Pages

Kamis, 26 Mei 2016

Kepada 24 Kita Belajar Mendengar


Entah kenapa saya lebih menyenangi kata ‘kita’ dibanding kamu atau saya. Saya hanya membayangkan kata ‘kita’ itu sekokoh alif. Seolah alam bawah sadar digiring untuk mempercayai kata ini begitu gagah dan tegak berdiri. Jadi, tak mengapa bukan jika kita mengabaikan penggunaan kata ‘kita’ pada judul ini? Apalah arti sebuah judul. 
Etapi, Kalau judulnya saja tidak menarik, apatah lagi isinya. Malas juga bacanya. Heuheuuu.. Penyakit lama. Nangis nentuin judul. 

Well yeah, kita lupakan saja judul yang apalah itu. Ada satu petuah menarik dari Ayah yang saya coba rekam dan aplikasikan selalu sebisanya, meski terkadang kerap menemui titik payahnya. 

“Kamu tak perlu terlihat pintar. Dengarkan apapun yang orang katakan meski sebenarnya kamu telah mengetahuinya. Jangan sekali-kali bersikap sok pintar dengan menyela dan mengatakan, ‘iya, saya sudah tahu’. Karena apapun yang mereka katakan, percayalah, ada sesuatu yang berbeda dari yang telah kita ketahui sebelumnya.”

Pernah tidak, berada di forum yang sama, tapi seusai forum, kita saling diskusi, dan menemukan diantara beberapa peserta yang mengikuti forum, akan ada silang pendapat?

Karena saya pernah. Sering malah. Berada di kelas yang sama, saat guru atau dosen memberikan tugas, saya memiliki pandangan tersendiri. Dia punya pendapat sendiri. Mereka lain lagi. Terkadang dalam waktu yang sama, kami punya tiga pilihan tugas yang harus dikerjakan. Kami memiliki pandangan yang berbeda mengenai tugas yang diberikan. Siapa yang paling benar? Tak satupun memihak. Hingga jawabannya kami temukan setelah mengkonfirmasi ulang kepada guru atau dosen yang bersangkutan. Kalau sudah begini, yang salah akan berdalih, “Kan mana tau. Mana tau saya benar.”

Itulah mengapa Ayah kerap mewanti-wanti untuk tak perlu lebay dalam berkomunikasi. Dengarkan saja, tapi tetap difilter. Jika memang ada kekeliruan, sama-sama diluruskan dengan akhiran “mari kita perbanyak membaca dan berguru lagi”. Jangan buru-buru menyalahkan. Karena terburu-buru selalu datangnya dari syaithan. 

Menarik, apa yang disampaikan Imam Syafi’i, “Pendapatku benar, tapi bisa mengandung kekeliruan. Sementara pendapat mereka salah, tapi boleh jadi mengandung kebenaran.”

Meski seorang calon sarjana pendidikan yang kerap betualang memamerkan kebodohannya di hadapan siswa, saya meyakini seorang guru pun hanyalah manusia biasa yang terbatas pengetahuannya. Saya terus berusaha untuk tak risih memiliki siswa kritis. Selain dituntut pengendalian emosi yang baik, percaya atau tidak, kita akan meraih ‘sesuatu’ yang baru. Penerimaan.  

Sudah saatnya kita tidak menjadi guru yang anti kritik. “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah”, demikian Gie pernah tersulut emosinya. Menahan kritik tak ubahnya dengan menutup mata terhadap berbagai sudut pandang. Menyumpal telinga untuk sebuah kebenaran. Boleh jadi siswa salah, guru lah yang benar. Namun karena kadung emosi, guru menjadi tak terkendali dan hilang kepercayaan diri. Padahal, dengan menginsyafi diri yang penuh kekurangan, belajar menerima kritik takkan lah membuat guru kehilangan muka. 

Sudah seharusnya kita belajar pada mereka yang mampu menyuarakan pendapat. Karena sulit sekali suara kini didengar. Pengalaman mengajar yang masih belum apa-apa ini sedikit tidaknya merangkum bagaimana siswa dewasa ini seolah bungkam untuk menyuarakan pendapat atau bertanya. Entah imbas masa konflik ataukah pengaruh keluarga dan lingkungan.

