Pages

Senin, 18 April 2016

Kepada Dek Bro, Andi.



Sewaktu kecil, ia pernah bercita-cita menjadi supir bus. Alasannya, agar cewek-cewek cantik disandingkan di sampingnya, sedangkan yang sudah tua duduk di belakang saja. Sempat juga mengusir seekor kambing yang memasuki halaman rumah nenek. Sialnya, kambing itu bukannya berlarian, malah menyeruduknya hingga jatuh terduduk beralaskan tanah. Meski tangisnya meraung-raung sambil mengacak-acak tanah, alih-alih menenangkan dan membantunya berdiri, Mak dan Ayah malah menikmati sekali momen itu. Begitu juga dengan saya. Parahnya, saya seperti membawa mati cerita-cerita konyolnya. Mana tau bisa dijadikan kartu as. Keh keh keh. 

Muntah saat mencium bau kentut, bukan barang langka di rumah kami sejak ia kecil. Sok jagoan. Kami mulai melabeli ia demikian. Tidak hanya merasa perkasa saat mengusir kambing, ia juga merasa gagah saat mengusir kawanan serangga merah yang menghuni pohon jambu di depan rumah kami. Bermodalkan sebatang ranting kayu, ia mulai menghajar serangga-serangga itu hingga tak sadar serangga telah lebih dulu menyerang kaki kecilnya. Tidak bisa tidak, senjata pamungkas terakhir yang ia pamerkan adalah menangis dan berlarian ke dalam rumah.


Dibandingkan saudara yang lainnya, boleh jadi, ia menjadi sosok anak yang mengalami kurangnya kasih sayang. Betapa tidak, terhitung umurnya masih berbilang bulan, Mak sudah hamil lagi. Akibatnya ia lebih sering diasuh oleh nenek. Maka tak jarang, kami sering merecokinya dengan sebutan anak nenek. Hehe, tapi itu dulu. Masa-masa berantam dengan saudara masih menjadi rutinitas jam-an. Maksudnya, tiap jam nya ada saja hal yang kami ributkan. 

Suatu hari Mak pernah menyuruhnya membeli garam di kios bang Samsir dekat rumah. Walhasil, ia pulang dengan tangan kosong. Katanya, “Mak, bang Samsir bilang garam nggak ada, adanya sira.”

Meledaklah ketawa seisi rumah. Terang saja, sira dan garam itu kan sama saja. Hanya saja sira adalah sebutan untuk garam dalam bahasa Aceh. Menyadari ia telah dikerjai bang Samsir, ia tak lagi mau balik ke kios itu untuk memenuhi belanjaan Mak. Bukannya tak mampu menguasai bahasa Aceh, hanya saja saat itu ia masih kesulitan membedakan garam dan gula dalam bahasa Aceh. Masing sering tertukar-tukar. Ia mengira sira yang disebut bang Samsir adalah gula. 

Lagi, Mak tak pernah kapok meminta tolong ia untuk memenuhi keperluan Mak berbelanja. Kali ini Mak memintanya untuk membeli –kami menyebutnya— blau. Blau adalah sejenis pewarna pakaian berwarna biru. Biasanya pakaian berwarna putih, jika setelah dicuci, dicelupkan, dan direndam beberapa saat dengan blau ini, maka pakaian yang semula terlihat tua, akan kembali mentereng seperti pakaian baru. Uang telah dikantongi, ia pun bersiap ke kios Kak Fitri. Trauma membuat ia tak lagi-lagi ke kios bang Samsir. 

“Blau itu yang warnanya biru, Mak, kan? Kalau gak ada yang warna biru kek mana?”, tanyanya sebelum meninggalkan rumah. “Kalau gak ada biru, kuning pun jadi”, jawab Mak asal. Mak menduga ia becanda, karena memang sudah tabiatnya tidak bisa serius. 

Setibanya di rumah, ia pun meletakkan belanjaan di atas kulkas. 
Kejadian berikutnya adalah,

 “AAANDIII....!!!”

Rumah geger. Ah, itu suara Mak. Ada apa ini?
 
