Entah ini surat ke berapa yang
aku layangkan untukmu yang entah siapa. Bukan kuasaku mendefinisikan seperti
apa wujudmu, terlebih namamu. Kucoba merayu-rayu pada Allah Yang Maha Tahu.
Samar. Sosokmu berpendar-pendar.
Untukmu
yang sedang berbenah dan menyiapkan bekal, sama sepertimu, aku pun sedang
berbenah sembari menyiapkan bekal. Bedanya kita, kamu menyiapkan bekal untuk
perjalanan, sementara aku menyiapkan bekal untuk kuberikan padamu kelak saat
kita berjumpa.
Untuk
kau ketahui, aku memang bukan perempuan yang betah berlama-lama di dapur. Aku
tidak pintar memasak. Namun, aku akan berusaha belajar itu semua dari ibu kita,
ibumu dan ibuku. Setidaknya, perutmu akan terisi di setiap pagimu menjelang
mencari nafkah untuk keluarga kita. Saat ini aku hanya menguasai beberapa resep
masakan rumahan standar. Karena aku memiliki keterbatasan dalam menghafal, itu
sebabnya aku suka menulis. Aku punya buku catatan masakan yang resepnya dari
ibuku. Kuharap suatu saat nanti akan dipenuhi dengan lembaran resep dari ibumu.
Jangan
marahi aku, jika suatu waktu kau dapati masakanku tidak selezat masakan ibumu.
Karena itu akan menyakitiku. Tapi jangan pula membohongiku dengan berkata bahwa
masakanku lezat, yang nyatanya tidak. Duhai, mungkin situasi ini sedikit
menyulitkanmu. Namun percayalah, aku akan membantumu melewati kesulitan ini
dengan tidak bertingkah menyebalkan dan merajuk.
Ah
ya, kenapa memasak menjadi begitu penting ya? Ada yang mengatakan kepadaku bahwa dalam Islam, sebenarnya istri tidak
berkewajiban memasak. Hidungku sempat kembang kempis dibuatnya. Tapi kata Mak,
jangan sampai suamimu lebih kangen masakan warung daripada masakanmu. Jadikan masakanmu sebagai bukti cinta dan bakti terhadap suami, meski bukan kewajiban. Aku mulai
khawatir dengan keahlian memasakku. Maka ku putuskan untuk belajar itu semua
dari Mak.
Aku
pun ingin demikian. Kebersamaan bersama keluarga menjadi hal penting. Tak
peduli dimana pun tempatnya, asalkan bersama keluarga. Kamu, adakah kita
sependapat? Jika pun tidak, mari kita saling berdiskusi. Memintaku berpendapat
adalah kesukaanku. Meski boleh jadi, aku akan ikut semua apa katamu. Karena kau
imamnya.
Ketika
kau memiliki kecenderungan terhadapku, mintalah kepada Sang Pemilik agar
ditunjukkan apa-apa yang tak mampu terindra olehmu. Aku pun demikian. Aku khawatir,
setan tak henti-hentinya menghiasi diri yang penuh aib hingga terlihat begitu
indah di indra. Karena bahkan salahku pun bisa menjadi keindahan yang
termaafkan oleh sebab dekorasi apik setan.
Maka
mari kita menanyai hati, ini cinta atau nafsu?
Jika
cinta, mari kita menghadap Sang Pemilik Cinta agar dimudahkan jalan kita. Jika
pun nafsu, setidaknya kita telah bermuhasabah dan tidak bablas dalam
merayakannya.
Kita
tidak perlu saling menunggu bukan? Karena jika memang itu kamu, kuharap Tuhan
akan memantapkan hatimu untuk menuju kediamanku, dan membuatku ridha akan
ketetapanNya.
Saat
kamu memintaku menjadi pendamping hidupmu, saat itulah aku memohon kepada Tuhan
agar tidak memalingkanmu jika mendapati diriku yang penuh aib ini.
Untukmu
yang sedang dalam perjalanan, sudah sampai dimanakah engkau? Adakah rintangan
saat menjemputku? Kudoakan kau agar tak tersesat.
0 komentar:
Posting Komentar