Pages

Sabtu, 16 September 2017

Yang Muda, Yang Berkarya

“Sebenarnya apa tujuanmu ikut bela diri?”, tanya seorang teman meyakinkan dirinya sendiri terhadap keputusanku,”tapi...”,lanjutnya dengan setengah angguk-angguk dan jeda beberapa detik,”Terserah kamu sih, hmm..tapi skripsimu gimana? Oya, kalau bisa hindari ikut pertandingan ya”, pintanya harap-harap cemas.

“Tentu tidak”, jawabku setengah girang,”Kali ini tolong dengarkan aku dulu. Jangan sela sebelum kuminta.”

Kulihat ia hanya mengangguk-angguk tanda setuju. 

“Aku hanya ingin memanfaatkan waktuku secara optimal di samping mengerjakan skripsi dan mengajar. Selain itu, kamu tau kan, jarang sekali kita lihat seorang pelatih bela diri seorang wanita. Banyak gadis seusia kita yang ogah-ogahan ikut bela diri selepas mengetahui ternyata pelatihnya adalah seorang pria. Boleh jadi, jika sudah mahir, sudah expert di bidangnya, aku bisa melatih mereka, meski hanya basicnya, paling tidak mereka punya dasar mempertahankan diri dari tangan-tangan usil nantinya. Siapa tau anak gadis di masa yang akan datang mau diajari oleh pelatih imut seperti aku”, terangku dengan senyum mengembang pengen dilempar. 

Yang mendengar hanya bisa ber-wuuuuu...kesal.

“Tapi, sepertinya itu terlalu muluk ya?”, setengah ragu aku mengomentari kalimatku sendiri. “Aku ingin melatih anakku saja deh. Untuk jadi atlit saat ini usiaku sudah terlambat rasanya, tapi tidak untuk anakku. Semoga saja anakku punya cita-cita yang sama seperti ibunya. Yoo-hooo!!!”. Senyumku tak kalah lebar sampai temanku ber-wuuu tak kalah besar.

Bodo amat. Tapi demikianlah. Sekalinya curhat, aku hanya ingin didengar saja, terlepas dari ada atau tidaknya solusi. Bersyukur aku diberikan teman-teman yang amanah. Setidaknya, itu menurutku. 

Siapa sangka, haba bangai ini menemui benang merahnya. Setelah beberapa bulan vakum berlatih dikarenakan harus berpindah domisili, aku dihubungi oleh sabeum, sebutan kami untuk pelatih bela diri Hapkido dan Taekwondo yang sedang kutekuni. Kedua bela diri ini berasal dari tanah para oppa; Korea. 

***

Beberapa waktu lalu, Aceh mengirimkan beberapa atlit Hapkido untuk mengikuti sebuah kejuaraan di Yogyakarta. Alhamdulillah, teman-teman satu dojang denganku berhasil meraih satu medali emas dan tiga medali perunggu. Berita baik ini tidak baik jika dipendam sendiri, lantas aku pun turut andil menyiarkan berita ini dari laman jejaring sosial. 

Tak berselang lama pasca sabeum dan teman-teman balik lagi ke Aceh, sabeum menghubungi. Bak gayung bersambut, sabeum menawarkan angin surga agar bendera Hapkido bisa ikut berkibar di Bireuen. Dengan tanpa beban aku pun mengiyakan dengan penuh harap agar Hapkido juga berkembang di tanah juang. Namun yang menjadi pertanyaannya adalah, siapa yang akan melatih kami? 

Pertanyaan yang sama kulontarkan ke sabeum. Tak dinyana, jawabannya tak pelak bikin terhenyak. “Ya, Helka lah”. 

Saat itu, aku sama sekali tak kepikiran untuk melatih orang lain. Lha untuk sendiri saja masih harus berlatih ekstra keras. Namun, setelah diskusi panjang lebar, curhat takut ini takut itu, dan segala bentuk kekhawatiran lainnya, (biasa, perempuan, banyak kali khawatirnya) sabeum memercayakan Hapkido Bireuen kepadaku, yang mungkin juga akan turut dibantu oleh sabeum Johari dari Aceh Utara, yang hingga tulisan ini diposting, aku sama sekali belum mengenal wajah dan karakternya. 

Entahlah. Kepercayaan sabeum kepada jiwa-jiwa muda seketika bikin aku percaya diri. Namun percaya diri saja tanpa bekal yang cukup sama saja bunuh diri. Esoknya sabeum menghubungi bahwa teman-teman dari UIN, teman satu dojangku selama berlatih siap membantu. 

Masyaa Allah.. Apa mungkin ini jalan Tuhan membukakan pintu menuju mimpiku? Tidak hanya bisa melatih anak sendiri, namun bisa melatih orang lain. Yang kupahami, menyenangkan sekali rasanya bisa mengerjakan sesuatu yang kita senangi. Terkait rezeki, Allah saja lah yang mengatur.

Sejujurnya, berita ini belum kukabari ke kedua orang tua. Aku masih menunggu momen yang pas untuk memberi tahu. Bagi Ayah, besar kemungkinan akan mendukung keputusanku. Bahkan mungkin akan menuangkan ide-ide secara sukarela untuk membantuku. Lain halnya dengan ibuku, yaaaa,,, seperti wanita pada umumnya, terlalu banyak khawatir. Seperti itulah ibuku. Semencoba bijak apapun aku memberi tahu, biasanya ibu tetap memberi izin, namun dengan berat hati. Nah, ‘namun’ inilah yang ingin aku hilangkan, untuk itu aku masih menunggu waktu yang baik. Ridha ibuku harus bisa kugenggam agar mudah ku melangkah ke depan. 

Haba bangai yang sempat menjadi bahan cang panah bersama teman sedang on the way menuju realisasinya. Apakah satu bulan? Dua bulan? Setahun? Entahlah. Hanya saja aku sedang berada di puncak percaya diri. Semoga Tuhan berbaik hati dan tidak serta merta menjatuhkanku dari atas puncak.