Pages

Selasa, 19 April 2016

Ketika Cukup Lebih Baik Daripada Banyak

Seharusnya ia dibayar sepuluh ribu untuk perjalanannya mendayung untuk jarak sekian, namun pemuda murah hati itu malah memberinya seratus ribu tanpa mengharapkan kembalian. Bagi tukang becak, ini adalah hari yang penuh berkah. Biasanya membawa pulang tak kurang dari lima puluh ribu setiap harinya, hari ini ia mampu mengantongi lebih dari seratus ribu. 

Di sisi lain, seorang pebisnis masih merasa tak puas dengan rumah mewah, mobil mentereng, dan uang segepok. Alasannya, karena ia belum lagi mampu membeli Lambhorgini.

Itulah mengapa ada ujian bagi si kaya dan si miskin. 
Adakah syukur dan sabar kian bertambah-tambah? 

Syukur saat lapang, dan sabar di kala sempit. Bagi tukang becak, lima puluh ribu sehari pun sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga perharinya. Bagi pebisnis, harta melimpahnya masih belum cukup untuk membuatnya merasa puas. 

Ketika cukup lebih baik daripada banyak. 

Syukur dan sabar menjadi dua hal yang tak terpisahkan. Seperti kata Umar ibn Al-Khaththab,“Bila sabar dan syukur itu adalah dua kendaraan (menuju surga), saya tidak peduli mana di antara keduanya yang harus saya tunggangi”.

Beberapa waktu yang lalu syukur dan sabar berkelindan dalam keseharian saya. Uang dari orang tua dan gaji yang tak seberapa dari hasil mengajar bagi saya telah cukup. Untuk seorang diri, malah lebih. Maka tak heran, beberapa kali tabungan yang harusnya benar-benar ditabung itu malah terkuras untuk memborong buku.

Suatu hari seorang teman menawarkan untuk mengajar di sebuah bimbel baru di sebuah kampus swasta. Tentunya untuk mengajar Matematika. Alhamdulillah, kali ini saya kembali diuji dengan sebuah kelapangan rezeki. Namun selang sehari kemudian, saya mendapati sms permintaan maaf. Ternyata untuk Matematika, lowongannya telah terisi. 

Ujian sabar pun digelar. 

Saya menatap nanar sms itu seketika. Namun, awang-awang saya mengirim sinyal, “Tanpa pekerjaan itu juga sebelumnya kamu tidak kekurangan apa-apa. Kenapa mesti sedih?”

Iya juga ya. Nah, Ikhlas dalam praktiknya ternyata cukup sulit. Namun bukan berarti tidak bisa. Ia akan menjadi tidak bisa saat kita memutuskan untuk berhenti mencoba. Well yeah, setidaknya, saya hanya butuh konsentrasi kembali ke tugas akhir dan mengajar privat. 

Tak dinyana, dua hari kemudian, saya kembali mendapat kabar gembira. Meski kursi Matematika telah diisi, kursi TPA (Tes Potensi Akademik) masih kosong. Teman yang tadi, kembali menghubungi saya untuk mengisi kekosongan kursi tersebut. Awalnya saya ragu, karena saya belum punya pengalaman mengajar TPA. Namun saya kembali berpikir, jika selamanya berdalih tak punya pengalaman, kapan saya akan berani mencoba? Mungkin Allah masih menurunkan rezekiNya melalui jalan ini. Alhamdulillah, syukur kian bertambah-tambah. 

Oke done. Saya pun menerima tawaran mengajar TPA. Pengalaman menyejarah, karena ini kali pertama saya akan mengajar TPA. Bagi saya, ini tak terlalu sulit, karena ada matematikanya juga. Tapi sedikit goyang saat mencoba menjawab soal verbalnya. Pilihan jawaban yang tersedia sukses mengecoh saya. Pusing aneuk gadih dibuatnya. 

Sempat terbersit, apakah ini buah dari pohon-pohon keikhlasan? Saat saya ikhlas melepaskan, Allah malah menurunkan rezeki yang tak disangka-sangka dari arah yang tak terduga. Ketika pikiran ini merasuk, saya dilibas petuah menarik dari sebuah buku yang sedang saya baca:
 
Jika kau merasa besar, periksa hatimu
Mungkin ia sedang bengkak
Jika kau merasa suci, periksa jiwamu
Mungkin itu putihnya nanah dari luka nurani
Jika kau merasa wangi, periksa batinmu
Mungkin ia sedang melayang kehilangan pijakan
Jika kau merasa wangi, periksa ikhlasmu
Mungkin itu asap dari amal shalihmu yang dibakar riya’
 
'Pintu' saya kembali diketuk oleh petuah yang begitu menyentak-nyentak batin, menghentak-hentak nurani.