Saya pernah merasa rendah diri akibat ketidakfasihan dalam berkata-kata. Tak jarang, ketidakpandaian dalam berlisan membuat saya minder dan hilang kepercayaan diri saat harus tampil di depan umum. Ah, tapi saya kembali diingatkan, bukankah nabi Musa a.s. juga tak fasih dalam berkata-kata, hingga Allah mengutus nabi Harun a.s untuk menjadi teman perjalanan dakwah? 

Saya mencoba move on dan menganggap kekurangan ini sebagai kelebihan. Kelebihan mendengar di saat yang lain sibuk bersuara. Karena lidah yang agak kaku, ada tangan yang berusaha menyokong setiap suara yang menyuarakan kebenaran dan kebaikan. Insya Allah.  
Oleh karenanya, saya kerap menjadi pendengar saat Ayah bercerita. Ah, Ayah. Meski yang diceritakan itu-itu saja, tetap ada hal menarik di setiap potongan ceritanya. Bersebab Ayah, saya belajar mendengar. Karena Ayah yang selalu bercerita. Hehehehe.. 

Lalu, apa hubungannya tulisan ini dengan angka 24?

Hmmm itu ya, hanya sebuah angka menarik. Bukan apa-apa. Terkadang sesuatu itu tak perlu penjelasan. Cukup dicerna saja. Sama dengan judul ini. :D

Oh ya, mengenai larangan mengatakan ‘iya, saya sudah tahu’, bagi saya menarik. Ayah menegaskan, saat kita mengatakan kalimat tersebut, sejatinya kita telah menahan masuknya sebuah ilmu.




Senin, 23 Mei 2016

Kepada Pengembara



Entah ini surat ke berapa yang aku layangkan untukmu yang entah siapa. Bukan kuasaku mendefinisikan seperti apa wujudmu, terlebih namamu. Kucoba merayu-rayu pada Allah Yang Maha Tahu. Samar. Sosokmu berpendar-pendar. 

Untukmu yang sedang berbenah dan menyiapkan bekal, sama sepertimu, aku pun sedang berbenah sembari menyiapkan bekal. Bedanya kita, kamu menyiapkan bekal untuk perjalanan, sementara aku menyiapkan bekal untuk kuberikan padamu kelak saat kita berjumpa. 

Untuk kau ketahui, aku memang bukan perempuan yang betah berlama-lama di dapur. Aku tidak pintar memasak. Namun, aku akan berusaha belajar itu semua dari ibu kita, ibumu dan ibuku. Setidaknya, perutmu akan terisi di setiap pagimu menjelang mencari nafkah untuk keluarga kita. Saat ini aku hanya menguasai beberapa resep masakan rumahan standar. Karena aku memiliki keterbatasan dalam menghafal, itu sebabnya aku suka menulis. Aku punya buku catatan masakan yang resepnya dari ibuku. Kuharap suatu saat nanti akan dipenuhi dengan lembaran resep dari ibumu.

Jangan marahi aku, jika suatu waktu kau dapati masakanku tidak selezat masakan ibumu. Karena itu akan menyakitiku. Tapi jangan pula membohongiku dengan berkata bahwa masakanku lezat, yang nyatanya tidak. Duhai, mungkin situasi ini sedikit menyulitkanmu. Namun percayalah, aku akan membantumu melewati kesulitan ini dengan tidak bertingkah menyebalkan dan merajuk.

Ah ya, kenapa memasak menjadi begitu penting ya? Ada yang mengatakan kepadaku bahwa dalam Islam, sebenarnya istri tidak berkewajiban memasak. Hidungku sempat kembang kempis dibuatnya. Tapi kata Mak, jangan sampai suamimu lebih kangen masakan warung daripada masakanmu. Jadikan masakanmu sebagai bukti cinta dan bakti terhadap suami, meski bukan kewajiban. Aku mulai khawatir dengan keahlian memasakku. Maka ku putuskan untuk belajar itu semua dari Mak.  

Ayahku tidak suka makan di warung. Ayah lebih suka makan di rumah. Jika pun Mak tidak memasak, Ayah akan mengutus kami membeli makan di luar, entah itu bakso, mie, sate, atau apapun, lalu dibawa pulang ke rumah. Bagi Ayah, makan di rumah tak kalah menyenangkan dibandingkan dengan makan di restoran megah. Karena ada Mak. 
 
