Pages

Jumat, 21 November 2014

Di Persimpangan

“Mari berdamai dengan hati. Karena ianya punya hak untuk sejenak berelaksasi”, kataku.

“Hah, Kau bilang apa?”, katamu dengan suara meledak. Membuat nyaliku ciut. “Omong kosong! Kau memang selalu menggebu sesaat. Meledak-ledak di awal. Sumbumu pun bahkan belum terbakar sempurna.” 

Sia-sia semua penjelasan yang telah tertata rapi. Kau tak mengerti. Takkan mengerti. Sejak awal aku telah salah melangkah. Memberi penjelasan hanya akan memperpanjang rentetan “sidang”.

“Kau bilang, kau akan mengikuti semua kataku. Kau ingat itu, kan? Dengar, Kau telah mengawalinya dengan jaya. Posisimu aman terkendali. Namun, apa yang ada di pikiranmu?”, katamu dengan wewangi kebencian dan raut wajah masam.

Hening malam kian menemani. Menebarkan aroma bangkai tak terperi.  Busuk. Sebusuk kalimatmu yang menusuk. 

“Langkahmu terhenti, bahkan sebelum mencapai finish. Terlalu lama berdiam di tempat. Kau kehilangan kendali. Kehilangan penunjuk arah. Kehilangan tujuan. Kaaaau… Aaaargh!!”, kau buru-buru mengakhiri kalimat sebelum kata-kata makian meluncur deras tak tertahankan. 

Aku tak begitu jelas merekam semua kalimat yang kau utarakan. Karena otakku sedang menjelajah masa-masa jaya yang kau sebutkan. Apa? Jaya? Kau sebut itu jaya? Bagiku, itu tak lebih hanya sekedar maya. Kamuflase yang kau ciptakan sebagai penghibur hati. 

Bagaimana bisa aku meluruskan ranting yang bengkok? Memaksakan hanya akan membuatnya patah. 

Diam menyergap. Kau kehabisan kata-kata. Aku? Sejak kau mengambil alih pembicaraan, maka itu artinya, tidak ada waktu bagiku untuk menyela. Karena katamu, kau memberiku waktu. Kau bersedia mendengarkan terlebih dahulu. Tapi na’as bagiku, hanya satu kalimat, kau langsung merebut setir. Ini lah bukti, kemarahan sesaat tak berbanding lurus dengan logika. 

Aku hanya bisa memandangi kegusaranmu. Gurat kecewa jelas terlukis di wajah yang kini telah mengeriput. Tak tahan, kau akhirnya diam-diam menyeka lajur bening yang melintas di kedua pipimu. Gambaran itu tertangkap oleh kedua mataku yang hanya bisa duduk menatapmu dari “kursi pesakitan”. 

Ada perasaan sesak menggelayut dan menyentuh titik sensitif nuraniku yang kebal dengan suara-suara sumbang. Seumur-umur, aku belum pernah melihat kau menyeka kedua matamu. Kau selalu tampak kuat di hadapanku. Di hadapan mereka. Terlihat riang, meski terkadang di saat sepi, kau terlihat murung dan termenung. Fokusmu hanya satu. Foto yang selalu menghiasi dompetmu. Sosok yang mengantarmu memutar kembali memori kenyataan pahit yang harus kau terima saat aku masih mengenakan seragam merah putih. Sosok yang membuatmu merasa begitu spesial. Sosok yang bersamanya kau mengikat janji suci.

Kau kembali menyeka sudut matamu untuk kedua kalinya. Keheningan yang kau ciptakan membuatku sakit. Kau tak lagi bersuara keras. Hanya isak demi isak yang begitu kentara terdengar beriringan dengan suara detak jarum jam. Mendengarmu berteriak-teriak memang menyakitkan. Tapi melihatmu terduduk lemas tak berdaya jauh lebih menyakitkan dari pada hanya sekedar makian yang kau ucapkan. Meski kau selalu menghindar dari sumpah serapah itu.

Meski samar-samar, tapi terdengar jelas saat kau mengatakan aku berhenti bahkan sebelum mencapai garis finish. Terdengar kabur. Tapi aku mengerti maksudmu. Bahkan aku sendiri tak paham dengan apa yang sedang berkecamuk dalam diri. Aku tak lagi bersemangat seperti katamu, aku hanya membakar ujung sumbu dan mematikan nya sendiri sebelum sumbu itu menjalar dan membakar habis dirinya.

Resah. Namun aku sendiri pun tak mampu mendefinisikan resah yang ku rasa. Ibarat kata, hidup segan mati tak mau. Begitulah perumpamaan hidup yang sedang ku jalani. 

Kau perlahan bangkit meraih sesuatu. Melangkah lemah ke arahku. Aku tak kuasa bertatapan dengan wajahmu yang dipenuhi air muka kesedihan. Maka kutundukkan wajahku dalam-dalam. Sambil merapal doa semoga kau tidak kembali menghakimiku. “Ya Tuhan, ampuni aku, tolong akhiri segera malam panjang ini,…”, ingin ku lanjutkan rapalan lain, namun segera terhenti saat kau menyodorkan sesuatu.

“Ini, sudah berapa lama kau tidak menyentuhnya?”, kau bertanya dengan nada yang lebih teratur. Aku mendongak. Air mukamu kini jauh lebih menenangkan.

Aku mendapatimu kembali sebagai pemimpin keluarga sekaligus ayah. “Pergilah berwudhu dan menghadap Sang Pemilik Rencana. Benamkan wajah dan memintalah kepadanya agar kau bisa kembali menjalani kehidupanmu yang normal. Tidak seperti zombie yang menyusahkan”, katamu dengan sedikit menyunggingkan senyum. 

Aku tahu, meski kau mudah meledak-ledak, kau tetaplah Ayah yang selalu aku banggakan. Pejuang yang selalu ku kagumi. Artis yang selalu bisa berperan sebagai ibu saat aku butuhkan.

Tak butuh berlama-lama, aku bangkit menuju peraduan. Membenamkan muka menyesali kehidupan yang telah aku sia-siakan. Teramat sesal karena khilaf melupakan sosok ayah yang menaruh harapan besar untuk keberhasilanku. Besar harapannya, paling tidak saat ia pergi, aku sudah mampu hidup mandiri.

Ku dekap lamat-lamat mushaf yang berdebu itu. Lama sekali aku tak menyentuh hadiah pemberian ibu saat aku berhasil menjuarai lomba cerdas cermat tingkat SD. Meski saat itu, aku tak mengerti mengapa ibu menghadiahkan barang ini, di saat teman-temanku yang lain dihadiahkan mainan seperti mobil, pesawat, dan robot. Aku tak banyak bertanya karena aku terlampau senang menerima hadiah.

(Bersambung kapan ingin disambung)

Sabtu, 08 November 2014

S.Pd Yang Gak Bikin Pede

Rembulan enggan tersenyum. Dihiasi awan kelabu yang turut mewakili kedukaan dan lara. Rintik hujan mulai menggenangi kubangan tempat nyamuk beranak pinak. Dedaunan kian menari melambai-lambai diterpa angin. Hujan semakin menggila. Aku buru-buru menutup jendela kamar. Kaca jendela seketika menguap, tanda embun sedang mempertontonkan aksinya. Samar-samar aku pandangi dedaunan dan kelopak bunga yang baru akan bersemi seketika luruh. Jatuh. Terkulai lemah tersapu debu. Aku terpaku menyaksikan kehidupan yang sejatinya baru saja akan dimulai. Pandanganku tak lepas dari dedaunan dan kelopak malang itu.

Aku hanya menatap dedaunan itu dan merasa iba. Hening. Aku kembali melangkah malas menuju tempat tidur. Kuhidupkan murattal untuk menemani tidur. Jarum pendek telah bertengger di angka 1. Album murattal telah habis terputar. Sementara kodok di luaran sana masih asyik menyanyikan lagunya. Apa yang terjadi? Aku tidak bisa terlelap. Lelap yang kurindukan sejak terakhir aku diwisuda.

Pikiranku menyesak. Menembus ruang dan lorong waktu. Kembali teringat memori indah satu tahun silam.

***

“Cepatlah, Nak. Nanti kau bisa terlambat.”

Ayah tak sabaran mendampingiku di hari wisuda. Tak heran, sebagai anak pertama yang akan diwisuda, aku menjelma menjadi selebriti keluarga. Mendongkrak pamor ayah yang hanya sebagai pekerja serabutan. Sementara ibu, ibuku sudah lama menghadap ilahi rabbi. Sejak melahirkan adik perempuanku. Kehabisan banyak darah katanya. Adik perempuanku sangat menggemaskan. Ditambah dengan rambut ikal dan pipi chubbinya. Aku geram dan sesekali mencubit nakal pipinya. Di ruangan lain, ayah tengah terisak menangisi kepergian ibu.

“Gimana penampilan ayah?”. Boro-boro melihat penampilanku, ayah malah sibuk merapikan rambut klimisnya. Dengan setelan baju batik dan sepatu kilatnya, ayah tak kalah mentereng dengan penampilanku yang mengenakan jas alakadar bin apa adanya.

