“Hanya
mobil yang tak pernah keluar garasilah yang tidak ada cacatnya”
_Prof.
Dr. Komaruddin Hidayat_
Sepintas
lalu, membaca quote ini membuat mata tak beranjak ke kalimat selanjutnya.
Membaca lagi dan lagi. Berkali-kali. Mencoba menyelami dan mengartikan makna
kalimat di atas. Sudah menjadi hal yang lumrah, saya akan sedikit kesulitan
memahami bahasa kode-kodean. *eeaak
Jika
boleh dikaitkan dengan kehidupan, maka barangkali seawam-awamnya makna kalimat
di atas erat kaitannya dengan kalimat populer ini; jauh manusia dari kata
sempurna. Maka sangatlah wajar jika suatu ketika mendapati seorang karib yang
tercederai akhlaknya yang biasanya santun, tetiba menggertakkan gigi lebih
keras dari sebelumnya. Boleh jadi kita merasa menjadi pihak yang dikecewakan,
bersebab telah tertancap di benak yang bahwa si karib bukanlah tipe kenalan
yang mudah tersinggung, marah, terlebih lagi menggertakkan gigi.
Inilah
cacat paham dari kebanyakan kita. Kita cenderung memaksa orang lain untuk
menjadi seperti yang kita harapkan tanpa tahu persis apa yang dialami si karib.
Bukan tanpa alasan seseorang menggertakkan giginya, sebab boleh jadi kitalah
yang telah menyentil sisi teramat sensitifnya.
Saat
lawan menyerang, maka defensif bukanlah sikap yang curang, melainkan pilihan
jamak. Terburu-buru menuding siapa yang salah adalah kesalahan ganda. Agaknya
azas praduga tak bersalah perlu memainkan perannya disini.
Mungkin
saat sedang sendiri, menjelang tidur misalnya, kita perlu belajar monolog
layaknya “Ah, mungkin aku yang salah. Tidak seharusnya aku bersikap seperti
itu.”
Senada
dengan apa yang disampaikan Paul Newman, “If you don’t have enemy, you don’t
have character”. Analisis sederhana saya akan menolak untuk berbangga jika
punya banyak musuh. Namun ringkasnya, dengan sikap, akhlak, terlebih ilmu yang
masih pincang sana sini, peluang kita amatlah kecil untuk bisa menyenangkan
hati semua orang. Konon, Rasulullah saw yang halus tuturnya, terjaga
perangainya, sebaik-baik tauladan, masih juga dimusuhi. Ada saja pihak yang
tidak senang. Apalagi kita! Beuuugh... Jauh sekali!
Hal
terbaik yang bisa kita lakukan adalah, beri sedikit jeda untuk berhenti
memikirkan apa yang orang lain pikirkan. Fokus untuk melakukan yang terbaik
yang bisa kita lakukan. Jika sudah melakukan yang terbaik, akan tetapi orang
lain tetap tidak senang, maka kesalahan bukan di kita. Disini kita perlu
belajar menerima bahwa tak segala lini berada di bawah kendali kita. Jangan
panik. Kita masih punya Tuhan, bukan? Yang Maha Mengontrol, Membolak-balik
hati, tempat mengadu, mengeluh, dan yang paling penting adalah... ehem...
curhat tentang si dia. *Duh!
Lihatlah
sesuatu dengan tajam, tapi tetap mengedepankan kebijakan. Jika seperti ini,
insya Allah tak ada lagi rasa-rasa cekak menghimpit, karena kita menyadari awal
mula sebuah kesalahan.
Kita
memposisikan diri sebagai tersangka, tanpa perlu duduk di kursi
pesakitan.
Sebab
kitalah sang hakim, dan nurani yang mengadili.
Malam,
masyarakat. ^_^
0 komentar:
Posting Komentar