Pages

Sabtu, 09 April 2016

Kamu, Jadilah Apa Saja. Asalkan....

Mak pernah menasihati, saat beniat berbuat kebaikan, maka jangan lagi lihat kiri kanan. Maju terus. Abaikan suara-suara sumbang jika tak ingin mengatakan hantam saja. Seorang teman juga pernah berpesan, jika niat baik telah tertanam, maka tumbuhkan, jangan ditunda-tunda. Dalam redaksi yang lebih baik, bersegeralah dalam berbuat kebaikan. Agaknya saya pernah mendapati kalimat seperti ini. Entah penggalan terjemah Al-Quran, entah hadist, entah kutipan para shahabat rasulullah saw. Ketidaktajaman ingatan membuat saya lupa. 

Sewaktu kecil,  Ayah sering berpesan-sampai sekarang juga masih sering-, kamu, jadilah apa saja. Asalkan beriman. Mau jadi dokter? Jadilah dokter yang beriman. Jangan pernah menipu pasien dengan biaya berobat selangit. Mau jadi polisi? Jadilah polisi yang beriman, yang tidak menakuti, pun tidak mendzalimi. Mau jadi hakim, pengacara? Jadilah beriman. Meski tantangan akan terasa lebih keras, karena boleh jadi kamu akan menerima banyak guncangan saat kamu berpihak pada yang benar. Pun demikian, jadilah pengacara, atau hakim yang benar. Mau jadi guru? Guru yang beriman. Benar-benar mendidik, dan tidak pernah putus asa bilamana siswa yang kamu ajarkan tak pedulikan kamu. Bagaimanapun, tetaplah jadi guru beriman, yang tak lupa akan sumpahnya. 
  
Jadilah apa saja, asalkan beriman. Sekalipun pedagang. Ah, bukankah rasulullah saw. juga berdagang? Maka, bukan sekalipun, karena kata sekalipun akan bernada merendahkan. Jadilah pedagang yang tidak mengharap laba terlalu besar. Patuhi pedoman agama kita. Jangan sekali-kali mengurangi takaran, untuk meroketkan harga. Sehebat apapun kamu, tak akan bernilai jika iman telah kamu gadai.
 
Usia saya saat itu sekitar sebelas tahun, kiranya kelas lima SD. Setahun sebelumnya, untuk pertama kalinya kami belajar bahasa Inggris di sekolah. Pada saat pembagian rapor, nilai bahasa Inggris saya enam. Kontras sekali dengan nilai yang lainnya. Mak dan Ayah gencar mencarikan les bahasa Inggris buat saya. Alhamdulillah nilai untuk semester selanjutnya berangsur membaik dan tidak lagi buat mata pedih saat melihat nilai rapor. 

Untuk pendidikan, Mak dan Ayah tidak tanggung-tanggung. Selalu ada waktu untuk kami. Bahkan Ayah, sebelum memutuskan keluar dari pekerjaannya yang dianggap prestise bagi sebagian kalangan, sempat-sempatnya menjemput saya sekolah sore dengan seragam kerjanya. Saya selalu senang melihat keberadaan Ayah saat memperhatikan saya belajar di sekolah bersama teman-teman. Pandangan dan senyum Ayah selalu menjadi pemantik semangat. Menyalakan sumbu-sumbu kegerahan bermain.

Bahkan tak jarang Mak dan Ayah memeriksa buku pelajaran saya sepulang sekolah. Saat kelas satu SD, untuk pelajaran Matematika saya sering mendapatkan nilai telur. Ah, saya sendiri tak terlalu berminat untuk mencoba mengerti apa maksudnya. Namun malamnya, Ayah akan mengeluarkan papan tulis dan spidol dan mulai mengajari saya. 

Titik-titik ditambah lima sama dengan tujuh. Berapa kita isi titik-titiknya? Ini caranya seperti ini, dan bla bla bla.
Kalau dua ditambah titik-titik sama dengan delapan. Caranya seperti ini, dan bla bla bla. 

Demikian Ayah memulai ajarannya.

Besoknya saya sudah pulang dengan hasil 80. Alhamdulillah. Mak Ayah senang, meski tidak sempurna 100. 

Kemudian muncullah simbol – (dalam Matematika mengindikasikan pengurangan). Kembali nilai 20 yang saya dapatkan untuk sepuluh soal. Itupun nilai 20 berkat keberuntungan barangkali karena saya pun tak paham kenapa bisa demikian. 

Masih dengan metode yang sama, malamnya Ayah langsung mengeluarkan papan tulis dan juga spidol.  Jika saya sudah kelihatan menguap dan mengantuk, suara Ayah kian membesar. Kami, saya dan adik-adik saya, tidak ada yang berani dengan Ayah. Cukup sekali perintah, kami harus sudah mengerti dan melaksanakan. Karena jika tidak, kami akan didiamkan seharian. Untuk minta uang jajan saja tidak berani. Didikan Ayah merupakan didikan yang jika tidak ingin menyebutnya ala-ala militer. Mungkin karena metode ini juga yang buat saya kelihatan-padahal gak juga-lebih unggul di pelajaran Matematika dibanding teman-teman. 

