Mak pernah menasihati, saat
beniat berbuat kebaikan, maka jangan lagi lihat kiri kanan. Maju terus. Abaikan
suara-suara sumbang jika tak ingin mengatakan hantam saja. Seorang teman juga
pernah berpesan, jika niat baik telah tertanam, maka tumbuhkan, jangan
ditunda-tunda. Dalam redaksi yang lebih baik, bersegeralah dalam berbuat
kebaikan. Agaknya saya pernah mendapati kalimat seperti ini. Entah penggalan
terjemah Al-Quran, entah hadist, entah kutipan para shahabat rasulullah saw.
Ketidaktajaman ingatan membuat saya lupa.
Sewaktu kecil, Ayah sering berpesan-sampai sekarang juga
masih sering-, kamu, jadilah apa saja. Asalkan beriman. Mau jadi dokter?
Jadilah dokter yang beriman. Jangan pernah menipu pasien dengan biaya berobat
selangit. Mau jadi polisi? Jadilah polisi yang beriman, yang tidak menakuti, pun
tidak mendzalimi. Mau jadi hakim, pengacara? Jadilah beriman. Meski tantangan
akan terasa lebih keras, karena boleh jadi kamu akan menerima banyak guncangan
saat kamu berpihak pada yang benar. Pun demikian, jadilah pengacara, atau hakim
yang benar. Mau jadi guru? Guru yang beriman. Benar-benar mendidik, dan tidak
pernah putus asa bilamana siswa yang kamu ajarkan tak pedulikan kamu.
Bagaimanapun, tetaplah jadi guru beriman, yang tak lupa akan sumpahnya.
Jadilah apa saja, asalkan
beriman. Sekalipun pedagang. Ah, bukankah rasulullah saw. juga berdagang? Maka,
bukan sekalipun, karena kata sekalipun akan bernada merendahkan. Jadilah
pedagang yang tidak mengharap laba terlalu besar. Patuhi pedoman agama kita.
Jangan sekali-kali mengurangi takaran, untuk meroketkan harga. Sehebat apapun
kamu, tak akan bernilai jika iman telah kamu gadai.
Usia saya saat itu sekitar
sebelas tahun, kiranya kelas lima SD. Setahun sebelumnya, untuk pertama kalinya
kami belajar bahasa Inggris di sekolah. Pada saat pembagian rapor, nilai bahasa
Inggris saya enam. Kontras sekali dengan nilai yang lainnya. Mak dan Ayah gencar
mencarikan les bahasa Inggris buat saya. Alhamdulillah nilai untuk semester
selanjutnya berangsur membaik dan tidak lagi buat mata pedih saat melihat nilai
rapor.
Untuk pendidikan, Mak dan Ayah
tidak tanggung-tanggung. Selalu ada waktu untuk kami. Bahkan Ayah, sebelum
memutuskan keluar dari pekerjaannya yang dianggap prestise bagi sebagian
kalangan, sempat-sempatnya menjemput saya sekolah sore dengan seragam kerjanya.
Saya selalu senang melihat keberadaan Ayah saat memperhatikan saya belajar di
sekolah bersama teman-teman. Pandangan dan senyum Ayah selalu menjadi pemantik
semangat. Menyalakan sumbu-sumbu kegerahan bermain.
Bahkan tak jarang Mak dan Ayah
memeriksa buku pelajaran saya sepulang sekolah. Saat kelas satu SD, untuk pelajaran
Matematika saya sering mendapatkan nilai telur. Ah, saya sendiri tak terlalu
berminat untuk mencoba mengerti apa maksudnya. Namun malamnya, Ayah akan mengeluarkan
papan tulis dan spidol dan mulai mengajari saya.
Titik-titik
ditambah lima sama dengan tujuh. Berapa kita isi titik-titiknya? Ini caranya
seperti ini, dan bla bla bla.
Kalau
dua ditambah titik-titik sama dengan delapan. Caranya seperti ini, dan bla bla
bla.
Demikian Ayah memulai ajarannya.
Besoknya saya sudah pulang dengan
hasil 80. Alhamdulillah. Mak Ayah senang, meski tidak sempurna 100.
Kemudian muncullah simbol –
(dalam Matematika mengindikasikan pengurangan). Kembali nilai 20 yang saya
dapatkan untuk sepuluh soal. Itupun nilai 20 berkat keberuntungan barangkali
karena saya pun tak paham kenapa bisa demikian.
Masih dengan metode yang sama,
malamnya Ayah langsung mengeluarkan papan tulis dan juga spidol. Jika saya sudah kelihatan menguap dan
mengantuk, suara Ayah kian membesar. Kami, saya dan adik-adik saya, tidak ada
yang berani dengan Ayah. Cukup sekali perintah, kami harus sudah mengerti dan
melaksanakan. Karena jika tidak, kami akan didiamkan seharian. Untuk minta uang
jajan saja tidak berani. Didikan Ayah merupakan didikan yang jika tidak ingin
menyebutnya ala-ala militer. Mungkin karena metode ini juga yang buat saya kelihatan-padahal
gak juga-lebih unggul di pelajaran Matematika dibanding teman-teman.
