya dimana? Ya itu dia, saat kita menjawabnya sambil membaca buku. Ya elah dramatis banget. 

Belakangan ini gue tertarik dengan buku-buku yang bisa bikin gue tergugah untuk memperbaiki diri. Bukan buku motivasi, karena ntah kenapa, kalau buku motivasi itu gak ada yang nempel-nempelnya di otak gue. Gue juga kurang suka digurui. So, ya itulah kenapa gue ogah-ogahan kalau disodorin buku motivasi. Jadinya gue lebih tertarik ke buku-buku yang Islami. Kan gue bilang memperbaiki diri tadi. 

Salim A. Fillah salah satu penulis yang gue tunggu-tunggu karyanya setahun belakangan. Bahkan untuk karya yang bagi pecinta buku katanya udah baholak banget, lha gue nya baru mencoba mencari-cari. Gue selalunya telat sadar. Buku yang udah sold out, guenya baru deh nanya-nanya ke mas-mas penjaga toko buku, “Bang, ada buku Salim A. Fillah yang judulnya tetooot?”

Jawaban si mas udah tertebak dong ya, bukunya zaman kapan, gue belinya kapan. Nasiiib nasiiib. Dan perjuangan ini terus gue gencarkan sampek tadi sore. Ada tiga toko buku yang gue kunjungi, dan tiga-tiganya hasilnya nihil. Mirisnya, ada si mbak yang kagak kenal sama Salim A. Fillah. Waduh, mbok ya maunya kan penjaga toko buku suka membaca juga, biar keren. Hmm beruntung si mbak gak ngejawab, “Maaf, kita punya kenalan masing-masing”, kan bisa mati gaya guenya. 

Gue punya cita-cita, kalau udah berumah tangga nanti, pengen punya pustaka mini, isinya buku-buku gue plus buku suami. Eh, itu sih kalau suaminya suka membaca ding. Maka dari itu, sejak cita-cita itu muncul, gue berusaha untuk menghemat uang, nyambi kerja, buat beli buku-buku bermanfaat itu. Meski terkadang masih suka beli novel. 

Tapi akhirnya gue sadar, kalau novel hanya bisa jadi penghibur sesaat sesaat. Artinya apa, kali aja ntar novel itu dibaca sama anak gue, cucu gue, ceritanya udah gak up to date lagi dengan zamannya mereka. Meski memang ada novel menyejarah seperti novelnya Buya Hamka, yang dijadiin film itu lho. Itu kan novel zaman yang baru booming sekarang. Untuk kasus seperti ini, boleh lah novelnya kita cari. Tapi kita kan gak bisa prediksi. Maka untuk meminimalisasi praduga, gue beralih untuk membeli buku-buku yang bermanfaat. Setidaknya, meski ilmu pengetahuan selalu berkembang tiap waktu, ilmu agama, tatanan agama, akan tetap sama. Kalau novel,  akan dikurangi, meski belum bisa dihilangkan begitu saja. 

Alhamdulillah, tadi gue nemu buku Shaidul Khathir, buku yang udah gue incar selama ini. Meski bahasanya agak berat bagi yang suka baca novel kayak gue, pengalaman membaca beberapa buku Salim A. Fillah yang konon bukan novel, sedikit membantu. 

Pukul enam lebih seperempat gue mampir ke mesjid Oman. Emang udah niat sih, buat Maghrib dan 'Isya' disini. Sekali-kali malam mingguan di mesjid,Bro, biar gak mainstream. Kan gue juga ogah dicap Si Helka, anak jalanan, gegara malam mingguan di jalan. 

Sembari menunggu adzan, gue nyambi lagi lihat-lihat cover buku yang gue beli. Awalnya gue ragu bakal bisa mengeruk ilmu di dalam buku itu, tapi Bismillah saja lah. Sesuatu yang baik, baiknya diawali dengan bismillah. Demikian juga saat menentukan pilihan. Jujur, gue selektif banget di toko buku tadi. Karena ada beberapa buku yang gue jinjing saat tengah menyortir buku yang lain, eh tiba di kasir, seleksi alam pun berlaku dan hanya tinggal satu buku . Hihihi, kebiasaan. 