Aku pun ingin demikian. Kebersamaan bersama keluarga menjadi hal penting. Tak peduli dimana pun tempatnya, asalkan bersama keluarga. Kamu, adakah kita sependapat? Jika pun tidak, mari kita saling berdiskusi. Memintaku berpendapat adalah kesukaanku. Meski boleh jadi, aku akan ikut semua apa katamu. Karena kau imamnya. 

Ketika kau memiliki kecenderungan terhadapku, mintalah kepada Sang Pemilik agar ditunjukkan apa-apa yang tak mampu terindra olehmu. Aku pun demikian. Aku khawatir, setan tak henti-hentinya menghiasi diri yang penuh aib hingga terlihat begitu indah di indra. Karena bahkan salahku pun bisa menjadi keindahan yang termaafkan oleh sebab dekorasi apik setan. 

Maka mari kita menanyai hati, ini cinta atau nafsu?

Jika cinta, mari kita menghadap Sang Pemilik Cinta agar dimudahkan jalan kita. Jika pun nafsu, setidaknya kita telah bermuhasabah dan tidak bablas dalam merayakannya. 

Kita tidak perlu saling menunggu bukan? Karena jika memang itu kamu, kuharap Tuhan akan memantapkan hatimu untuk menuju kediamanku, dan membuatku ridha akan ketetapanNya.

Saat kamu memintaku menjadi pendamping hidupmu, saat itulah aku memohon kepada Tuhan agar tidak memalingkanmu jika mendapati diriku yang penuh aib ini.

Untukmu yang sedang dalam perjalanan, sudah sampai dimanakah engkau? Adakah rintangan saat menjemputku? Kudoakan kau agar tak tersesat.

Minggu, 22 Mei 2016

RESUME LET’S CHANGE


KEPEMIMPINAN, KEBERANIAN, DAN PERUBAHAN

Rhenald Kasali
Penerbit Buku Kompas, Februari 2014, PT Kompas Media Nusantara

Bab satu menekankan pada pentingnya perubahan sebagai jembatan untuk mendongkrak perbaikan sistem. Sudah barang pasti perbaikan tidak akan bisa berdiri sendiri tanpa ada elemen pendukung layaknya manajemen perubahan. Perubahan dirasa perlu manakala suatu sistem sudah tak layak pakai dan tak sesuai zaman. Namun, tidak selamanya perubahan yang dicipta mampu membawa dampak yang baik. Ada kalanya perubahan itu malah menjadikan sebuah sistem yang semula biasa-biasa saja menjadi sangat buruk dan tak bernilai. Namun, tanpa adanya perubahan, tidak akan ada yang namanya kemajuan. Hal yang sangat disayangkan, manakala suatu pihak menyatakan perlu adanya perubahan, maka pihak lainnya cenderung menjadi pihak oposisi. Meskipun perubahan kerap diwarnai dengan aksi-aksi perlawanan, namun bukan berarti perubahan tidak dapat dilaksanakan Untuk itulah, diperlukan orang-orang berintegritas tinggi demi mencapai perubahan ke arah yang dituju. Orang-orang yang berani mengambil keputusan dan bertanggung jawab meskipun kerap dibayangi dengan ketidakpastian akan keberhasilan perubahan tersebut.

Bab kedua lebih menekankan pada kepemimpinan atau leadership. Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia, meski yang menempati bangku parlemen adalah orang yang bertitel tinggi, namun tak semua memiliki kemampuan memimpin. Leadership tidak hanya menuntut pandai berbicara di depan khalayak namun juga aksi nyata berupa tindakan-tindakan asertif yang mampu mengkonsolidasikan pikiran dan tindakan rekan sejawat. Tidak mudah memang menyatukan pikiran dan tindakan. Terlebih saat menyatakan perlunya perombakan. Ada kalanya pemimpin perlu diterapi agar jiwanya kembali bersih dan hangat di tengah-tengah perbedaan. Agar mampu memimpin suatu kelompok, maka diperlukan penampilan dan gaya bicara yang tidak begitu kaku dan monoton agar menarik perhatian kelompok. Meskipun kita hidup dari produk masa lalu, namun menjadi seorang pemimpin dibutuhkan keberanian dan kemauan yang besar untuk menciptakan suatu perubahan melalui terobosan baru. Sosok berintegritas seperti ini, sudah sepatutnya mendapat perlindungan dan pengakuan publik. Jangan sampai banyak ahli-ahli berkebangsaan Indonesia lebih memilih untuk berkarir di negara orang lain daripada di negara sendiri akibat lemahnya pengakuan dan penghargaan dari tanah ibu pertiwi.