Bersama Mak, kami masih suka main-main. Mak marah pun kami tidak pernah takut. Ah, mengingat saat itu, aduhai nakal sekali kami ini. 

Usia saya saat itu sebelas tahun. Saat Ayah tiba-tiba mengajak berbincang serius. Jadilah apa saja, asalkan beriman. Dulu saya masih sering ngelendot di pangkuan Ayah saat Ayah tilawah Al-Quran selepas Maghrib. Sekarang? Tidak mungkin lagi, saatnya saya yang dilendoti oleh anak-anak. Haa? Anak-anak?

Surat pendek yang sering Ayah bacakan saat mengimami salat jamaah di rumah adalah surat Ad-Dhuha. Usia saya saat itu kisaran 6 tahun. Peralihan siswa TK. Masih imut-imutnya. Belum pun mengaji Quran besar. Kami menyebut Quran besar jika sudah tamat Iqra’ satu sampai enam. Usia saya enam tahun. Tapi saya sudah mampu menghafal surat Ad-Dhuha akibat seringnya Ayah mengulang-ulang surat tersebut. Maka saat kelas tiga SD dan sudah mampu mengaji Al-Quran, saya mendapati surat Ad-Dhuha. Saya hanya perlu membenarkan makhrajil hurufnya, karena untuk panjang pendeknya, telah terbantukan dengan hafalan Ayah, ditambah irama khasnya. 

Usia saya sebelas tahun, saat saya pertama kali diajak berdiskusi untuk satu keputusan besar terkait karier Ayah. Berbagai lembaran berisikan materai (saat itu saya belum tahu kalau itu materai), ditunjukkan. Ayah lebih sering berdiskusi dengan Mak, sedang saya hanya memeriksa, lebih tepatnya mengamati tumpukan berkas-berkas Ayah. Yang saya ingat, Ayah pernah bertanya, “Gimana? Boleh Ayah keluar?”

Saya yang masih kecil (kelas lima SD masih kecil kan) hanya bisa berujar, “Kalau Ayah keluar, Ayah mau kerja apa?” Pantaskah seorang gadis kecil berbicara seperti itu? Entahlah, tapi saya hanya mengulang pertanyaan Emak. Saya kurang paham situasinya, tapi yang saya rasakan ada getir di ujung getar. Ada hawa-hawa mendung menyelimuti rumah kecil Mak dan Ayah. 

Usia saya sebelas tahun, saat Ayah tengah dilanda keputusan keluar atau tetap bertahan dengan pekerjaannya, saya malah merengek minta pindah rumah ke kompleks tempat Ayah bekerja. Yang saya tahu sekali waktu berkunjung kesana, kompleksnya bersih, orangnya juga bersih-bersih. Sekolahnya terkenal dan seragamnya tidak sekadar merah putih seperti sekolah kami. Bahkan teman kerja Ayah, ramai yang membujuk Ayah untuk pindah saja ke kompleks daripada harus berkendaraan sejak Subuh sekitar satu jam dari Bireuen menuju lokasi kerja dan tiba di rumah seringnya menjelang Maghrib. Ayah punya alasannya sendiri. Sekali waktu saya pernah tidak sengaja mendengar perbincangan Ayah dan temannya terkait keinginan saya pindah ke kompleks, bersekolah dan bersaing dengan siswa kompleks tempat kerja Ayah.

“Saya tidak mau suasana di kompleks akan berpengaruh buruk. Dengan beragam fasilitas yang disediakan, saya khawatir anak dan istri akan terbiasa hidup mewah dan merasa terpelanting, tidak sanggup hidup susah jika saya nanti sudah tak lagi bekerja. Biarlah kami tinggal di rumah yang panas ini dan cukup merasakan angin dari kipas angin saja. Saya pikir itu lebih baik bagi kami.”

Usia saya sebelas tahun, saat saya mendengar penjelasan Ayah pada temannya. Saya menangkap kesederhanaan dalam memilih gaya hidup dari Ayah. Sejak saat itu, saya tak lagi merengek untuk minta pindah ke kompleks. Karena yang saya butuhkan adalah penjelasan. Dan saya telah menemukannya. 

Dibandingkan anak teman-temannya yang bergaya high class, anak Ayah memang tidak ada apa-apanya. Tapi Ayah akan selalu membanggakan kami di depan teman-temannya. Ah, Mungkin setiap Ayah juga akan seperti itu. 

Usia saya sebelas tahun, saat Ayah mengatakan jadilah apa saja, asalkan beriman. Yang saya tahu iman itu artinya percaya. Rukun iman ada enam. Kata iman memang begitu dekat bagi saya karena di sekolah sering dibahas dan diulang-ulang oleh guru agama. Namun saya tidak begitu paham, untuk jadi apapun kenapa harus beriman. Ah, Ayah memang hobi sekali berbicara, yang kami harus menangkap sendiri maksudnya. 

Jadilah apa saja, asalkan beriman. Sampai saat ini saya belum pernah lagi menanyakan perihal itu pada Ayah. Cukuplah waktu yang mendewasakan pemahaman.  






0 komentar:

Posting Komentar