“Yaaaah, ayah. Aku yang mau diwisuda, lha ayah yang repot-repot dengan penampilan.” Ayah hanya senyum-senyum. Masa bodoh dengan ucapanku. Ayah kembali menyisiri rambutnya. Aku hanya bisa menggeleng-geleng kepala dan menarik napas dalam-dalam.

***

Adakah hal lain yang lebih menakutkan daripada hantu PNS? Batinku kesal. Ya, sejak saat itu aku mulai menyebut PNS dengan sebutan hantu. Tiap malam selalu menggelayut di sudut kamar. Menghiasi dinding-dinding kamar yang ku penuhi dengan poster-poster pemain Real Madrid kesayangan. Bisa kau bayangkan, baju bola dan sepatu olahraga Cristiano Ronaldo berubah menjadi seragam ala PNS. Benar-benar buruk. Bahkan lebih buruk dari yang aku bayangkan jika suatu hari Ronaldo memutuskan gantung sepatu. Aku menarik napas dalam-dalam dan kembali menghempaskan diri di atas tikar yang menjadi alas tidurku selama ini.

Sejak aku telah ditetapkan sebagai sarjana, ayah mulai sibuk menanyakan tentang persiapanku menuju tes CPNS. Ini membuatku sesak.

“Bagaimana? Apa kau telah mendengar kabar mengenai tes CPNS?”, tanya ayah seraya mengepulkan asap rokoknya.

Demikian percakapan awal kami pagi itu. Aku yang tengah menyeruput kopi, menghentikan seduhanku. Lantas menggeleng tanpa suara. Bukannya aku belum mendengar kabar itu, hanya saja aku tak pernah berkeinginan untuk menjadi PNS, yang katanya pilihan sejuta umat.

“Bagaimana bisa kamu belum mendengar kabar yang santer dibicarakan oleh anak muda seusiamu?”, tanya ayah dengan suara yang sedikit ditinggikan. Melihat alis mata ayah yang demikian runcing, aku bergeming. Sedikit bergetar tak tertahankan. Sebegitu besarkah keinginan ayah agar aku menjadi PNS. Sedangkan aku? Tak sedikit pun terlintas untuk menjadi PNS pasca menjadi sarjana. Ah, aku menghela napas sebelum mengambil alih pembicaraan. 

“Ayah, ayah sudah makan? Sebentar Afdhal belikan nasi bungkus untuk ayah.”

Dhuuaaarr. Menyebalkan. Niatnya ingin meyakini ayah bahwa menjadi PNS bukanlah tujuanku. Aku bisa menjadi apa saja asal tidak PNS. Sejak kecil aku terbiasa memilih jalan hidupku sendiri. Begitu pun untuk yang satu ini. Tapi, apa yang aku lakukan? Bukannya mengambil alih pembicaraan, aku malah menanyainya sudah makan atau belum. Bukannya memberi pencerahan ala Mario Sungguh, aku malah menawarinya nasi bungkus. Apa-apaan ini. Sial. Tiba-tiba aku mengutuki diri sendiri. Berlalu meninggalkan ayah tanpa mendengar jawabannya.

Saban hari tempat tongkronganku selain rumah adalah warung kopi wak Jali. Tidak ada yang spesial dari warung kopi ini. Hanya warung kopi sederhana yang ramah alam. Propertinya terbuat dari sentuhan alam, kayu dan atapnya berupa daun rumbia. Hanya saja, disini bisa menjadi ruang tempatku bernafas lega. Kenyataanya, aku lari dari kehidupan. Ingin menjadi reporter, tapi lamaranku ditolak. Minim pengalaman, ditambah ijazahku yang lulusan Sarjana Pendidikan.

“Kamu ini, wong kamu lulusan sarjana pendidikan, mau jadi reporter segala, gak nyambung toh nduk.”

Aku tak kuasa membantah. Ayah berharap besar dengan ijazah ini, aku bisa mendaftar tes CPNS. Tapi aku, lagi-lagi tak kuasa menahan hasratku untuk menjadi reporter. Bukan PNS.

Langkahku kembali gontai. Saat-saat krusial seperti ini, jika bukan ke warung kopi, maka aku akan mengurung diri di kamar untuk kemudian membenamkan diri di bawah bantal. Menafakuri jalan hidup yang tak kunjung berpihak padaku.

Terdengar muadzin tengah mengumandangkan adzan, tanda aku harus segera melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslim. Namun, sekali lagi, entah setan mana, selalu saja berhasil menghasutku untuk menghentikan gerakku menghadap sang pemilik rencana.