Bab ketiga membahas tentang perlunya manajemen untuk setiap perubahan. Karena perubahan tanpa adanya manajemen yang memadai akan pincang. Layaknya pergi berperang, namun lupa membawa senjata dan perlengkapan perang. Namun, perubahan akan sulit bergerak tanpa adanya kesatuan visi dan misi dari elemen-elemen lain yang bersangkutan. Disini lebih dikenal dengan istilah alignment, yaitu penyatuan visi dan misi agar lebih terkoordinir. Hal ini diperlukan agar ada ketegasan terhadap fungsi masing-masing elemen. Jangan sampai fungsi setiap elemen menjadi saling tumpang-tindih akibat misalignment.

Bab keempat menyajikan tentang pendidikan. Suatu kesalahpahaman masyarakat dewasa ini yang melepaskan tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya kepada sekolah atau instansi pendidikan. Karena perlu diketahui, pendidikan yang didapat oleh seorang anak di sekolah hanyalah sepertiganya. Selebihnya akan didapatkan dari keluarga dan lingkungan. Maka dari itu, peran orang tua juga diharapkan mampu mendongkrak pendidikan anak. Guru yang baik adalah guru yang tidak hanya mampu mentransfer ilmu, namun juga nilai-nilai pendidikan, sehingga efeknya membekas dan menempati sisi long time memory. Namun sayangnya, guru-guru inspiratif seperti ini sulit dicari keberadaannya. Kebanyakan kita temukan kasus dalam lapangan, guru yang mengajar dengan orientasi KKM dan kurikulum. Yang penting nilai lulus dan kurikulum berjalan. Nilai yang tinggi seolah membuktikan bahwa guru telah berhasil mengajar anak didik. Maka tak heran, jika kita sering menemukan siswa curang. Aksi plagiarime mewabah. Tak jarang pula kita temukan, anak yang pintar, namun kesehariannya sangat tertutup. Nilai akademisnya membanggakan, namun sebaliknya, sosialnya amatlah memprihatinkan. Ini adalah produk-produk dari guru yang menghambakan nilai dan kurikulum tanpa memperhatikan sisi psikologis dan mental siswa yang barangkali tertekan dengan mata pelajaran yang jumlahnya tak terperkirakan. Disinilah perlu adanya perubahan pola pikir untuk setiap akademisi pendidikan bahwa nilai bukanlah sebuah orientasi, melainkan batu loncatan. Ada hal yang lebih penting dibandingkan nilai siswa, yakni menjadi guru inspiratif, yang mana pendidikan yang diberikan kepada siswa akan membekas dalam jangka panjang dan menjadi amalan yang tidak hanya berguna bagi siswa, namun memberikan dampak besar terhadap peradaban.

Bab kelima mengangkat tema tentang ekonomi. Hampir bisa dipastikan seluruh bab mengusung tema perubahan. Hanya saja dipecah ke dalam beberapa poin yang termaktub dalam bab-bab. Daya saing dan daya jual menjadi kata kunci dalam perekonomian. Bekerja dalam situasi stagnan hanya akan memperburuk situasi. Berbicara tentang persaingan internasional, maka tak lepas dari daya saing yang tidak kalah hebatnya. Kebijakan yang telah dilaksanakan dalam waktu yang lama dengan terpaksa harus berganti manakala pihak asing mengajukan persyaratan yang mengejutkan. Tak masalah dengan perubahan kebijakan, selagi hal itu dapat mempertahankan daya saing internasional. Namun, perubahan yang tidak dimanajemeni secara terstruktur layaknya sayur tanpa garam. Karena memang pada hakikatnya kita terlahir dari produk-produk masa lalu dan sulit menerima perubahan. Dibutuhkan apresiasi tinggi bagi para ekonom yang mampu meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia hingga level dunia. Pada dasarnya berubah itu mudah, hanya masalahnya terletak pada subjek dan sistemnya sendiri. Mau diubah atau tidak.

