Tubuh tinggi besar itu memasuki
matras. Setelah aba-aba, serempak kami memberi salam penghormatan dan berdoa
menurut keyakinan masing-masing. Dengan mengenakan dobok putih dan sabuk
hitamnya, ia memimpin pemanasan hingga usai.
“Hari ini kita akan memperbagus tiga
tendangan: Ap Chagi, Dollyo Chagi, dan Deol Chagi. Bosan memang. Karena itu-itu
saja. Tapi itu materi dasar dan basic
kita harus kuat”, ujar sabeum di awal sesi latihan.
Sabeum membagi kami menjadi 7
kelompok dan berbaris sesuai kelompok. Hal ini mempermudah sabeum melihat
tendangan dari setiap anak didiknya.
“Barisan pertama masuk matras”,
perintah sabeum. Berulang-ulang. Berulang-ulang. Berulang-ulang. Hingga seluruh
peserta selesai memeragakan ketiga tendangannya. Sabeum memerintahkan kami
mengatur napas. Keringat mengucur deras dan membasahi pakaian. Kadang kami
meringis. Tapi hebatnya, kami tak pernah menangis. Dan hei, bukankah sebelum
memutuskan untuk bergabung, kami sudah tahu konsekuensinya.
Sekujur tubuh akan terasa nyeri pasca
awal latihan. Pinggang, paha, betis, lengan, bahkan leher sakit bukan barang
baru dan kadang kita harus melewati rasa sakit itu bukan dengan
mengenyahkannya, tapi dengan memeluknya erat. Caranya dengan terus latihan.
Bukan berhenti dan berdiam di tempat.
“Beberapa diantara kalian sudah
bagus tendangannya. Yang saya panggil, maju ke depan dan peragakan contoh
gerakannya agar bisa jadi motivasi untuk teman yang lain”, ujar sabeum mantap.
Sabeum mendekat dan perasaanku
mulai tidak karuan. “Nama kamu siapa?”, tanya sabeum dan fix aku jadi salah
tingkah dan malu dipandangi puluhan pasang mata. Aku suka tantangan, tapi sejak
dulu tantangan yang paling kuhindari adalah tampil di depan banyak orang, dan
pertanyaan sabeum bikin suasana hatiku kusut.
“Jati, Sabeum”, jawabku singkat.
Ingin ini semua segera berakhir.
“Dollyo Chagi kamu bagus. Coba
maju ke depan biar jadi motivasi untuk teman yang lain”, pinta sabeum.
Hidungku sempat mekar dan kembang
kempis rasanya. Kepalan tanganku sigap meremas jemari. Entah kekuatan apa yang
merasuki, saat itu aku tampil penuh percaya diri dengan kihap (teriakan dari
dalam perut) yang dulunya malu-malu, kini lantang berkoar. Kalau boleh jujur,
teriakan itu justru datang dari dalam jiwa yang tertekan. Untuk mengurangi
tekanan itulah aku berteriak lantang dan sabeum mengatakan bahwa aku bagus
kalau ditampilkan untuk aksi. Sejujurnya aku tidak terlalu paham aksi apa yang
dimaksud. Tapi satu hal yang kupahami betul, sejak saat itu, semangatku
bertambah-tambah. Aku seperti menemukan kembali semangatku yang sempat redup.
Barangkali untuk membangkitkan
semangat seseorang, dibutuhkan sebuah pengakuan. Aku telah menggenggam itu dan
terus berusaha untuk terus menggenggamnya. Setiap ada latihan, aku selalu berusaha
untuk hadir, kecuali bentrok dengan jadwal mencari nafkah. Maklum, berhubung
anak ayah-mak yang masih single, jadi harus mandiri secara finansial. Hitung-hitung
belajar hidup mandiri sebelum jadi double. Huhu.
Sesi latihan terus berlanjut
hingga hitungan bulan. Tubuhku yang awalnya sering sakit-sakitan selepas
latihan, kini berangsur membaik.
“Jati, kalau ada kejuaraan, kamu
mau ikut?”, suara berat itu mengejutkanku. Bukan karena volume suaranya yang
menggema, akan tetapi sebab pertanyaannya tertuju padaku dan tak bisa langsung
kujawab. Kutatap ia sekilas, memastikan keseriusan pertanyaannya.
“Mau bilang”, timpal satu senior.
“Mau, sabeum! Gitu jawab”, desaknya lagi setelah tak terlihat tanda-tanda aku
akan menjawab.
“Ah, iya, mm.. mau sabeum!”,
jawabku ragu dan patah-patah, sedang teman yang lain sedang berlatih
memeragakan tendangannya.
“Usia
tidak mempengaruhi, Sabeum?”, tanyaku dan ini adalah pertanyaan yang sejak lama
ingin ditanyakan.
***
Oya, Aku
Jati. Kata Emak, itu nama yang disarankan oleh dokter yang mengurusi persalinan
Emak. Dr. Jati namanya. Kata jati yang identik dengan kayu jati yang bersifat
keras agaknya cocok mewakili karakter anak sulung sepertiku. Aku pun mulai
menyukai nama ini.
Sudah
lama aku ingin berlatih bela diri. Namun niatan ini berbenturan dengan fokusku
di bidang akademik hingga mimpi ini pun menguap. Sejak awal tidak ada niatku
untuk ikut kejuaraan atau merebut medali dan mewakili dojang atau instansi
manapun. Bahkan melintas di pikiran saja tidak, sebab usia yang telah lanjut. Berlatih
bela diri murni untuk self defense
saja.
Sebagai
perempuan yang sering menjadi mangsa empuk pelaku kriminal, ini salah satu bentuk
ikhtiar yang bisa kuusahakan. Berita kriminal yang mengkhawatirkan, mau tak mau
ikut menyedot perhatianku.
Meski
belum mencapai sasaran, sepertinya ini akan menjadi awal yang baik. Jika pun
tidak kesampaian, toh ini tidak melukai niatan awal yang hanya ingin berlatih
untuk melindungi diri. Tapi agaknya Tuhan berkata lain. Tuhan ingin aku
mengepakkan sayap lebih lebar. Ia memberikan bonus.