Seharusnya ia dibayar sepuluh
ribu untuk perjalanannya mendayung untuk jarak sekian, namun pemuda murah hati
itu malah memberinya seratus ribu tanpa mengharapkan kembalian. Bagi tukang becak,
ini adalah hari yang penuh berkah. Biasanya membawa pulang tak kurang dari lima
puluh ribu setiap harinya, hari ini ia mampu mengantongi lebih dari seratus
ribu.
Di sisi lain, seorang pebisnis
masih merasa tak puas dengan rumah mewah, mobil mentereng, dan uang segepok.
Alasannya, karena ia belum lagi mampu membeli Lambhorgini.
Itulah mengapa ada ujian bagi si
kaya dan si miskin.
Adakah syukur dan sabar kian bertambah-tambah?
Syukur saat lapang, dan sabar di
kala sempit. Bagi tukang becak, lima puluh ribu sehari pun sudah cukup untuk
memenuhi kebutuhan keluarga perharinya. Bagi pebisnis, harta melimpahnya masih
belum cukup untuk membuatnya merasa puas.
Ketika cukup lebih baik daripada
banyak.
Syukur dan sabar menjadi dua hal
yang tak terpisahkan. Seperti kata Umar ibn Al-Khaththab,“Bila sabar dan syukur
itu adalah dua kendaraan (menuju surga), saya tidak peduli mana di antara
keduanya yang harus saya tunggangi”.
Beberapa waktu yang lalu syukur
dan sabar berkelindan dalam keseharian saya. Uang dari orang tua dan gaji yang tak
seberapa dari hasil mengajar bagi saya telah cukup. Untuk seorang diri, malah lebih.
Maka tak heran, beberapa kali tabungan yang harusnya benar-benar ditabung itu
malah terkuras untuk memborong buku.
Suatu hari seorang teman menawarkan
untuk mengajar di sebuah bimbel baru di sebuah kampus swasta. Tentunya untuk
mengajar Matematika. Alhamdulillah, kali ini saya kembali diuji dengan sebuah
kelapangan rezeki. Namun selang sehari kemudian, saya mendapati sms permintaan
maaf. Ternyata untuk Matematika, lowongannya telah terisi.
Ujian sabar pun digelar.
Saya menatap nanar sms itu
seketika. Namun, awang-awang saya mengirim sinyal, “Tanpa pekerjaan itu juga
sebelumnya kamu tidak kekurangan apa-apa. Kenapa mesti sedih?”
Iya juga ya. Nah, Ikhlas dalam
praktiknya ternyata cukup sulit. Namun bukan berarti tidak bisa. Ia akan
menjadi tidak bisa saat kita memutuskan untuk berhenti mencoba. Well yeah,
setidaknya, saya hanya butuh konsentrasi kembali ke tugas akhir dan mengajar
privat.
Tak dinyana, dua hari kemudian,
saya kembali mendapat kabar gembira. Meski kursi Matematika telah diisi, kursi
TPA (Tes Potensi Akademik) masih kosong. Teman yang tadi, kembali menghubungi
saya untuk mengisi kekosongan kursi tersebut. Awalnya saya ragu, karena saya
belum punya pengalaman mengajar TPA. Namun saya kembali berpikir, jika
selamanya berdalih tak punya pengalaman, kapan saya akan berani mencoba?
Mungkin Allah masih menurunkan rezekiNya melalui jalan ini. Alhamdulillah,
syukur kian bertambah-tambah.
Oke done. Saya pun menerima tawaran
mengajar TPA. Pengalaman menyejarah, karena ini kali pertama saya akan mengajar
TPA. Bagi saya, ini tak terlalu sulit, karena ada matematikanya juga. Tapi
sedikit goyang saat mencoba menjawab soal verbalnya. Pilihan jawaban yang
tersedia sukses mengecoh saya. Pusing aneuk gadih dibuatnya.
Sempat terbersit, apakah ini buah
dari pohon-pohon keikhlasan? Saat saya ikhlas melepaskan, Allah malah
menurunkan rezeki yang tak disangka-sangka dari arah yang tak terduga. Ketika
pikiran ini merasuk, saya dilibas petuah menarik dari sebuah buku yang sedang saya baca:
Jika kau
merasa besar, periksa hatimu
Mungkin
ia sedang bengkak
Jika kau
merasa suci, periksa jiwamu
Mungkin itu
putihnya nanah dari luka nurani
Jika kau
merasa wangi, periksa batinmu
Mungkin ia
sedang melayang kehilangan pijakan
Jika kau
merasa wangi, periksa ikhlasmu
Mungkin itu
asap dari amal shalihmu yang dibakar riya’
'Pintu' saya kembali
diketuk oleh petuah
yang begitu menyentak-nyentak batin, menghentak-hentak nurani.