Bab keenam mengusung tema tentang birokrasi. Layaknya dua sisi mata uang, birokrasi juga memiliki dua sisi, “sehat” dan “tidak sehat”.  Kembali kepada masyarakat, hendak menilai dari sisi yang mana. Setiap kali seorang pemimpin melakukan reformasi, ia akan memulai dengan melakukan pemetaan, namun hal ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Namun bukan berarti peluang itu tak ada. Peluangnya hanya akan menjadi nol manakala pemimpin hanya berdiam dan melanjutkan birokrasi yang itu-itu saja. Birokrasi yang telah terskenariokan puluhan tahun lalu. Di sisi lain, seorang pemimpin memiliki hak paten berupa kekuasaan, maka tidaklah begitu sulit untuk menyampaikan terobosan-terobosan baru demi terciptanya reformasi birokrasi yang sesuai zaman dan tuntutan. Perlu dicatat, untuk menilai berhasil atau tidaknya terobosan itu, dibutuhkan waktu tak kurang dari tiga bulan. Maka, seorang menteri atau pemangku kekuasaan, baiknya langsung turun ke lapangan meninjau setiap pelaksanaan yang menunjang terciptanya ide terobosan tersebut.

Bab ketujuh mengangkat tema pariwisata. Sudah sepatutnya pemerintah Indonesia memberi perhatian lebih terhadap perkembangan pariwisata dalam negeri. Karena di samping pasar properti yang memiliki daya jual, pariwisata pun sama halnya. Pariwisata yang dikeloa dengan manajemen yang baik memiliki peluang bisnis yang cukup menjanjikan. Dampaknya, Indonesia akan memiliki income dari sektor bisnis pariwisata. Sudah bukan zamannya lagi, Indonesia hanya dikenal dengan negeri yang “gemah ripah loh jinawi”, namun tak mampu menonjolkan kekayaan luhur yang menjadi surga dunia bagi para pecinta wisata. Sepatutnyalah pemerintah berbenah diri dan mengikuti perkembangan zaman. Jika hanya mengandalkan candi Borobudur dan pantai Kuta di Bali, maka yang menjadi wisatawan lintas negara hanya dari kalangan wisatawan mancanegara menengah hingga ke bawah. Dapat diperkirakan berapa income yang didapat seandainya hanya mengandalkan kearifan lokal itu saja. Padahal Indonesia memiliki kearifan lokal menyejarah yang tak terkira. Sektor pariwisata dapat dijadikan ladang untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah jika dikelola dengan baik untuk kemudian diabadikan menjadi surga dunia bagi para pecinta wisata lokal, bahkan wisatawan mancanegara.

Bab kedelapan yang menjadi bab terakhir mengetengahkan tema tentang sosial masyarakat. Potret buram kecemburuan sosial yang menjangkiti masyarakat ditengarai akibat adanya kecemburuan sosial dan sikap “latah” ikut-ikutan. Hal inilah yang memicu sikap konsumtif di pihak masyarakat. Padahal belum tentu hasrat membeli berbanding lurus dengan daya beli. Maka bisa disimpulkan dari segi sosial masyarakat, yang menjadi item perubahan adalah masyarakat yang memberi pengaruh besar. Jika hidup di kalangan masyarakat dengan kepribadian sederhana, maka dengan sendirinya kepribadian sederhana terbentuk dan bagaikan virus, segera menyebar pada masyarakat lainnya. Demikian pula jika hidup dalam masyarakat yang konsumtif, tak heran yang lainnya juga latah menjadi masyarakat konsumtif.

Kesimpulan:
Kepemimpinan itu penting. Kekusaan itu perlu. Keberanian melakukan terobosan dan perubahan mutlak dimiliki oleh setiap pemimpin. Karena kepemimpinan tanpa adanya kekuasaan dan keberanian bagai sayur tanpa garam. Dibutuhkan mentalitas dan daya juang yang tinggi untuk menjalankan sebuah reformasi, karena dibalik reformasi, selalu saja ada agresi dari pihak oposisi yang merupakan ciptaan dari produk-produk lama. Namun, melalui buku ini diharapkan setiap pemimpin memiliki jiwa yang berintegritas tinggi yang mampu membawa Indonesia menjadi negara yang tidak hanya dilirik, namun dicari oleh dunia.  

Bersebab tak terbiasa, buku ini cukup berat bagi saya yang terbiasa membaca novel. Heuheu.. Resume yang alakadar ini semoga bisa jadi pembelajaran diri. 
*Nangis saya namatin membacanya.