Senin, 18 April 2016

Kepada Dek Bro, Andi.



Sewaktu kecil, ia pernah bercita-cita menjadi supir bus. Alasannya, agar cewek-cewek cantik disandingkan di sampingnya, sedangkan yang sudah tua duduk di belakang saja. Sempat juga mengusir seekor kambing yang memasuki halaman rumah nenek. Sialnya, kambing itu bukannya berlarian, malah menyeruduknya hingga jatuh terduduk beralaskan tanah. Meski tangisnya meraung-raung sambil mengacak-acak tanah, alih-alih menenangkan dan membantunya berdiri, Mak dan Ayah malah menikmati sekali momen itu. Begitu juga dengan saya. Parahnya, saya seperti membawa mati cerita-cerita konyolnya. Mana tau bisa dijadikan kartu as. Keh keh keh. 

Muntah saat mencium bau kentut, bukan barang langka di rumah kami sejak ia kecil. Sok jagoan. Kami mulai melabeli ia demikian. Tidak hanya merasa perkasa saat mengusir kambing, ia juga merasa gagah saat mengusir kawanan serangga merah yang menghuni pohon jambu di depan rumah kami. Bermodalkan sebatang ranting kayu, ia mulai menghajar serangga-serangga itu hingga tak sadar serangga telah lebih dulu menyerang kaki kecilnya. Tidak bisa tidak, senjata pamungkas terakhir yang ia pamerkan adalah menangis dan berlarian ke dalam rumah.


Dibandingkan saudara yang lainnya, boleh jadi, ia menjadi sosok anak yang mengalami kurangnya kasih sayang. Betapa tidak, terhitung umurnya masih berbilang bulan, Mak sudah hamil lagi. Akibatnya ia lebih sering diasuh oleh nenek. Maka tak jarang, kami sering merecokinya dengan sebutan anak nenek. Hehe, tapi itu dulu. Masa-masa berantam dengan saudara masih menjadi rutinitas jam-an. Maksudnya, tiap jam nya ada saja hal yang kami ributkan. 

Suatu hari Mak pernah menyuruhnya membeli garam di kios bang Samsir dekat rumah. Walhasil, ia pulang dengan tangan kosong. Katanya, “Mak, bang Samsir bilang garam nggak ada, adanya sira.”

Meledaklah ketawa seisi rumah. Terang saja, sira dan garam itu kan sama saja. Hanya saja sira adalah sebutan untuk garam dalam bahasa Aceh. Menyadari ia telah dikerjai bang Samsir, ia tak lagi mau balik ke kios itu untuk memenuhi belanjaan Mak. Bukannya tak mampu menguasai bahasa Aceh, hanya saja saat itu ia masih kesulitan membedakan garam dan gula dalam bahasa Aceh. Masing sering tertukar-tukar. Ia mengira sira yang disebut bang Samsir adalah gula. 

Lagi, Mak tak pernah kapok meminta tolong ia untuk memenuhi keperluan Mak berbelanja. Kali ini Mak memintanya untuk membeli –kami menyebutnya— blau. Blau adalah sejenis pewarna pakaian berwarna biru. Biasanya pakaian berwarna putih, jika setelah dicuci, dicelupkan, dan direndam beberapa saat dengan blau ini, maka pakaian yang semula terlihat tua, akan kembali mentereng seperti pakaian baru. Uang telah dikantongi, ia pun bersiap ke kios Kak Fitri. Trauma membuat ia tak lagi-lagi ke kios bang Samsir. 

“Blau itu yang warnanya biru, Mak, kan? Kalau gak ada yang warna biru kek mana?”, tanyanya sebelum meninggalkan rumah. “Kalau gak ada biru, kuning pun jadi”, jawab Mak asal. Mak menduga ia becanda, karena memang sudah tabiatnya tidak bisa serius. 

Setibanya di rumah, ia pun meletakkan belanjaan di atas kulkas. 
Kejadian berikutnya adalah,

 “AAANDIII....!!!”

Rumah geger. Ah, itu suara Mak. Ada apa ini?
 
Kami yang sedang bermain kelereng di halaman, berhamburan ke dalam rumah dan mendapati Mak sedang memegang bungkusan kecil, berisi serbuk berwana kuning. Teriakan Mak yang sebenarnya hanya didengar oleh kami saja itu, disela dengan tawa-tawa ringan sambil menepuk-nepuk paha. Saya yang menyaksikan adegan itu pun tak bisa diam, malah ikut menertawakan Andi. 

