Pages

Selasa, 29 November 2016

Sebuah Awalan Baru



Tubuh tinggi besar itu memasuki matras. Setelah aba-aba, serempak kami memberi salam penghormatan dan berdoa menurut keyakinan masing-masing. Dengan mengenakan dobok putih dan sabuk hitamnya, ia memimpin pemanasan hingga usai. 

“Hari ini kita akan memperbagus tiga tendangan: Ap Chagi, Dollyo Chagi, dan Deol Chagi. Bosan memang. Karena itu-itu saja. Tapi itu materi dasar dan basic kita harus kuat”, ujar sabeum di awal sesi latihan. 

Sabeum membagi kami menjadi 7 kelompok dan berbaris sesuai kelompok. Hal ini mempermudah sabeum melihat tendangan dari setiap anak didiknya. 

“Barisan pertama masuk matras”, perintah sabeum. Berulang-ulang. Berulang-ulang. Berulang-ulang. Hingga seluruh peserta selesai memeragakan ketiga tendangannya. Sabeum memerintahkan kami mengatur napas. Keringat mengucur deras dan membasahi pakaian. Kadang kami meringis. Tapi hebatnya, kami tak pernah menangis. Dan hei, bukankah sebelum memutuskan untuk bergabung, kami sudah tahu konsekuensinya. 

Sekujur tubuh akan terasa nyeri pasca awal latihan. Pinggang, paha, betis, lengan, bahkan leher sakit bukan barang baru dan kadang kita harus melewati rasa sakit itu bukan dengan mengenyahkannya, tapi dengan memeluknya erat. Caranya dengan terus latihan. Bukan berhenti dan berdiam di tempat. 

“Beberapa diantara kalian sudah bagus tendangannya. Yang saya panggil, maju ke depan dan peragakan contoh gerakannya agar bisa jadi motivasi untuk teman yang lain”, ujar sabeum mantap.

Sabeum mendekat dan perasaanku mulai tidak karuan. “Nama kamu siapa?”, tanya sabeum dan fix aku jadi salah tingkah dan malu dipandangi puluhan pasang mata. Aku suka tantangan, tapi sejak dulu tantangan yang paling kuhindari adalah tampil di depan banyak orang, dan pertanyaan sabeum bikin suasana hatiku kusut. 

“Jati, Sabeum”, jawabku singkat. Ingin ini semua segera berakhir.

“Dollyo Chagi kamu bagus. Coba maju ke depan biar jadi motivasi untuk teman yang lain”, pinta sabeum.

Hidungku sempat mekar dan kembang kempis rasanya. Kepalan tanganku sigap meremas jemari. Entah kekuatan apa yang merasuki, saat itu aku tampil penuh percaya diri dengan kihap (teriakan dari dalam perut) yang dulunya malu-malu, kini lantang berkoar. Kalau boleh jujur, teriakan itu justru datang dari dalam jiwa yang tertekan. Untuk mengurangi tekanan itulah aku berteriak lantang dan sabeum mengatakan bahwa aku bagus kalau ditampilkan untuk aksi. Sejujurnya aku tidak terlalu paham aksi apa yang dimaksud. Tapi satu hal yang kupahami betul, sejak saat itu, semangatku bertambah-tambah. Aku seperti menemukan kembali semangatku yang sempat redup. 

Barangkali untuk membangkitkan semangat seseorang, dibutuhkan sebuah pengakuan. Aku telah menggenggam itu dan terus berusaha untuk terus menggenggamnya. Setiap ada latihan, aku selalu berusaha untuk hadir, kecuali bentrok dengan jadwal mencari nafkah. Maklum, berhubung anak ayah-mak yang masih single, jadi harus mandiri secara finansial. Hitung-hitung belajar hidup mandiri sebelum jadi double. Huhu.

Sesi latihan terus berlanjut hingga hitungan bulan. Tubuhku yang awalnya sering sakit-sakitan selepas latihan, kini berangsur membaik.
“Jati, kalau ada kejuaraan, kamu mau ikut?”, suara berat itu mengejutkanku. Bukan karena volume suaranya yang menggema, akan tetapi sebab pertanyaannya tertuju padaku dan tak bisa langsung kujawab. Kutatap ia sekilas, memastikan keseriusan pertanyaannya. 