Senin, 16 Mei 2016

Saat Merasa Paling Miskin Sedunia



Awali Senin pagi dengan semangat. Demikian janji semalam. Selepas Subuh dan menunggu matahari bersinar, saya mengunjungi sebuah mini market tradisional yang menjual aneka sarapan pagi. Ada kue kering, kue basah, bolu, gorengan, nasi gurih pakai ikan, ayam, hingga telur dadar. Karena niatnya cuma beli sarapan, maka saya hanya mengantongi selembar uang dua puluh ribuan. Tak perlu lah bawa-bawa dompet, apalagi hape, karena cuma sebentar.

Ternyata sebentar yang hanya diperkirakan lima belas menit ini berujung dua jam. 

Selepas membeli sarapan, niatnya langsung pulang. Nah, disinilah babang Varionya berulah. Gasnya sulit dikontrol. Saat direm, gak mempan. Gasnya melaju dengan kecepatan tinggi. Direm lagi, kali ini dengan agak kencang, malah terdengar bunyi gesekan ban dengan tanah yang bikin saya tambah panik. Berjubel pikiran berkelindan dalam ruang pikir. Pernah nonton sinema Rahasia Ilahi? Biasanya pemeran jahat akan meninggal secara tragis. 

Oh Tuhan, apakah ini saatnya? Mungkinkah saya.. sayaaa..?

Opsi pertama yang terpikirkan  : Loncat ke pinggir jalan dan membiarkan motor melaju seorang diri
Opsi kedua : menabrak tiang listrik atau pembatas jalan, atau pagar rumah orang lain agar berhenti.

Kedua opsi di atas terdengar heroik sekali. Tapi, hei, kan saya tidak sedang berakting untuk film action. Tidak mungkin. Saya belum siap!

Dalam kepanikan ini, muncul sederet nama artis yang meninggal akibat kecelakaan, selayaknya Nike Ardilla, Uje, hingga artis mancanegara Paul Walker. 

Allah, hamba belum siap!
 
Di tengah bayang-bayang seram, bervarian bayangan lain pun muncul. Kalau kalau meninggal, episode hidup saya akan berakhir dengan begitu tragis. Tragic ending. Kalau pun tidak, saya tidak bisa membayangkan jika akan.. akan.. ah, saya tidak sanggup melanjutkannya.

Akankah masa depan bisa menerima kekurangan fisik saya? Dengan segala ketidaksempurnaan ini saja rasanya harus banyak poles sana poles sini. Apalagi jika saya.. saya... Allah..

Di tengah kegamangan, seolah muncul layar lebar mempertontonkan titipan yang belum tertunaikan. Ada hutang yang belum terlunaskan.

Ah Ayah Mamak, saya masih belum wisuda. Apakah saya akan mati muda?
Tina, Ya Allah Tin, kami belum menyerahkan uang titipan teman, dan honor mengajar yang dititipkan lewat kami.
Masa depan, ah, saya belum menikah ya Allaaah...

Adegan selanjutnya adalaaah..
Motor berhenti seketika. Ya ampun. Ternyata saya refleks menekan cagak. Alhamdulillah berhenti otomatis. Kok ya saya gak kepikiran kesitu sebelumnya. Heuheu.. Otak, kemana otak?

Saya berusaha menenangkan diri dan membiarkan babang istirahat barang sejenak. Syukur karena saya masih bisa bernapas, tanda masih hidup ternyata. 

Huh! Hah! Huh! Hah!
Napas saya menderu kencang. Susah sekali dikontrol. Sekitar satu menit kemudian saya mencoba untuk menjalankan motor kembali, kiranya babang sudah mendingan. 

Bruuum.. brrruum.. brrrruuuuuuuuuuummm.. Motor melaju kencang.
Kali ini tidak lagi refleks, tapi memang sengaja menekan cagak. Panik kali ini luar biasa. Ini mulai nggak iya. Babang sepertinya tengah merujak. Saya terpaksa menghentikan perjalanan ini dan memutuskan untuk memapah babang sampai menuju bengkel sekitar lokasi. 

***

“Nyoe Pak, watee ta gaih, hana ditem meu-rhem, pakon nyan Pak?”, tanya saya menjelaskan duduk persoalan.

“Hai matic cit lagee nyan kan? Watee ta gaih, dijak laju”, jawab si Bapak polos.

