Sewaktu kecil, ia pernah
bercita-cita menjadi supir bus. Alasannya, agar cewek-cewek cantik disandingkan
di sampingnya, sedangkan yang sudah tua duduk di belakang saja. Sempat juga mengusir
seekor kambing yang memasuki halaman rumah nenek. Sialnya, kambing itu bukannya
berlarian, malah menyeruduknya hingga jatuh terduduk beralaskan tanah. Meski tangisnya
meraung-raung sambil mengacak-acak tanah, alih-alih menenangkan dan membantunya
berdiri, Mak dan Ayah malah menikmati sekali momen itu. Begitu juga dengan
saya. Parahnya, saya seperti membawa mati cerita-cerita konyolnya. Mana tau
bisa dijadikan kartu as. Keh keh keh.
Muntah saat mencium bau kentut,
bukan barang langka di rumah kami sejak ia kecil. Sok jagoan. Kami mulai
melabeli ia demikian. Tidak hanya merasa perkasa saat mengusir kambing, ia juga
merasa gagah saat mengusir kawanan serangga merah yang menghuni pohon jambu di
depan rumah kami. Bermodalkan sebatang ranting kayu, ia mulai menghajar serangga-serangga
itu hingga tak sadar serangga telah lebih dulu menyerang kaki kecilnya. Tidak
bisa tidak, senjata pamungkas terakhir yang ia pamerkan adalah menangis dan
berlarian ke dalam rumah.
Dibandingkan saudara yang
lainnya, boleh jadi, ia menjadi sosok anak yang mengalami kurangnya kasih
sayang. Betapa tidak, terhitung umurnya masih berbilang bulan, Mak sudah hamil
lagi. Akibatnya ia lebih sering diasuh oleh nenek. Maka tak jarang, kami sering
merecokinya dengan sebutan anak nenek. Hehe, tapi itu dulu. Masa-masa berantam
dengan saudara masih menjadi rutinitas jam-an. Maksudnya, tiap jam nya ada saja
hal yang kami ributkan.
Suatu hari Mak pernah menyuruhnya
membeli garam di kios bang Samsir dekat rumah. Walhasil, ia pulang dengan
tangan kosong. Katanya, “Mak, bang Samsir bilang garam nggak ada, adanya sira.”
Meledaklah ketawa seisi rumah. Terang
saja, sira dan garam itu kan sama saja. Hanya saja sira adalah sebutan untuk
garam dalam bahasa Aceh. Menyadari ia telah dikerjai bang Samsir, ia tak lagi
mau balik ke kios itu untuk memenuhi belanjaan Mak. Bukannya tak mampu
menguasai bahasa Aceh, hanya saja saat itu ia masih kesulitan membedakan garam
dan gula dalam bahasa Aceh. Masing sering tertukar-tukar. Ia mengira sira yang
disebut bang Samsir adalah gula.
Lagi, Mak tak pernah kapok
meminta tolong ia untuk memenuhi keperluan Mak berbelanja. Kali ini Mak
memintanya untuk membeli –kami menyebutnya— blau. Blau adalah sejenis pewarna
pakaian berwarna biru. Biasanya pakaian berwarna putih, jika setelah dicuci,
dicelupkan, dan direndam beberapa saat dengan blau ini, maka pakaian yang
semula terlihat tua, akan kembali mentereng seperti pakaian baru. Uang telah
dikantongi, ia pun bersiap ke kios Kak Fitri. Trauma membuat ia tak lagi-lagi
ke kios bang Samsir.
“Blau itu yang warnanya biru,
Mak, kan? Kalau gak ada yang warna biru kek mana?”, tanyanya sebelum
meninggalkan rumah. “Kalau gak ada biru, kuning pun jadi”, jawab Mak asal. Mak menduga
ia becanda, karena memang sudah tabiatnya tidak bisa serius.
Setibanya di rumah, ia pun
meletakkan belanjaan di atas kulkas.
Kejadian berikutnya adalah,
“AAANDIII....!!!”
Rumah geger. Ah, itu suara
Mak. Ada apa ini?
