Lelaki ini, yang melalui perantaranya saya mendapatkan banyak ilmu baru, menaiki panggung utama. Sejak dua tahun terakhir,
saya tersihir oleh tiap goresan penanya. Tak hanya ilmu, kita juga akan mampu
mengeruk banyak perbendaharaan kosa kata baru. Sastra menggigit saya menyebutnya.
Jika ditelusuri sejak awal debutnya, takkanlah ia sampai pada titik saat ini.
Tentu akan banyak ketimpangan untuk karya-karya sebelumnya. Namun demikian,
kita tidak bisa begitu saja menampik akan keluasan cakupan ilmu di dalamnya.
Lelaki ini, yang saya
gigih mencari karyanya, menulis kalimat sederhana secara emosional, sehingga
tak jarang saat membaca, saya seolah kehilangan pijakan. Lelaki ini, yang
karyanya begitu menguras keringat untuk dicari kini berada di hadapan para
hadirin. Salim Akhukum Fillah, atau biasa disebut Salim A. Fillah.
Lelaki asal Jogja yang
kerap disapa Ustadz Salim, beberapa Minngu yang lalu mengisi sebuah seminar bedah karya dan pra
nikah. Awalnya saya hanya ingin mengikuti yang kedua, namun urung. Karena
sepertinya saya perlu untuk mengikuti kedua-duanya. Bismillah, saya pun mendaftar
kedua seminar tersebut.
Dari segi substansi,
agaknya saya sependapat dengan apa yang dilontarkan oleh dr. Hendra yang
menjadi pembedah untuk buku ‘Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim’. “Secara
kesehatan,” ujar beliau, “buku ini sangat bergizi.”
Terang saja pernyataan ini
membuat para tamu dan peserta seminar tersenyum simpul tanda setuju. Betapa
tidak, energi yang terpancar dari karyanya ada kalanya mampu menyengat
semangat. Saat hidup terasa menghimpit, kita disuguhkan dengan pemandangan
masa-masa awal penyebaran Islam. Susah yang bertambah-tambah berbanding lurus
dengan semangat dakwah.
Adapun pernyataan yang tak
kalah menggelitik adalah apa yang disampakan Ustadz Fathurrahman yang membedah
buku Lapis-Lapis Keberkahan. “Jika boleh diibaratkan,” demikian terang beliau, “penyuka
mie instan tidak cocok membaca buku ini. Yang suka buru-buru tidak cocok.”
Bukan tanpa alasan, sebab membaca karya beliau tidak bisa dilahap dan dikunyah
begitu saja dalam waktu singkat layaknya mie instan yang hanya bisa menjadi
penunda lapar.
Pelan dan berulang-ulang.
Karena ilmu akan senantiasa menempel dengan adanya pengulangan. Tak perlu
terburu-buru untuk sampai di akhir halaman, karena ini bukanlah novel yang tak
jarang bikin kita penasaran dengan bagaimana endingnya. Hal ini sejalan dengan
apa yang disampaikan Sayyidina Umar ibn Al-Khaththab, “Raihlah ilmu, dan untuk
meraih ilmu, belajarlah untuk tenang dan sabar.”
Teringat apa yang disampaikan Imam Syafi'i saat menanyai gurunya perihal penyebab lemahnya ingatan. “Aku mengadu kepada guruku, Waki’, tentang hafalanku yang kacau. Maka ia menasehatiku agar aku menjauhi kemaksiatan. Ia memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah takkan diberikan kepada pelaku maksiat”.
Cahaya Allah takkan diberikan kepada pelaku maksiat.
Terkadang saya bisa
menghabiskan waktu yang sangat lama untuk menamatkan satu dari sembilan karya
beliau yang saya punya. Bahkan pernah sampai tergeletak begitu saja di tumpukan
buku lainnnya. Rutinitas keseharian lagi-lagi menjadi kambing hitam, hingga
beberapa halaman pun tak terjamah. Ah, diri, maksiat masih betah bersemayam,
sehingga apa yang disampaikan tak begitu saja merasuk dan terekam. Mengulang
dan mengulang lagi. Bagi saya, tak cukup sekali untuk membaca karyanya.
Menginsyafi diri yang
masih sering lena akan dunia, saya kerap memaksa diri untuk tak berlebihan
menggandrungi karya makhluk. Karena sejatinya, hanya Al-Quran lah yang memiliki
sastra agung. Meski saat ini hanya sebatas membaca dan mengulang-ngulang
hafalan yang tak seberapa, tanpa menelisik terjemahan, terlebih tafsirnya.
Ke sembilan buku ini dibubuhi tanda tangan Ustadz Salim. Tapi kok ada produk lain nyempil ya? |
Awalnya,
seusai acara ingin foto bareng Ustadz Salim di atas panggung, ah, tapi foto
bareng beliau bukanlah hal yang terlalu istimewa. Karena yang istimewa itu,
foto bareng kamu di atas pelaminan. Eaaaa
0 komentar:
Posting Komentar