Kalau dalam persamaan matematikanya,
menunggu = bosan. Bosan = mati karier. Maka saya putuskan untuk beranjak ke
pustaka FKIP sekalian mengembalikan buku yang beberapa waktu lalu saya pinjam.
Kabar buruknya, alamat kena denda nih. Soalnya, sudah melewati batas
pengembalian. Kabar baiknya, itu dia, dendanya belum seberapa. Masih sangguplah
diri ini menanggung.
Nah, saat mengantri mengembalikan buku, di
depan saya ada seorang gadis. Usianya, sepantaran saya lah. Dia baru saja
menyerahkan kartu perpustakaan kepada penjaga perpus yang mengontrol
pengembalian buku berikut dengan bukunya. Momen ini tidak bisa tidak saya rekam
dan simpan. Pasalnya, ada dialog menarik antara si gadis dan penjaga
perpustakaannya.
“Kapan kamu pinjam buku ini?”, tanya
penjaga pustaka mengawali percakapan. Tangannya masih lincah memainkan tuts
komputer untuk melacak tanggal peminjaman dan tanggal seharusnya buku
dikembalikan. Namun terlihat sedikit kerutan di keningnya saat menatap layar
komputer, menandakan ada hal yang ganjil.
Si gadis tak langsung menjawab. Entah lah.
Besar dugaan, dia kebingungan, karena biasanya jika memang telah melewati batas
pengembalian, penjaga perpus langsung menyebutkan berapa jumlah nominal yang
harus kita tanggung. Lha ini? Kok tanya kami pulak?
Menyadari situasi tak biasa ini, si gadis
pun melongok ke komputer. Saya juga penasaran dan ikut melirik. Meski saya tak
begitu mengerti. Karena ada beberapa tabel yang tak tau juga maksudnya apa.
Akhirnya saya memutuskan untuk tidak melirik lagi.
Memang, mata ini akhirnya urung melirik,
namun tidak dengan telinga. Telinga ini tidak bisa tidak mendengar. Karena
jarak obrolan hanya beberapa senti di depan saya. Menyimak percakapan mereka,
akhirnya saya tau ternyata di komputer kakak pustaka tak tersimpan tanggal si
gadis meminjam buku. Kok bisa?
Menyadari keteledorannya, kakak ini pun
berujar ,”Ya udah, Dek, gak apa”, seraya tangannya menyilakan si gadis untuk
bergeser agar antrian yang keburu panjang bisa segera dilayani. Alhamdulillah (dalam
hati). Sekarang giliran saya. Namun, ternyata….
Si gadis tak bergeser semili pun. Saya
mulai heran dan memperhatikan antrian yang bertambah beberapa baris hingga si
kakak menegaskan,”Mau kembalikan buku kan? Udah, gak apa”, jawab kakak perpus
dengan senyuman yang tidak dibuat-buat, seraya tangannya masih sama, menyilakan
si gadis untuk bergeser agar pengantri berikutnya lebih leluasa. Hey, itu aku,
gadis pengantri berikutnya.
“Tapi di belakang buku ini kan ada tertera
tanggal pengembaliannya, Kak”, ujar gadis tadi. Ya ampun, baiklah, saya akan
menyimak kembali obrolan ini.
“Hmm… 20 Oktober yaaa”, gumam kakak perpus
yang dapat didengar oleh kami bertiga. Saya, si gadis, dan kakak itu sendiri.
“Sekarang tanggaaaal…”, ujar kakak ini
sambil menatap loteng,”12 November. Berarti udah sekitar 20 hari. Ya udah 10
ribu, Dek”. Kesimpulan pun didapat. 10 ribu, jumlah nominal yang harus si gadis
bayar untuk keterlambatannya mengembalikan buku.
Setelah membayar, baru lah gadis ini
beranjak masuk dan bertebaran di dalam pustaka untuk selanjutnya, entahlah apa
yang dicarinya. Mungkin nasibnya sama seperti saya, mencari buku untuk
keperluan skripsi. Atau mungkin lebih baik? Masih semester 6 atau 7, entahlah.
Satu hal yang pasti, saya kagum dengan
keteguhannya untuk membayar denda atas keterlambatannya memulangkan buku.
Padahal kakak pustaka jelas telah menyilakan ia pergi tanpa harus membayar satu
sen pun. Karena ini (boleh jadi) keteledorannya saat menginput data. Tapi yang
terjadi, di luar dugaan.
Kejujuran seperti ini tidak serta merta ada
dan terjadi kapan saja, karena ia nya butuh proses panjang sehingga
terbentuklah pribadi seperti ini.