Bersama Mak, kami masih suka
main-main. Mak marah pun kami tidak pernah takut. Ah, mengingat saat itu,
aduhai nakal sekali kami ini.
Usia saya saat itu sebelas tahun.
Saat Ayah tiba-tiba mengajak berbincang serius. Jadilah apa saja, asalkan
beriman. Dulu saya masih sering ngelendot di pangkuan Ayah saat Ayah tilawah
Al-Quran selepas Maghrib. Sekarang? Tidak mungkin lagi, saatnya saya yang dilendoti
oleh anak-anak. Haa? Anak-anak?
Surat pendek yang sering Ayah
bacakan saat mengimami salat jamaah di rumah adalah surat Ad-Dhuha. Usia saya
saat itu kisaran 6 tahun. Peralihan siswa TK. Masih imut-imutnya. Belum pun
mengaji Quran besar. Kami menyebut Quran besar jika sudah tamat Iqra’ satu
sampai enam. Usia saya enam tahun. Tapi saya sudah mampu menghafal surat Ad-Dhuha
akibat seringnya Ayah mengulang-ulang surat tersebut. Maka saat kelas tiga SD
dan sudah mampu mengaji Al-Quran, saya mendapati surat Ad-Dhuha. Saya hanya perlu
membenarkan makhrajil hurufnya, karena untuk panjang pendeknya, telah terbantukan
dengan hafalan Ayah, ditambah irama khasnya.
Usia saya sebelas tahun, saat
saya pertama kali diajak berdiskusi untuk satu keputusan besar terkait karier Ayah.
Berbagai lembaran berisikan materai (saat itu saya belum tahu kalau itu
materai), ditunjukkan. Ayah lebih sering berdiskusi dengan Mak, sedang saya
hanya memeriksa, lebih tepatnya mengamati tumpukan berkas-berkas Ayah. Yang
saya ingat, Ayah pernah bertanya, “Gimana? Boleh Ayah keluar?”
Saya yang masih kecil (kelas lima
SD masih kecil kan) hanya bisa berujar, “Kalau Ayah keluar, Ayah mau kerja
apa?” Pantaskah seorang gadis kecil berbicara seperti itu? Entahlah, tapi saya
hanya mengulang pertanyaan Emak. Saya kurang paham situasinya, tapi yang saya
rasakan ada getir di ujung getar. Ada hawa-hawa mendung menyelimuti rumah kecil
Mak dan Ayah.
Usia saya sebelas tahun, saat Ayah
tengah dilanda keputusan keluar atau tetap bertahan dengan pekerjaannya, saya malah
merengek minta pindah rumah ke kompleks tempat Ayah bekerja. Yang saya tahu sekali
waktu berkunjung kesana, kompleksnya bersih, orangnya juga bersih-bersih. Sekolahnya
terkenal dan seragamnya tidak sekadar merah putih seperti sekolah kami. Bahkan
teman kerja Ayah, ramai yang membujuk Ayah untuk pindah saja ke kompleks
daripada harus berkendaraan sejak Subuh sekitar satu jam dari Bireuen menuju lokasi
kerja dan tiba di rumah seringnya menjelang Maghrib. Ayah punya alasannya
sendiri. Sekali waktu saya pernah tidak sengaja mendengar perbincangan Ayah dan
temannya terkait keinginan saya pindah ke kompleks, bersekolah dan bersaing
dengan siswa kompleks tempat kerja Ayah.
“Saya tidak mau suasana di
kompleks akan berpengaruh buruk. Dengan beragam fasilitas yang disediakan, saya
khawatir anak dan istri akan terbiasa hidup mewah dan merasa terpelanting,
tidak sanggup hidup susah jika saya nanti sudah tak lagi bekerja. Biarlah kami tinggal
di rumah yang panas ini dan cukup merasakan angin dari kipas angin saja. Saya
pikir itu lebih baik bagi kami.”
Usia saya sebelas tahun, saat
saya mendengar penjelasan Ayah pada temannya. Saya menangkap kesederhanaan
dalam memilih gaya hidup dari Ayah. Sejak saat itu, saya tak lagi merengek
untuk minta pindah ke kompleks. Karena yang saya butuhkan adalah penjelasan.
Dan saya telah menemukannya.
Dibandingkan anak teman-temannya
yang bergaya high class, anak Ayah
memang tidak ada apa-apanya. Tapi Ayah akan selalu membanggakan kami di depan
teman-temannya. Ah, Mungkin setiap Ayah juga akan seperti itu.
Usia saya sebelas tahun, saat Ayah
mengatakan jadilah apa saja, asalkan beriman. Yang saya tahu iman itu artinya
percaya. Rukun iman ada enam. Kata iman memang begitu dekat bagi saya karena di
sekolah sering dibahas dan diulang-ulang oleh guru agama. Namun saya tidak
begitu paham, untuk jadi apapun kenapa harus beriman. Ah, Ayah memang hobi sekali
berbicara, yang kami harus menangkap sendiri maksudnya.
Jadilah apa saja, asalkan
beriman. Sampai saat ini saya belum pernah lagi menanyakan perihal itu pada
Ayah. Cukuplah waktu yang mendewasakan pemahaman.
0 komentar:
Posting Komentar