Pages

Senin, 28 November 2016

Kita (Bukan) Sang Hakim


“Hanya mobil yang tak pernah keluar garasilah yang tidak ada cacatnya”
 _Prof. Dr. Komaruddin Hidayat_

Sepintas lalu, membaca quote ini membuat mata tak beranjak ke kalimat selanjutnya. Membaca lagi dan lagi. Berkali-kali. Mencoba menyelami dan mengartikan makna kalimat di atas. Sudah menjadi hal yang lumrah, saya akan sedikit kesulitan memahami bahasa kode-kodean. *eeaak

Jika boleh dikaitkan dengan kehidupan, maka barangkali seawam-awamnya makna kalimat di atas erat kaitannya dengan kalimat populer ini; jauh manusia dari kata sempurna. Maka sangatlah wajar jika suatu ketika mendapati seorang karib yang tercederai akhlaknya yang biasanya santun, tetiba menggertakkan gigi lebih keras dari sebelumnya. Boleh jadi kita merasa menjadi pihak yang dikecewakan, bersebab telah tertancap di benak yang bahwa si karib bukanlah tipe kenalan yang mudah tersinggung, marah, terlebih lagi menggertakkan gigi. 

Inilah cacat paham dari kebanyakan kita. Kita cenderung memaksa orang lain untuk menjadi seperti yang kita harapkan tanpa tahu persis apa yang dialami si karib. Bukan tanpa alasan seseorang menggertakkan giginya, sebab boleh jadi kitalah yang telah menyentil sisi teramat sensitifnya. 

Saat lawan menyerang, maka defensif bukanlah sikap yang curang, melainkan pilihan jamak. Terburu-buru menuding siapa yang salah adalah kesalahan ganda. Agaknya azas praduga tak bersalah perlu memainkan perannya disini.

Mungkin saat sedang sendiri, menjelang tidur misalnya, kita perlu belajar monolog layaknya “Ah, mungkin aku yang salah. Tidak seharusnya aku bersikap seperti itu.”

Senada dengan apa yang disampaikan Paul Newman, “If you don’t have enemy, you don’t have character”. Analisis sederhana saya akan menolak untuk berbangga jika punya banyak musuh. Namun ringkasnya, dengan sikap, akhlak, terlebih ilmu yang masih pincang sana sini, peluang kita amatlah kecil untuk bisa menyenangkan hati semua orang. Konon, Rasulullah saw yang halus tuturnya, terjaga perangainya, sebaik-baik tauladan, masih juga dimusuhi. Ada saja pihak yang tidak senang. Apalagi kita! Beuuugh... Jauh sekali!

Hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah, beri sedikit jeda untuk berhenti memikirkan apa yang orang lain pikirkan. Fokus untuk melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan. Jika sudah melakukan yang terbaik, akan tetapi orang lain tetap tidak senang, maka kesalahan bukan di kita. Disini kita perlu belajar menerima bahwa tak segala lini berada di bawah kendali kita. Jangan panik. Kita masih punya Tuhan, bukan? Yang Maha Mengontrol, Membolak-balik hati, tempat mengadu, mengeluh, dan yang paling penting adalah... ehem... curhat tentang si dia. *Duh!

Lihatlah sesuatu dengan tajam, tapi tetap mengedepankan kebijakan. Jika seperti ini, insya Allah tak ada lagi rasa-rasa cekak menghimpit, karena kita menyadari awal mula sebuah kesalahan. 

Kita memposisikan diri sebagai tersangka, tanpa perlu duduk di kursi pesakitan. 
Sebab kitalah sang hakim, dan nurani yang mengadili. 

Malam, masyarakat. ^_^


0 komentar:

Posting Komentar