“Hai, kah meusapeu hana keumah lagoe. Mak geuyu bloe blau, kon gincu“, cecarku sebagai anak tertua yang selalunya hanya bisa protes. Kan anak pertama. Xixixixi

“Kan Mak yang peugah, meunyoe hana yang biru, bloe yang kuneng”, bantahnya mengutip ulang apa yang disampaikan Mak. 

“Iya, tapi Mamak gak nyangka kalau Abang betulan gak tau kalau blau itu ya cuma warna biru. Yang warna kuning itu gincu”, jawab Mak patah-patah menengahi kami karena masih belum bisa menahan gelak. 

“Njeh, gak mau lagi Abang balek ke kios tu. Suruh Yoga aja yang beli”, jawabnya merajuk.
Begitulah tabiatnya. Pantang bolak balik ke kios. Apalagi setelah salah membeli pesanan Mak. Walhasil, Mak membiarkan kami melanjutkan bermain kelereng dan pergi sendiri ke kios Kak Fitri yang hanya berselang tiga rumah dari rumah kami. 

“Fitri, Andi tadi beli blau ya? Tapi kok yang dibawa pulang gincu?”, tanya Mak penuh selidik. 

“Oh, jadi tadi dia betulan mau beli blau? Fitri kira dia mau beli gincu. Karena dia bilangnya, “Kak Fitri, ada blau? Kata Makak, kalau gak ada yang warna biru, yang kuning juga boleh”. Fitri kiranya, mungkin dia mau beli gincu tapi bilangnya blau. Makanya Fitri kasih yang warna kuning”, beber kak Fitri menjelaskan. Sama halnya seperti di rumah tadi, kios Kak Fitri pun tak sepi oleh gelak tawa. 

Sejak saat itu, Mak tak lagi becanda jika menyuruh Andi beli sesuatu. Karena akibatnya bisa fatal. Ia akan merekam dan menyimpan rapat apa yang dipesan Mak, terlepas apakah Mak hanya becanda atau serius. Meski sering salah membeli barang belanjaan yang dipesan Mak, Mak tetap saja menyuruhnya untuk berbelanja. Hingga pada suatu hari ia pernah protes, “Kalau pergi jalan-jalan, sama Kak Eka, giliran suruh belanja, sama Abang”. Saya yang mendengar ucapan bernada protes itu pun menimpali, “Emangnya kamu mau dipanggil anak Mamak?”.

Kejadian berikutnya bisa ditebak. “Mana sandal Eka?”, tanya saya panik pada Mak. “Hom, hom”, jawab Andi. Sudah diduga, ia pasti akan menyembunyikan sandal saya. Huft! Tak jarang, kadang sandal saya mendarat manis di bawah pohon mangga. Karena kesal, ia sering melempar-lempar sandal. Ah, saya juga sering seperti itu dulu kalau kesal. Wkwkwkwk.  

Siapa sangka, kanak-kanak yang dulunya doyan marah-marah, konyol, dan susah diandalkan itu, kini telah berinjak usia 22 tahun dan akan menjadi seorang sarjana hukum. Sebuah gelar yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh seorang pemuda yang pernah bercita-cita menjadi supir bus dan hobi nangis ini. 

Kepada dek bro, barakallah. Semoga di usia yang tak lagi meremaja ini, sikapmu juga ikut dewasa dan matang. Maaf, harus mengeluarkan kartu as terlalu cepat. Tapi tenang, masih banyak kartu as yang belum tertuliskan. Hohohohoho.. kok isinya kartu as semua ya? Hmmm, alasannya, karena menulis yang baik-baik udah terlalu mainstream. ^_^

Tertanda,
Kakak sweet kakak

Selasa, 12 April 2016

Mak, Anakmu Diprospek!

Tau kan ya tulisan ini akan mengarah kemana. 
 

Wokkeh, sebelum masuk ke inti cerita, mari saya ceritakan sedikit kenapa saya bisa sampai diprospek. Jadi, hari ini seperti biasa, saya kembali mengajar. Selepas Ashar, saya langsung tancap gas menuju TKP. Pukul enam sore harusnya saya sudah boleh pulang, karena belajar mengajarnya selesai pukul enam. Nah, disinilah awal mulanya saya tertahan sekitar dua puluh menit. Dua puluh menit, gaes. Bayangkan!! Bukan waktu yang sedikit untuk berusaha bersikap normal. 

