Pages

Minggu, 08 Mei 2016

Belajar Syukur dari Hal Kecil



“Cobalah Ka, uang gajian qe, qe kumpulin, trus qe beli hape baru. Kalau kurang, aku sama Nadya yang tambahin”, beber Wana menyarankan.

Alhamdulillah punya teman dermawan. Agaknya saya menjadi pemilik hape paling kuno di kebanyakan kalangan. Bukan Wana namanya jika becanda untuk hal seperti ini. Ucapannya tak perlu disangsikan. Hanya saja, saya merasa akan menjadi sahabat berdalih sebab. Jika hilang penyebabnya, maka hilang pula rasa cinta terhadap sahabat. 

Pun, sama seperti Ayah. Kami memiliki definisi yang sama untuk yang namanya hape. Yang penting bisa sms dan telepon. Mungkin saya punya sedikit penambahan, bisa sms, telepon, dan jepret. 

Tak bisa dipungkiri, saran Wana amatlah menggiurkan. Meski memang, terkadang saya jadi ketinggalan info bersebab teman sering diskusi via WA atau BM yang saya tak punya. Terkadang teman menghubungi saya via chat fb karena biaya sms mahal, apalagi telepon, dan saya membaca chat tersebut berjam-jam kemudian. Walhasil, isi chatnya sudahlah basi. Pernah terbersit untuk memiliki hape keren. Tapi lagi-lagi, saya merasa tidak terlalu butuh, dan memendam hasrat tersebut. 

“Bukannya kalian sering ngeluh ya, jadi ribet gegara banyak bunyi ‘ting-ting’ gitu dari BM dan WA”, saya mencoba ngeles. 

“Kalau itu bisa dimatiin notifnya”, balas Nadya santai.

Gubrak! Jawaban ngeles tidak mempan. Tapi bukan saya namanya jika tak mampu bertahan. 
 
Meski tidak terlalu paham perkara demikian, tapi saya paham, mereka terus menyerang-dalam artian meyakinkan-untuk memiliki hape baru. Tidak perlu mahal, yang penting bisa BM atau WA dan sejenisnya agar mereka mudah menghubungi saya. Pertahanan terakhir yang saya punya adalah mencoba memahamkan mereka yang bahwa saya belum membutuhkan itu semua. 

Saya hanya ingin hidup tenang. Memiliki hape yang alhamdulillah masih layak pakai ini adalah sebuah keberkahan tersendiri. Lagian saya bukanlah orang yang begitu penting yang kehadirannya begitu dinantikan. Tidak juga mempunyai kepentingan bisnis, jual beli online, properti, apalagi relasi orang-orang hebat. Saya hanya masyarakat biasa dari keluarga sederhana yang ingin hidup tenang.

Kalaupun nanti jadi orang nomor wahid, yang kehadirannya dinantikan, ketidakhadirannya dirindukan, itu lain cerita. Maksudnya, nomor wahid bagi suami dan keluarga. Duh! 

Kita sering terjebak dengan pemahaman subjektivitas. Padahal tidaklah bijak mengukur seseorang dengan ukuran baju yang kita punya. Kita memiliki ukuran masing-masing. Tak jarang kita terperangkap dan terlalu mengandalkan perasaan, “Menurutku, itu lebih baik untukmu”. Kita abai dengan apa yang terbaik untuknya, menurutnya. Ketidaksepahaman ini kerap mengundang perpecahan jika tak diselesaikan secara sehat. 

Boleh jadi ungkapan “Perlakukan orang lain seperti orang lain ingin memperlakukanmu”, telah begitu melekat di sebagian kita. Tapi Islam menganjurkan dan memang terlebih afdhal untuk menyenangkan hati tiap-tiap Muslim lainnya. Maka, eloklah jika kita geser sedikit kalimat di atas menjadi “Perlakukan orang lain sebagaimana orang tersebut ingin diperlakukan”. Dengan demikian, ukhuwah terjaga. Saat menyenangkan hati orang lain, percaya atau tidak, kesenangan itu mewabah, dan kita turut pula merasainya.

Jika diizinkan untuk beralasan, maka saya ingin beralasan, “Daripada kalian bantu beli hape baru, belikan saja aku buku, itu jauh lebih membantu.”

Tapi karena berbagai pertimbangan, alasan tersebut hanya bisa diungkapkan disini. Sebab tak ingin memperpanjang debat yang hanya akan berujung ke-saling tidak-enakan diantara kami.  

Memiliki hape yang biasa-biasa saja membuat saya merasa nyaman bergaul dengan kalangan yang juga biasa-biasa saja. Memiliki hape biasa-biasa saja membuat saya mengerti dan menghargai susahnya mengumpulkan pundi-pundi rupiah. 

Saya khawatir, saya bukanlah pribadi yang siap hidup mewah dengan peralatan keren dan serba modern. Untuk hape yang biasa-biasa saja mungkin saya masih bisa merasai dan menikmati indahnya syukur. Tapi bagaimana saat dititipkan hape keren dengan aplikasi terupdate? Boleh jadi, saya akan lalai dan semakin jauh dari tuntunan kewajiban. 

Kekhawatiran ini kian menjadi-jadi, saat kepikiran dengan apa yang akan ditanyakan di hari nanti mengenai pertanggungjawaban, “Untuk apa waktumu kau habiskan dengan menggunakan benda itu?” 

Syukur-syukur kalau seluruh anggota tubuh bisa menjadi saksi pembela. 
Apa jadinya jika mereka kompak mendakwa?

Tangan bersaksi, “Jariku ini kugunakan untuk merayu lawan jenis, menghasut, dan mendebat”. Mata bersaksi, “Mata ini kugunakan untuk mengintip hal-hal yang tak pantas”. Telinga bersaksi, ”Telinga ini bukan kugunakan untuk mendengarkan ayat-ayat suciMu, melainkan untuk mendengarkan postingan yang Kau haramkan”. Belum lagi kaki yang bersaksi kemana melangkah, hati yang bersaksi terhadap panjangnya angan, harap, dan bayang tak halal. Nah, apa gak ngeri?

Tulisan ini murni untuk mengingatkan diri sendiri. Kebanyakan tulisan saya, percayalah, itu ditujukan untuk diri saya sendiri sebagai pengingat agar tidak bablas. Jika bisa diraup kebaikan di dalamnya, Alhamdulillah. Sesungguhnya kebaikan itu berasal dari Allah.

2 komentar:

  1. Assalamualaikum..
    Takdir mungkin yang menemukan saya dengan tulisan ini.
    Jujur saya speechless. Anda hidup di samudra dunia saat ini dan berhasil membangun pertahanan tebal untuk deras nya ombak dan ganas nya fatamorgana dunia. Subhanallah.

    Salam kenal kak.
    Menarik membaca blog anda.

    BalasHapus
  2. Wa'alaikumsalam warahmatullah..
    Terima kasih telah menyelesaikan membaca tulisan sederhana ini. Salam kenal kembali. Semoga bermanfaat dan ada keberkahan di dalamnya.

    BalasHapus