Pages

Senin, 23 Mei 2016

Kepada Pengembara



Entah ini surat ke berapa yang aku layangkan untukmu yang entah siapa. Bukan kuasaku mendefinisikan seperti apa wujudmu, terlebih namamu. Kucoba merayu-rayu pada Allah Yang Maha Tahu. Samar. Sosokmu berpendar-pendar. 

Untukmu yang sedang berbenah dan menyiapkan bekal, sama sepertimu, aku pun sedang berbenah sembari menyiapkan bekal. Bedanya kita, kamu menyiapkan bekal untuk perjalanan, sementara aku menyiapkan bekal untuk kuberikan padamu kelak saat kita berjumpa. 

Untuk kau ketahui, aku memang bukan perempuan yang betah berlama-lama di dapur. Aku tidak pintar memasak. Namun, aku akan berusaha belajar itu semua dari ibu kita, ibumu dan ibuku. Setidaknya, perutmu akan terisi di setiap pagimu menjelang mencari nafkah untuk keluarga kita. Saat ini aku hanya menguasai beberapa resep masakan rumahan standar. Karena aku memiliki keterbatasan dalam menghafal, itu sebabnya aku suka menulis. Aku punya buku catatan masakan yang resepnya dari ibuku. Kuharap suatu saat nanti akan dipenuhi dengan lembaran resep dari ibumu.

Jangan marahi aku, jika suatu waktu kau dapati masakanku tidak selezat masakan ibumu. Karena itu akan menyakitiku. Tapi jangan pula membohongiku dengan berkata bahwa masakanku lezat, yang nyatanya tidak. Duhai, mungkin situasi ini sedikit menyulitkanmu. Namun percayalah, aku akan membantumu melewati kesulitan ini dengan tidak bertingkah menyebalkan dan merajuk.

Ah ya, kenapa memasak menjadi begitu penting ya? Ada yang mengatakan kepadaku bahwa dalam Islam, sebenarnya istri tidak berkewajiban memasak. Hidungku sempat kembang kempis dibuatnya. Tapi kata Mak, jangan sampai suamimu lebih kangen masakan warung daripada masakanmu. Jadikan masakanmu sebagai bukti cinta dan bakti terhadap suami, meski bukan kewajiban. Aku mulai khawatir dengan keahlian memasakku. Maka ku putuskan untuk belajar itu semua dari Mak.  

Ayahku tidak suka makan di warung. Ayah lebih suka makan di rumah. Jika pun Mak tidak memasak, Ayah akan mengutus kami membeli makan di luar, entah itu bakso, mie, sate, atau apapun, lalu dibawa pulang ke rumah. Bagi Ayah, makan di rumah tak kalah menyenangkan dibandingkan dengan makan di restoran megah. Karena ada Mak. 
 
Aku pun ingin demikian. Kebersamaan bersama keluarga menjadi hal penting. Tak peduli dimana pun tempatnya, asalkan bersama keluarga. Kamu, adakah kita sependapat? Jika pun tidak, mari kita saling berdiskusi. Memintaku berpendapat adalah kesukaanku. Meski boleh jadi, aku akan ikut semua apa katamu. Karena kau imamnya. 

Ketika kau memiliki kecenderungan terhadapku, mintalah kepada Sang Pemilik agar ditunjukkan apa-apa yang tak mampu terindra olehmu. Aku pun demikian. Aku khawatir, setan tak henti-hentinya menghiasi diri yang penuh aib hingga terlihat begitu indah di indra. Karena bahkan salahku pun bisa menjadi keindahan yang termaafkan oleh sebab dekorasi apik setan. 

Maka mari kita menanyai hati, ini cinta atau nafsu?

Jika cinta, mari kita menghadap Sang Pemilik Cinta agar dimudahkan jalan kita. Jika pun nafsu, setidaknya kita telah bermuhasabah dan tidak bablas dalam merayakannya. 

Kita tidak perlu saling menunggu bukan? Karena jika memang itu kamu, kuharap Tuhan akan memantapkan hatimu untuk menuju kediamanku, dan membuatku ridha akan ketetapanNya.

Saat kamu memintaku menjadi pendamping hidupmu, saat itulah aku memohon kepada Tuhan agar tidak memalingkanmu jika mendapati diriku yang penuh aib ini.

Untukmu yang sedang dalam perjalanan, sudah sampai dimanakah engkau? Adakah rintangan saat menjemputku? Kudoakan kau agar tak tersesat.

0 komentar:

Posting Komentar