Pages

Senin, 30 Desember 2013

Lomba Mewarnai Ala Rumcay


Desember 2013 akan segera berakhir. Hanya hitungan hari saja kita akan menemui 2014 dalam kalender masehi. Begitu cepatnya hari berlalu dan berganti tahun. Nah, berbicara tentang Desember, ada satu momen yang tidak bisa diabaikan begitu saja, di samping peringatan Hari Ibu. Satu yang pasti yaitu peringatan tsunami yang jatuh pada setiap tanggal 26 Desember, sesuai dengan tanggal kejadian maha dahsyat 9 tahun lalu, yang berhasil memporakporandakan Banda Aceh saat itu.

Nah, momen ini ternyata tidak luput dari pandangan seorang Nurhasanah, ketua relawan rumcay FLP wilayah Aceh. Sanah, begitu dia biasa disapa, mengusulkan untuk mengadakan sebuah perlombaan mewarnai tingkat TK hingga kelas 5 SD sekaligus untuk mensosialisasikan rumah cahaya yang terletak di Gampong Pineung, Lr. IX, Banda Aceh. Berawal dari gagasan inilah, akhirnya relawan dan anggota FLP mengadakan perlombaan ini.

Rapat akbar pun digelar jauh-jauh hari. Hal-hal yang menjadi pertimbangan acara dibahas disini, seperti pembuatan brosur perlombaan, agenda pelaksanaan, hadiah yang akan dibagikan, waktu dan lokasi pelaksanaan, target kuota yang ingin dicapai, biaya yang dikeluarkan, dan berbagai perangkat lainnya.

Setelah beberapa diskusi ringan, akhirnya peserta diskusi sepakat agar perlombaan diadakan pada hari Minggu, 29 Desember 2013, berhubung hari Minggu adalah hari libur sekolahnya anak-anak. Lokasi yang menjadi tempat eksekusi adalah rumah cahaya, yang untuk selanjutnya kita sebut saja TKP. Target operasi yang ingin dicapai tidak lebih dari 30 orang.

Setelah mengantongi berbagai macam hasil keputusan rapat, relawan bekerja sama dengan anggota FLP langsung membagi tugas untuk mensukseskan acara ini. Brosur perlombaan segera dibagikan ke penduduk sekitar TKP. Tak lupa, sosialisasi perlombaan juga gencar menghiasi laman dunia maya, seperti facebook. Mengingat, facebook salah satu akses yang sangat produktif untuk berbagi informasi.

H-4 peserta telah mencapai 32 orang. Telah melebihi target yang telah disepakati. Luar biasa sekali antusiasme masyarakat. Tapi apalah daya kami, relawan yang keren-keren ini. Tidak kuasa menolak adik-adik yang mendaftar mendekati hari H. Terlebih mak-maknya juga ikut langsung terjun ke TKP. Masak iya sih ditolak?? Kan saaaayaang, begitu pikir beberapa anggota FLP lainnya yang juga ikut nangkring di posko pendaftaran.

H-2 relawan dan beberapa anggota FLP sibuk membereskan rumah cahaya yang akan menjadi tempat eksekusi nantinya. Jadilah peujampus puris alias sapu ijuek and the friends menjadi incaran amuk massa. Alhamdulillah rumah cahaya memiliki persediaan peujampus puris yang cukup. Alhasil kami berhasil melancarkan misi pertama: bersih-bersih rumah yang berdampingan dengan rumah cahaya. Dengan harapan rumah ini bisa ditempati oleh pendamping anak-anak nantinya. Boleh jadi, di hari-H pengunjung semakin membludak. Jadi, sedia ruangan sebelum sesak. Begitu kurang lebih.

H-1 pendaftar sudah mencapai 42 orang. Melebihi ekpektasi panitia. Panitia semakin sibuk mempersiapkan hadiah yang akan diberikan bagi pemenang dan peserta lomba. Meskipun pendaftarannya gratis, namun panitia yang super keren tidak ingin peserta yang juga keren pulang dengan tangan kosong. Mereka juga menyiapkan hadiah yang tidak kalah keren. Sungguh! Buktikan saja. Tapi nanti. Sekarang kita bahas dulu bagaimana jalannya acara.

Hari-H. Persiapan sudah semakin matang. Panitia yang terdiri dari relawan rumah cahaya dan anggota FLP sekitar pukul 12 siang telah hadir di TKP. Cuaca saat itu sangat bersahabat. Berawan. Namun, saat jarum pendek mendekati angka 1, angin kencang disertai gerimis, mulai membasahi bumi. Aroma tanah pun kiat mencuat seiring pertambahan volume curah air hujan.

Rintik hujan semakin deras. Jarum pendek akan segera bertengger di angka 2. Peserta yang datang masih terhitung belasan orang. Panitia mulai resah. Aku tidak kalah resahnya. “Ya Allah, redalah hujannya, redalah”. Tapi, alih-alih reda, hujannya malah semakin deras. Ulok sekali hujannya.

Tapi syukur, keresahan itu segera menguap. Peserta mulai bermunculan dari balik rintik hujan yang masih memainkan aksinya. Kami pun menyambut para peserta dengan hati yang senang tak ketulungan. Mengingat, ini adalah acara perdana yang dilaksanakan oleh para relawan rumcay, singkatan dari rumah cahaya. Jadi, tidak heran, jika panitia merasa sangat deg-degan akan keberhasilan acara ini.

Pukul 2 lebih 15 menit acara dimulai. Molor 15 menit karena menunggu sebagian peserta yang terjebak hujan. Momen ini dibuka oleh ketua relawan sendiri, Nurhasanah, dengan memberikan sedikit sosialisasi mengenai rumcay dan segala aktivitas di dalamnya. Apa itu rumcay, kapan rumcay ini didirikan, apa guna rumcay, dan keuntungan apa yang akan diperoleh jika masuk ke dalamnya.

Pembukaan ini berjalan dengan lancar. Selama sosialisasi tentang rumcay berlangung, peserta kanak-kanak itu mulai menyusul. Kali ini, rumcay benar-benar sesak dengan lautan manusia di dalamnya. Kami terpaksa berbagi nafas. Maaf, oksigen maksudnya. Alhamdulillah tidak ada yang sakit sesak. 

Sosialisai berakhir pada pukul 3 kurang 15 menit. Jadi kira-kira, peserta memiliki waktu 1 jam 15 menit untuk menyelesaikan tugasnya mewarnai gambar yang diberikan oleh panitia. Selama proses perlombaan berlangsung, ternyata masih ada peserta yang masih berdatangan. Alhamdulillah. TKP semakin sesak. Terpaksa panitia mengeksodus beberapa peserta untuk pindah agak ke depan. Tentu dengan tidak mengurangi kenyamanan mereka selama perlombaan berlangsung.

Takjub sekali melihat hasil karya mereka. Ada yang mengecat pakai cat kayu. Ada pula yang mengecat dengan cat krayon. Tidak hanya penggunaan warna yang menarik, namun kerapian dan kesesuaian warna dengan objek yang dicat juga tidak luput dari penilaian juri.

Panitia tidak kalah sibuknya dengan peserta. Bahkan ada panitia yang sibuk berpose dan bergaya begitu mendapati sotrotan kamera. Aih, aku salah satunya, hahah. Alayisme akut. Hmm.. menunggu ternyata tidak selamanya membosankan. Terbukti. Selama mengikuti acara lomba ini, aku tidak merasa bosan sedikit pun. Selain karena ruangannya yang begitu sederhana dan nyaman, para peserta yang masih anak-anak ini memamerkan kelucuan mereka. Ada yang rebutan cat, lirik kiri-kanan mencari-cari sosok sang Ibu, karena takut kehilangan ibunya, ada pula yang melirik kiri-kanan melihat hasil teman seperjuangan mereka.

