Pages

Sabtu, 31 Mei 2014

Kata Ayah Tentang Adil


“Ayah, ayah, ayah, adek kan sudah dapat rangking 1 di kelas. Kenapa uang jajan adek cuma nambah seribu? Sementara abang yang cuma dapat juara 3, uang jajannya lebih banyak”, rengek Andi sambil tangan kirinya menarik ujung kemeja ayahnya, sementara tangan kanannya menunjuk-nunjuk sembarangan ke arah Yoga, abangnya yang berusia 4 tahun di atasnya.

Bocah berusia 10 tahun ini selalu menghiasi pagi Rahmat dengan rengekannya pasal uang jajan sekolah. Sementara yang ditunjuk, hanya mesem-mesem sambil mengikat tali sepatu tanpa mempedulikan rengekan si adik. Kemudian bangkit dan santai menuju parkiran mobil setelah memplitiri rambut keriting Andi sambil menjulurkan lidah. Membuat wajah Andi semakin tidak simetris dan berantakan. Andi tidak habis pikir, kenapa ayah begitu tidak adil kepadanya. 

Pagi itu, seperti pagi biasanya, Rahmat sendiri yang menyiapkan sarapan bagi kedua malaikat kecilnya sebelum mengantar anak-anak ke sekolah dan bergegas memutar kemudi menuju kantor.

“Sudahlah, Nak. Ayah buru-buru. Ayo bergegas naik ke mobil. Nanti malam mau mendengar cerita baru dari Ayah?”, rayu Rahmat kepada si bungsu yang sedari tadi tidak siap-siap mengikat tali sepatu. 

“Mau, mau”, angguk Andi cepat-cepat. Membuat rambut keritingnya bergerak melambai-lambai diterpa angin.

Trik ini selalu berhasil mengalahkan rengekan si kecil di samping tawaran membeli es krim. Meski masih memasang wajah masam, air muka nya sedikit berubah ketika mendapati tawaran itu.

“Ya sudahlah, awas Bang ya. Adek gak mau tidur sama abang nanti malam. Adek mau tidur sama Ayah aja, mau dengar cerita dari Ayah, enak lagi. Ayo yah, kita berangkat.” Seketika wajahnya langsung ceria kembali dan melupakan kejadian na’as pagi itu. Permintaannya lagi-lagi ditolak.

Andi dan Yoga adalah sepasang adik abang buah cinta pernikahan Rahmat dan Shazia 15 tahun silam. Menyaksikan anak-anak tumbuh menjadi anak-anak yang cerdas merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Rahmat. Tapi tidak bagi Shazia. Kanker telah membuatnya menjemput takdirnya lebih awal sebelum sempat menyaksikan si bungsu merangkak. Dari sinilah awal cerita ini dimulai.

Frustrasi. Tidak ada kata yang lebih tepat untuk menggambarkan kehidupan Rahmat yang semrawut kala itu. Kerjaan di kantor selalu molor dari deadline. Rumah berantakan. Anak tidak terurus. Kerjaannya melamun sepanjang hari. Tak ada lagi canda tawa di rumah minimalis yang dibangun dari jerih payahnya selama bekerja. Rumah idaman, kelak di dalamnya mereka bisa melihat anak-anak tumbuh besar, merangkak, berlari, jatuh, lalu bangun dan berlari lagi. Tak ada lagi mimpi indah itu. Tak ada lagi gelak canda tawa, apalagi cekikikan.

Baiklah, kondisi tubuhnya memang sehat. Tapi tidak bagi mental dan jiwanya. Jiwanya berguncang hebat. Mengetahui kondisi Rahmat yang begitu memprihatinkan, sebagai seorang ibu sekaligus nenek bagi cucu-cucunya, segala urusan rumah tangga berpindah tangan ke ibunya.

Sampai suatu ketika Arif berkunjung ke kediamannya sembari membawa mainan mobil-mobilan untuk Yoga yang saat itu masih berusia 6 tahun. Menjadi rekan sejawat selama hampir lebih dari 5 tahun, membuat keakraban Arif dan Rahmat menjadi begitu kentara. Dari Arif lah akhirnya Rahmat bangkit dari keterpurukannya setelah shock dan tak terima begitu saja kepergian istrinya.

“Setiap senyuman dari bayimu merupakan momen yang boleh jadi akan kau rindukan dalam waktu jangka panjang. Jangan menyesal hanya karena kamu membuang percuma kesempatan melihat pertumbuhan si kecil.”

Rahmat terperangah mendengarkan komentar Arif yang tak sengaja menyentuh sisi terdalam hatinya. Selama ini ia menganggap dirinyalah yang paling menyedihkan dan melupakan anak-anak.

“Ah, bicara kau ini, seakan kau telah punya banyak pengalaman dengan anak-anak”, sahut Rahmat sambil menyikut siku sahabatnya.

“Memang aku belum menikah, Mat. Tapi urusan anak-anak, bertanyalah kepadaku. Aku banyak belajar dari Siti. Guru TK yang dulu pernah kuceritakan. Bulan depan insya allah aku akan segera menemui orang tuanga.”

“Alamak, serius kau?”, Rahmat terkejut dan langsung loncat memeluk tubuh Arif.
Rahmat tak menyangka sahabatnya akan segera melepas masa lajangnya dan melabuhkan hati pada Siti, seorang guru TK.

“Lalu bagaimana denganmu? Masih mau menjalani rutinitas begini-begini saja?”, tanya Arif sambil menunjuk asbak rokok yang saban hari menjadi teman dekat Rahmat.

Demi memperbaiki kondisi, Rahmat memutuskan mengambil cuti untuk beberapa bulan demi menjaga Andi yang saat itu masih berusia 3 bulan.

“Aku harus menjaga anak-anakku. Mereka lebih membutuhkanku daripada tumpukan file-file itu. Tolong kamu handdle. Aku mempercayakanmu untuk urusan lembaran-lembaran itu. Aku sangat membutuhkan pertolonganmu, teman”, ucap Rahmat sambil menerawang ke langit-langit.

Langit yang cerah. Secerah hati Rahmat saat itu.

“Baiklah, kamu tenang saja. Aku akan mengurusi semuanya”, jawab Arif mantap.

***
“Yah, ayah mau cerita apa malam ini?”, tanya Andi menagih janji Rahmat pagi tadi.

(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar