Pages

Senin, 08 Februari 2016

FLP Goes To (Behind The Scene)



Terhitung sejak bergabung bersama teman FLP Banda Aceh, saya baru akrab dengan kata rihlah, yang pada awalnya saya anggap seperti ajang kumpul dan piknik. Namun lebih dari itu, rihlah bertujuan untuk mempererat ikatan antara sesama anggota ‘keluarga’ dengan menyelami nuansa keindahan alam Sang Pencipta. Kali ini FLP kembali mengadakan rihlah ke Pasir Putih. Kecewa. Karena pada awal perencanaan, Krueng Jantho lah yang digadang-gadang menjadi destinasi berikutnya. Namun alam menjawab kekecewaan saya. Hujan yang terus mengguyur menyebabkan jalanan licin, terjal, dan becek. Juga air sungai Krueng Jantho menjadi keruh, sedikit mengurangi pesona kejernihan airya, demikian beber salah satu anggota 'keluarga' yang berdomisili di sekitar lokasi yang dimaksud.   

Well yeah, saya pikir tak apalah balik lagi ke Pasir Putih. Memutar memori setahun silam. Pun ada hal menarik yang bikin saya tertarik untuk rihlah kali ini. Apa itu? Sabar, nanti akan saya ceritakan. 

Terus, ngapain aja selama disana? 

Ya makan-makan lah, foto-foto, apalagi. 

Udah, gitu aja? 

O-ooow jangan salah. Kami tidak sealay itu memanfaatkan alam hanya untuk berwefie, selfie, gruvie atau ber-apalah namanya itu. Tolong pahami kami lebih dalam. Ada misi khusus yang kami emban dalam setiap rihlah, yaitu:

TULISAN
Satu kata yang cukup mewakili kegamangan saya sebagai penulis pemalas. Aduh, tulis apa ya? Apa ya? Gamang. Tapi mau tak mau, suka tak suka, ridho atau rhoma, tetap harus nulis!

Walhasil, Pasir Putih menjadi destinasi pertama kami, Minggu (31/1). Menempuh jarak hampir satu jam tak membuat kami terlihat kelelahan. Karena apa? Biasa, anak muda. 
Kami, ya, kami, karena kami ada sekitar 13 orang, memilih tempat strategis yang agak jauh dari keramaian, dengan tujuan agar kedamaian kami tak terusik tingkah-tingkah alay penikmat alam yang sibuk ber-apalah namanya seperti yang di atas tadi. Sebagai eks kombatan pramuka (sok tahu), jamaah laki-laki sigap mengumpulkan kayu untuk dijadikan alas bekal dan barang bawaan para jamaah perempuan. Suasana seketika hening kala kami larut dalam aktivitas dan khayalan masing-masing. Hanya deru ombak yang malu-malu menyusup ke daun telinga. 

Suasana ketika kami larut dalam tugas dan khayalan masing-masing
Berbekal latihan pramuka dulu (sok tahu lagi), ikan yang dibakar dengan perangkat seadanya pun siap untuk disantap. Tapi jangan dikira semua ini baik-baik saja. Tidak, sungguh Anda salah jika mengira kami tidak punya masalah apa-apa. Masalah bermula ketika satu diantara para ladies tersadar yang sepertinya nasi yang kami bawa tidaklah cukup untuk mengganjal perut kami-kami ini. Hampir saja kami berinisiatif untuk membeli nasi yang entah dimana adanya ia, sebelum akhirnya keterampilan kak Eky sebagai emak pun diuji. 

Kak Eky menyatukan seluruh bekal nasi yang dibawa oleh tiap-tiap kaum hawa dalam satu pinggan yang kami punya saat itu untuk selajutnya diaduk-aduk hingga merata dan dibagikan ke setiap piring atau wadah apapun yang bisa dijadikan piring. Per piringnya kak Eky menggelontorkan empat centong nasi. Sama rata. Disini saya belajar satu hal. Saya pikir ini bagus buat emak-emak untuk tidak membeda-bedakan setiap anak. Catet! Siapa tau berguna nanti-nanti. 

Daaaan, ketiga belas piring pun dipenuhi dengan lauk pauk, sayur mayur dan lalapan. Meski sederhana, namun karena ada loe, ya rame. Ini lho, maksudnya ngomong sama sambal terasi dan sambal kecap. Ini yang bikin meriah soalnya. 

Memasuki waktu Dzuhur, kami pun bersiap-siap untuk menemukan mushalla. Namun sungguh sayang, lokasi perhelatan akbar strategis yang kami agung-agungkan sedari awal tadi, berjarak sangat jauh dengan lokasi mushalla terdekat di wilayah itu. Keterampilan pramuka kami pun terpaksa diuji kembali.  

Maksudnya? Kami siapa? 

Ya, kami, para emak dan calon emak-emak suatu saat nanti Insya Allah. Kerepotan pada awalnya karena harus berwudhu di tempat terbuka dengan menggunakan air sisa-sisa pecahan ombak yang menyisir pantai. 

Lalu, salatnya dimana kalau bukan di mushalla? Alasnya apa? 

Ah, Kamu detail sekali. Kami salat di atas pasir, tak jauh dari lokasi perhelatan akbar. Untuk alas, kami tak kehilangan akal. Kotak aq*a gelas, disayat setiap rusuknya sehingga terlihat jelas jaring-jaring balok ya namanya kalau waktu belajar Matematika dulu. Nah, itulah yang menjadi alas kami, ditambah karung goni beras yang ditemukan di pesisir pantai, dan daun kelapa. Itulah mengapa saya bilang, keterampilan pramuka kami benar-benar diuji dan layak diapresiasi.


Hmmm yayaya, baiklah.

Lalu, setelah salat agendanya ngapain lagi? 

Rugi rasanya jika sudah melihat laut, tapi gak mandi. Mungkin itulah yang dipikirkan para jamaah laki-laki, dan memang itulah yang mereka lakukan selepas makan dan salat. Sementara para ladies (karena gak mungkin ikutan mandi), menghibur diri dengan berselfie sepuasnya.  

Berikut kegilaan para ladies sebagai penghibur diri gegara gak mungkin ikutan mandi

 
Ini rahasia, jangan bilang siapa-siapa. Janji ya. Sebenarnya foto ini sudah di-set sedemikian rupa agar kelihatan tertawa alami. Namun yang terjadi? Anda bisa menilai sendiri. Dan saya lupa ini udah take yang ke berapa. Demi apa coba kan?






Jika Anda menemukan kejanggalan dalam foto ini, berarti Anda jeli. Sedikit cerita, karena kurang puas dengan foto pura-pura tertawa tadi, kali ini adegan diatur dengan tujuan yang sama, seolah kami sedang melihat sesuatu yang lucu agar bisa terbahak. Namun yang terjadi, kami malah kelihatan manis gituh. Ya nggak, sih? Wkwkwk.

And you know what? Masih dengan tema yang sama yaitu  “pura-pura tertawa”, sang photographer, Aula, masih belum frustrasi. Kali ini kami adu akting lagi seolah-olah membaca sebuah kisah lucu dalam buku yang berjudul KHADIJAH, dan kami sepakat untuk tidak menampakkan judul buku tersebut, khawatir orang-orang gak akan percaya kalau kami sedang membaca cerita lucu. Sungguh kami dipaksa berbohong HANYA DEMI SEBUAH FOTO! Huft!

Nah, ini dia potret seluruh jamaah rihlah kali ini. 
 


Iya, saya juga heran. Akhir-akhir ini keeksisan para ibu-ibu FLP sedang mencapai stadium mengkhawatirkan, menjadi pihak minoritas. Biasanya bapak-bapak yang kektu.  

Oke kita lanjut. Perjalanan tak berakhir di Pasir Putih. Sekitar pukul tiga sore, kami bergegas ke destinasi selanjutnya. Tempat yang membuat saya tertarik untuk ikut rihlah kali ini, yaitu bekas Kerajaan Lamuri dan seperangkat khayalan saya dengan bangunan sisa peninggalannya. Tidak berjarak jauh dari lokasi Pasir Putih. Hanya berkisar sepuluh hingga lima belas menit, Anda akan menemukan jalan utama menuju lokasi selanjutnya.

Namun seluruh khayalan tentang Kerajaan Lamuri yang sempat saya bayangkan retak saat kami memasuki jalan utamanya. Sempat terbersit, “Hey, loe-loe pada yakin ini jalannya?”. Tapi ini hanya terbersit ya. Jalan utama yang tidak mencapai satu meter ini membuat saya sedikit kewalahan dan mengeluarkan tenaga ekstra saat mengendarai motor, ditambah jalannya yang disesaki bebatuan. Terpeleset sedikit, langsung berdebam. Sungguh mengaduk-ngaduk adrenalin. 

Ini tidak mudah, karena ternyata cukup panjang perjalanan yang harus ditempuh. Khayalan yang telah retak, kini sempurna pecah. Bayangkan saja, kiri kanan kami dipenuhi semak belukar yang bisa saja dihuni buaya, ular, bahkan ceurapee. *Khayalan tingkat ektrim. Apa gak mengadu nyali ini namanya?
Saya memutuskan untuk menerima pasrah keadaan ini dan mengikuti sajalah. Tak ada lagi khayalan-khayalan berikutnya. 

Setelah perjalanan panjang yang bikin pergelangan tangan kebas mengegas-mengerem motor, kami akhirnya tiba di kawasan Lamuri. Seperti yang Anda lihat pada gambar di bawah ini, wajar bila khayalan saya retak dan pecah tadi. Betapa tidak, bayangan akan sisa-sisa bangunan bersejarah itu ternyata hanya sebatas lapangan yang dipenuhi semak-semak.

Lapangan yang dipenuhi semak-semak
Sangat disayangkan, situs yang seharusnya bisa menjadi catatan sejarah, seolah terancam punah akibat ketiadaan sentuhan perawatan dan pelestarian. Menurut perbincangan dengan salah seorang penduduk asli di sekitar lokasi, terdapat banyak sekali nisan para raja-raja yang pernah menduduki singgasana Lamuri. Hanya saja, keterbatasan waktu dan kurangnya petunjuk membuat kami berputar-putar dan hanya menemukan dua nisan dari puluhan jumlahnya yang tersebar di sepanjang kawasan Lamuri. 












FLP menuju puncak. Tidak hanya harus melawan semak, kami juga dipaksa mendaki tebing yang cukup tinggi bagi pendaki pemula.  Harus berhati-hati, karena jika terpeleset sedikit saja, bisa berdebam lagi. Jika tidak yakin, bisa melepaskan alas kaki agar lebih luwes dan kesat. Namun dengan pertimbangan resiko, jika ada pecahan kaca, beling, bahkan duri, maka sulit untuk menghindari luka lecet. Di puncak inilah kami menemukan nisan pertama.

Nisan pertama yang kami temukan




Tidak begitu sulit untuk penemuan pertama ini. Setiap peluh akhirnya terbayarkan dengan suguhan bentang alam yang begitu indah dibalik puncak yang kami daki. Suguhan panorama yang tak bisa tidak untuk mengucapkan “Masya Allah”. Lukisan ‘tangan’ Tuhan yang jika saja para pasangan suami istri (khususnya Aceh) yang baru menikah menyadari, sungguh Aceh punya banyak tempat romantis seperti ini. Tak perlu jauh-jauh mencari lokasi untuk sekadar bermanis manja.