“Mau bilang”, timpal satu senior. “Mau, sabeum! Gitu jawab”, desaknya lagi setelah tak terlihat tanda-tanda aku akan menjawab. 

“Ah, iya, mm.. mau sabeum!”, jawabku ragu dan patah-patah, sedang teman yang lain sedang berlatih memeragakan tendangannya. 

“Usia tidak mempengaruhi, Sabeum?”, tanyaku dan ini adalah pertanyaan yang sejak lama ingin ditanyakan. 

***
 
Oya, Aku Jati. Kata Emak, itu nama yang disarankan oleh dokter yang mengurusi persalinan Emak. Dr. Jati namanya. Kata jati yang identik dengan kayu jati yang bersifat keras agaknya cocok mewakili karakter anak sulung sepertiku. Aku pun mulai menyukai nama ini. 

Sudah lama aku ingin berlatih bela diri. Namun niatan ini berbenturan dengan fokusku di bidang akademik hingga mimpi ini pun menguap. Sejak awal tidak ada niatku untuk ikut kejuaraan atau merebut medali dan mewakili dojang atau instansi manapun. Bahkan melintas di pikiran saja tidak, sebab usia yang telah lanjut. Berlatih bela diri murni untuk self defense saja. 

Sebagai perempuan yang sering menjadi mangsa empuk pelaku kriminal, ini salah satu bentuk ikhtiar yang bisa kuusahakan. Berita kriminal yang mengkhawatirkan, mau tak mau ikut menyedot perhatianku. 

Meski belum mencapai sasaran, sepertinya ini akan menjadi awal yang baik. Jika pun tidak kesampaian, toh ini tidak melukai niatan awal yang hanya ingin berlatih untuk melindungi diri. Tapi agaknya Tuhan berkata lain. Tuhan ingin aku mengepakkan sayap lebih lebar. Ia memberikan bonus. 
 

Senin, 28 November 2016

Kita (Bukan) Sang Hakim


“Hanya mobil yang tak pernah keluar garasilah yang tidak ada cacatnya”
 _Prof. Dr. Komaruddin Hidayat_

Sepintas lalu, membaca quote ini membuat mata tak beranjak ke kalimat selanjutnya. Membaca lagi dan lagi. Berkali-kali. Mencoba menyelami dan mengartikan makna kalimat di atas. Sudah menjadi hal yang lumrah, saya akan sedikit kesulitan memahami bahasa kode-kodean. *eeaak

Jika boleh dikaitkan dengan kehidupan, maka barangkali seawam-awamnya makna kalimat di atas erat kaitannya dengan kalimat populer ini; jauh manusia dari kata sempurna. Maka sangatlah wajar jika suatu ketika mendapati seorang karib yang tercederai akhlaknya yang biasanya santun, tetiba menggertakkan gigi lebih keras dari sebelumnya. Boleh jadi kita merasa menjadi pihak yang dikecewakan, bersebab telah tertancap di benak yang bahwa si karib bukanlah tipe kenalan yang mudah tersinggung, marah, terlebih lagi menggertakkan gigi. 

Inilah cacat paham dari kebanyakan kita. Kita cenderung memaksa orang lain untuk menjadi seperti yang kita harapkan tanpa tahu persis apa yang dialami si karib. Bukan tanpa alasan seseorang menggertakkan giginya, sebab boleh jadi kitalah yang telah menyentil sisi teramat sensitifnya. 

Saat lawan menyerang, maka defensif bukanlah sikap yang curang, melainkan pilihan jamak. Terburu-buru menuding siapa yang salah adalah kesalahan ganda. Agaknya azas praduga tak bersalah perlu memainkan perannya disini.

Mungkin saat sedang sendiri, menjelang tidur misalnya, kita perlu belajar monolog layaknya “Ah, mungkin aku yang salah. Tidak seharusnya aku bersikap seperti itu.”

Senada dengan apa yang disampaikan Paul Newman, “If you don’t have enemy, you don’t have character”. Analisis sederhana saya akan menolak untuk berbangga jika punya banyak musuh. Namun ringkasnya, dengan sikap, akhlak, terlebih ilmu yang masih pincang sana sini, peluang kita amatlah kecil untuk bisa menyenangkan hati semua orang. Konon, Rasulullah saw yang halus tuturnya, terjaga perangainya, sebaik-baik tauladan, masih juga dimusuhi. Ada saja pihak yang tidak senang. Apalagi kita! Beuuugh... Jauh sekali!

Hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah, beri sedikit jeda untuk berhenti memikirkan apa yang orang lain pikirkan. Fokus untuk melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan. Jika sudah melakukan yang terbaik, akan tetapi orang lain tetap tidak senang, maka kesalahan bukan di kita. Disini kita perlu belajar menerima bahwa tak segala lini berada di bawah kendali kita. Jangan panik. Kita masih punya Tuhan, bukan? Yang Maha Mengontrol, Membolak-balik hati, tempat mengadu, mengeluh, dan yang paling penting adalah... ehem... curhat tentang si dia. *Duh!

Lihatlah sesuatu dengan tajam, tapi tetap mengedepankan kebijakan. Jika seperti ini, insya Allah tak ada lagi rasa-rasa cekak menghimpit, karena kita menyadari awal mula sebuah kesalahan. 

Kita memposisikan diri sebagai tersangka, tanpa perlu duduk di kursi pesakitan. 
Sebab kitalah sang hakim, dan nurani yang mengadili. 

Malam, masyarakat. ^_^


Kamis, 22 September 2016

Untuk Diniya



Kekalahan terbesar dalam hidup saya saat ini adalah kalah menghadapi nafsu. Hingga akhirnya kalah melawan waktu yang terus beranjak tanpa ba bi bu. Terseret arus, sampai akhirnya tergerus dan harus menahan malu. 

Dengan rentetan kisah hidup yang mendrama, saya bersyukur punya seorang sahabat yang mampu mendongkrak semangat saya yang tengah lesu. Satu kalimat sederhana yang sampai sekarang masih saya ingat adalah, “tetap percaya diri ya”. Seolah ia paham, saya tengah dibadai defisit percaya diri. Layaknya aborsi, kepercayaan diri saya tamat bahkan sebelum sempat berkembang. 

Tak berlebihan rasanya jika saya mengatakan sahabat saya ini memiliki sikap bijak yang harus saya teladani, lagi dan lagi. Sebab ia pernah tidak sengaja barangkali ‘menjawir telinga’ saya agar tak perlu mengurusi hidup orang lain terkait aib. Kenapa saya katakan tidak sengaja? Baca lagi kelanjutannya ya. :D

Ada satu dialog, dimana saat itu saya tengah bercerita tentang kekonyolan saya yang suka berkumur-kumur, kemudian menelan air kumuran tersebut, dan ternyata disaksikan oleh sepasang mata indah lain. Pemilik mata tersebut merasa heran dengan ‘aksi’ itu, lalu memberanikan diri untuk bertanya, “kenapa ditelan?”. Tanpa berpikir panjang, saya hanya mampu menjawab, “Kan sayang kalau dibuang”. Gadis pemilik mata indah ini pun tertawa terpingkal-pingkal hingga saya harus menahan gejolak ingin bertanya sebabnya apa.

Saya menceritakan kembali kisah ini ke Dini, sahabat saya, yang akan menjadi tokoh dalam tulisan ini. Ia pun tak kalah hebohnya dalam menertawakan saya, namun dengan gaya yang lebih elegan. Ketawanya Dini sangat berkelas, masih mampu mempertahankan sisi anggunnya. 

Satu hal yang saya kagumi dari sosok Dini ini, jika ia akan memuji seseorang, maka ia akan total sekali melakukannya. Pilihan kata yang ia gunakan tidak tanggung-tanggung hingga bisa bikin hidung mekar, wajah mesem-mesem dan merasa kehilangan pijakan, seperti yang ia lakukan pada bagian cerita di kalimat berikut.

“Helka ini lucu ya. Biasanya air kumur itu dibuang”, jelasnya singkat. Saya yang mendengar hanya bisa ber-‘oh ya?’. Ketidakpedulian akan sekitar membuat saya luput memperhatikan kebiasaan kumur-kumur ini. Heuheu.. dan ketahuilah, Dini punya kebiasaan mengganti kata aneh menjadi lucu. Ia secara frontal mengakui kalau saya ini orang yang humoris, yang nyatanyaaaa.. ah, teman-teman pasti lebih tahu. 