Kami yang sedang bermain kelereng di halaman, berhamburan ke dalam rumah dan mendapati Mak sedang memegang bungkusan kecil, berisi serbuk berwana kuning. Teriakan Mak yang sebenarnya hanya didengar oleh kami saja itu, disela dengan tawa-tawa ringan sambil menepuk-nepuk paha. Saya yang menyaksikan adegan itu pun tak bisa diam, malah ikut menertawakan Andi. 

“Hai, kah meusapeu hana keumah lagoe. Mak geuyu bloe blau, kon gincu“, cecarku sebagai anak tertua yang selalunya hanya bisa protes. Kan anak pertama. Xixixixi

“Kan Mak yang peugah, meunyoe hana yang biru, bloe yang kuneng”, bantahnya mengutip ulang apa yang disampaikan Mak. 

“Iya, tapi Mamak gak nyangka kalau Abang betulan gak tau kalau blau itu ya cuma warna biru. Yang warna kuning itu gincu”, jawab Mak patah-patah menengahi kami karena masih belum bisa menahan gelak. 

“Njeh, gak mau lagi Abang balek ke kios tu. Suruh Yoga aja yang beli”, jawabnya merajuk.
Begitulah tabiatnya. Pantang bolak balik ke kios. Apalagi setelah salah membeli pesanan Mak. Walhasil, Mak membiarkan kami melanjutkan bermain kelereng dan pergi sendiri ke kios Kak Fitri yang hanya berselang tiga rumah dari rumah kami. 

“Fitri, Andi tadi beli blau ya? Tapi kok yang dibawa pulang gincu?”, tanya Mak penuh selidik. 

“Oh, jadi tadi dia betulan mau beli blau? Fitri kira dia mau beli gincu. Karena dia bilangnya, “Kak Fitri, ada blau? Kata Makak, kalau gak ada yang warna biru, yang kuning juga boleh”. Fitri kiranya, mungkin dia mau beli gincu tapi bilangnya blau. Makanya Fitri kasih yang warna kuning”, beber kak Fitri menjelaskan. Sama halnya seperti di rumah tadi, kios Kak Fitri pun tak sepi oleh gelak tawa. 

Sejak saat itu, Mak tak lagi becanda jika menyuruh Andi beli sesuatu. Karena akibatnya bisa fatal. Ia akan merekam dan menyimpan rapat apa yang dipesan Mak, terlepas apakah Mak hanya becanda atau serius. Meski sering salah membeli barang belanjaan yang dipesan Mak, Mak tetap saja menyuruhnya untuk berbelanja. Hingga pada suatu hari ia pernah protes, “Kalau pergi jalan-jalan, sama Kak Eka, giliran suruh belanja, sama Abang”. Saya yang mendengar ucapan bernada protes itu pun menimpali, “Emangnya kamu mau dipanggil anak Mamak?”.

Kejadian berikutnya bisa ditebak. “Mana sandal Eka?”, tanya saya panik pada Mak. “Hom, hom”, jawab Andi. Sudah diduga, ia pasti akan menyembunyikan sandal saya. Huft! Tak jarang, kadang sandal saya mendarat manis di bawah pohon mangga. Karena kesal, ia sering melempar-lempar sandal. Ah, saya juga sering seperti itu dulu kalau kesal. Wkwkwkwk.  

Siapa sangka, kanak-kanak yang dulunya doyan marah-marah, konyol, dan susah diandalkan itu, kini telah berinjak usia 22 tahun dan akan menjadi seorang sarjana hukum. Sebuah gelar yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh seorang pemuda yang pernah bercita-cita menjadi supir bus dan hobi nangis ini. 

Kepada dek bro, barakallah. Semoga di usia yang tak lagi meremaja ini, sikapmu juga ikut dewasa dan matang. Maaf, harus mengeluarkan kartu as terlalu cepat. Tapi tenang, masih banyak kartu as yang belum tertuliskan. Hohohohoho.. kok isinya kartu as semua ya? Hmmm, alasannya, karena menulis yang baik-baik udah terlalu mainstream. ^_^

Tertanda,
Kakak sweet kakak

0 komentar:

Posting Komentar