Pages

Minggu, 27 April 2014

Mengapa Aku Ingin Kaya?


“Pakon cuma yang botol mantong, Nek, yang neucok?”, tanyaku siang itu. Nenek pengais sampah botol plastik itu hanya sedikit menaikkan lengkungan di bibirnya. Namun gurat-gurat kesedihan dan kelelahan jelas sekali tergambar dari tekstur wajahnya yang dibasahi peluh. Jelas sudah, dengan hidup seperti itu, untuk senyum pun susah. Saban hari harus menyambangi tong sampah demi mendapati pengganjal perut.

Di taman Putroe Phang ini, aku memilih berdiam menyendiri. Mengedarkan pandangan ke keadaan sekitar. Beberapa orang sedang duduk melingkar. Terlihat serius seakan membahas sebuah proyek besar. Tidak jelas apa. Hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Kumpulan yang lainnya, berpenampilan rapi, sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Nenek melanjutkan perjalanannya mengais sampah botol plastik dari satu tong sampah ke tong yang lainnya. Kontras sekali pemandangan siang itu. Nenek yang menenteng dua plastik besar berisi sampah terus menyusuri tong sampah hanya demi-bisa jadi-melanjutkan hidup.

“Aku ingin menjadi orang kaya”, pekikku dalam hati sembari melemparkan senyum, sebelum nenek akhirnya melanjutkan perjalanannya.

Ya, dulu aku pernah bermimpi untuk hidup sesederhana yang aku bisa. Memiliki keluarga kecil, rumah sederhana yang jauh dari pusat kebisingan, anak-anak yang cerdas, dan kendaraan yang bisa memanjakan kami untuk berkeliling-keliling kota. Yang penting aku bahagia. Kebutuhanku tercukupi.

Menjadi sederhana itu pilihan. Tidak ada yang salah dengan pilihan. Tapi, pemikiran tersebut, mau tidak mau, suka tidak suka, karena memilih hidup sederhana seperti itu kini bagiku terdengar begitu egois. Bahagia hanya untuk diri sendiri.

Hari ini, di taman Putroe Phang ini, aku masih tetap ingin hidup sederhana. Tapi aku ingin kaya. Di luar sana, peminta-minta yang masih usia SD berkeliaran dari satu toko ke toko lainnya. Sepeninggal mereka, masuk lagi pengemis lain dengan ciri serupa. Miris.

Yang membuat suatu negara menjadi miskin adalah rendahnya kualitas pendidikan di suatu negara tersebut, di samping faktor malas. 

Begitu yang aku tau saat sekolah dulu. Selain itu, kemiskinan seolah menjadi budaya yang sangat sulit untuk dihilangkan, apalagi dimusnahkan. Budaya tersebut membentuk pemikiran suatu kaum untuk tidak ingin kaya. Seolah kemiskinan merupakan virus yang berkembang dalam inang dan kemudian perlahan-lahan melumpuhkan sistem imun tubuh.

Banyak yang berdalih, “Tidak apa tidak kaya harta, yang penting kaya hati. Tuhan melihat hambanya kan bukan dari berapa banyak kekayaan yang mereka kumpulkan, tapi dari ibadahnya. Toh garis hidup kita, telah dituliskan.”

Hey, bukankah itu terdengar seperti mencari-cari alasan. Mengkambinghitamkan Tuhan atas pilihan hidup kita.

Aku bosan setiap menikmati makanan di warung makan, kedatangan tamu tak diundang yang menyerahkan amplop sedekah. Aku muak di setiap titik lampu merah mendapati orang yang selalu menengadahkan tangan.
Andai semua orang ingin menjadi kaya, dan membantu sesama, akankah pemandangan seperti itu akan terlihat?

Sore itu aku memutuskan untuk menjadi orang kaya. Memiliki banyak uang untuk kemudian membantu saudara-saudara yang membutuhkan. Aku ingin banyak uang, untuk membantu adik-adik itu mengeyam bangku pendidikan dan tidak lagi masuk keluar toko menyerahkan amplop. Aku ingin banyak uang, agar kelak bisa membagi hartaku dengan anak-anak yatim dan berbagi cerita bersama. Aku ingin kaya, agar aku bisa membeli dagangan kakek tua di pinggir jalan. Ya, Aku ingin kaya. Aku ingin kaya
.
Aku ingin sedikit memudahkan mereka untuk tersenyum. Berbagi harta, berbagi rasa.

Mungkin aku akan bahagia dengan hidup sederhana. Keluargaku akan bahagia. Tapi sederhana saja tidak akan membawa kebahagiaan bagi nenek itu, adik-adik itu, dan kakek di pinggir jalan.

Bagi yang masih ingin hidup sederhana saja, lakukanlah lebih banyak lagi pengamatan. Amati keadaan sekitar. Kelak kita akan menemukan misteri-misteri lain yang akan semakin menguatkan bahwa sederhana saja tidak cukup.

Ayolah, jangan mau bahagia sendiri.
Jadilah kaya, dan bantu sesama.

Tulisan sederhana dari orang sederhana yang ingin jadi orang yang tidak sederhana alias kaya.

#MulaiMenulis2014

2 komentar: