“Ayah,
ayah, ayah, adek kan sudah dapat rangking 1 di kelas. Kenapa uang jajan adek
cuma nambah seribu? Sementara abang yang cuma dapat juara 3, uang jajannya
lebih banyak”, rengek Andi sambil tangan kirinya menarik ujung kemeja ayahnya,
sementara tangan kanannya menunjuk-nunjuk sembarangan ke arah Yoga, abangnya
yang berusia 4 tahun di atasnya.
Bocah
berusia 10 tahun ini selalu menghiasi pagi Rahmat dengan rengekannya pasal uang
jajan sekolah. Sementara yang ditunjuk, hanya mesem-mesem sambil mengikat tali
sepatu tanpa mempedulikan rengekan si adik. Kemudian bangkit dan santai menuju
parkiran mobil setelah memplitiri rambut keriting Andi sambil menjulurkan
lidah. Membuat wajah Andi semakin tidak simetris dan berantakan. Andi tidak
habis pikir, kenapa ayah begitu tidak adil kepadanya.
Pagi itu, seperti pagi
biasanya, Rahmat sendiri yang menyiapkan sarapan bagi kedua malaikat kecilnya
sebelum mengantar anak-anak ke sekolah dan bergegas memutar kemudi menuju
kantor.
“Sudahlah,
Nak. Ayah buru-buru. Ayo bergegas naik ke mobil. Nanti malam mau mendengar
cerita baru dari Ayah?”, rayu Rahmat kepada si bungsu yang sedari tadi tidak
siap-siap mengikat tali sepatu.
“Mau, mau”, angguk Andi cepat-cepat. Membuat
rambut keritingnya bergerak melambai-lambai diterpa angin.
Trik
ini selalu berhasil mengalahkan rengekan si kecil di samping tawaran membeli es
krim. Meski masih memasang wajah masam, air muka nya sedikit berubah ketika
mendapati tawaran itu.
“Ya
sudahlah, awas Bang ya. Adek gak mau tidur sama abang nanti malam. Adek mau
tidur sama Ayah aja, mau dengar cerita dari Ayah, enak lagi. Ayo yah, kita
berangkat.” Seketika wajahnya langsung ceria kembali dan melupakan kejadian
na’as pagi itu. Permintaannya lagi-lagi ditolak.
Andi
dan Yoga adalah sepasang adik abang buah cinta pernikahan Rahmat dan Shazia 15
tahun silam. Menyaksikan anak-anak tumbuh menjadi anak-anak yang cerdas
merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Rahmat. Tapi tidak bagi Shazia. Kanker
telah membuatnya menjemput takdirnya lebih awal sebelum sempat menyaksikan si
bungsu merangkak. Dari sinilah awal cerita ini dimulai.
Frustrasi.
Tidak ada kata yang lebih tepat untuk menggambarkan kehidupan Rahmat yang
semrawut kala itu. Kerjaan di kantor selalu molor dari deadline. Rumah
berantakan. Anak tidak terurus. Kerjaannya melamun sepanjang hari. Tak ada lagi
canda tawa di rumah minimalis yang dibangun dari jerih payahnya selama bekerja.
Rumah idaman, kelak di dalamnya mereka bisa melihat anak-anak tumbuh besar,
merangkak, berlari, jatuh, lalu bangun dan berlari lagi. Tak ada lagi mimpi
indah itu. Tak ada lagi gelak canda tawa, apalagi cekikikan.
Baiklah,
kondisi tubuhnya memang sehat. Tapi tidak bagi mental dan jiwanya. Jiwanya
berguncang hebat. Mengetahui kondisi Rahmat yang begitu memprihatinkan, sebagai
seorang ibu sekaligus nenek bagi cucu-cucunya, segala urusan rumah tangga
berpindah tangan ke ibunya.
Sampai
suatu ketika Arif berkunjung ke kediamannya sembari membawa mainan
mobil-mobilan untuk Yoga yang saat itu masih berusia 6 tahun. Menjadi rekan
sejawat selama hampir lebih dari 5 tahun, membuat keakraban Arif dan Rahmat
menjadi begitu kentara. Dari Arif lah akhirnya Rahmat bangkit dari
keterpurukannya setelah shock dan tak terima begitu saja kepergian istrinya.
“Setiap
senyuman dari bayimu merupakan momen yang boleh jadi akan kau rindukan dalam
waktu jangka panjang. Jangan menyesal hanya karena kamu membuang percuma
kesempatan melihat pertumbuhan si kecil.”
Rahmat
terperangah mendengarkan komentar Arif yang tak sengaja menyentuh sisi terdalam
hatinya. Selama ini ia menganggap dirinyalah yang paling menyedihkan dan
melupakan anak-anak.
“Ah,
bicara kau ini, seakan kau telah punya banyak pengalaman dengan anak-anak”,
sahut Rahmat sambil menyikut siku sahabatnya.
“Memang
aku belum menikah, Mat. Tapi urusan anak-anak, bertanyalah kepadaku. Aku banyak
belajar dari Siti. Guru TK yang dulu pernah kuceritakan. Bulan depan insya
allah aku akan segera menemui orang tuanga.”
“Alamak,
serius kau?”, Rahmat terkejut dan langsung loncat memeluk tubuh Arif.
Rahmat
tak menyangka sahabatnya akan segera melepas masa lajangnya dan melabuhkan hati
pada Siti, seorang guru TK.
“Lalu
bagaimana denganmu? Masih mau menjalani rutinitas begini-begini saja?”, tanya
Arif sambil menunjuk asbak rokok yang saban hari menjadi teman dekat Rahmat.
Demi
memperbaiki kondisi, Rahmat memutuskan mengambil cuti untuk beberapa bulan demi
menjaga Andi yang saat itu masih berusia 3 bulan.
“Aku
harus menjaga anak-anakku. Mereka lebih membutuhkanku daripada tumpukan
file-file itu. Tolong kamu handdle.
Aku mempercayakanmu untuk urusan lembaran-lembaran itu. Aku sangat membutuhkan
pertolonganmu, teman”, ucap Rahmat sambil menerawang ke langit-langit.
Langit
yang cerah. Secerah hati Rahmat saat itu.
“Baiklah,
kamu tenang saja. Aku akan mengurusi semuanya”, jawab Arif mantap.
***
“Yah,
ayah mau cerita apa malam ini?”, tanya Andi menagih janji Rahmat pagi tadi.
(Bersambung)