Adalah seorang ibu yang ingin menjemput anaknya yang sedang les. Saya yang masih duduk di kawasan TKP, jadilah mangsa segar (barangkali memang mahasiswa terlihat lebih greget buat direkrut). Sebenarnya saya gak nyaman diprospek. Tapi si ibu kok ya gak nangkap ya kalau saya nggak tertarik. Hmm, saya mesti berlatih lagi buat pasang muka nolak, gak enak, dan tegas. Susah, gaeeesss.. heuheuheu *nangis bombay
Si ibu kemudian menjelaskan mengenai keunggulan produknya, apa yang harus saya lakukan jika saya sudah bergabung, menjadi member dan merekrut member-member baru. Sebelas dua belas lah ya dengan produk-produk lainnya dengan sistem kerja piramida. 

Lalu saya tanyakan, “MLM ya, Bu?”

Si Ibu langsung memperbaiki posisi duduknya. Entah ia mengira saya mulai tertarik atau merasa grogi dengan pertanyaan ini. Wallahu a’lam. “Iya, MLM. Tapi ini berbasis syari’ah, Dek!”, tegasnya. 

Saya hanya mengangguk-angguk saja, sesekali saya sela dengan ooo, senyum, angguk-angguk lagi, dan sesekali hanya hmmm, sembari bersandar di kursi. Secara teori, jika seseorang tertarik dengan lawan bicara, tubuhnya refleks akan condong ke depan, mereka tidak akan hanya menjawab dengan ooo, senyum, angguk-angguk. Atau teori yang saya dapat selama ini keliru? Makanya si ibu nggak ngeh dengan perilaku yang saya tunjukkan. *Bukti nyata nggak selamanya teori selalu benar, gaes. 

Sebenarnya ingin menyela, “Maaf Ibu saya sudah ada janji. Ini juga sudah mau Maghrib takutnya nanti Maghrib masih di jalanan. Saya permisi ya, Bu”, dengan langsung mengambil tas, starter motor, dan tancap, tanpa peduli ibu ini mau ngomong apalagi. Tapi apa daya, lidah ini kelu, gaes. Nggak tega rasanya menyela si ibu yang semangat empat lima ngeprospek saya. 

Ini bukan kali pertama saya diprospek dan memaksa telinga mendengar dan wajah dipasang seramah mungkin, biar nggak kelihatan kurang sopannya. Dalam hati dan pikiran terus mensugesti “Ini bukan hipnotis, ini bukan hipnotis. Ayolah Helka, tetap fokus dan sadar. Kamu bisa. Kamu tidak akan dihipnotis!”

Bukan apa-apa nih, gaes. Soalnya dulu saya malah sempat ikut pertemuan rutin sebuah produk MLM gegara gak enakan tadi. Pertama dan terakhir deh, gak lagi-lagi sayanya. Ikut pertemuan itu gegara mikir teman sih. Huft! Malah dulu saya sempat mengira, ah, mungkinkah saya telah dihipnotis? xixixixi *kadang saya suka aneh-aneh mikirnya.

Menariknya, antusias para member ini jempol. Saya yang terpaksa ikut ini sedikit kikuk dengan suasana yang penuh semangat. Satu hal yang menarik bagi saya ya cuma bagian itu. Lainnya saya langsung menutup diri. Teringat pesan ayah, “Apapun itu yang berkenaan dengan MLM, jangan sekali-kali ikut bergabung”. 
Siap papah!!! :)

Saya pegang teguh pesan ini. Maka jika harus berhadapan dengan member berbagai produk, saya hanya berusaha bersikap normal saja. Nggak kelihatan tertarik, nggak juga berusaha menjatuhkan semangat teman-teman member MLM apapun produknya. Namanya juga usaha, hargai sajalah. Selagi tidak ada unsur memaksa, akan saya apresiasi. Meski sedikit tersiksa, karena harus akting dan menipu diri sendiri. 

Satu hal lagi yang membuat MLM kurang berkenan di hati adalah karena ada pendapat Fiqih Modern yang mengatakan MLM haram hukumnya. Meski ada basis syariahnya, tapi saya masih meragukan. Pun masih kurang referensi bacaan dan ilmu. Akhirnya saya putuskan untuk terus mengingat pesan ayah dan menghindari perkara yang bikin syakwasangka. 

“Jangan lupa ya, Dek, hari Minggu. Ajak teman-teman mahasiswanya yang lain. Nanti mereka bisa di bawah kamu”, tutup si ibu dengan antusias. 

Saya : zzzzzzzzzzzzzzzzzz

Yang belum pura-pura gila aja. -_-