Kocak. Tidak ingin melewati momen ini begitu saja, aku pun merekamnya dengan menggunakan telepon genggam yang saban hari aku genggam. Mengambil beberapa foto untuk (paling tidak) dijadikan kenang-kenangan dan saksi bisu perjalanan rumcay meraih sms terbanyak merebut hati masyarakat. Halah. Tidak ketinggalan dua orang bocah yang menjadi objek sasaran. Aku sedikit mengganggu mereka yang duduk bersebelahan. Meminta mereka untuk melihat ke arah kamera. Hanya sepersekian detik, aku berhasil mendapatkan foto bocah kembar laki-laki itu.

Pukul 4 kurang 15 menit sudah terlihat beberapa peserta yang telah menyelesaikan tugasnya mewarnai. Panitia lagi-lagi mengingatkan peserta untuk tidak lupa menuliskan nama dan kelas di balik gambar yang telah diwarnai. Pukul 4 teng, gambar dikumpul dan diserahkan ke dewan juri, yang terdiri dari 3 orang anggota FLP. Panitia memberikan waktu sekitar 30 menit untuk juri menentukan pemenangnya. 

Menunggu hasil pengumuman tentu saja membuat jantung para peserta goyang. Dag dig dug tidak menentu. Panitia pun mengakali hal ini jauh-jauh hari dengan menampilkan pembacaan puisi oleh relawan termuda, yaitu Munadia, siswa MAN Model Banda Aceh. Muna membacakan sebuah puisi yang bertemakan tsunami.

Ya, tsunami. Berbicara tentang tsunami, agaknya yang akan terlintas pertama kali di pikiran kita adalah suasana haru biru yang menyedihkan. Begitu pula dengan isi puisi yang dibacakan Muna. Bagiku, kalimat dan diksi yang dipilih sungguh menyentuh. Ekspresif. Enerjik. Lantang. Begitulah kesan yang ditampilkan oleh Muna yang kesehariannya cenderung pendiam.

Alih-alih membuat penonton terhenyuk, peserta lomba yang memang masih berusia anak-anak, malah ketawa-ketiwi menyaksikan relawan muda ini membacakan puisi. Renjes pink terheran-heran. Ada apa ini? Kenapa? Kenapa? Keenaaapaaaa? Kenapa mereka malah tertawa?

Aku tidak kuasa meminta penjelasan, karena ujung-ujungnya aku malah dibuat tertawa pula. Bukan karena puisinya. Tapi karena anak-anak itu yang tidak henti-hentinya tertawa manakala mendapati Muna yang sedang membaca puisi dengan irama dan intonasi yang naik turun. Padahal, bagiku, itu keren. Tapi sayang, pandangan anak-anak jauh berbeda dengan pandanganku yang tidak lama lagi akan menjadi Ibu anak-anak. Aamiin ya Allah, aamiin.

Eh, kenapa malah hilang fokus. Hmm selalu renjes pink tiba-tiba hilang fokus.

Muna menutup puisinya dengan apik. Manis sekali. Elegan. Anak-anak yang sedari tadi tertawa, malah memberikan tepuk tangan yang begitu heboh. Kesan meriahnya acara pun muncul manakala panitia meminta anak-anak ini untuk unjuk gigi. Memamerkan kebolehannya. Walhasil, tampil lah beberapa anak-anak yang memiliki kepercayaan diri tingkat dewa. Menyanyi bersama dan membaca puisi.

Sebagai tanda apresiasi, anak-anak yang maju tampil pun diberi hadiah berupa coklat. Sebagai motivasi bagi teman yang lain. Acara selanjutnya adalah (masih sembari menunggu juri menentukan pemenang) sosialisasi gempa. Anak-anak diberikan brosur yang berisi langkah-langkah yang harus dilakukan apabila gempa terjadi. Kak Liza yang begitu bersahabat, memimpin sosialisasi ini.

Beliau menceritakan pada saat tsunami 9 tahun yang lalu, banyak sekali unit yang dikerahkan untuk membantu membersihkan kota dari puing-puing bangunan sisa reruntuhan. Terlihat pula beberapa gajah yang digunakan jasanya untuk memindahkan beberapa alat berat. Untuk menghidupkan suasana, kak Liza menamai gajah itu dengan nama “Papa Geng”. Anak-anak begitu histeris saat kak Liza mempersilahkan Papa Geng muncul. Siapakah sosok yang berada dibalik topeng Papa Geng? Anak-anak menjadi begitu penasaran. Biarlah ini tetap menjadi sebuah rahasia.

Nah, selesai proses sosialisasi gempa ini, tibalah di detik-detik paling mendebarkan. Detik-detik dimana nafas menjadi sulit terkontrol. Tersengal-sengal. Jantung berdetak dengan sangat cepat. Ah, lebay. Memangnya lari marathon.

Panitia segera mengumumkan pemenangnya. Juara 1, 2, dan 3 mendapatkan piala, sertifikat, dan bungkusan menarik. Sementara juara favorit 1, 2, dan 3 memperoleh bungkusan menarik. Seperti kataku tadi, keren kan acaranya. Keren kan hadiahnya. Panitianya apalagi. Tidak usah diragukan lagi kekerenannya. Huhu. Sesi foto-foto pun tidak lepas dari schedule acara. Hehe, memanglah. Sindrom kerenisme. 

Nah, bagi peserta yang tidak memperoleh juara, tidak perlu berkecil hati. Karena panitia juga menyediakan cendra mata berupa pensil cantik untuk tiap-tiap peserta. Sebelum menutup acara, panitia kembali mengingatkan anak-anak untuk sering-sering main ke rumcay. Rumcay sendiri dibuka setiap hari Senin hingga Sabtu mulai pukul 2 siang hingga pukul 6 sore. Acara selesai pukul 5 sore. Cuaca kembali bersahabat. Cerah. Sama cerahnya dengan wajah sumringah anak-anak yang satu per satu hilang meninggalkan TKP. 



Kamis, 26 Desember 2013

Refleksi Bersejarah Sembilan Tahun Silam


Masih ingatkah kalian dengan tragedi 9 tahun silam?
Sebuah kejadian yang menonjol sehingga menjadi pemberitaan berhari-hari. Disiarkan oleh siaran televisi nasional tiap jam nya untuk meng-up-date perkembangan beritanya. Pembuktian Maha Besar nya Allah di atas segala sesuatu.

Ombak besar yang menggulung kota Banda Aceh, tanpa ba-bi-bu, langsung melahap sebagian besar kotanya. Tidak kenal ampun. Mengabaikan jerit-jerit dan tangis ketakutan. Gempa yang mengakibatkan tsunami meluluhlantakkan jantong hatee Seuramoe Mekkah. Bencana yang menjadi catatan sejarah duka yang mendalam bagi Indonesia, khususnya Aceh sendiri.

Segala atribut kota ludes dalam seketika. Maraknya perayaan Natalan malamnya berubah menjadi kelabu. Banda Aceh mati. Paling tidak, untuk saat itu. Posko-posko penampungan pengungsi tersebar si setiap titik bebas tsunami.

Banda Aceh yang tertata indah berubah begitu menakutkan dan menyeramkan. Mayat-mayat bersliweran di setiap penjuru kota. Membuat mata dan hati terasa pedih menatapnya. Aceh berduka. Banyak keluarga yang kehilangan handai taulan. Istri yang beralih status menjadi janda, suami yang menduda, anak yang kehilangan orang tua, dan berbagai macam bentuk kehilangan lainnya.