Adzan Maghrib berkumandang dan singkat kata, kami salat berjamaah dengan (mencoba) khusyuk. Menariknya, ibu di sebelah saya mengingatkan untuk merapatkan barisan. Gue senang, terharu, dan bangga melihat ada ibu-ibu yang tidak abai dengan hal ini, dimana saat imam bertakbir, kadang kita juga ikut bertakbir, padahal saf masih kosong dan jarang. 

Seperti biasa, selesai salat fardhu Maghrib, jeda beberapa waktu untuk salat sunat rawatib, selanjutnya akan ada ceramah sembari menunggu waktu 'Isya'. Kebetulan banget malam Minggu gue kali ini bisa dengerin ceramah syekh dari Mesir. Aih, beruntungnya gue. 

Tapi ternyata gue tak seberuntung perkiraan gue. Sebenarnya ceramahnya menarik, hanya saja otak gue gak sejalan dengan isi ceramah yang dipenggal-penggal. Syekh memberikan tausiyah beberapa kalimat dalam bahasa Arab, kemudian translator akan menerjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Gue yang gak fokus, akhirnya beralih untuk mengambil Al-Quran saja daripada mendengarkan ceramah dengan terpaksa. Al-Mulk menjadi pilihan gue. 

Gue sengaja memilih tempat yang agak sepi. Eh, tapi di samping gue ada ibu muda dengan beberapa orang anak. Yang paling kecil masih usia balita. Bacaan gue mulai gak fokus saat anak tertua meminta gadget si bunda untuk kemudian main game. 

Kejadian menariknya adalah saat si adik meminta gadget yang sedang dimainkan sang kakak. Tidak memaksa, namun karena diminta berulang-ulang, terdengar seperti memaksa sih ya. Gue akhirnya berhenti sebentar membaca Al-Quran untuk menikmati kejadian ini.

Si kakak tidak mempedulikan adiknya yang dengan suara menggemaskan itu meminta jatah giliran ia main. Gue sih bukannya iba, sedih, atau apapun itu, tapi malah gemas mendengarkan suara adiknya. Adzan 'Isya' pun berkumandang. Yang lebih menarik dan ngena di gue adalah saat adiknya berkata “Kak, adzan”, dengan maksud, udahan dulu mainnya, nanti dilanjutkan kembali. 

Masyaa Allah. Usianya, taksiran gue malah belum mencapai tujuh tahun. Suaranya masih cadel khas anak-anak. Tapi ia paham, saat adzan berkumandang, hentikan segala aktivitas. Deg! Gue tak sengaja digurui anak kecil. 

Tak hanya guru, ustadz, bahkan kita juga bisa belajar dari anak kecil. Sudah semestinya gue bersyukur, lagi dan lagi. Karena masih bisa merasakan, menikmati, dan memahami sekecil apapun kebaikan yang ada di sekeliling gue. Sebab, masih banyak juga orang yang tak lagi memahami kebaikan, bahkan besar sekalipun, terlebih lagi disusupi khusus padanya untuk menasihatinya, namun ianya tak bergeming. Boleh jadi, ada nikmat yang telah terangkat. Nikmat iman kah. Wallahu a’lam. Maka, layaklah gue kembali bersyukur untuk setiap nikmat yang masih gue rasakan. Karena alam tak ubahnya perpustakaan Ilahi. Ada ilmu dalam tiap-tiap jengkalnya.

Selasa, 16 Februari 2016

Apa Saya Tulis

Hadirmu menghangatkan
Meski dingin kerap membungkus kota
Tapi banyak kaum yang memicingkan matanya

Hadirmu menjanjikan
Bagi puasanya ladang-ladang
Sayang jamak mereka gemar berteriak
Menyerapah, alih-alih sorak gembira

Kini kau enggan menyapa
Jika ada, sekali dua

Tak hanya nyaris, kami tak lagi menjumpaimu

Duhai, kemanakah?
Adakah dirimu tengah melanglang ke negeri seberang?

Kau tahu,
Bagi para perindu, kau tetap punya tempat bagi kenangan
Aroma yang kau tawarkan lincah membuka tingkap tiap penghalang
Menembus waktu, melangkahi jarak

Darussalam, 21:31, 16/2/2016

Minggu, 14 Februari 2016

Fenomena Subuh



Baiklah, sekali-kali elok juga jika kita awali bacaan kita kali ini dengan sebuah hadist.
Nabi SAW pernah mengatakan sekiranya manusia tahu keutamaan salat ‘isya dan salat subuh niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak. 

