Pages

Senin, 11 Agustus 2014

Hujan

“Rezeki tidak akan kemana, katanya. Jika tidak kemana-mana, bagaimana bisa mendapatkan rezeki? Edan betul. Masak iya harus berharap sama ya gani, ya gani, bi peng saboh guni. Memangnya kamu siapanya si gani? Hormat dikit, memangnya kamu siapanya pak gani?”

Aroma hujan kian menyeruak. Membasahi bumi yang haus akan tetesannya. Hujan selalu memiliki ruang di sudut hati para perindu. Pun, hujan selalu menjadi rahmat bagi orang-orang yang pandai bersyukur. Kadangkala kebaikannya memberi kesejukan malah dianggap petaka bagi mereka yang tidak sadar akan nikmat Tuhan.

Hujan kali ini barangkali merupakan bukti atas terijabahnya doa para petani. Lama sudah persawahan mereka “berpuasa”. Sepertinya, ini akan menjadi hari raya pertama mereka setelah sekian lama. 

Samsul masih sibuk dengan lamunannya. Air hujan yang membasahi kepalanya dibiarkan begitu saja. Berlari-lari menghindari tepisan air hujan? Bukan gayanya. Tak pun ia berteduh. Hujan selalu memberikan fantasi tersendiri baginya.

Tetesan hujan kian merembes dan membasahi pakaiannya. Sepulang dari pasar membeli kebutuhan rumah tangga, hujan memburunya. “Tertangkap basah kau, boi”, goda hujan. Samsul cekikikan atas fantasi yang disutradarainya sendiri. Tentengannya dibiarkan pula basah. Samsul menikmati sekali perjalanannya menyusuri jalanan yang becek. Sesekali ia terlihat meloncat-loncat menghindari cipratan air dari jalanan yang berkubang. Gayanya sudah seperti Ariel dalam lagunya yang Menghapus Jejakmu. Sudah kukatakan, hujan bisa menjadi fantasi yang begitu dahsyat baginya. Bahkan, orang menatapnya sudah seperti orang gila.

Bisik-bisik tetangga pun terdengar dari pejalan yang berteduh di emperan ruko. Peduli apa dengan omongan mereka. Samsul malah asik memainkan tetesan hujan yang telah merusak rambut belah tengahnya. Susah betul ia membelah rambutnya. Bisik-bisik itu hanya dianggap sebagai musik pengiring irama hujan.

Boleh jadi, memang seperti itu caranya menghibur diri. Lelah akan rutinitas yang cenderung konsumtif, namun tidak produktif. Lebih-lebih statis. Makan tidur, makan tidur. Sesekali menggantikan emak berbelanja ke pasar. Saban harinya begitu-begitu saja.

Urusan penampilan, ia nomor satu. Tak heran jika ia selalu ingin dipanggil Samuel. Bersama teman-teman ia mendapati dirinya kembali. Samsul yang penuh gaya dan percaya diri.

Namun, lagi-lagi, emak yang menasihatinya agar mencari rezeki selalu menggerogoti ulu hatinya. Cungkring lah ia lama-lama. Ia selalu berdalih, penurunan berat badannya yang dulu gempal, ialah akibat tekanan dan dorongan emak yang itu-itu saja. Belum lagi persoalan jodoh. Rasanya ingin menggantung diri di pohon cabai.

Ungkapan ya gani, ya gani, bi peng saboh guni berkelabat di ruang pikirnya. Permasalahan finansial keluarga mau tak mau menyedot pikirannya sebagai anak yang diandalkan keluarga. Benar saja, ungkapan itu sedikit tidaknya mempengaruhi hari-harinya. Hari-hari Samsul tak ubahnya bagaikan seonggok parasit. Hanya menambah-nambah beban emak. Ya itu tadi, hanya menjadi konsumen yang tidak produktif. Sulit bagi Samsul mencari solusi di bawah rasa tertekan.

Hujan kembali menebarkan petrichor pada malam hari. Tetesan pertama seketika membuat senyumnya merekah. Pandangannya jauh melesak ke halaman rumah melalui jendela kamarnya. Seakan mencari sesuatu. Lantas, ia berdiam diri begitu lama saat menatap daun yang ditetesi air hujan. Baginya, itu merupakan pemandangan yang amat menarik. Tapi kali ini tidak ada adegan loncat-loncat seperti Ariel. Ia tersadar akan sesuatu. Bergegas ia membasahi beberapa anggota di bagian tubuhnya. Digelarinya sajadah. Diambilnya Al-Quran yang sudah berdebu dan usang. Di keheningan malam ia memanjatkan doa panjang di sujudnya. Berharap dapat menemukan kembali senyum emak yang lama sirna sejak kepergian bapak menghadap Ilahi Rabbi.