Ujian, ataukah Peringatan?

Boleh jadi, Allah sedang menguji ummatNya untuk membuktikan seberapa besar ummat percaya dan cinta terhadapNya. Menjadikan kesabaran sebagai benteng keimanan. Karena sebagaimana kita tahu, Allah tidak akan memberikan suatu cobaan melebihi batas kemampuan ummatNya. Dan percayalah, di setiap ujian yang Allah berikan, pasti ada teka-teki kehidupan. Disitulah fungsinya kita sebagai manusia yang derajatnya paling tinggi diantara makhluk Allah yang lain, dituntut untuk menemukan jawaban dari rahasia dibalik setiap ujian itu. Mampu memetik hikmah di balik setiap cobaan. Fa inna ma’al ‘usri yusraa.

Barangkali, inilah peringatan yang diberikan Allah sebagaimana peringatan yang diberikan kepada kaum Nabi Nuh dahulu. Barangkali, Allah muak dengan segala tingkah polah hamba-hambaNya. Tercatat, begitu banyak kasus kriminalitas yang beredar dan menjadi perbincangan publik. Bisa dilihat di setiap surat kabar pro haba yang terbit setiap harinya. Atau krimintalitas yang sedikit lebih bergengsi. Antek-antek yang menjalani roda-roda pemerintahan. Tikus-tikus berdasi yang memakan uang rakyat untuk memenuhi kepuasan duniawinya. Fenomena politik-tainment. Sandiwara dan permainan politik.

Atau lihat saja, bagaimana muda mudi menikmati masa lajangnya. Sungguh akan kita temukan pemandangan yang menyesakkan, manakala muda mudi sudah kehilangan muka. Berduaan di tempat remang-remang, berasyik-masyhuk di depan umum. Tidak peduli dengan pandangan sinis dan sindiran dari orang sekitar. Astaghfirullah.

Bantuan segera berdatangan. Tidak hanya dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri. Banyak sekali relawan yang ditugaskan untuk membantu menguatkan mentalitas para pengungsi, terlebih anak-anak. Memberikan secercah cahaya akan janji-janji kehidupan yang lebih baik. Membangun kembali paradigma positif dari keterpurukan. Aceh terus berbenah. Infrastruktur dan prasarana kota terus dibangun. Lihatlah sekarang, Banda Aceh sudah kembali tertata rapi, bahkan tidak lebih dari kurun waktu 5 tahun.

Merujuk kembali pada pandangan apakah bencana tsunami itu merupakan ujian ataukah peringatan? Wallahu a’lam. Satu hal yang jelas, fenomena muda-mudi yang tampak menjadi fenomena biasa-biasa saja itu sekarang sudah muncul kembali. Kriminalitas juga gencar menghiasi media pemberitaan. Akankah kita terus menutup mata dan telinga?

Sembilan tahun sudah Aceh melewati zona kritis. Bangkit dari titik nadirnya. Masyarakat telah beraktivitas seperti biasa. Terlihat seperti telah melupakan apa yang terjadi beberapa tahun silam. Seolah-seolah, tidak ada lagi bekas tsunami dan gempa dahsyat itu. Lihatlah, krisis moral dan karakter kembali merajai bangsa. Tidak cukupkah bencana besar ini membuka mata hati kita? Entahlah.

Bencana maha dahsyat yang terjadi di pagi Minggu, 26 Desember 2004, patutnya harus selalu menjadi renungan untuk terus memperbaiki diri dan mendekatkan diri pada Sang Khalik. Momentum 26 Desember, sama halnya dengan hari Ibu 22 Desember lalu, agaknya harus selalu terpatri dan tersemai dalam diri.

#9TahunTsunamiAceh

Selasa, 24 Desember 2013

Rekam Jejak Acara Untold Stories of Writers 2 (Part 2)


Sambungan cerita semalam (REKAM JEJAK ACARA UNTOLD STORIES OF WRITERS 2 (Part 1)) yang sempat vakum cleaner untuk beberapa waktu.

Langsung saja ya, untuk seminar kali ini, Kak Nuril yang menjadi pemegang kekuasaan, alias moderator. Karena ada sedikit masalah, dan sembari menunggu Adit dan Aslan memperbaiki kesalahan teknis, kak Nuril mengajak ngobrol-ngobrol penonton dan meminta mereka untuk melihat ke bawah kursi, ada apa disana?

Tidak lama kemudian penonton tidak ada yang histeris, kaget atau apalah setelah melihat ke bawah kursi. Dalam waktu sepersekian detik, “Karena memang tidak ada apa-apalah disana”, begitu kata kak Nuril dan membuat penghuni aula tersenyum, bahkan ada yang tertawa terbahak-bahak karena berhasil dikelabui. Hahaha..

Setelah masalah teknis beres, kak Nuril langsung memegang kendali penuh atas berlangsungnya acara seminar ini. Secara gamblang, kak Nuril menjelaskan bagaimana perjalanan Untold Stories of Writers 1 pada tahun 2010 silam hingga dilanjutkan dengan Untold Stories of Writers 2 Desember 2013, bertepatan dengan hari Ibu. Kemudian dilanjutkan dengan memanggil pemateri pertama. Masih muda dan berbakat. Mahasiswi dari sebuah Perguruan Tinggi di Bumoe Aceh.



Adalah dia Amalia Masturah. Perawakannya yang begitu sederhana, membuat Ira, begitu dia akrab disapa, langsung menyatu dengan penonton. Ira membawakan materi tentang “Galau Jangan Dihalau”.

Berbicara tentang galau, agaknya kata-kata ini baru 2 atau 3 tahun belakangan ini begitu marak menghiasi dunianya anak muda. Turun hujan, gak bisa ngampus, galau. Siapin proposal, mau jumpa dosen pembimbing, galau. Siap jumpa dosen pembimbing, galau juga gagara naskah proposalnya harus revisi lagi. Chat, comment gak dibalas-balas doi, galau. Apa-apa galau. Mau makan, galau, takutnya gagal OCD. Semua galau. Adooohh.. Pusing renjes pink.

Virus galau ini memang begitu fenomenal. Bahkan ada yang mempublikasikan kegalauannya di jejaring sosial ternama, seperti facebook dan twitter. “Duh, hujan, aku gaallaaauuu,, gak bisa ngampus, gimana ini?”. Begitulah kira-kira satu dari sekian banyak status fb yang mengeskpresikan kegalauan anak muda yang pernah aku baca. Sekilas, memang tidak penting banget itu status. Benar kan yak?

Nah, Ira punya solusi yang bagiku itu keren. Solusi yang sangat solutif untuk memprakarsai kegalauan anak muda agar galaunya bukanlah galau biasa, tapi galau yang produktif. Tentu saja bukan ke klinik Tong Fang. Solusi yang ditawarkan Ira adalah solusi yang sangat sederhana. Yah, paling tidak, kita tidak terlampau larut dengan kegalauan itu sendiri. Galau itu memang tidak akan pernah hilang dengan sendirinya. Karena roda kehidupan terus berputar. Masih banyak kegalauan lain yang harus kita galau-i ke depannya. Jadi, yaa galau, jangan dihalau. Gak akan bisa. Tapi bagaimana cara kita menikmati galau itu. Salah satunya dengan menulis. Dari galau, menjadi tulisan. Amazing sekali bukan?

Ira menyampaikan pengalamannya sendiri yang pada saat itu pernah galau, malah dia menemukan solusi dari kegalauannya berkat tulisan yang ia hasilkan. Nah, salah satu keuntungannya ya itu kan, kita jadi tau solusi apa yang bisa kita jadikan penangkal untuk mengusir galau itu. Hebat.

