Pages

Kamis, 24 Maret 2016

Kadang Hidup Tak Ubahnya Asam Keu-eung



“Kok Ukhra gak ikutan belajar? Itu teman-temannya semua pada belajar. Oh, Ukhra ni malas kali”, cecar salah satu kakak kost, menelisik telinga Ukhra. 

Tahukan olehmu, sejujurnya ini adalah potret cecaran tanpa pengetahuan. Hanya bermodalkan indra penglihatan. Padahal jauh, jauh, dan jauh hari sebelumnya, Ukhra telah bersiap untuk ujiannya. Ukhra yang tahu kemampuannya biasa saja, memaksa tubuh dan pikirannya untuk bekerja ekstra dua kali lebih keras dari teman-temannya. 

Hari itu adalah ujian statistika dasar. Karena sekamar kost dengan Ukhra, Ukhra pernah bertanya beberapa hal yang ia kurang paham terkait mata kuliah tersebut, beberapa hari sebelum hari ujian. Saya yang mengerti sedikit, mencoba memahamkannya. 

Ukhra kuliah di jurusan Pendidikan bahasa Arab di salah satu Universitas ternama tanah rencong. Ukhra senang Matematika, jadi tak begitu susah untuk memahamkannya. Namun karena telah lama tak bersentuhan dengan Matematika, memaksa ia berusaha lebih keras. Jika temannya belajar tiga jam sehari, maka ia harus belajar nyaris enam jam seharinya, ditambah terbangun tengah malam untuk kembali mengulang. 

“Bagaimana ujiannya? Bisa dijawab?”, tanya saya setiba ia pulang kuliah. Ah, saya lupa untuk menyilakan dia istirahat terlebih dahulu. Seandainya jawabannya tidak mengenakkan, maka alangkah dzalim sekali saya ini. 

“Alhamdulillah, Kak, lulus”, jawabnya berbinar. “Alhamdulillaaah,” jawab saya, “itu yang di luar teman-teman kamu?”, tanya saya ketika mendengar riuh-riuh suara dari luar kamar. 

“Iya, Kak”, jelasnya singkat.

Saya hanya ber-ooo saja. Lalu kami tenggelam dalam aktivitas kami masing-masing sebelum akhirnya kami beranjak menuju dapur dan masak bersama. Saya yang pandir ilmu memasak hanya mengerjakan sebisanya. Yang penting makan.  Mengerti Matematika tak lantas membuat saya cepat mengerti ukuran berapa siung bawang yang harus dikupas, berapa banyak garam yang harus ditabur, atau berapa sendok teh gula yang harus ditakar. Selama ini saya memasak hanya mengandalkan feeling dan beberapa kali mencecap rasa. Tak jarang saya kurang pede dengan rasanya dan meminta Ukhra untuk ikut mencecap sebelum masakan dihidang. Jika sudah pas, Bismillah, kita makan.

Teman-teman Ukhra yang disangka tengah belajar oleh kakak kost tadi itu padahal sedang mengerjakan soal ujian statistika dasar sebagai bentuk remedi dari dosen mereka. Tak harus ikut ujian ulang. Mereka mengerjakan tak jauh dari lokasi perhelatan akbar kami memasak. Melihat Ukhra malah asik mengeksekusi masakan bersama saya, saat inilah cecaran ini dilayangkan. 

“Kok Ukhra gak ikutan belajar? Itu teman-temannya semua pada belajar. Oh, Ukhra malas kali”, cecar demi cecar yang dilayangkan salah satu kakak kost menelisik telinga Ukhra. Yang dicecar tersenyum ke arah saya dan menimpali dengan, “Iya, Kak, nanti saya belajar”, dengan tangan masih gesit mencincang-cincang bawang. Kakak kost itu masih terus mencecar, sementara kami malah dibuat senyam-senyum, ditemani bau khas tumisan bawang. 

Satu hal yang saya pelajari dari jawabannya. Jika hati telah damai, tenang, maka tak perlu lagi pengakuan dari manusia. Karena faktanya, teman yang datang ke kost Ukhra hari itu, justru ingin belajar bersama Ukhra yang telah lulus ujian. 

Meski saya puas dengan jawaban bijak Ukhra, “Iya, Kak. Nanti saya belajar”, namun saat mendengar cecaran itu, sebenarnya hati saya bergemuruh. Ukhra, yang telah saya anggap sebagai adik, harus dijaga kehormatannya. Cecaran itu seakan menembus pori-pori, meresap ke aliran darah, menghujam ke otak dan memaksa saya berpikir. Saat itu saya sedang menumis bumbu, namun pikiran saya tak lagi ke masakan. 

Maka tak bisa tidak, sehabis makan, saya menghampiri ia yang masih memasak. 

“Masak apa?”, tanya saya basa basi. “Cuma masak nasi goreng saja”, jawabnya sambil tersenyum. Secara naluriah, kami tidak ada konflik apa-apa. Alhamdulillah teman di kost, cukup asik untuk diajak diskusi dan berbincang, maka meski mungkin cecarannya hanya becanda, namun karena hati keburu gemuruh, saya tidak bisa tinggal diam. Saya menghampirinya saat suasana sedang sepi-sepinya, karena saya juga tak ingin menjatuhkan kehormatan siapapun, sebagaimana saya keras menjaga kehormatan diri. 

“Keren ya si Ukhra, karena lulus ujian, kawan-kawannya minta belajar sama dia. Padahal dia kuliah di Bahasa Arab, tapi bagus juga nilai matematikanya. Kalau saya, cukup matematika saja lah, jangan sodorin lain-lain. Gak paham sayanya”, canda saya menertawai kebodohan diri, mencoba membuka hatinya. Entahlah, cuma itu cara menasihati yang terpikirkan oleh saya agar kesalahpahaman ini tak terus berlanjut. 

“Oh, jadi yang tadi itu...”, tanyanya dengan kalimat menggantung. 

“Iya”, jawab saya diplomatis. Mendapati ekspresi wajahnya berubah menjadi tak beraturan, saya nyaris tersenyum. Alisnya berkedut, sepertinya ia sedang berpikir, atau sedang memutar rekaman. Entahlah, saya biarkan saja jeda beberapa detik itu sambil meminta izin untuk merasakan masakannya. Ia hanya mengangguk, tak berkata-kata. 

“Hmm nasi gorengnya enak ni. Mantap!”, puji saya sambil lalu dan minta diri untuk wudhu. 

Kadang hidup tak ubahnya Asam Keu-eung, Meski mengaduk-aduk lambung, tetap lidah dibuat manja olehnya.  Tak jarang hidup kita dihiasi dengan pernak-pernik tingkah seperti ini. Terlalu cepat berkomentar dan mengambil kesimpulan untuk hal-hal yang kita sendiri tak tahu duduk persoalannya. 


0 komentar:

Posting Komentar