Jamak kita
ingin mendapatkan pengakuan dari masyarakat umum, maka ikutlah pemilihan duta.
Kesannya prestisius. Dari sekian banyak pemilihan duta, saya hanya tertarik
dengan pemilihan duta baca sebab saya senang membaca. Namun, tertarik saja
tidak cukup untuk mengikat saya mengikuti ajang itu. Ibarat pepatah kuno
pemabuk cinta “cinta tak harus memiliki”, demikianlah.
Ya, saya
bukan duta. saya tidak mengikuti ajang duta. saya tidak membenci duta. saya
hanya senang membaca, senang memiliki teman yang sama-sama gemar membaca, dan
senang mengkompori teman untuk membaca. Bagi saya, saya “duta” tanpa
embel-embel duta.
Teruntuk
teman yang pernah mengajak saya mengikuti ajang ini, semoga bisa menjadi
jawaban. Saya sudah duta, bahkan sebelum mengikuti ajang duta.
Saya bukan
duta, maka saya tidak memiliki target atau program tahunan. Saya bukan duta,
maka saya tidak memiliki massa apalagi penggemar. Saya bukan data, hanya rakyat
jelata yang senang membaca dan senang mengajak orang membaca.
Buku
Prophetic Parenting, Cara Nabi Mendidik Anak karya DR. Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid merupakan buku
yang baru-baru ini saya gandrungi. Saya butuh maka saya baca. Hingga buku ini
turut mengikuti langkah menuju kampus. Sembari menunggu dosen, adanya buku ini
bisa menjadi kekasih pengusir sepi.
Seorang
dosen, taksiran usia 60 tahunan, melintas berkali-kali di hadapan saya yang
tengah membaca di ruang tunggu. Sedikit terganggu dengan langkah kaki yang
terus berderap, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti membaca. Melihat buku
yang kini tergeletak di kursi, si Bapak menghampiri, laju mengangkat buku itu
sekira 30 cm di hadapan wajahnya. Ia bergumam membaca judul buku. Sekali
mengangguk-angguk, melihat ke arah saya, angguk-angguk lagi memperhatikan detail cover buku yang didominasi warna biru muda
ini.
“Saya
maulah”, ucapnya memecah keheningan. Kembali hening karena saya tak buru
menjawab dialog. Seolah ini hanya percakapan satu arah hingga kemudian si Bapak
kembali berujar kalimat yang sama, “Saya maulah”. Kali ini hanya saya balas
dengan senyuman, aiih kenapa saya grogi sekali.
Melihat
kekikukan ini, ia bertanya, ”Dimana kamu beli?”. Saya menjelaskan bahwa buku
ini saya pesan pada seorang teman dengan harga 80 ribu, saya kurang tau apakah buku
ini tersedia di toko buku sekitaran Banda Aceh. Demikian penjelasan singkat
saya. Eh si Bapak kembali mengulang rapalannya, “Saya maulah”, kali ini dengan
senyum lebar, sedikit memperlihatkan deretan giginya yang masih rapi untuk
usianya. Tampak ia sangat ingin memiliki buku ini.
Boleh jadi
si Bapak percaya yang cinta harus memiliki, hehe. Ia tertarik pada buku ini,
dan ingin memiliki. Saya dilema berat, namun dengan pertimbangan siapa yang
lebih butuh, akhirnya saya mengalah dengan pernyataan, ”Buku ini buat Bapak
saja”.
Senyum
Bapak kembali terangkat. Namun ia khawatir dengan saya, bagaimana dengan saya
kalau bukunya beliau ambil. Eh iya juga. Tapi saya mencoba tampil cool dengan
mengatakan “Gak apa, Pak. Saya beli lain nanti, Insya Allah”.
Bapak
pemilik senyum manis ini-karena tidak hanya bibirnya yang melengkung, namun
matanya ikut berbinar-merogoh saku celananya, kemudian menyerahkan uang
sejumlah 80 ribu kepada saya. “Harganya 80 ribu, kan?”, tanyanya memastikan
dengan tangan yang masih menggantung di udara. “I...i...iya, Pak”, jawab saya
sedikit terbata karena grogi.
“Ambil,
kamu beli lain”, katanya dengan nada memaksa. “Baiklah Pak, karena Bapak
memaksa”, eh tapi yang ini ngomongnya dalam hati lho ya. Saya menyambut uang
itu dengan perasaan tak keruan.
Kemudian ia
kembali merogoh sakunya dan menemukan lembaran 10 ribu. “Ini bonus buat kamu”,
katanya dengan tidak kalah memaksa. Saya merasa lucu kali ini, karena saya
tidak menolak. Wkwkwkwk.
Saya men-duta-kan diri sendiri. Saya duta bagi diri
sendiri, bukan khalayak. Secara tidak sengaja mengajak si Bapak ikut membaca,
membuat saya pulang dengan senyum-senyum, senang tak keruan.
Benar,
bahagia itu sederhana, selama kita mendefinisikan dengan cara sederhana.
Duta baca hanya
satu tiap tahunnya. Jika menunggu jadi duta untuk kampanye baca, ya bisa
berjamur nunggunya. Tak perlu jadi duta untuk mengajak membaca. Mari bantu duta
mengajak ‘kita’ membaca.
Ayo banyak
baca, biar keren. Eh, jangan salah kaprah. Membaca tidak hanya karena hobi,
namun karena kita merasa butuh. Kita butuh baca. Seperti aku butuh kamu.
*Kaaa lom