Sebelumnya, aku hanya menulis hal-hal yang aku senangi. Hal-hal yang bisa menggembirakan hati. Tidak kepikiran untuk menuliskan hal-hal galau ke dalam bentuk tulisan. Sepertinya ini bisa jadi project besar baru ke depannya. Hmmm ya ya yaa. Solusi yang begitu cerdas.

Bagi yang suka nulis kegalauan di dinding facebook sampek-sampek nyemakin beranda orang lain, udah bisa belajar nih buat mengubah statusnya yang hanya beberapa baris menjadi sebuah tulisan yang layak untuk diperbincangkan. Minimal, ada kepuasan sendiri setelah melihat hasil tulisan kita. Begitu kesimpulan singkat yang diberikan Ira menutup materinya di seminar kali ini dengan sedikit editan, hehe.

Kak Nuril pun kembali mengambil kuasa penuh dan menghadirkan pembicara kedua. Nah, sayang sekali, aku melewati beberapa bagian penting di momen ini, karena kue sesi kedua sudah datang. Kami pun kembali menjalani rutinitas secepat kilat, memasukkan kue-kue itu ke dalam kotak.

Dari kejauhan, sayup-sayur ku dengar pembacaan puisi oleh anak-anak kecil lagi sebagai selingan. Akhirnya aku tahu, ternyata mereka itu berdua. 1 anaknya Kak Mala, anggota FLP Aceh, 1 lagi anaknya Dr. Rosaria yang menjadi pengisi materi juga. Hebat sekali. Sayang, aku melewatkan pemandangan indah itu.

Setelah kami selesai memasukkan kue-kue itu ke dalam kotaknya, aku pun langsung bergegas kembali ke TKP. Wah, ternyata aku sudah melewatkan beberapa momen penting. Dr. Rosarianya udah tampil di atas panggung. Aku terheran-heran melihat semua peserta berdiri dan melakukan berbagai gerakan yang akhirnya aku tahu, oooo ini yang namanya senam otak. Aku pun mencuri-curi aksi. Sekali-kali mengikuti gerakan senam otak yang sedang diperagakan oleh ibu dokter manis ini. Mengikuti lantunan musik yang dimainkan. Seketika aku kikuk menyadari jari-jari tangan ini tidak selincah dan secepat yang dokter peragakan.

Apabila Anda tidak mampu untuk berkonsentrasi penuh, memiliki masalah dengan daya ingat atau hal lain yang terkait kinerja otak, ada baiknya Anda melakukan senam otak. Gerakannya sederhana tapi dapat memaksimalkan performa otak, karena bertujuan untuk menstimulasi, meringankan, dan sebagai relaksasi otak.
Lumayan juga nih, buat ngiklan. Hehe.

Meskipun terbilang sederhana, ternyata sulit sekali mempraktekkannya langsung. Tapi senam otak ini lumayan menghibur. Beberapa anggota FLP lainnya juga terlihat begitu ceria ketika mengikuti senam otak ini. Lucu sekali melihat aksi kocak mereka. Dan aksi itu tidak luput dari perhatian Siti, juru kamera saat itu. Langsung saja dia memotret aksi mereka yang bisa dikatakan sedikit berantakan. Mengingat biasanya mereka selalu tampil rapi dan keren. Kontras sekali.

Selesai senam otak, kak Oca, akhirnya aku tau nama panggilan beliau dari kak Shana, mempersilakan peserta untuk duduk kembali. Yah, suasana jadi semakin fresh dan gembira. Aku menikmati sekali seminar ini. Keren. Luar biasa, dengan pemateri yang luar biasa pula.

Kak Oca menyampaikan materi dengan judul “Writing is Healing”. Dari materi beliau inilah aku mendapatkan banyak sekali informasi mengenai bagaimana maniaknya penulis-penulis di luar negeri dalam kepenulisan. Bahkan ada penulis yang kekayaannya pernah melebihi kekayaan Ratu Inggris pada masanya berkat penjualan karya novelnya yang mencapai 1 milyar copy. Setelah dikalkulasikan, novelis ini bisa menulis 20 buah novel dalam setahun. Dan hitungan perharinya, dia bisa menulis 7000 kata. Keeeeren gak tu?

Yang paling mencengangkannya lagi, ada penulis yang sampai pingsan karena kegilaannya menulis. Wow, boleh jadi, karena gilanya dia dalam menulis, dia lupa menjaga kesehatan tubuh dan waktu makan. Ah, yang seperti ini sepertinya tidak baik untuk jadi contoh. Tapi semangat menulisnya, bolehlah.

Bahkan ada yang betah duduk berlama-lama dari pagi sampai sore hanya untuk menulis. Dan itu menulis non-stop. Aku kembali tercengang dibuatnya. Mengingat, biasanya dalam 2 jam saja aku langsung menggeliat seperti cacing kepanasan. Dan peserta tidak kalah tercengangnya denganku. Terbukti, ekspresi mereka, sama anehnya dengan ekspresi aku yang asik berimajinasi sendiri membayangkan aksi ekstrim penulis kelas dunia itu. Rasanya, aku tidak akan segila itu deh. Aku masih ingin kawin dulu, hiks. Eh, kenapa ini?

Salah satu tips menulis yang aku ingat dari Kak Oca adalah, saat menulis, matikan seluruh jejaring sosial. Hahai, mohon maaf kak, untuk yang 1 ini, masih tidak bisa. Masih suka ngintip-ngintip fb. Masih suka kangen fb. Halah. semoga alayisme akut ini segera mereda.

Nah, tips berikutnya, temukan waktu produktif kalian untuk menulis. Pas kali. Waktu produktifku adalah tengah malam. Ditemani suara gonggongan anjing dari universitas sebelah. Mistis-mistis gimanaaa gitu. Tapi tidak menyurutkan semangatku untuk menulis.

Tahukan kalian, tulisan ini juga aku tulis tengah malam. Membuktikan kalau memang waktu produktifku adalah pada saat orang lain telah menjelajah samudera mimpinya. Dan di saat produktif inilah, sebisa mungkin kita menuliiiiiiss terus jangan berhenti-berhenti. Seperti itu lah kurang lebih. Beliau juga menyarankan bagi penulis pemula, untuk membuat draft menulis. Jadi semacam notes gitu. Yang nantinya baru akan dikembangkan dengan kalimat yang keren-keren dengan gaya masing-masing. Karena salah satu tujuan menulis itu adalah untuk rekam jejak. Jadi, jika tidak dituliskan segera, maka dikhawatirkan akan menghilangkan momen-momen penting seiring berjalannya waktu.

Baiklah, demikian ulasan singkat dari dokter kita yang paling manis hari ini. Kak Nuril kembali memegang kendali. Tanpa memperpanjang mukaddimah, kak Nuril memanggil pemateri ketiga, yaitu kak Beby Haryanti Dewi. Kak Beby pun menaiki panggung. Oooo jadi ini orangnya. Selama ini, aku hanya sering mendengar namanya. Tegas dan penuh percaya diri. Begitulah kesan yg ditampilkan oleh kak Beby yang mengenakan jilbab ungu dan setelan baju yang berwarna ungu pula. Serasi sekali. 

Aslan dan Adit memainkan aksinya dengan menampilkan slide yang berisi karya-karya dari kak Beby dan perjalanan kariernya. Banyak sekali karya yang telah dihasilkannya. Rutinitasnya sebagai seorang ibu rumah tangga sekaligus editor dan penulis skenario untuk beberapa FTV di siaran nasional tidak menyurutkan langkah ibu dari 3 anak ini untuk terus menghasilkan karya. Tidak heran, dengan kegiatannya yang terbilang padat, kak Beby membahas materi yang berjudul “Loe Sibuk, Gue Nulis”. Saaah yaa,, saaah.

