Pages

Kamis, 12 November 2015

Seorang Gadis dan Penjaga Perpus

Kalau dalam persamaan matematikanya, menunggu = bosan. Bosan = mati karier. Maka saya putuskan untuk beranjak ke pustaka FKIP sekalian mengembalikan buku yang beberapa waktu lalu saya pinjam. Kabar buruknya, alamat kena denda nih. Soalnya, sudah melewati batas pengembalian. Kabar baiknya, itu dia, dendanya belum seberapa. Masih sangguplah diri ini menanggung.

Nah, saat mengantri mengembalikan buku, di depan saya ada seorang gadis. Usianya, sepantaran saya lah. Dia baru saja menyerahkan kartu perpustakaan kepada penjaga perpus yang mengontrol pengembalian buku berikut dengan bukunya. Momen ini tidak bisa tidak saya rekam dan simpan. Pasalnya, ada dialog menarik antara si gadis dan penjaga perpustakaannya.

“Kapan kamu pinjam buku ini?”, tanya penjaga pustaka mengawali percakapan. Tangannya masih lincah memainkan tuts komputer untuk melacak tanggal peminjaman dan tanggal seharusnya buku dikembalikan. Namun terlihat sedikit kerutan di keningnya saat menatap layar komputer, menandakan ada hal yang ganjil.

Si gadis tak langsung menjawab. Entah lah. Besar dugaan, dia kebingungan, karena biasanya jika memang telah melewati batas pengembalian, penjaga perpus langsung menyebutkan berapa jumlah nominal yang harus kita tanggung. Lha ini? Kok tanya kami pulak?

Menyadari situasi tak biasa ini, si gadis pun melongok ke komputer. Saya juga penasaran dan ikut melirik. Meski saya tak begitu mengerti. Karena ada beberapa tabel yang tak tau juga maksudnya apa. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak melirik lagi.

Memang, mata ini akhirnya urung melirik, namun tidak dengan telinga. Telinga ini tidak bisa tidak mendengar. Karena jarak obrolan hanya beberapa senti di depan saya. Menyimak percakapan mereka, akhirnya saya tau ternyata di komputer kakak pustaka tak tersimpan tanggal si gadis meminjam buku. Kok bisa?

Menyadari keteledorannya, kakak ini pun berujar ,”Ya udah, Dek, gak apa”, seraya tangannya menyilakan si gadis untuk bergeser agar antrian yang keburu panjang bisa segera dilayani. Alhamdulillah (dalam hati). Sekarang giliran saya. Namun, ternyata….

Si gadis tak bergeser semili pun. Saya mulai heran dan memperhatikan antrian yang bertambah beberapa baris hingga si kakak menegaskan,”Mau kembalikan buku kan? Udah, gak apa”, jawab kakak perpus dengan senyuman yang tidak dibuat-buat, seraya tangannya masih sama, menyilakan si gadis untuk bergeser agar pengantri berikutnya lebih leluasa. Hey, itu aku, gadis pengantri berikutnya.

 “Tapi di belakang buku ini kan ada tertera tanggal pengembaliannya, Kak”, ujar gadis tadi. Ya ampun, baiklah, saya akan menyimak kembali obrolan ini.

“Hmm… 20 Oktober yaaa”, gumam kakak perpus yang dapat didengar oleh kami bertiga. Saya, si gadis, dan kakak itu sendiri.

“Sekarang tanggaaaal…”, ujar kakak ini sambil menatap loteng,”12 November. Berarti udah sekitar 20 hari. Ya udah 10 ribu, Dek”. Kesimpulan pun didapat. 10 ribu, jumlah nominal yang harus si gadis bayar untuk keterlambatannya mengembalikan buku.

Setelah membayar, baru lah gadis ini beranjak masuk dan bertebaran di dalam pustaka untuk selanjutnya, entahlah apa yang dicarinya. Mungkin nasibnya sama seperti saya, mencari buku untuk keperluan skripsi. Atau mungkin lebih baik? Masih semester 6 atau 7, entahlah.

Satu hal yang pasti, saya kagum dengan keteguhannya untuk membayar denda atas keterlambatannya memulangkan buku. Padahal kakak pustaka jelas telah menyilakan ia pergi tanpa harus membayar satu sen pun. Karena ini (boleh jadi) keteledorannya saat menginput data. Tapi yang terjadi, di luar dugaan.

Kejujuran seperti ini tidak serta merta ada dan terjadi kapan saja, karena ia nya butuh proses panjang sehingga terbentuklah pribadi seperti ini.

Ingin sekali rasanya berkenalan dengan orang tuanya, siapa tahu punya anak laki-laki yang masih lajang, daaan ah ya, bukan itu maksudnya. Kalian asik mikir itu aja. Malas lii ada. :v