“Ah, 15 menit lagi saja salatnya”, well, kembali aku menjadi terhasut. Jujur saja, aku benci kehidupanku yang seperti ini. Kehidupan statis yang tidak bermanfaat.

“Afdhal, sudah salat, Nak? Salat dulu sana. Jika kamu menunda-nunda salat, maka jangan heran jika Allah juga menomorduakan dan menunda-nunda permintaanmu.”

Jleb. Perkataan ayah yang selalu mengingatkan aku untuk salat kali ini benar-benar membuat pikiranku bergerak cepat. Instingku bermain. Benar kata ayah. Selama ini aku selalu menunda-nunda kewajiban yang satu ini. Mungkin karena itu aku selalu gagal ketika wawancara menjadi reporter. Selain tidak mendapat ridha orang tua. Aku pun tidak mendapat berkat dari Allah.

“Baik, Ayah.”

Jika ayah sudah membawa-bawa nama Allah dan ibu, aku tidak mampu berbicara banyak. Agaknya, ayah tau rahasia membungkam mulutku.

“Mari kita salat berjama’ah. Kamu yang jadi imam kali ini”, perintah Ayah. 

“Siap, Ayah”, jawab Afdhal mantap.

Tak dapat dihindari, sepertinya aku harus mengikuti kata ayah. Ikut tes CPNS. Pun tidak lulus, baru aku akan mengikuti keinginanku, menjadi reporter. Demikian kesepakatan aku dan ayah selepas bermusyawarah panjang. Karena musyawarah, aku jadi jarang marah-marah. *Loh

TAMAT
Selamat malam Indonesia
Cling.. *menghilang

*Sebuah tulisan yang terinspirasi dari seorang sahabat dengan judul yang asal-asalan.

Senin, 03 November 2014

Hujan Part II

Dalam sesaat, gue sempat ngerasa egois karena hujan beberapa hari ini. You know what? Kerjaan gue cuma bisa ngeluh, ngeluh, dan ngeluh.

Hujan bikin suasana hati dan badan guwe ikut-ikutan mati karier. Sabtu dan Minggu rencananya gue mau nyelesein proposal dan beberapa agenda penting yang udah gue masukin ke dalam buku agenda gue. Tapi hujan kali ini bikin gue malas semalas-malasnya. Gue cuma bisa ngeluh dalam hati. Mengeluhkan cucian yang tidak kunjung kering, mengeluhkan jalanan yang becek. Kasihan motor gue yang baru didoorsmeer beberapa hari lalu.

Gue harus bawa motor dengan pelan-pelan banget nyaris mencapai 0 km/jam saat melewati jalanan yang berlobang. Demi apa? yaa demi motor gue agar tidak ter'make-up' kembali lah. Gue berat hati motor gue terjiprat air dari kubangan itu. Gue ngerasa rugi aja gitu kalo harus mendoorsmeer ulang motor gue. *beda tipis antara hemat dan pelit

Belum lagi dengan agenda gue yang harus keluar rumah. Ngerjain proposal yang konon bisa dikerjain di rumah aja gue ogah. Dalam artian, banyak mikir-mikirnya. Apalagi agenda yang harus outdoor. Cailah. Gaya kali gue. Biasanya gue nulis sesuatu pakek sapaan aku atau saya. Tapi karena kali ini suasana hati gue sedang bagus, jadinya gue pengen pakek gue aja. No protest! No protest! *Sambil runcingin alis mata dan goyang-goyangin jari telunjuk

Hmm, salah satu agenda wajib gue yaitu ngajar di sebuah bimbel ternama. Phibeta. Cari tau kalo pada belum tau. Karena gue harus ngajar, gue ngerasa malas banget keluar rumah kudu pakek "mobil" segala. Eh, mobil? Keren banget gue. Tenang. Itu mobil maksudnya mantel. Atau dalam bahasa Jepangnya biasanya mereka sering sebutnya jas hujan geto. Kalo gue lebih seneng nyebutnya mobil. Lebih menggembirakan hati.

Tapi apalah daya, gue tetep, kudu, wajib menjalankan kewajiban gue. Sebisa mungkin gue harus melawan gaya gravitasi bumi yang bersemayam di tempat tidur. Hujan-hujan gini paling asik buat malas-malasan kalo jadi gue. Tidur, makan, pantengin laptop, sambil sesekali melirik ke luar jendela dan mengeluarkan kalimat stagnan yang becokol dalam hati, “Kapan hujan ini akan berhenti?”. Gue seneng berbicara sendiri kalo udah gini.