Di awal-awal slide, kak Beby menampilkan slide yang berisikan gambar pak SBY. Disitu ada tulisan yang berbunyi kurang lebih, “Sibuk mana, loe sama gue?”. Terang saja peserta bahkan anggota FLP yang hadir saat itu tertawa poh-poh droe. Kak Beby menjelaskan, di sela-sela kesibukan SBY memimpin keluarga dan negara, SBY masih bisa menyempatkan diri untuk menulis dan merampungkan sebuah tulisan, tapi lupa judulnya apa. Padahal udah dibilang pas seminar. Adoooh ingatan.

Kak Beby menegaskan, jadi intinya tidak ada kata terlalu sibuk untuk menulis. Begitulah kurang lebih. Lha presiden aja bisa nulis, masak kita yang sebagai mahasiswa dimana rutinitas kita tidak bisa disandingkan dengan orang nomor satu ini tidak bisa. Apa kata dunia? Hmm terserah dunia mau bilang apa, kita lanjut ya.

Saking asiknya kak Beby menyampaikan materi, Aslan dan Adit pun asik dengan obrolan mereka. Sehingga kak Beby harus beberapa kali memanggil nama Aslan untuk memindahkan slide. Dan kejadian ini terulang beberapa kali. Sampai akhirnya peserta tau, ooo abang itu namanya bang Aslaaaan. Hahah.

Satu hal yang tidak kalah lawaknya adalah pada saat slide yang ke-berapa lupa, terlihat gambar 2 orang nenek-nenek yang memamerkan gigi ompongnya. Berikut percakapan yang ada di gambar itu, lagi-lagi kurang lebih, kalau lebih, jangan lupa minta kembaliannya, hiiii *nyengir karena pembicaraan semakin ngawur

       Nenek 1: “Dulu pas kuliah, kamu ambil jurusan apa, sis?”
       Nenek 2: “Aku ambil hikmahnya saja”

Rasanya ingin sekali tertawa lepas. Tapi lagi-lagi, aku tidak ingin citra kerenku memudar. Halah. kalau Ungu bisa mengatakan cinta dalam hati, maka aku hanya bisa tertawa dalam hati. Dan rasanya itu nyesek. Salah sendiri. Hahaha. Tidak hanya aku yang rasanya ingin terpingkal-pingkal melihat gambar itu, tapi juga para hadirin-hadirat yang memadati aula pagi ini. Seketika ruangan penuh dengan gelak tawa yang membahenol.

Trus kak Beby bilang apalagi ya?? *mikir keras.
Ingataan,, ingaataaann, kembalilah.

Duh, sepertinya aku kehilangan beberapa memori untuk pembahasan dari kak Beby. Sayang sekali. Kita akhiri saja ya. Sekarang tibalah sesi tanya jawab. Pertanyaannya beragam. Tapi aku hanya ingat beberapa yang menurutku keren dan layak tersimpan dalam memori.

Ada abang-abang berkacamata menjelaskan sedikit uraian yang bahwa sanya dia telah merampungkan sebuah naskah dan telah ditawari oleh sebuah penerbit. Namun abang ini galau, karena penerbit itu meminta bayaran 30 persen sebagai uang muka agar naskahnya bisa diterbitkan. Kemudian beliau bertanya, apa yang seharusnya dia lakukan karena dia masih sangat awam dengan kasus itu.

Tepat sekali, kak Nuril pun melayangkan pertanyaan itu agar dijawab oleh kak Beby, yang notabene lebih berpengalaman di lini penerbitan. Nah, kak Beby mengatakan yang bahwa sanya jika kita melempar suatu naskah ke penerbit yang sebenar-benarnya penerbit, maka uang muka 30 persen itu tidak akan diminta. Kita tidak akan diminta apa-apa sebelum naskahnya diterbitkan. Begitulah kurang lebih. Sebenarnya penjelasannya panjang. Tapi otak dan pikiran yang tidak seimbang ini hanya mampu menangkap kalimat itu.

Lanjut pertanyaan kedua datang dari seorang gadis manis berbaju hitam jika tidak salah mata memandang. Dia bertanya gimana caranya jika kita udah menulis panjang-panjang terus tiba-tiba kita lupa (mendengar kata-kata lupa ini sontak peserta tertawa) apa tujuan awal penulisan kita.

Kak Nuril menyimpulkan kembali pertanyaan gadis itu dengan membubuhi kalimat ,”baiklah untuk adek dengan pertanyaan tentang amnesia gitu ya........” kalimat selanjutnya aku lupa. Tapi mendengar kata-kata amnesia itu tadi, peserta tertawa lagi. Tidak kalah membahenol dengan tawa sebelumnya. Jika tidak salah, untuk pertanyaan ini, dijawab oleh Ira. Aku tidak begitu menyimak jawaban nya saat itu karena apa ya? Lupa. Ntah hapa yang aku pikirkan saat itu. Wallahu a’lam.

Lanjut pertanyaan ketiga datangnya dari abang-abang lagi yang masih berstatus siswa. Eh, adek-adek lah ya. Oke boleh juga. Adek-adek. Adik manis ini menyampaikan pertanyaannya dengan penuh semangat. Peserta yang lain pun begitu antusias mendengar pertanyaan dari laki-laki ini. Dia mengatakan yang bahwa sanya dia sangat menyukai segala macam bacaan dan tulisan yag berbau-bau politik. Politis abis deh pokoknya. Nah pertanyaannya, apakah mungkin (baca: boleh) seseorang yang masih berstatus siswa menulis sebuah tulisan yang menyentil pemerintahan dan sistem perpolitikan di Indonesia?

Oke, untuk pertanyaan ini, kak Nuril mempersilahkan dokter untuk menjawab. Kak Oca pun langsung memberikan apresiasi untuk laki-laki ini. Karena hobinya yang terbilang langka. Menyukai hal-hal yang berbau politik. Keren sekali untuk anak muda seusianya. Politik itu terkadang kejam, dan anak muda ini malah menyukai kekejaman. Eh, salah fokus.

Kak Oca pun mengatakan, boleh-boleh saja kita menulis sebuah tulisan untuk menyentil atau mengkritisi sistem pemerintahan di negeri tercinta. Hanya saja, tidak boleh lepas dari etika menulis. Toh, menulis juga punya kode etik. Bagaimana cara menyampaikan opini, mengkritisi, berkomentar, dan lain sebagainya. Dan tidak boleh dilakukan dengan seenaknya saja tanpa bukti yang akurat. Karena berbicara tanpa bukti adalah nihil. Omong kosong. Nah, kak Oca menyarankan jika pun ingin tetap menulis tulisan yang seperti itu, perbanyak lagi referensi agar tidak menjadi bumerang untuk ke depannya dan pelajari cara-cara menulis yang baik dan sopan jika ingin mengkritisi sesuatu.

Sebenarnya ada sekitar 6 pertanyaan waktu itu. Tapi yang begitu membekas di ingatan ku hanyalah 3 ini saja. Yang lain entah kemana. Masya Allah. Bahkan aku kehilangan setengah memori daripadanya.

Sayang sekali aku tidak mengikuti hingga tuntas acara ini, karena harus menghadiri pesta pernikahan mentor UP3AI ku. Kak Arina namanya. Lengkapnya Arina Syukria. Jadi aku tidak begitu tau detail lagi ada agenda apa setelahnya. Yang pastinya sesi foto-foto. Hehe.

Pokoknya, (hehe maksa kali pakek pokoknya) keren sekali seminar Untold Stories of Writers 2 ini. Semoga ke depan akan ada lagi acara-acara berkualitas seperti ini dari FLP sendiri untuk terus memberikan sumbangsih terhadap putra-putri bangsa melalui slogan “berkarya dengan menulis”, hehe. Slogan buat sendiri. Senang sekali bisa mengikuti acara ini. Semoga bisa menjadi penyemangat untukku dalam menulis dan bagi para peserta pula. Aamiin.

Ah iya, aku melupakan sesuatu. Sebelum menutup acara, sekali lagi, kak Nuril menyuruh peserta untuk mencari sesuatu dari balik kolong kursi. Aha, ternyata ada beberapa peserta yang menemukan kertas yang berisikan tulisan “Selamat, Anda mendapatkan doorprize”. Wuuiiii keerrreeen. Enak sekali mereka. Doorprizenya berupa copy-an novel atau buku apa. Karena terlalu bising, aku tidak begitu jelas mendengarnya. Namun, ada pula yang mendapatkan tulisan “Maaf, Anda belum beruntung”. Haha. Kasihan sekali. Tapi hal itu tidak memudarkan senyum-senyum manis dari para peserta. Karena memang acara berlangsung dengan  begitu ceria, khidmat dan bisa dibilang sukses. Alhamdulillah..

Untuk FLP Wilayah Aceh, sukses terus yaaa.. 

Senin, 23 Desember 2013

Rekam Jejak Acara Untold Stories of Writers 2


Pagi ini, bertepatan dengan hari yang “katanya” hari Ibu, jam 7 teng aku bergegas berangkat ke Dinas Syariat Islam kota Banda Aceh. Bukan untuk apa-apa. Hari ini adalah hari besarnya anak FLP bulan ini, hehe. Karena di aula Dinas Syariat Islam akan diadakan seminar kepenulisan Untold Story of Writers 2 yang dibintangi oleh dr. Rosaria Indah, Beby Haryanti Dewi, dan Amalia Masturah yang memiliki nama pena Ia Safasna.

Sebagai relawan rumcay yang kiprahnya masih dipertanyakan, berangkatlah aku kesana. 07.06 aku memanaskan motor. Mungkin hanya 1 menit. Mengingat aku harus mengejar ketinggalanku. Kan ceritanya disuruh kumpul jam 7. Well, aku udah korupsi waktu 6 menit, belum lagi dengan waktu tempuh di jalan. Tidak usah diceritakan apa yang aku pikirkan selama di perjalanan. Aku hanya membayangkan pastilah disana sudah ramai sekali anak FLP yang sedang bersiap-siap untuk acara. 07.12 aku tiba di tempat. Bayangkan si raider bawa motor. Halah.

Tiba disana, halaman masih kosong melompong. Langsung saja aku berhentikan motorku di depan halaman. Aku bingung harus parkir dimana. Sepertinya aku jadi penghuni pertama wak. Hahaha. Ternyata yang aku bayangkan tadi memanglah hanya sebuah bayangan. Terlebih bayangan bagaimana aku harus meminta maaf karena telat. Memasang muka memelas. Aduh aduh, mengingat itu, aku langsung tersenyum gak jelas. Tidak lama kemudian senyum itu lenyap. Suasana begitu lengang. Aku menjadi sedikit ketakutan. Langsung ku rogoh saku untuk menemukan hapeku. Langsung saja ku hubungi kak Shana. Tidak diangkat. Kak Shana M3, tidak juga dijawab.

Aku bingung. Kata Kak Tina, aku langsung masuk saja. Kotak kue nya udah ada di lantai 2. Tolong masukkan kue ke dalam kotak kue. Penjelasan singkat itu membuat aku sedikit goyang. Masuk nggak, masuk nggak, masuk nggak. Aih, tapi rasa galauku lebih besar. Akhirnya aku memutuskan untuk mengintip ke dalam sebentar. Ku dapati abang-abang tertidur di kursi tunggu terbangun olehku. Hiissh,, langsung saja aku kabur keluar lagi dan memutuskan untuk menunggu di parkiran saja. Seperti maling yang ketahuan gerak geriknya. Kali ini senyumku sedikit dipaksakan kepada abang itu. Semoga beliau tau senyum itu artinya minta maaf. Haha.

Sungguh, menunggu itu tidaklah enak. Aku tidak percaya kata-kata Bang Joni yang mengatakan, “menunggu untuk sesuatu yang tidak apa-apa”, dengan wajah sumringahnya. Bagiku, menunggu terlalu lama membuat aku jadi merasa bosan.

Berpikir, berpikir, berpikir. Aha, kan aku bisa menghubungi yang lain. Apa juga ada hape. Kenapa tidak kepikiran ya? Atau memang tidak punya pikiran? Astaghfirullah.. “Kak Junaidah, kak Junaidah, mana kak Junaidah”, aku mencari kontak kak Junaidah di hape. Langsung telepon. Hehe.. lagi banyak pulsa ceritanya. Halah.

Tuut, tuut, tuuut. Hanya bunyi itu yang aku dengar. Kak Junaidah juga tidak menjawab. Wah, gawat. “Atau jangan-jangan, mereka sudah di lantai 2”, pikirku sebagai penghuni pertama langsung buyar. Aku mencoa mendekati pintu masuk sekali lagi. Berharap menemukan keberanian untuk langsung naik ke lantai 2. Tapi tiba-tiba musik Insya Allah nya Maher Zain berbunyi, penanda masuknya sebuah sms di hapeku. Ah, Kak Junaida. “Kakak lagi di Peurada”. Oooohhh lagi di jalaaann.

Oke, akhirnya, aku memutuskan untuk balik ke parkiran. Ngeri saja membayangkan suasana sepi jika aku harus sendiri di lantai 2, hihihi. Pikiranku melayang kemana-mana. Huft, akhirnyaaaa kak Junaidah tiba juga. Sepertinya beliau tadi singgah sebentar untuk membeli sesuatu yang bisa dijadikan untuk sarapan. Terlihat dia menenteng sesuatu di kantong plastik. Langsung saja aku mulai berani untuk masuk dan menemukan abang-abang tadi lagi.

Sembari menunggu abang itu membuka pintu aula, kami langsung naik ke lantai dua dan berdiri-berdiri di depannya sambil bersandar di beberapa meja yang terparkir agak sedikit berantakan. Lain kak Junaidah yang betah bersandar di meja berlama-lama, lain pula dengan aku yang seperti cacing kepanasan. Tidak betah aja rasanya tidak tau mau melakukan apa. Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan, mengedarkan pandangan ke penjuru lantai 2, melihat ke lantai 1 dari pagar lantai 2. Keren sekali, aku tidak ketakutan. Haha memang aku tidaklah phobia ketinggian, apa pulak keren sekali. Haduh haduh.

Tidak lama kemudian, muncullah penguasa FLP, kak Nuril, dengan mengenakan baju biru muda seperti kak Junaidah. Wah, ternyata dress codenya biru untuk anggota FLP. Alhamdulillah aku gak jadi pake batik biru tadi, hahaha. Kalau disangka anak FLP, kan repot juga. Merasa diri tidak pantas. Hmm, well, kak Nuril yang berperawakan cukup gesit, akhirnya mencoba untuk membuka pintu aula. Saat itu, waktu telah menunjukkan pukul 7 lebih 25 menit.

