“Cobalah Ka, uang gajian qe, qe
kumpulin, trus qe beli hape baru. Kalau kurang, aku sama Nadya yang tambahin”,
beber Wana menyarankan.
Alhamdulillah punya teman dermawan.
Agaknya saya menjadi pemilik hape paling kuno di kebanyakan kalangan. Bukan
Wana namanya jika becanda untuk hal seperti ini. Ucapannya tak perlu
disangsikan. Hanya saja, saya merasa akan menjadi sahabat berdalih sebab. Jika hilang
penyebabnya, maka hilang pula rasa cinta terhadap sahabat.
Pun, sama seperti Ayah. Kami
memiliki definisi yang sama untuk yang namanya hape. Yang penting bisa sms dan
telepon. Mungkin saya punya sedikit penambahan, bisa sms, telepon, dan jepret.
Tak bisa dipungkiri, saran Wana
amatlah menggiurkan. Meski memang, terkadang saya jadi ketinggalan info
bersebab teman sering diskusi via WA atau BM yang saya tak punya. Terkadang
teman menghubungi saya via chat fb karena biaya sms mahal, apalagi telepon, dan
saya membaca chat tersebut berjam-jam kemudian. Walhasil, isi chatnya sudahlah
basi. Pernah terbersit untuk memiliki hape keren. Tapi lagi-lagi, saya merasa
tidak terlalu butuh, dan memendam hasrat tersebut.
“Bukannya kalian sering ngeluh
ya, jadi ribet gegara banyak bunyi ‘ting-ting’ gitu dari BM dan WA”, saya
mencoba ngeles.
“Kalau itu bisa dimatiin notifnya”,
balas Nadya santai.
Gubrak! Jawaban ngeles tidak
mempan. Tapi bukan saya namanya jika tak mampu bertahan.
Meski tidak terlalu paham perkara
demikian, tapi saya paham, mereka terus menyerang-dalam artian meyakinkan-untuk
memiliki hape baru. Tidak perlu mahal, yang penting bisa BM atau WA dan
sejenisnya agar mereka mudah menghubungi saya. Pertahanan terakhir yang saya
punya adalah mencoba memahamkan mereka yang bahwa saya belum membutuhkan itu
semua.
Saya hanya ingin hidup tenang. Memiliki
hape yang alhamdulillah masih layak pakai ini adalah sebuah keberkahan
tersendiri. Lagian saya bukanlah orang yang begitu penting yang kehadirannya
begitu dinantikan. Tidak juga mempunyai kepentingan bisnis, jual beli online,
properti, apalagi relasi orang-orang hebat. Saya hanya masyarakat biasa dari
keluarga sederhana yang ingin hidup tenang.
Kalaupun nanti jadi orang nomor wahid,
yang kehadirannya dinantikan, ketidakhadirannya dirindukan, itu lain cerita. Maksudnya,
nomor wahid bagi suami dan keluarga. Duh!
Kita sering terjebak dengan
pemahaman subjektivitas. Padahal tidaklah bijak mengukur seseorang dengan
ukuran baju yang kita punya. Kita memiliki ukuran masing-masing. Tak jarang
kita terperangkap dan terlalu mengandalkan perasaan, “Menurutku, itu lebih baik
untukmu”. Kita abai dengan apa yang terbaik untuknya, menurutnya. Ketidaksepahaman
ini kerap mengundang perpecahan jika tak diselesaikan secara sehat.
Boleh jadi ungkapan “Perlakukan
orang lain seperti orang lain ingin memperlakukanmu”, telah begitu melekat di
sebagian kita. Tapi Islam menganjurkan dan memang terlebih afdhal untuk
menyenangkan hati tiap-tiap Muslim lainnya. Maka, eloklah jika kita geser
sedikit kalimat di atas menjadi “Perlakukan orang lain sebagaimana orang
tersebut ingin diperlakukan”. Dengan demikian, ukhuwah terjaga. Saat
menyenangkan hati orang lain, percaya atau tidak, kesenangan itu mewabah, dan
kita turut pula merasainya.
Jika diizinkan untuk beralasan,
maka saya ingin beralasan, “Daripada kalian bantu beli hape baru, belikan saja aku
buku, itu jauh lebih membantu.”
Tapi karena berbagai
pertimbangan, alasan tersebut hanya bisa diungkapkan disini. Sebab tak ingin
memperpanjang debat yang hanya akan berujung ke-saling tidak-enakan diantara
kami.
Memiliki hape yang biasa-biasa
saja membuat saya merasa nyaman bergaul dengan kalangan yang juga biasa-biasa
saja. Memiliki hape biasa-biasa saja membuat saya mengerti dan menghargai
susahnya mengumpulkan pundi-pundi rupiah.
Saya khawatir, saya bukanlah
pribadi yang siap hidup mewah dengan peralatan keren dan serba modern. Untuk hape yang
biasa-biasa saja mungkin saya masih bisa merasai dan menikmati indahnya syukur.
Tapi bagaimana saat dititipkan hape keren dengan aplikasi terupdate? Boleh
jadi, saya akan lalai dan semakin jauh dari tuntunan kewajiban.
Kekhawatiran ini kian
menjadi-jadi, saat kepikiran dengan apa yang akan ditanyakan di hari nanti
mengenai pertanggungjawaban, “Untuk apa waktumu kau habiskan dengan menggunakan
benda itu?”
Syukur-syukur kalau seluruh anggota tubuh bisa menjadi saksi pembela.
Apa jadinya jika mereka kompak mendakwa?
Tangan bersaksi, “Jariku ini kugunakan untuk
merayu lawan jenis, menghasut, dan mendebat”. Mata bersaksi, “Mata ini
kugunakan untuk mengintip hal-hal yang tak pantas”. Telinga bersaksi, ”Telinga
ini bukan kugunakan untuk mendengarkan ayat-ayat suciMu, melainkan untuk
mendengarkan postingan yang Kau haramkan”. Belum lagi kaki yang bersaksi kemana
melangkah, hati yang bersaksi terhadap panjangnya angan, harap, dan bayang tak
halal. Nah, apa gak ngeri?
Tulisan ini murni untuk
mengingatkan diri sendiri. Kebanyakan tulisan saya, percayalah, itu ditujukan
untuk diri saya sendiri sebagai pengingat agar tidak bablas. Jika bisa diraup
kebaikan di dalamnya, Alhamdulillah. Sesungguhnya kebaikan itu berasal dari
Allah.
Assalamualaikum..
BalasHapusTakdir mungkin yang menemukan saya dengan tulisan ini.
Jujur saya speechless. Anda hidup di samudra dunia saat ini dan berhasil membangun pertahanan tebal untuk deras nya ombak dan ganas nya fatamorgana dunia. Subhanallah.
Salam kenal kak.
Menarik membaca blog anda.
Wa'alaikumsalam warahmatullah..
BalasHapusTerima kasih telah menyelesaikan membaca tulisan sederhana ini. Salam kenal kembali. Semoga bermanfaat dan ada keberkahan di dalamnya.