Awali
Senin pagi dengan semangat. Demikian janji semalam. Selepas Subuh dan menunggu
matahari bersinar, saya mengunjungi sebuah mini market tradisional yang menjual
aneka sarapan pagi. Ada kue kering, kue basah, bolu, gorengan, nasi gurih pakai
ikan, ayam, hingga telur dadar. Karena niatnya cuma beli sarapan, maka saya
hanya mengantongi selembar uang dua puluh ribuan. Tak perlu lah bawa-bawa
dompet, apalagi hape, karena cuma sebentar.
Ternyata
sebentar yang hanya diperkirakan lima belas menit ini berujung dua jam.
Selepas
membeli sarapan, niatnya langsung pulang. Nah, disinilah babang Varionya
berulah. Gasnya sulit dikontrol. Saat direm, gak mempan. Gasnya melaju dengan
kecepatan tinggi. Direm lagi, kali ini dengan agak kencang, malah terdengar
bunyi gesekan ban dengan tanah yang bikin saya tambah panik. Berjubel pikiran
berkelindan dalam ruang pikir. Pernah nonton sinema Rahasia Ilahi? Biasanya
pemeran jahat akan meninggal secara tragis.
Oh Tuhan, apakah ini saatnya?
Mungkinkah saya.. sayaaa..?
Opsi
pertama yang terpikirkan : Loncat ke
pinggir jalan dan membiarkan motor melaju seorang diri
Opsi
kedua : menabrak tiang listrik atau pembatas jalan, atau pagar rumah orang lain
agar berhenti.
Kedua
opsi di atas terdengar heroik sekali. Tapi, hei, kan saya tidak sedang
berakting untuk film action. Tidak mungkin. Saya belum siap!
Dalam
kepanikan ini, muncul sederet nama artis yang meninggal akibat kecelakaan,
selayaknya Nike Ardilla, Uje, hingga artis mancanegara Paul Walker.
Allah, hamba belum siap!
Di
tengah bayang-bayang seram, bervarian bayangan lain pun muncul. Kalau kalau meninggal,
episode hidup saya akan berakhir dengan begitu tragis. Tragic ending. Kalau pun tidak, saya tidak bisa membayangkan jika
akan.. akan.. ah, saya tidak sanggup melanjutkannya.
Akankah
masa depan bisa menerima kekurangan fisik saya? Dengan segala ketidaksempurnaan
ini saja rasanya harus banyak poles sana poles sini. Apalagi jika saya..
saya... Allah..
Di
tengah kegamangan, seolah muncul layar lebar mempertontonkan titipan yang belum
tertunaikan. Ada hutang yang belum terlunaskan.
Ah Ayah Mamak, saya masih belum wisuda.
Apakah saya akan mati muda?
Tina, Ya Allah Tin, kami belum
menyerahkan uang titipan teman, dan honor mengajar yang dititipkan lewat kami.
Masa depan, ah, saya belum menikah ya
Allaaah...
Adegan
selanjutnya adalaaah..
Motor
berhenti seketika. Ya ampun. Ternyata saya refleks menekan cagak. Alhamdulillah
berhenti otomatis. Kok ya saya gak kepikiran kesitu sebelumnya. Heuheu.. Otak,
kemana otak?
Saya
berusaha menenangkan diri dan membiarkan babang istirahat barang sejenak.
Syukur karena saya masih bisa bernapas, tanda masih hidup ternyata.
Huh!
Hah! Huh! Hah!
Napas
saya menderu kencang. Susah sekali dikontrol. Sekitar satu menit kemudian saya
mencoba untuk menjalankan motor kembali, kiranya babang sudah mendingan.
Bruuum..
brrruum.. brrrruuuuuuuuuuummm.. Motor melaju kencang.
Kali
ini tidak lagi refleks, tapi memang sengaja menekan cagak. Panik kali ini luar
biasa. Ini mulai nggak iya. Babang sepertinya tengah merujak. Saya terpaksa menghentikan
perjalanan ini dan memutuskan untuk memapah babang sampai menuju bengkel
sekitar lokasi.
***
“Nyoe
Pak, watee ta gaih, hana ditem meu-rhem, pakon nyan Pak?”, tanya saya
menjelaskan duduk persoalan.
“Hai
matic cit lagee nyan kan? Watee ta gaih, dijak laju”, jawab si Bapak polos.
Ya elah. Saya juga tau Pak. Tapi
iniiii.. hmmm..
Lelah
membuat saya malas menjelaskan dan membiarkan si Bapak mencagak motor dengan cagak
dua. Saat distarter dan bunyi motornya brrrrruuuuuuuuuuummmm luar biasa
mengejutkan, barulah si Bapak terkaget-kaget dan paham maksud saya.
Itu dia Pak, itu!
“Oh,
nyoe gaih jih, Dek, hana get paih le. Teuga that meu-gaih sang nyoh?”, tanya si
Bapak. Yang ditanya cuma bisa cengar cengir. Diskak, meeen.
“Jadi
kiban nyan, Pak? Jeut neuperbaiki kira-kira?”, tanya saya.
“Siat
beh”. Si Bapak menuju ke belakang bengkel dan muncullah anak muda. Hmmm,
sepertinya anak muda ini yang akan memperbaiki motor saya. Baiklah, yang
penting bisa pulang dengan selamat lah.
Permasalahannya
sekarang adalah, mau bayar pakai apaaa? Huwwwaaaaa..
Kenapa
pagi ini seolah begitu tragis. Heuheu..
Dalam
kemondar-mandiran, ada pikir yang berkelindan.
Saya
harus hubungi siapa ini ya. Duh hai! Jangankan menghubungi, hape pun tak punya.
Uang, dompet, tanda pengenal, apapun tak terbawa. Ya
Allah, alhamdulillah tadi selamat. Karena kalau nggak, hmmm.. gak terbayangkan
jika keesokan harinya akan ada tajuk berita “Ditemukan wanita muda tanpa tanda
pengenal tewas masuk parit”
Ya
Allah..
Saya
harus bisa move on. Sekarang masalahnya adalah ini motor mau dibayar pakai apa.
Sementara uang yang tersisa hanya sepuluh ribu. Kata si anak muda, tali
pedal gas harus diganti. Karena kalau tidak diganti dan hanya diperbaiki saja,
takutnya sewaktu-waktu, kejadian serupa terulang kembali. Membayangkan harus
sedramatis kejadian tadi, saya ogah. Maka saya katakan yes saja lah.
“Bang,
kira-kira padum habeh meunyoe ta gantoe?”, tanya saya harap-harap cemas.
Berharap jawaban anak muda ini tidak begitu mengejutkan. Maksudnya, tidak
begitu mahal. Wkwkwkwk.
Alhamdulillah,
nominalnya tidak terlalu besar. tapi tetap saja, sepuluh ribu masih jauh dari
harga bayaran. Saya kok ya menyesal ya pagi ini keluar rumah tanpa bawa dompet
dan hape. Ciaat ciaaat ciiaaaat.. *Mulai lapar
Sebenarnya
bukan tanpa alasan, malas membawa dompet ini. Karena seringnya kalau bawa
dompet, yang tidak begitu perlu juga ikut terbeli. Makanya untuk menahan laju
pengeluaran, bawa uang seperlunya saja. Tapi beli belanjaan
sebanyak-banyaknya.. *apa macam
Ide
pertama yang terpikirkan adalah, menyetop siapa saja kenalan yang melintas saat
itu. Lama sekali ternyata tak muncul-muncul. Babang digagahi dan dipreteli oleh
anak muda. Babang yang dulu gagah kini tampaklah kerangka dalamnya dan terlihat
begitu menyedihkan. Fisik luarnya boleh gagah, namun siapa sangka dalamnyaaa,
hmmm, gitu lah ya.
Siapapuuun, tolong muncullaaaah...
Pinjamkan saya uaaang!!!.
Lalu
lalang pengendara yang melintas tak ada yang saya kenal, sementara anak muda
telah hampir merampungkan kerjanya. Saya pun minta diri untuk berkunjung ke
counter pulsa berselang tiga ruko dari bengkel. Counter ini biasa saya datangi
untuk beli kartu internet atau isi pulsa.
“Bang,
boleh pinjam hape?”, tanya saya menyedihkan.
“Untuk?”,
jawab si abang dua anak ini.
Singkat
cerita, dengan alur yang sengaja dibuat menyedihkan (eh, sebenarnya emang perih
lho), saya berhasil memenangkan hapenya.
Lama
sekali saya memencet tombol angka. Tulis hapus, tulis hapus. Ya Allah, saya
kenapa bisa lupa nomor mabro, Andi.
Lengkap
sudah!