“Tapi Helka ini, satu-satunya temen Dini yang gak pernah menceritakan orang lain. Gak pernah bercerita tentang keburukan orang lain”, hingga tanpa sadar kalimat ini ditutup dengan membincangkan orang lain. Keh keh keh.. sepertinya Dini khilaf saat mengatakan kalimat di atas. Wkwkwkwkwk..

Itulah mengapa tadi saya katakan ia mampu ‘menjawir telinga’ saya secara tidak sengaja. Mau tak mau, ucapan yang saya rasa khilaf ia ucapkan itu begitu membekas hingga saat ini. Ucapan itu berhasil membungkam keinginan saya saat pernah ingin membicarakan orang lain. Ketahuilah, perbincangan bersama wanita kerap dibumbui dengan tokoh-tokoh yang tak berada di tempat perbincangan. Wallahu a’lam. Istilah kerennya itu bergosip. Menebar aib orang lain tanpa solusi. Hanya untuk kepuasan dan sensasi. Apalagi yang nulis ini. Lupa akan diri yang hanya tong tak berisi. 

Perihal ini pernah Ayah kemas dengan kalimat apik, ”Tanyoe nah bek lagee asee, galak that com-com brok gob. Adak ka ta teupeu na isu cerita hana get, bek tajak keunan tajak peukrap droe. Adak lagee nyan, tanyoe harus ta jaga cit harga diri ureueng laen. Bek tajak bahas nyan dikeu ureueng nyan.” Yang artinya kurang lebih “Kita jangan seperti anjing, yang suka mengenduskan hidungnya untuk mencium keburukan orang lain. Meski kita tahu ada isu yang tidak baik mengenai si fulan, kita jangan mendekatinya dengan alasan ingin tahu kejelasannya seperti apa. Ada baiknya kita juga menjaga harga diri si fulan.”

Oleh karenanya, saya menjunjung tinggi sekali cita rasa hidup yang Dini pilih. Fokus pada pengembangan diri. Bukan fokus melihat kekurangan orang lain untuk ‘meroketkan’ diri.

Hari ini Dini genap berusia 24 tahun. Meski lebih muda 4 bulan dibandingkan saya, Dini jauh lebih dewasa. Pengalamannya yang telah bertemu banyak orang, melihat dunia yang lebih luas dibanding saya, mau tak mau sedikit mempengaruhi pola pikir dan juga komunikasi. Maka untuk banyak hal, saya kerap menanyai dan memintai sarannya. 

Kesenangan saat bersamanya adalah saat dia tak repot mengurusi dandanan pakaian yang terkadang asal-asalan saya pilih. Sementara Dini, selalu tampil sederhana, namun terlihat necis dan rapi, kontras sekali dengan penampilan saya. 

Meski memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi, tapi Dini selalu mengkhawatirkan saya. *yang ini kegeeran sih sebenarnya

Bukan tanpa alasan, Dini yang selalu ingin berbagi ini, selalu punya cara untuk membantu temannya ini meski kini kita harus mengudara dulu untuk berjumpa. Terkait skripsi saya, tak terhitung lagi bantuannya seperti apa. Saya yang terkadang terpikir pun tidak, untuk menyelesaikan kewajiban satu ini, malah Dini yang repot-repot mencari penyelesaiannya. Huft! Skripsi, yang sabar yaaa.. Tidak lama lagi. *ucapan yang sama sejak dua tahun yang lalu -_-

Survey kecil-kecilan yang keabsahannya dipertanyakan membuktikan bahwa kita bisa melihat watak teman saat menanyai skripsi ini. Untuk Dini, saya tidak ragu-ragu untuk mengatakan yang bahwa ia begitu sabar dan keibuan. Mengerti kapan harus menyentil tanya-tanya skripsi, dan kapan harus memberi jeda bertanya. Terkadang saya harus menghindari beberapa teman yang sedikit bawel (tentu maksudnya baik), namun yang terjadi, yaaah bersabarlah teman, menghadapi teman kalian yang sedikit keras ini. Hehehe

Banyak sekali pengalaman kocak, seru, jarang sih ada pengalaman sedih bersama Dini. Karena kita sama-sama bukan pribadi yang melow dan terlalu berlarut dalam kesedihan. Kalau sedih ya tidak perlu berlebay di hadapan teman. Kita sama-sama bukan sosok yang ingin merepotkan dan menyusahkan orang lain. *sekayak ‘menjual’ diri ya. ^^

Semangat Dini yang melebihi tinggi semampainya, berbanding lurus dengan sikap positive thinkingnya. Satu hal lagi yang saya harus banyak-banyak untuk menyerap sifat ini. Tipekalnya yang tidak hanya ingin sukses sendiri, terkadang bikin saya malu. Saya kerap khawatir Dini akan tidak pede memiliki teman yang ‘gagal’ seperti saya. 

