Pages

Minggu, 27 April 2014

Di PHP-in Anak SD


Jadi tadi pagi tu kan di sekolah ada anak SD yang sedang ikut acara untuk memeriahkan hari Kartini. Dah cantik-cantik pake kebaya dan kain sarung batik, tapi dianya malah datar aja wajahnya. Saya menangkap sinyal-sinyal tidak menyenangkan dari wajahnya. Mengingat dia bolak-balik masuk ke perpustakaan yang akhir-akhir ini menjadi wilayah kekuasaan kami selaku anak PPL. 

Lalu bertanyalah kami akan dia yang saat itu sedang duduk sendiri tiada berteman. "Kok adik gak duduk di bawah tenda?", dia cuma jawab, "Panas, Miss." Singkat, padat, berisi. Dia langsung keluar perpustakaan meninggalkan kami, anak-anak PPL yang keren ini. Mungkin dia gak ingin diganggu kali ya. Oke, oke. Kami pun kembali ke tempat duduk masing-masing sambil menikmati sarapan dengan khidmat. Gak lama kemudian, dia kembali ke perpustakaan dan mengalihkan dunia saya dari sarapan yang menggoda. 

Penasaran. Saya kembali mendekatinya. "Masih panas ya, Dek, di luar?". Alih-alih menjawab pertanyaan saya, saya malah dikacangin sama ini bocah. Dia melengos gitu aja meninggalkan saya yang tersangak karena dicuekin anak SD. Sekali lagi, saya harus menghadapi semua ini seorang diri dan kembali ke tempat duduk saya dengan wajah berantakan, petak, tidak beraturan. 

Kembali menyantap sarapan dengan beringas karena malu dilihatin sama beberapa anak SMA yang menyadari saya dicuekin sama entu bocah. Eh, beberapa detik berselang, dia kembali ke perpustakaan dengan wajah sendunya. Saya gak mau open lagi. Capek di PHP-in. Akhirnya saya kembali mengunyah sarapan dengan semangat tiada tara. 

Sarapan habis, trus Ibu harus ngapain anak-anaaaakkk?? Buang sampah padaaaa........tempatnyaaaa. Iyak, bagus. Pergilah saya membuang sampah di keranjang dekat perpustakaan melewati adek tu yang sedang menunduk menghadap meja. Tidak jelas apa yang dipikirkannya. Niat awalnya mau balas cuekin balek, eeeh gak tega. Akhirnya saya kembali mendekatinya. *Belum jera-jera

Kali ini strategi pendekatannya lebih halus. "Kakak boleh duduk disini, Dek?" (belum terbiasa panggil Miss untuk diri senidri). Hanya dibalas dengan anggukan kecil yang sedikit ragu-ragu. Yes, strategi awal beres. Kami pun duduk bersisian. Saya di sisi kanannya. Dia di sayap kiri saya. Perfect. 

Lanjut ke ajang perkenalan. Akhirnya saya tahu namanya Difa. Tapi sayang, tak sedikit pun dia tertarik untuk menanyakan nama saya siapa. Well, perkenalan ini pun bertepuk sebelah tangan. 

"Tadi pergi sekolahnya sama siapa?", tanyaku penasaran. "Diantar bunda", jawabnya singkat dengan suara pelan. Saya terpaksa membuka telinga lebar-lebar demi menanti sebuah jawaban, sambil sesekali (eh gak, berkali-kali yang benernya) menimpali dengan "Haa, apa dek?". Biasa, faktor usia.

Percakapan awal masih seputar nama, alamat, kelas berapa, sekelas dengan siapa, berapa bersaudara, dan hal-hal lain yang tidak bisa saya jelaskan satu-satu. Standar lah untuk sebuah perkenalan dan PeDeKaTe. Kemudian, ntah hapa yang saya pikirkan hingga meluncurlah pertanyaan "Cita-cita Difa kalau udah besar mau jadi apa?". "Mau jadi guru", jawabnya tanpa intonasi dan ekspresi.

Malah saya yang berekspresi berlebihan tak tertahankan. "Apppah?? guuuruuuu? wah, sama donk kita." Saya menjerit menjadi-jadi dalam hati. Yah, meskipun itu bukan lah cita-cita awal saya. Setelah beberapa pendekatan kecil akhirnya saya tahu kalau dia ingin menjadi guru bahasa Inggris. 