Kami yang sedang bermain kelereng
di halaman, berhamburan ke dalam rumah dan mendapati Mak sedang memegang
bungkusan kecil, berisi serbuk berwana kuning. Teriakan Mak yang sebenarnya
hanya didengar oleh kami saja itu, disela dengan tawa-tawa ringan sambil
menepuk-nepuk paha. Saya yang menyaksikan adegan itu pun tak bisa diam, malah
ikut menertawakan Andi.
“Hai, kah meusapeu hana keumah
lagoe. Mak geuyu bloe blau, kon gincu“, cecarku sebagai anak tertua yang
selalunya hanya bisa protes. Kan anak pertama. Xixixixi
“Kan Mak yang peugah, meunyoe
hana yang biru, bloe yang kuneng”, bantahnya mengutip ulang apa yang
disampaikan Mak.
“Iya, tapi Mamak gak nyangka
kalau Abang betulan gak tau kalau blau itu ya cuma warna biru. Yang warna kuning
itu gincu”, jawab Mak patah-patah menengahi kami karena masih belum bisa
menahan gelak.
“Njeh, gak mau lagi Abang balek
ke kios tu. Suruh Yoga aja yang beli”, jawabnya merajuk.
Begitulah tabiatnya. Pantang bolak
balik ke kios. Apalagi setelah salah membeli pesanan Mak. Walhasil, Mak
membiarkan kami melanjutkan bermain kelereng dan pergi sendiri ke kios Kak
Fitri yang hanya berselang tiga rumah dari rumah kami.
“Fitri, Andi tadi beli blau ya?
Tapi kok yang dibawa pulang gincu?”, tanya Mak penuh selidik.
“Oh, jadi tadi dia betulan mau
beli blau? Fitri kira dia mau beli gincu. Karena dia bilangnya, “Kak Fitri, ada
blau? Kata Makak, kalau gak ada yang warna biru, yang kuning juga boleh”. Fitri
kiranya, mungkin dia mau beli gincu tapi bilangnya blau. Makanya Fitri kasih
yang warna kuning”, beber kak Fitri menjelaskan. Sama halnya seperti di rumah
tadi, kios Kak Fitri pun tak sepi oleh gelak tawa.
Sejak saat itu, Mak tak lagi
becanda jika menyuruh Andi beli sesuatu. Karena akibatnya bisa fatal. Ia akan
merekam dan menyimpan rapat apa yang dipesan Mak, terlepas apakah Mak hanya
becanda atau serius. Meski sering salah membeli barang belanjaan yang dipesan
Mak, Mak tetap saja menyuruhnya untuk berbelanja. Hingga pada suatu hari ia
pernah protes, “Kalau pergi jalan-jalan, sama Kak Eka, giliran suruh belanja,
sama Abang”. Saya yang mendengar ucapan bernada protes itu pun menimpali, “Emangnya
kamu mau dipanggil anak Mamak?”.
Kejadian berikutnya bisa ditebak.
“Mana sandal Eka?”, tanya saya panik pada Mak. “Hom, hom”, jawab Andi. Sudah
diduga, ia pasti akan menyembunyikan sandal saya. Huft! Tak jarang, kadang
sandal saya mendarat manis di bawah pohon mangga. Karena kesal, ia sering melempar-lempar
sandal. Ah, saya juga sering seperti itu dulu kalau kesal. Wkwkwkwk.
Siapa sangka, kanak-kanak yang
dulunya doyan marah-marah, konyol, dan susah diandalkan itu, kini telah
berinjak usia 22 tahun dan akan menjadi seorang sarjana hukum. Sebuah gelar
yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh seorang pemuda yang pernah
bercita-cita menjadi supir bus dan hobi nangis ini.
Kepada dek bro, barakallah.
Semoga di usia yang tak lagi meremaja ini, sikapmu juga ikut dewasa dan matang.
Maaf, harus mengeluarkan kartu as terlalu cepat. Tapi tenang, masih banyak
kartu as yang belum tertuliskan. Hohohohoho.. kok isinya kartu as semua ya?
Hmmm, alasannya, karena menulis yang baik-baik udah terlalu mainstream. ^_^
Tertanda,
Kakak sweet kakak
0 komentar:
Posting Komentar