“Jeh, gak terkunci kok”, kata Kak Nuril. “Appppaaaaahhh?? Gak terkuuunnccciii??” (dengan suara tempo lambat), tapi ini setengah dari suara batinku. Karena setengahnya lagi tengah tertawa ngakak menyadari kekonyolan aku dan kak Junaidah yang tidak berusaha untuk mencoba membuka pintu meutuah itu sama sekali. Adoooh. Dan aku hanya bisa mengikuti kak Junaidah dan kak Nuril masuk ke dalam ruangan. Padahal dalam hati pengen ketawa sejadi-jadinya. Tapi apalah daya, aku tidak ingin citra kerenku musnah. Maka aku putuskan berekspresi seperti tidak ada kejadian. *pura-pura amnesia akut. What?

Begitu masuk ruangan, cuma 1 kata yang bisa aku katakan. Iissh,, joooyyyoookk (baca: jorok). Lantainya penuh dengan sampah plastik dan debu. Tidak indah saja, jika FLP yang mengusung warna Islami, tapi tidak mengindahkan kebersihan yang notabene merupakan sebagian dari iman. Sayang jika nanti terdengar bisik-bisik tetangga yang tidak mengenakkan tentang FLP. Bagaimanapun juga, sebagai relawan rumcay yang apalah ini, aku harus berbuat sesuatu. Toh, aku disini bukan untuk hadir saja, tapi untuk berbuat. Rasanya tidak etis saja jika hanya hadir dan duduk menikmati seminarnya.

Begitu mendapati sapu yang sedang anggur, langsung ku gapai dan ku raih. Aksiku pagi itu pun dimulai dengan menyapu ruang aula setelah merapikan beberapa kursi ke sudut belakang. Yeeeeaaayyy.. semangat. Melihatku yang sedang asik sendiri dengan sapuku, kak Nuril pun bertanya pada abang-abang tadi yang sedang membawa ntah hapa, aku tidak begitu memperhatikan. Pokoknya sesuatu seperti wayer gitu. “Bang, ruang nyoe hana dipeugleh nyoh”?, tanya kak Nuril. Abang-abang itu sedang asik sendiri dengan kabelnya. Jadinya dia bertanya balik, dan kak Nuril pun bertanya balik juga. Mereka ini apa-apaan sih? Seperti balas pantun saja. Wkwkwkwk.

“Kamoe kan kaleuh sewa tempat nyoe, pu ruangan nyoe hana dipeugleh nyoh?”, tanya kak Nuril sekali lagi. “Ooo hana dek”, begitu jawaban singkat dari abang itu. Setidaknya itulah yang tertangkap oleh pendengaranku menguping sedikit perbincangan mereka, hihi. “Jadi kekotoran yang disebabkan oleh orang lain, harus dibersihkan oleh orang lain”, kak Nuril membuat sebuah kesimpulan dan tersenyum, “pikee kamoe, karna kamoe ka sewa tempat, dipeugleh le awak yang kelola aula nyoe”, kak Nuril berbicara sendiri, karena abang itu tidak menjawab lagi. Semakin menjelaskan bahwa aku harus membersihkan ruangan itu. Tidak apa. Toh aku senang melakukannya, mengingat, kursi-kursi peserta sudah tertata rapi, kue belum datang, jadi tidak ada yang bisa aku lakukan selain bersih-bersih. “Semangat helka”, batinku.

Tidak lama kemudian, bang Ferhat muncul dari balik layar. Perawakannya yang tidak bisa tinggal diam juga langsung mencari sesuatu yang bisa dikerjakan. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya, yang jelas sepertinya dia sedang mencari sesuatu yang kurang. Begitu juga dengan yang lain. Intinya, semua tidak ada yang duduk-duduk santai. Bang Ferhat, kak Nuril, dan Kak Junaidah. Sementara aku masih berkutat dengan sapu itu. Tapi sayang, beberapa bekas noda yang hanya akan hilang dengan cara dipel masih kelihatan. Tapi setidaknya udah bolehlah.
Tidak berselang begitu lama, aku selesai dengan bersih-bersih itu dan mencari-cari apakah masih ada sampah yang mencuri-curi pandang denganku dari balik kolong kursi. Setelah memastikan semuanya aman, ku pastikan pula sampah-sampah ini berada di tempat yang seharusnya, yakni tong sampah. Yaph, misi pertama selesai. Yeehuuuyyy. Lanjut ke misi kedua: Masukkan kue ke kotak.

Hmmm, ternyata kuenya belum datang pemirsa. Tidak tau apa yang terjadi. Dan muncullah beberapa punggawa FLP lainnya, seperti kak Isni, kak Fanny, ketua relawan kak Shana dan beberapa anggota FLP lainnya, hehe karena beberapa diantaranya aku masih lupa namanya, tapi tidak dengan wajahnya. Kemudian kak Nuril menyuruh kami untuk membantu bang Ferhat yang sedang mengangkat kursi dari lantai 1 ke lantai 2. “Oke kak, sip,” batinku lagi. Aku, Kak Junaidah, dan Kak Isni pun mengangkat kursi itu. 2 buah kursi sekaligus dalam sekali angkat. Begitu perkasanya kan kami, hihi.

Ada kejadian menarik saat kami menaiki anak tangga. Kak Isni yang dijuluki “anak kesyil” kewalahan dengan kursi yang diangkatnya. Kami pun terlebih dahulu tertawa menyaksikan aksi kocak kak Isni, meskipun setelahnya muncul kak Junaidah  sebagai pahlawan bertopeng, hohohohoho.

Setelah menyusun dan merapikan kursi yang baru saja kami angkut itu, aku mulai bingung lagi apa yang harus aku lakukan. Akhirnya aku memutuskan untuk mengecek kotak kue itu lagi. Untuk ke sekian kalinya. Haha, ntah hapa maksud. Hemmhh, akhirnya kak Isni memintaku untuk membeli 10 buah aqua ukuran sedang berikut pipetnya, dan aku menyanggupinya, berhubung aku tidak tau apa yang harus aku kerjakan selanjutnya. Sementara kak Isni harus ke rumcay untuk mengambil beberapa peralatan yang ada di rumcay untuk dibawa ke tempat berlangsungnya acara.

Setelah menerima uang untuk membeli aqua dan peringatan agar aku tidak lupa untuk meminta bon, aku pun segera meluncur ke lantai 1. Di perjalanan (masih di anak tangga), aku berjumpa dengan beberapa peserta. Wah, ternyata mereka antusias sekali. Karena waktu itu masih sekitar jam setengah 9 kalau gak salah. Tapi mereka telah hadir di tempat. Bagiku, itu keren.

Oke, tanpa memperpanjang mukaddimah, aku pun segera menghidupkan mesin motor dan menjelajah mencari warung atau swalayan. Pas di depan simpang peurada, depan toko mie turis itu, aku menemukan sebuah swalayan kecil yang menyediakan pesananku itu. Setelah transaksi kecil itu, akhirnya kakak-kakak penjaga swalayan memasukkan botol aqua itu ke dalam plastik ukuran besar, berikut pipetnya. Kemudian aku menanyakan apakah ada dijual pulsa, soalnya kak Shana juga menitipkan untuk diisikan pulsa. Oke, ada. Semua beres. Aku sms lah kak shana untuk memastikan apakah pulsanya udah masuk. 1 menit. 2 menit. 2 setengah menit. Tidak ada balasan. Ah, mana pulak kak Shana sempat membalas dengan kondisi semua orang sibuk. Mungkin kak Shana lagi sibuk. Aku mencoba berpositif thinking.