Tidak ingin melewatkan momen ini begitu saja. Mulailah saya mengajaknya berbicara dalam bahasa inggris. Tentu bahasa Inggris yang masih jauh dari sebutan "woooowww". Dari sini saya sedikit mengorek-ngorek informasi perihal kenapa dia tidak betah duduk di bawah tenda menyaksikan anak-anak lain berfashion-show ria mengenakan dress code ala Kartini. Usut punya usut, ternyata orang tuanya tidak datang. Mereka sedang ada kerjaan kantor ke Bandung. Oke, sedikit melow untuk bagian yang satu ini memang. Kita skip aja ya.

Lama-lama berbincang dengannya, akhirnya saya kehabisan bahan untuk bertanya apa lagi. Saya pun menawarkan diri agar dia bertanya soal matematika yang mungkin ada yang tidak dimengerti di kelas. Dia hanya menggeleng. "Yadah, tanyakan apa aja deh, Dek, apa aja". Dia kembali menunduk menghadap meja.

Waduh,, PeDeKaTe nya lama juga ya. Sabaar.

Hening beberapa saat memikirkan pertanyaan dan dialog berikutnya. 

Tadaaaa,, ada ide. Ambil buku, ambil pulpen. Kita mulai menulis. Rencananya sih mau mencoba mencanangkan gerakan gemar menulis sejak dini. Ekekekekek. Modusnya gini, "Kalau kakak minta Difa untuk nulis, Difa mau nulis surat untuk siapa?". 
  
Lagi-lagi pertanyaan saya terabaikan. Eit, tapi kali ini ada sedikit kemajuan. Dia meraih pulpen dan buku yang saya pegang. Mulai menuliskan sesuatu di halaman tengah buku. Bereh. Gak buruk-buruk amat ternyata.

Eh, tapi tunggu dulu. Ternyata dia tidak menulis surat. Malah membuat gambar seorang anak kecil yang berseragam sekolah Fatih (jelas terlihat dari simbol di baju yang di gambarnya), dan mengikat rambut kepang dua. 

Yah, meskipun program saya gagal total. Tidak berhasil membuatnya menulis sejak dini. Paling tidak, saya berhasil membuatnya bersuara. Hihihihihi

Saya memintanya untuk bercerita mengenai gambar itu. Untuk ukuran anak SD kelas 2, bahasa Inggrisnya goyang kali wak. Saya terkesima dibuatnya. Selesai bercerita, dia semakin semangat untuk menggambar di halaman belakangnya. Kali ini dia menggambar sebuah bintang dan gambar Dora dan membubuhi kalimat "D is for Dora" di bawah gambar. 

Suaranya semakin membesar pada saat dia bercerita gambar di halaman kedua, ketiga, dan keempat. Tidak perlu lagi mengernyitkan dahi demi mendengar suaranya. Saya hanya bisa tersenyum dibuatnya. Ntah lah PeDeKaTe ini berhasil atau tidak. Terlepas dari itu semua. Saya senang melihat dia begitu antusias menceritakan gambar-gambarnya dengan segala imajinasi kanak-kanaknya. 

Tak terasa, jarum pendek telah bertengger di angka 12. Petanda sesaat lagi mereka harus segera pulang. Benar saja. Kakaknya Difa menjemputnya di dalam perpustakaan. Saya harus rela melepaskan kepergian Difa.. fuh fuh. Syeddih.

Akhirnya Difa pulang sambil melambaikan tangan dan tersenyum dengan sangat manis. "Bye, Miss.""Bye, Difa."

Ah iya, aku ingat satu gambarnya tertulis kalimat "I'm so happy today." Yah, semoga saja happy nya itu karena saya,, hahah, ngarep, boleh donk. Secara pedekatenya lama gini. Hehehe..

Happy ending gak ya kira-kira?

Oke, beda lagi dengan saat mengunjungi Mie Razali. Sedang ayik-asyiknya menyantap mie pesanan, ada anak-anak yang terus ngeliyatin saya. Salah sendiri sih, siapa suruh julur-julurin lidah pas anak tu masuk toko. Hahah. Saya mulai pucaat dilihatin terus dan mulai sedikit grogi menyantap mie nya. 

Sedikit lega ketika emak si anak itu memanggil nya untuk duduk di kursi. Fyuhhh. Gak lama kemudian dia kembali berdiri di belakang saya dan menonton saya makan. Plis deh, Dek.

"Dini, apa oi yang salah? Cak lihat baek-baek", tanya saya sambil nunjuk-nunjuk ke wajah sendiri. Saya semakin penasaran dengan anak berpipi chubby itu. Sementara Dini hanya tersenyum menyebalkan. Geram, saya habiskan juga mie nya si Dini. hahahahaha.. 

Begitulah pengalaman saya dengan anak-anak hari ini.
Sekian cerita dari saya.
Wabillahi taufiq wal hidayah














0 komentar:

Posting Komentar