Ya elah. Saya juga tau Pak. Tapi iniiii.. hmmm..

Lelah membuat saya malas menjelaskan dan membiarkan si Bapak mencagak motor dengan cagak dua. Saat distarter dan bunyi motornya brrrrruuuuuuuuuuummmm luar biasa mengejutkan, barulah si Bapak terkaget-kaget dan paham maksud saya. 

Itu dia Pak, itu!

“Oh, nyoe gaih jih, Dek, hana get paih le. Teuga that meu-gaih sang nyoh?”, tanya si Bapak. Yang ditanya cuma bisa cengar cengir. Diskak, meeen. 

“Jadi kiban nyan, Pak? Jeut neuperbaiki kira-kira?”, tanya saya.

“Siat beh”. Si Bapak menuju ke belakang bengkel dan muncullah anak muda. Hmmm, sepertinya anak muda ini yang akan memperbaiki motor saya. Baiklah, yang penting bisa pulang dengan selamat lah. 

Permasalahannya sekarang adalah, mau bayar pakai apaaa? Huwwwaaaaa..
Kenapa pagi ini seolah begitu tragis. Heuheu..

Dalam kemondar-mandiran, ada pikir yang berkelindan.
Saya harus hubungi siapa ini ya. Duh hai! Jangankan menghubungi, hape pun tak punya. Uang, dompet, tanda pengenal, apapun tak terbawa. Ya Allah, alhamdulillah tadi selamat. Karena kalau nggak, hmmm.. gak terbayangkan jika keesokan harinya akan ada tajuk berita “Ditemukan wanita muda tanpa tanda pengenal tewas masuk parit”
 
Ya Allah..
Saya harus bisa move on. Sekarang masalahnya adalah ini motor mau dibayar pakai apa. Sementara uang yang tersisa hanya sepuluh ribu. Kata si anak muda, tali pedal gas harus diganti. Karena kalau tidak diganti dan hanya diperbaiki saja, takutnya sewaktu-waktu, kejadian serupa terulang kembali. Membayangkan harus sedramatis kejadian tadi, saya ogah. Maka saya katakan yes saja lah. 

“Bang, kira-kira padum habeh meunyoe ta gantoe?”, tanya saya harap-harap cemas. Berharap jawaban anak muda ini tidak begitu mengejutkan. Maksudnya, tidak begitu mahal. Wkwkwkwk.

Alhamdulillah, nominalnya tidak terlalu besar. tapi tetap saja, sepuluh ribu masih jauh dari harga bayaran. Saya kok ya menyesal ya pagi ini keluar rumah tanpa bawa dompet dan hape. Ciaat ciaaat ciiaaaat.. *Mulai lapar

Sebenarnya bukan tanpa alasan, malas membawa dompet ini. Karena seringnya kalau bawa dompet, yang tidak begitu perlu juga ikut terbeli. Makanya untuk menahan laju pengeluaran, bawa uang seperlunya saja. Tapi beli belanjaan sebanyak-banyaknya.. *apa macam

Ide pertama yang terpikirkan adalah, menyetop siapa saja kenalan yang melintas saat itu. Lama sekali ternyata tak muncul-muncul. Babang digagahi dan dipreteli oleh anak muda. Babang yang dulu gagah kini tampaklah kerangka dalamnya dan terlihat begitu menyedihkan. Fisik luarnya boleh gagah, namun siapa sangka dalamnyaaa, hmmm, gitu lah ya. 

Siapapuuun, tolong muncullaaaah... Pinjamkan saya uaaang!!!. 

Lalu lalang pengendara yang melintas tak ada yang saya kenal, sementara anak muda telah hampir merampungkan kerjanya. Saya pun minta diri untuk berkunjung ke counter pulsa berselang tiga ruko dari bengkel. Counter ini biasa saya datangi untuk beli kartu internet atau isi pulsa. 

“Bang, boleh pinjam hape?”, tanya saya menyedihkan.
“Untuk?”, jawab si abang dua anak ini.
Singkat cerita, dengan alur yang sengaja dibuat menyedihkan (eh, sebenarnya emang perih lho), saya berhasil memenangkan hapenya. 

Lama sekali saya memencet tombol angka. Tulis hapus, tulis hapus. Ya Allah, saya kenapa bisa lupa nomor mabro, Andi. 