Bentang alam yang akan kita nikmati sesampainya di bukit Lamuri
Lalu perjalanan dilanjutkan untuk mencari jejak-jejak nisan berikutnya. Rahmat mengomandoi pasukan rihlah. Lama berputar-putar dan berkali-kali dikepung semak yang menebal, akhirnya kami terdiam lagi dengan begitu lama pada kata tersesat. Sepertinya tak ada jalan setapak lagi ke depannya. Hanya semak belukar yang semakin rapat dan kami sepakat untuk mencapai kata tidak mungkin perjalanan ini diteruskan. Saking menikmati perjalanan sembari menyibak semak, kami tidak sadar bahwa ternyata followers kami berkurang. Ya Tuhan. Mungkin mereka lelah dan membiarkan kami menyusuri jalan ini. Ah, keterlaluan! Gak bilang-bilang.
 
Ketika kami dibiarkan tersesat

Dari sini saya belajar lagi satu hal. Arti dari sebuah perjuangan. Sebelum mencapai limit ketidakmampuan, segala peluang masih terbuka lebar. Peluang hanya akan menjadi nol ketika kita memutuskan untuk berhenti berjuang. Namun, ikhlaskan jika memang sudah tidak memungkinkan. Pemaksaan kerap berujung dengan sesuatu yang tidak 'sehat'. Aih, saya sedikit terpikat dengan kalimat ini. 
 
Karena trauma bertubi-tubi akibat tersesat, kami pun menyerah dan call a friend. Kami meminta bantuan seorang bapak setempat untuk menunjukkan jalan menuju nisan lainnya. Betapa terkejutnya kami, karena tak butuh waktu lama untuk menemukan nisan kedua. Ya elah, dari tadi kami muter-muter kemana yak?
Inilah nisan kedua yang kami temukan. Tampak nisannya seperti pada gambar di samping. Boleh jadi, akibat dimakan usia, nisan retak dan terlihat seperti tumpukan bebatuan. 

Karena lelah dan telah memasuki waktu Ashar, pencarian jejak-jejak Lamuri kami hentikan sampai disini. Selfie sekali sebelum pulang. Yihaaaa!



Meski hanya menemukan dua nisan, namun kebersamaan bersama 'keluarga' tetap menjadi poin yang menduduki bilik khusus di sudut hati.  

Halah. 

Eh, serius saya ini. Terkadang, tak peduli kemana engkau pergi dan seberapa jauh perjalanannya, asal bersama orang-orang terdekat, semua terasa nikmat. Sederhananya, gak begitu penting kemana tempatnya, makannya apa, yang penting bersama siapa. Ya Rabbi, saya benar-benar terpukau kali ini. Khi khi khi..

Hmm, masih mau dengar cerita saya? 

Boleh. Ini karena saya menghargai Anda ya. Bukan apa-apa. 

Baiklah. Anda memang tiada dua. Perjalanan selanjutnya kami singgah sejenak di meunasah yang berdekatan dengan lokasi destinasi selanjutnya yaitu Makam Laksmana Malahayati. Untuk kedua kalinya saya mengunjungi makam ini. Kali ini FLP menuju puncak lagi. Karena untuk mencapai makam ini, kita harus menaiki anak tangga yang berjumlah sekitar seratus. Lumayan bikin napas huh! hah!. Tidak banyak momen yang kami abadikan disini, karena penat telah sungguh menyiksa tubuh. Tak ada kepikiran untuk ber-apalah lagi. Karena jarum jam pun telah menunjukkan angka enam. Waktu Maghrib sudah begitu dekat, namun punggawa FLP masih kepikiran buat makan-makan lagi. Okelah, saya ikut sajalah lagi. Karena makan bakso, kalau makan yang lain, mungkin saya akan pikir-pikir lagi.  

Hmmm gayyyaaa! Padahal apapun makanannya, pasti ikut sajalah juga.  

Njeh, jangan bongkar-bongkar gitu juga lah. Malu saya-saya.


SEKIAN

2 komentar:

  1. helka bohong.... yang penting itu mengenyangkan...
    btw lama udah tidak jum-pa :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aya kok komentarin diri sendiri? hahaha.. iya, aya ditunggu juga postingan pengalamannya ya..

      Hapus