Perasaan ‘gagal’ inilah yang selalu ingin dimusnahkan Dini. Maka meski kini tak lagi menempati tanah yang sama, Dini masih kerap memotivasi saya untuk terus bangkit. Mengejar ketertinggalan dengan bertanggung jawab. Satu-satunya kekurangan Dini adalah, ia memiliki banyak sekali kelebihan. Yohuhuhuhu.. 




Untuk Diniya, semangat mengejar gelar masternya ya. Dengan usia yang tak lagi muda ini, semoga akan semakin bijak dan selalu tebarkan kebaikan dimanapun Dini berada, seperti yang selama ini Dini lakukan. Tetap menjadi Diniya yang baik hati, suka menolong dan rajin menabung saat nanti kembali ke tanah lahir.

With love,
Helka imut yang sedang berjuang. ^^

Sabtu, 03 September 2016

Untold Stories of Laskar Syu’ara 227


Mungkin bagi sebagian dari pembaca blog setia (kepedean yang tak tertolong) manjaddawajada3 ini (entah kenapa ada pakek 3 nya pulak), akan bertanya-tanya apa itu Laskar Syu’ara 227? (Padahal entah siapa yang bertanya-tanya. Entah siapa pun yang penasaran) *Ini kenapa jadi ngomong sendiri gini? Heuheu..
 
Yaaah..biarpun gak ada yang penasaran, tapi saya merasa penting untuk menulis ini. Hitung-hitung menstimulus diri. Sebab Laskar Syu’ara 227 itu adalah ... 

Kira-kira satu tahun yang lalu... (Biar kayak di film-film, ada alur mundurnya ^^)

Sebagaimana biasa, FLP Banda Aceh mengadakan kelas menulis tiap dua minggu sekali di rumcay. Kelas menulis yang dieksekusi pada saat itu adalah kelas menulis puisi yang dimentori langsung oleh senior kita di FLP, yaitu Kak Nuril. Saya tidak begitu mengingat apa isi materi kita saat itu. *Semoga kak Nuril gak membaca tulisan ini.

Satu hal yang jelas di ingatan, Kak Nuril mengawali pertemuan kelas kita saat itu dengan cara berbeda. Beliau meminta kesediaan salah satu dari kita untuk membuka Al-Quran dan mencari halaman untuk Surat Asy-Syu’araa, ayat terakhir, 227. Ia meminta salah satu dari kita untuk membaca terjemahan beberapa ayat sebelum, hingga sampai ke ayat 227.

Ayat tersebut menceritakan tentang penyair yang kebanyakan adalah pendusta yang suka memainkan kata-kata. Hingga tiba di ayat terakhir, yang memerintahkan kita untuk menjadi penyair yang selalu berbuat dalam kebajikan. Setiap ucapannya bak lautan kata penuh hikmah. 

Oleh karena penggalan ayat ini, kita kompak (kecuali saya, karena saya sih setengah-setengah) untuk membuat sebuah grup (biar agak genk sikit, padahal manada). Kebetulan yang berhadir pada hari itu perempuan semua; Cut, Aya, Nawra, Ulfa, Siti, dan saya, hingga muncullah ide Laskar Syu’ara 227 ini untuk menamai grup kita. Ide ini dicetuskan oleh sohib saya, Icut. Saya sih bukannya nggak ada ide, tapi malas mikir. Mending disuruh mikir buat ngerjain kalkulus. *Eh, nggak ding.

Awalnya saya merasa aman-aman saja bergabung di grup ini. Karena yang berhadir hari itu, secara otomatis dinyatakan sah sebagai personil Laskar Syu’ara 227, untuk selanjutnya kita ringkas menjadi LS227. Saya pikir ya tidak ada salahnya. Tapi keamanan saya terusik, jiwa saya terguncang (fine, ini mulai lebay!) saat muncul ide untuk menampilkan LS227 jika ada kegiatan yang membawa nama FLP. *Saya pucat pemirsaaa, saya pucat! -_-

Itulah kali pertama saya merasa menyesal hadir di kelas menulis. Heuheu.. T_T *nangis bombay

Akibat dikompori Kak Nuril dan semangatnya Icut mengomandoi LS227 ini, akhirnya personil kita bertambah jadi 10-an. Hehehe.. Karena kita bukan grup ternama, beken, atau apalah, dan gak ada hitam di atas putih, ya kita terima-terima saja. Meski untuk setiap performance, agaknya janggal jika seluruh personil ikut tampil. Takutnya cherrybelle merasa tersaingi. *halah

Akhirnya kita memilih siapa saja yang punya waktu untuk tampil di event terdekat, seminar bersama mbak Sinta Yudisia, Ketua Umum FLP saat ini. Na’asnya saya tidak meyakinkan saat menolak untuk tampil (saya lupa alasan apa yang saya pakai saat itu). Barangkali tidak kuatnya alasan menolak itulah yang membuat saya akhirnya diikutsertakan. Huft berkali-kali!

Ketahuilah, untuk tampil perdana ini, seminggu menjelang hari H, hidup saya tidak tenang. Terlebih spanduk acara dibuat dengan nilai ekspektasi yang tinggi.
Turut menampilkan:
NAZAR SHAH ALAM
LASKAR SYU’ARA 227
Padahal saya berdoa semoga gak jadi tampil atau ada halangan apa kek gitu. Maka tidak heran, penyesalan hadir di kelas menulis pun datang lagi. Huft berjuta-berjuta! 

Itulah penampilan perdana saya di atas panggung bersama Icut, Aya, dan Nawra mengatasnamakan diri sebagai awak LS227. Tidak jelek, namun tidak juga begitu wow. Biasa saja. 

Niatan saya, ke depan tidak mau lagi tampil seperti itu. Gak tenang sayanya mah. Selang tiga bulan kemudian, FLP bikin kegiatan lagi dengan menghadirkan mbak Helvy Tiana Rosa dan pak Edi Sutarto. Kali ini, fix saya gak mau ikut lagi tampil-tampil di panggung itu. Tapi Icut, ah, saya tidak kuasa menolak. Akhirnya, ikut lagi. Sebab belum trauma.
 
Ide kali ini sedikit gila. Tina yang menawarkan diri untuk menjadi manajer LS227 (biar kayak orang-orang), menyarankan agar penampilan puisi kali ini diselangi dengan musik-musikan. Kita memutuskan untuk menabuh galon AQ*A. 

Karena kegilaan yang tidak bisa saya ceritakan, dan saya tidak berani menegakkan muka setelah tampil saat itu, maka untuk event2 selanjutnya, saya tak lagi bersedia tampil. Tidak hanya menjelang hari H hidup saya tidak tenang. Tapi seminggu setelahnya pun batin saya masih terguncang. Bayangan penampilan itu masih menari-nari dalam ingatan. Maka mau dibujuk semanis apapun sama Icut, saya gak goyang. Sebab kali ini udah trauma! 

Sebenarnya kegilaan itu muncul atas dasar ide yang brilian. Hanya saja, anggaplah kami sedang naas dan tidak total. Hehehe..

Berikut ini beberapa foto yang saya coba searching di google. Sayang sekali, ternyata LS227 belum cukup populer. *ngarep

 Pucat seketika pas tampil. Khak!
 
Saat fans sedang merekam aksi rekan-rekan saya. >_<

Harusnya ada beberapa foto untuk penampilan ‘luar biasa’ LS227 saat itu. Hanya saja, itu semua tersimpan di laptop sebelumnya yang kerusakannya lumayan parah. Tidak ada foto yang terselamatkan. Bye foto, bye kenangan!

Padahal itu foto rencana mau ditunjukin ke anak-cucu. Huft lagi! 
Setidaknya mereka bangga punya Mak dan Nenek yang berani tampil di atas panggung. Biar ada hashtag #BanggaJadiAnakMak atau #BanggaJadiCucuNenek atau yang terakhir #BanggaMendampingimu *ngeeeeng... :D

Sudah dulu ya. Capek nulisnya. Hehe..
Sebenarnya yang mau diceritakan tentang keeksisan LS227, eh malah syurhat ujung-ujungnya. Kebiasaan!