Sekiranya manusia tahu....

Rasulullah mengungkapkan kalimat sekiranya manusia tahu, menjelaskan yang bahwa salat ‘isya dan subuh besar sekali keutamaannya. Kita hanya perlu meyakini dan mengamalkannya. Namun memang dua salat inilah yang paling susah bagi saya. Heuheu. Kalau merujuk dari hadistnya, dua salat inilah yang paling susah bagi seorang munafik. Astaghfirullah. Na’udzubillahi min dzaalik.  

Apalagi di masa sekarang. Masa-masa yang menuhankan dimensi duniawi. Padatnya aktivitas lagi dan lagi menjadi alasan mengurangi kecenderungan untuk memikirkan bahkan menjalankan aktivitas untuk meningkatkan dimensi ukhrawi. 

Ramainya pejalan kaki yang mengenakan baju koko plus kopiah atau peci dan mukena bagi perempuan seusai salat subuh, mungkin hanya akan kita temukan pada bulan Ramadhan. Seperti para artis yang tetiba menjamur menggunakan kerudung. 

Coba sekali waktu keluar rumah dan berjalan-jalan setelah Subuh di bulan selain Ramadhan, lalu perhatikan. Yang kita dapati hanya bapak-bapak, bahkan mungkin nenek-nenek yang mengenakan mukena berjalan sepulang Subuh. Bahkan anak muda pun hanya terlihat satu dua. Meski tidak salat di mesjid untuk salat subuh, saya pernah beberapa kali keluar rumah usai Subuh untuk menghirup udara segar sembari mempertegas fenomena di atas. Apakah beberapa kali ini bisa mengeneralisasikan kesimpulan? Tentu saja tidak. Ini hanya fenomena yang saya temukan saat saya keluar usai Subuh beberapa kali itu. Tentu beberapa kali saja tidak bisa dijadikan rujukan untuk membuktikan bahwa salat Subuh kerap sepi jamaah. 

saya telat, barangkali jamaah sudah sampai di rumah
jalan pulang masih sepi, saya benar-benar telat

Selalunya babang Vario yang saya ajak untuk paling tidak main-main ke pasar Lamnyong untuk setelahnya jalan-jalan sampai ke Mesjid Oman. Hmmm.. barangkali para jamaah sudah sampai di rumah kali ya, saat saya sampai disana. Semoga saja memang demikian. Semoga saja jalanan sepi yang saya lihat bukanlah akibat tidak adanya jamaah yang memenuhi masjid, tapi karena jamaahnya sudah tiba di rumah untuk menyeduh kopi, membaca koran, sembari menyantap hidangan pagi dari istri tercinta. 

Kecenderungan kita untuk memakmurkan mesjid melaksanakan salat berjamaah terkikis oleh alasan padatnya aktivitas. Maka tidak heran seandainya rasa kasih sayang antar sesama manusia pun ikut terkikis. Karena Allah menurunkan rahmat dan kasih sayangnya bagi mereka yang senantiasa menghadiri dan memakmurkan mesjid. 

Sesungguhnya Allah telah menjanjikan, kita hanya perlu meyakini dan menjalankan. Petunjuknya sudah terdapat dalam Al-Quran. Andai saja kita mengikuti petunjuknya, kita tak akan menjadi golongan orang-orang merugi. Berita yang santer terdengar selayak anak membunuh ayah, suami membunuh istri, membuktikan bahwa rasa kasih sayang mulai terkikis. Rahmat dan kasih sayang Allah tak lagi menaungi keluarga tersebut. Sudah sepatutnya lah kita mencapai ketetapan yang telah dijanjikan Allah. 

Padahal adzan yang paling jelas terdengar itulah adzan Subuh. Sahut-sahutannya dengan adzan di beberapa tempat yang lainnya juga berasa. Tapi kok ya adzan Subuh ini yang sering terlewatkan?
Ah, diri, telingamu masih betah 'dikencingi.

Karena bingung dengan ban tubles (apa benar seperti ini tulisannya) yang saya tidak paham maksudnya apa. Siap juga tulisan ini di bengkel Honda. Ada yang tau apa itu ban tubles? 

Eh, sebentar, ternyata bukan tubles, tapi tubeless, baru nemu di google. Aduuuh..saya kira apalah tubles tubles itu. Hmmmm