Tulis
lagi, ah, sepertinya yang tertulis begitu asing dan memang bukan nomor dek Bro.
Akhirnya saya telepon ke nomor Ayah dengan perasaan seperti baru habis dilihat
doi. Deg-degan mampus.
Tuuuut..
gak diangkat.. Tuuuuttt..
“Iya,
halo. Assalamu’alaikum”, suara dari seberang. Alhamdulillah diangkat, rasanya
seperti baru dapat hidayah, kembali ke jalan yang lurus.
Setelah
menjawab salam, saya pun mengenalkan diri. “Yah, ini Eka”, jawab saya berikut
penjelasan panjang dimulai dari kronologis cerita, hingga berakhir tragis. Ayah
bukan tipe yang bisa diajak ngobrol dalam keadaan panik. Karena dalam situasi
harus cepat-cepat, ayah masih bisa menanyakan kenapa? Dimana? Addeeuuh ayah.
Elepyu elepyu. Mungkin ayah juga gak kalah paniknya. Tapi ini nelpon pakai hape orang lho, Ayah masih harus dipuaskan rasa penasarannya. Fyuh. Akhirnya nomor mabro pun
didapat dari ayah.
Setelah
berhasil mengantongi nomor dek Bro, tak kirain penderitaan ini akan segera
berakhir. Ternyataaaa..
Dek
bro nggak angkat teleponnya pemirsa. Apa gak pura-pura gila aja kita?
Belasan
kali ditelpon gak diangkat. Tenggelamkan! Hapenya!
Saya
pasrah. Menyerah dan mengembalikan hape pada bapak dua anak ini. Si abang yang
sudah bapak-bapak ini agak kasihan nampaknya. Tapi saya sudah keburu pamit
kembali ke bengkel.
Setibanya
di bengkel, dengan perasaan dag dig dug, kali ini bagaikan mau jumpa calon
mertua. *eh, emang pernah? Hehehe
Ternyata
anak muda telah menghilang. Akhirnya saya menghampiri si Bapak.
“Pak”,
sapa saya dengan sedikit jeda sembari berpikir, ”lon woe siat jeut? Nyoe na
peng bak jaroe siploh ribee sagai.”
“Jeut,
tapi keubah hape sebagai jaminan”, kata Bapak.
Rasanya
dunia menghitam.
“Tapi
Pak, hana lon ba hape, meu dompet hana roh lon ba. Meuhan lon woe ek labi-labi
mantong jeut Pak? Lon jak cok peng dilee”, jawab saya pilu.
“Pat
rumoh? Biasajih Dek kan, awak nyoe dikeubah hape, KTP, atau STNK. Yang keubah
KTP pih jareung dibalek.”
Rasanya
ingin pura-pura pingsan
.
Hmm
saya sangat mengerti maksud si Bapak. Dan kondisi ini mengingatkan saya akan
masa-masa Sahabat Rasulullah. Kapan-kapan lah ya saya ceritakan biar gak
panjang kali tulisan ini.
“Meunyoe
meunan, lon woe dilee ek labi-labi. Lon keubah honda disinoe”, jawab saya
pasrah. Jadi ceritanya, motor itulah jaminannya.
Lama
si Bapak berpikir, lalu berujar, “Boh ka jak ju ek honda.”
Hah?
Hah? Apa? Batin saya girang bukan main. Saya memastikan untuk kedua kalinya. “Butoi
Pak? Neu pateh lon kan? Terima kasih Pak beh.”
“Ya
ya ya”, jawab si Bapak agak malas,”enteuk terima kasih watee kaleuh jok peng.”
Alamak,
antara sedih dan senang deh sayanya. Tapi ya sudahlah. Yang penting si Bapak
percaya dan saya tidak mau menyia-nyiakan kepercayaan Bapak ini.
Dengan kondisi
nggak bawa hape, tanda pengenal, dompet, uang cuma sisa sepuluh ribu, motor
mendadak wajib masuk bengkel, dan yang diingat cuma nomor hape ayah. Itu rasanya
seperti jadi orang paling miskin sedunia.
Tapi saat si
Bapak ini menaruh kepercayaannya, percaya kalau saya tidak akan lari dari
tanggung jawab membayar biaya perbaikan motor, kok ya rasanya jadi orang kaya
ya? *agak lebay memang.
Tapi,
bayangkanlah situasinya semenyedihkan itu, biar ngerti. *maksa ^^