Lengkap sudah!

Tulis lagi, ah, sepertinya yang tertulis begitu asing dan memang bukan nomor dek Bro. Akhirnya saya telepon ke nomor Ayah dengan perasaan seperti baru habis dilihat doi. Deg-degan mampus. 

Tuuuut.. gak diangkat.. Tuuuuttt..
“Iya, halo. Assalamu’alaikum”, suara dari seberang. Alhamdulillah diangkat, rasanya seperti baru dapat hidayah, kembali ke jalan yang lurus. 

Setelah menjawab salam, saya pun mengenalkan diri. “Yah, ini Eka”, jawab saya berikut penjelasan panjang dimulai dari kronologis cerita, hingga berakhir tragis. Ayah bukan tipe yang bisa diajak ngobrol dalam keadaan panik. Karena dalam situasi harus cepat-cepat, ayah masih bisa menanyakan kenapa? Dimana? Addeeuuh ayah. Elepyu elepyu. Mungkin ayah juga gak kalah paniknya. Tapi ini nelpon pakai hape orang lho, Ayah masih harus dipuaskan rasa penasarannya. Fyuh. Akhirnya nomor mabro pun didapat dari ayah.

Setelah berhasil mengantongi nomor dek Bro, tak kirain penderitaan ini akan segera berakhir. Ternyataaaa..
Dek bro nggak angkat teleponnya pemirsa. Apa gak pura-pura gila aja kita?
Belasan kali ditelpon gak diangkat. Tenggelamkan! Hapenya!

Saya pasrah. Menyerah dan mengembalikan hape pada bapak dua anak ini. Si abang yang sudah bapak-bapak ini agak kasihan nampaknya. Tapi saya sudah keburu pamit kembali ke bengkel. 

Setibanya di bengkel, dengan perasaan dag dig dug, kali ini bagaikan mau jumpa calon mertua. *eh, emang pernah? Hehehe
Ternyata anak muda telah menghilang. Akhirnya saya menghampiri si Bapak.

“Pak”, sapa saya dengan sedikit jeda sembari berpikir, ”lon woe siat jeut? Nyoe na peng bak jaroe siploh ribee sagai.”
“Jeut, tapi keubah hape sebagai jaminan”, kata Bapak.

Rasanya dunia menghitam.

“Tapi Pak, hana lon ba hape, meu dompet hana roh lon ba. Meuhan lon woe ek labi-labi mantong jeut Pak? Lon jak cok peng dilee”, jawab saya pilu.
“Pat rumoh? Biasajih Dek kan, awak nyoe dikeubah hape, KTP, atau STNK. Yang keubah KTP pih jareung dibalek.”

Rasanya ingin pura-pura pingsan
.
Hmm saya sangat mengerti maksud si Bapak. Dan kondisi ini mengingatkan saya akan masa-masa Sahabat Rasulullah. Kapan-kapan lah ya saya ceritakan biar gak panjang kali tulisan ini. 

“Meunyoe meunan, lon woe dilee ek labi-labi. Lon keubah honda disinoe”, jawab saya pasrah. Jadi ceritanya, motor itulah jaminannya. 

Lama si Bapak berpikir, lalu berujar, “Boh ka jak ju ek honda.”

Hah? Hah? Apa? Batin saya girang bukan main. Saya memastikan untuk kedua kalinya. “Butoi Pak? Neu pateh lon kan? Terima kasih Pak beh.”
“Ya ya ya”, jawab si Bapak agak malas,”enteuk terima kasih watee kaleuh jok peng.”

Alamak, antara sedih dan senang deh sayanya. Tapi ya sudahlah. Yang penting si Bapak percaya dan saya tidak mau menyia-nyiakan kepercayaan Bapak ini. 

Dengan kondisi nggak bawa hape, tanda pengenal, dompet, uang cuma sisa sepuluh ribu, motor mendadak wajib masuk bengkel, dan yang diingat cuma nomor hape ayah. Itu rasanya seperti jadi orang paling miskin sedunia.

Tapi saat si Bapak ini menaruh kepercayaannya, percaya kalau saya tidak akan lari dari tanggung jawab membayar biaya perbaikan motor, kok ya rasanya jadi orang kaya ya? *agak lebay memang.
Tapi, bayangkanlah situasinya semenyedihkan itu, biar ngerti. *maksa ^^