Pages

Minggu, 06 Agustus 2017

Untukmu, 'Hilal'

Untukmu, yang sedang atau akan memperjuangkanku dengan cara baik-baik. Sama sepertimu, aku pun ingin melakukan hal serupa. Mengawalinya dengan cara yang baik-baik. Maka maaf, jika dalam perjalananku, kau mungkin pernah merasa tidak dicintai. 

Sungguh, bukan maksud sok alim, apatah lagi sok suci. Jauh panggang dari api. Karena aku pernah jatuh dan terperosok, untukmu aku tak ingin jatuh. Karena bersamamu, aku ingin membangun. 

Jika pun memang ini cinta, toh kita tidak akan menghabiskan masa untuk bergaya ala muda mudi.  Menghabiskan waktu bersama untuk saling mengenal diri. Mojok dan melanggar batas-batas pemahaman. Seolah dengan begitu, tersingkaplah semua jati diri yang nyatanya hanyalah pencitraan. 

Tak dapat dipungkiri, kita hidup di era yang berbeda dengan orang tua kita zaman dulu, dimana menganggap pergi berduaan dengan yang non muhrim adalah hal tabu dan 'haram' hukumnya. Apalah daya, kita teramat sering disuguhkan pemandangan kawula muda yang beradegan layaknya sinema televisi. Lantas, apa salah jika kita lebih memilih mengasingkan diri dari pergaulan demikian? 

Memang benar. Gejolak untuk bergaul dengan lawan jenis memang telah menjadi fitrah. Ada keresahan bilamana tak bersama. Untuk itulah Tuhan berbaik hati memberikan solusi bagi kita.

Apa itu?  

Ya, pernikahan. 

Karena jika memang cinta, kita tentu paham, yang bisa kita ikhtiarkan saat ini hanyalah 'berpuasa'. Lagi-lagi kutegaskan, kita ini ibarat pelaku puasa yang sedang menanti berbuka. Bukankah sejauh ini kita bisa melaluinya? Jadi, apa boleh jika kita menunggu lagi untuk beberapa jenak? Menunggu hingga tiba masanya kamu menjabat tangan waliku dan halal menggandeng tanganku. Gimana? Boleh? 

Bukannya menutup diri, hingga membuat jarak dan muncullah syakwasangka. Karena aku ingin belajar menahan diri darimu. Belajar mencintai tanpa perlu kesana kemari. Mencintai dalam diam dan doa. 

Kita ingin menapaki jalan baik menuju pernikahan, bukan? Kenapa tidak kita awali sejak sekarang? Mengawali dengan yang baik-baik, dengan hanya mengharap Allah dan keluarga kita meridhai. Lantas apa yang bisa kita lakukan sembari menunggu waktu berbuka?

Banyak. Sungguh banyak sekali. 

Karena pernikahan tidak hanya soal dekap mesra, manis manja, dan tawa canda. Pahit manis akan silih berganti seiring bertambahnya usia pernikahan. Ada banyak pelajaran yang bisa kita pelajari sembari menunggu. Bagaimana menentukan visi misi dalam keluarga. Karena sungguh, kita tentu ingin mencetak generasi yang tidak hanya cerdas duniawi namun lemah dari segi ukhrawi. Anak merupakan investasi akhirat. Alangkah baiknya kita pikirkan sejak dini mau seperti apa kehidupan kita bersama nantinya. 

Lalu belajar bagaimana memenuhi hak-hak dan kewajiban bertetangga. Memahami sifat-sifat yang pasti ada di setiap istri maupun suami. Bertanya, berguru, bahkan membaca buku-buku parenting maupun pernikahan, dan yang terpenting, mempersiapkan diri untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan saat kita masih sendiri. Banyak sekali lho ini, dan, ya, bahkan itu hanya sedikit dari deretan aktivitas yang bisa kita kerjakan selagi menunggu. 

Jika kau suka berkebun, berkebunlah. Suka bertani, bertanilah. Bisa menjahit, silakan menjahit. Sungguh tidak akan sia-sia waktu yang kau gunakan untuk mengisinya dengan kegiatan bermanfaat. Apa kau tahu? Aku harus belajar itu semua darimu. Mengoptimalkan waktu untuk hal-hal yang bermanfaat. 

Kamu.. Iya.. Kamu, mau kan, mengajariku? 

Sudah barang tentu aku tidak akan semulia Khadijah, secerdas Aisyah, dan setegar Fatimah. Aku juga tidak bisa menjanjikan bahwa kau akan bahagia bersamaku. Karena urusan ini, kuserahkan pada Allah saja-saja. Dia lah yang Maha membolak-balikkan hati. Untuk itu, lagi-lagi aku punya permintaan. Kumohon kau bisa bersabar dalam membimbingku dengan kebaikan menuju ketaatan. Bisa, kan? Layaknya Umar yang begitu sabar menghadapi istrinya meski tengah bermuka masam. 

Untukmu, 'Hilal'..

0 komentar:

Posting Komentar