Dulunya gue suka hujan. Sekarang suka juga sih. Tapi bedanya, dulu gue bisa melakukan banyak hal menyenangkan. Dulu itu kira-kira 15 tahun yang lalu. Gue bisa mandi hujan sambil bershampo ria ala model shampo di bawah geraian hujan. Tapi sekarang, gue malu melakukan hal bodoh itu. Hmm, sekarang aja bilangnya bodoh. Dulu? Ngesot-ngesot minta izin mandi hujan. hihihi *nyengir bego'

Tadinya gue ke kampus karena sebuah janji. Karena janji, gue bela-belain pakek "mobil". Karena janji, sebenarnya gue belum rela ngeluarin motor gue karena takut kena becek lagi, tapi dengan sedikit terpaksa harus gue keluarin. Karena janji, gue harus lari-larian dengan pakek "mobil" dan helm sampai ke depan pintu sekret himpunan gue di kampus. Karena janji, gue ngerasa jadi model geto gara-gara lari-larian tadi sambil makek "mobil". Mungkin perasaan gue aja kali yak. Gue perasa banget sih. Haft. Karena sebuah janji, gue berasa heroik sendiri pagi ini. Bisa menembus hujan dan mengalahkan gaya gravitasi tadi wak.

Gue menikmati mandi hujan tadi. Karena ada "mobil", gue ngerasa sedikit aman. Paling gak, gue sadar, begitu nyampek rumah gue gak akan basah kuyup. Bermodalkan "mobil", gue gak harus balap-balap karena takut basah. Punya mobil dengan tanda kutip aja udah cukup buat gue senang dan membantu gue, apalagi kalau punya mobil tanpa tanda kutip. Eh?

Banyak kejadian yang tiba-tiba melintas di pikiran gue. Gue jadi teringat masa kecil gue yang melakukan hal bodoh tadi. Namun bukan disitu poinnya. Gue jadi lebih bersyukur dengan kehidupan gue. Gue ngerasa bersalah tadinya suka mengeluhkan hal-hal yang tidak begitu penting.

Lihatlah, betapa ada kejadian yang lebih miris ketimbang hanya mengeluhkan cucian yang tidak kunjung kering. Terlihat kakek tua yang mengamankan jualannya agar tidak terkena hujan. Bisa dibayangkan apa yang dia peroleh selama hujan, lalu jualannya tak kunjung laku.

Anak muda berlarian menuju bangku sekolah. Sungguh mulia niat menuntut ilmu itu. Bahkan, tak memiliki kendaraan pun tak menyurutkan langkah kaki kecil itu melangkah.

Plak! gue berasa tertampar. Gue yang tadi-tadinya malas-malasan disuguhkan pemandangan luar biasa ini.

Belum lagi dengan kabar beberapa daerah di Aceh telah amblas akibat terus diguyur hujan. Banjir di sejumlah titik. Kok bisa-bisanya gue mengeluhkan jemuran di saat lokasi rumah gue masih dalam kondisi aman terkendali.

Memang kita tidak tahu apa rencanaNya. Boleh jadi hujan membawa berkah bagi kita, karena dosen tiba-tiba tidak datang, dan ujian dibatalkan. Berkah karena sebelumnya kita tidak belajar dengan maksimal. Lalu kita bersorak gembira tak tertahankan. Namun di saat yang sama, sebuah keluarga meringis kedinginan karena atap rumah yang bocor. Kontras sekali.

Rasulullah saw telah mengajarkan adab dalam tertawa. Sekedarnya saja. 

Aisyah meriwayatkan, dia berkata, “Tidak pernah sekalipun aku melihat Rasulullah saw ketawa terbahak-bahak sehingga kelihatan kerongkongannya. Akan tetapi, ketawa baginda adalah dengan tersenyum.” ( HR. Al-Bukhari no. 8217)

Bagi sebagian kita, mungkin tertawa lepas akan menenangkan hati. Berasa beban yang buat urat saraf menegang ngacir gitu aja. Gue juga gitu. Tapi tidak merugi jika kita mencoba meneladani Rasul. Mencoba menjadikan hari-hari kita lebih dekat dengan penebar senyum ini melalui kebiasaan-kebiasaan kita.

Sehabis mandi hujan, jadi juga 1 tulisan. Awalnya mau dijadiin status, eeh kepanjangan. Akhirnya ianya gue jadiin note aja deh. 

"Allahummaj'alha rahmatan wa la taj'alha 'adzaban..waghfir lana ya rabbal 'alamin..".
 Ya Allah jadikanlah hujan ini rahmat (kepada kami), dan jangan jadikan hujan ini 'adzab dan ampuni dosa kami..