Lalu, ibu-ibu empunya toko tanya, “Udah masuk dek pulsanya?”. Aku gaaallaaauuu, lalu ku katakan, “Sebenarnya ceritanya gini buk, teman saya yang menitipkan pulsa itu, belum dibalasnya udah masuk atau belum”. Alhamdulillah ibu itu pun ber-oo panjang penanda mengerti bahasa isyarat ini. “Gini aja dek, sini biar ibu tuliskan no kawan adek tadi, nanti ibu cek lagi udah masuk atau belum”, kata ibu itu. Akhirnya aku menuruti niat baik ibu itu dan mendektekan nomornya.

Saat ingin balik ke lokasi TKP, saat melihat botol aqua yang begitu banyak dalam plastik (maklum, sebelumya belum pernah beli sebanyak itu), aku ragu, sanggupkah aku mengangkatnya? Aih, benar saja, beratnya itu mengiyakan jawaban pertanyaanku. Iya, benar, aku tak sanggup maksudnya. Hahaha. Lalu aku imigrasikan setengahnya ke dalam tas ranselku. Jadi berkuranglah setengah beban ini.

Tiba di lokasi TKP, aku melihat mangsa yang sudah cukup ramai. Ada ribuan mangsa disana saking ramainya. Memadati langkahku mencapai lantai 2. Aku pun terseok-seok sambil membawa belanjaanku. Hehe, lebay sikit. Mangsanya ratusan, gak nyampek ribuan kok. Masih ada space untuk pejalan seperti aku yang apalah ini. Tidaklah sampai tersenggol-senggol kakak-kakak dan adik-adik peserta yang sedang mengantri menunggu jatah pendaftaran ulang. Semua sibuk dengan pekerjaannya. Dan aku pun sibuk dengan botol aqua ini. Setelah pipetnya aku masukkan ke sela-sela “judul” aqua itu, aku pun menempatkan aqua-aqua itu di deretan meja kursi tamu. Namanya juga peumulia jamee.

Aku tersadar, ternyata kak Ira, Aslan, Adit, Arif, kak Nawra, Kak Husna, dan beberapa sahabat FLP lainnya juga sudah mulai bermunculan dan sibuk dengan kerjaannya masing-masing. Begitu juga dengan sahabat relawan yang belum disebutkan namanya, yaitu Muna, Moly, dan Nova.

Kue sesi pertama berdatangan. Panitia segera beralih ke kotak-kotak kue yang sedari tadi teranggurkan. Alamaak, teranggurkan. Mulailah kak Husna, kak Zuri, kak Isni, kak Nawra, dan beberapa relawan berasyik masyhuk dengan kotak-kotak itu dan bekerja secepat kilat. Sebuah pemandangan yang luar biasa. Bagiku, itu lagi-lagi keren. Ternyata kue nya masih kurang, karena masih ada banyak sekali kotak yang teranggurkan. Kemana ini ya yang ambil kuenya? Huuft, acara sudah hampir dimulai.

Peserta sudah mulai melakukan sesi pendaftaran ulang. Dimana ada Nita, Kak Fanny, kak Nawra, dan kak Husnul yang berada di tempat registrasi ulang. Aku hanya sesekali bergabung dengan mereka karena sudah tidak ada lagi yang bisa ku kerjakan. Ah iya, aku hampir melupakan kak Shana. Jiwa dagangnya yang luar biasa terbukti di acara ini. Kak Shana ternyata tidak menyia-nyiakan situasi ini dan langsung menjajakan koleksi brosnya. Harganya cukup terjangkau untuk anak kuliahan seperti aku. Tak ketinggalan kak Fida juga menjajakan bros, fashmina, dan koleksi kalungnya. Harganya yaa kisaran harga ibu-ibu, karena kak Fida juga udah ibu-ibu. Ada beberapa jenis yang mencapai 50 hingga 65 ribuan rupiah.

Begitulah sedikit gambaran yang terjadi saat persiapan acara untold stories of writers 2 ini. Acara  dimulai pada pukul... hmmm aku lupa lihat jam waktu itu. Intinya acara sudah dimulai aja lah ya. Acara dimulai dengan pembacaan puisi oleh 2 orang anaknya kak Fida, lupa namanya siapa. Disinilah kekocakan muncul dimana 2 bocah ini malah saling adu mulut di atas panggung. Tentu saja percakapan mereka terdengar oleh penonton. Dan itu tidak keren, tapi lucu. Menggemaskan sekali. Mendengar mereka membacakan puisi tentang ibu dengan suara khasnya anak-anak, membuat penonton terhenyuk dan bertepuk tangan ketika mereka selesai membacakannya. Wah, kalau yang ini, ini baru namanya keren.

Kemudian, untuk memberkati acara, Aslan ditunjuk untuk membacakan Al-Quran. Suasana lengang. Penonton menikmati lantunan ayat suci yang dibawakan Aslan. Selesai membawakan beberapa ayat, Aslan menutup tilawahnya dan MC pun membuka acara. Kak Junaidah ditunjuk untuk menyampaikan beberapa patah kata untuk acara ini. Bagaimana proses pengerjaannya, siapa saja sponsornya, berapa jumlah peserta seminar, dan beberapa tetek bengek lainnya. Aku tidak begitu kenal sosok yang membuka acara. Beliau memperkenalkan siapa saja yang menjadi penulis dalam buku “OMG, MY MOM”, sesi ini dikomandoi oleh kak Fida.

Kak Fida memanggil satu per satu nama yang tulisannya dimuat dalam antologi tersebut. Ada kak Ira, bang Rio, kak Syarifah Aini, kak Eky, dan beberapa nama lainnya. Mereka ini adalah anggota-anggota FLP Aceh yang kualitas menulisnya sudah mumpuni. Kagum sekali dengan sosok-sosok yang berdiri di depan itu. Dan juga ada adik-adik yang masih kelas 2 MTsN, namun tulisannya dimuat di antologi. Namanya Riska, setidaknya itulah nama panggilannya. Dia juga berada di jajaran orang yang berdiri di depan yang namanya disebut-sebut tadi.
Hmmm mereka pun diminta untuk menceritakan pengalaman mereka sampai tulisan mereka dimuat dalam antologi itu.

Dimulai dari kak Syarifah Aini yang mengatakan bahwa sanya tulisannya telah dicerca habis-habisan oleh kak Beby yang merupakan salah satu pengisi seminar di hari ini juga. Hmm tentu cercaan inilah yang justru membangkitkan semangat kak Aini untuk memperbagus tulisannya. Lagi-lagi, itu keren. Kritik yang akhirnya menuai banyak pujian. Hmmm kemudian ada bang Rio yang dikenal suka sekali membuat humor, menjelaskan pahit getir hidupnya bersama orang tua. Ada-ada saja. Tentu itu hanya lawakan yang sengaja diciptakan untuk menghidupkan suasana. Lalu kak Ira yang dengan sumringahnya menceritakan secara singkat bagaimana tulisannya ditulis, dikirim, diseleksi, terpilih, dan akhirnya dimuat. Kemudian yang terakhir Riska yang menjelaskan sejak kapan dia suka menulis dan sering mencuri-curi waktu untuk menulis di waktu senggang nya sekolah dan rutinitas tugas sekolah lainnya.

Selesai memperkenalkan para penulis, maka MC pun pamit undur diri, karena sekarang waktunya seminar untold stories of writers nya. Untuk seminar kali ini, Kak Nuril yang menjadi pemegang kekuasaan, alias moderator. Karena sedikit bermasalah dengan teknis, sembari menunggu Adit dan Aslan memperbaiki kesalahan teknis, kak Nuril mengajak ngobrol-ngobrol penonton dan meminta mereka untuk melihat ke bawah kursi, ada apa disana?

(Bersambung)