Entah kenapa saya lebih menyenangi
kata ‘kita’ dibanding kamu atau saya. Saya hanya membayangkan kata ‘kita’ itu
sekokoh alif. Seolah alam bawah sadar digiring
untuk mempercayai kata ini begitu gagah dan tegak berdiri. Jadi, tak mengapa
bukan jika kita mengabaikan penggunaan kata ‘kita’ pada judul ini? Apalah arti
sebuah judul.
Etapi, Kalau judulnya saja tidak
menarik, apatah lagi isinya. Malas juga bacanya. Heuheuuu.. Penyakit lama. Nangis
nentuin judul.
Well yeah, kita lupakan saja
judul yang apalah itu. Ada satu petuah menarik dari Ayah yang saya coba rekam
dan aplikasikan selalu sebisanya, meski terkadang kerap menemui titik payahnya.
“Kamu tak perlu terlihat pintar. Dengarkan apapun yang orang katakan meski
sebenarnya kamu telah mengetahuinya. Jangan sekali-kali bersikap sok pintar
dengan menyela dan mengatakan, ‘iya, saya sudah tahu’. Karena apapun yang
mereka katakan, percayalah, ada sesuatu yang berbeda dari yang telah kita
ketahui sebelumnya.”
Pernah tidak, berada di forum
yang sama, tapi seusai forum, kita saling diskusi, dan menemukan diantara
beberapa peserta yang mengikuti forum, akan ada silang pendapat?
Karena saya pernah. Sering malah.
Berada di kelas yang sama, saat guru atau dosen memberikan tugas, saya memiliki
pandangan tersendiri. Dia punya pendapat sendiri. Mereka lain lagi. Terkadang dalam
waktu yang sama, kami punya tiga pilihan tugas yang harus dikerjakan. Kami
memiliki pandangan yang berbeda mengenai tugas yang diberikan. Siapa yang
paling benar? Tak satupun memihak. Hingga jawabannya kami temukan setelah mengkonfirmasi
ulang kepada guru atau dosen yang bersangkutan. Kalau sudah begini, yang salah
akan berdalih, “Kan mana tau. Mana tau saya benar.”
Itulah mengapa Ayah kerap
mewanti-wanti untuk tak perlu lebay dalam berkomunikasi. Dengarkan saja, tapi
tetap difilter. Jika memang ada kekeliruan, sama-sama diluruskan dengan akhiran
“mari kita perbanyak membaca dan berguru lagi”. Jangan buru-buru menyalahkan.
Karena terburu-buru selalu datangnya dari syaithan.
Menarik, apa yang disampaikan
Imam Syafi’i, “Pendapatku benar, tapi bisa mengandung kekeliruan. Sementara
pendapat mereka salah, tapi boleh jadi mengandung kebenaran.”
Meski seorang calon sarjana
pendidikan yang kerap betualang memamerkan kebodohannya di hadapan siswa, saya meyakini
seorang guru pun hanyalah manusia biasa yang terbatas pengetahuannya. Saya
terus berusaha untuk tak risih memiliki siswa kritis. Selain dituntut
pengendalian emosi yang baik, percaya atau tidak, kita akan meraih ‘sesuatu’
yang baru. Penerimaan.
Sudah saatnya kita tidak menjadi
guru yang anti kritik. “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah”,
demikian Gie pernah tersulut emosinya. Menahan kritik tak ubahnya dengan
menutup mata terhadap berbagai sudut pandang. Menyumpal telinga untuk sebuah
kebenaran. Boleh jadi siswa salah, guru lah yang benar. Namun karena kadung
emosi, guru menjadi tak terkendali dan hilang kepercayaan diri. Padahal, dengan
menginsyafi diri yang penuh kekurangan, belajar menerima kritik takkan lah
membuat guru kehilangan muka.
Sudah seharusnya kita belajar
pada mereka yang mampu menyuarakan pendapat. Karena sulit sekali suara kini
didengar. Pengalaman mengajar yang masih belum apa-apa ini sedikit tidaknya
merangkum bagaimana siswa dewasa ini seolah bungkam untuk menyuarakan pendapat
atau bertanya. Entah imbas masa konflik ataukah pengaruh keluarga dan
lingkungan.
Saya pernah merasa rendah diri
akibat ketidakfasihan dalam berkata-kata. Tak jarang, ketidakpandaian dalam
berlisan membuat saya minder dan hilang kepercayaan diri saat harus tampil di
depan umum. Ah, tapi saya kembali diingatkan, bukankah nabi Musa a.s. juga tak
fasih dalam berkata-kata, hingga Allah mengutus nabi Harun a.s untuk menjadi
teman perjalanan dakwah?
Saya mencoba move on dan
menganggap kekurangan ini sebagai kelebihan. Kelebihan mendengar di saat yang
lain sibuk bersuara. Karena lidah yang agak kaku, ada tangan yang berusaha
menyokong setiap suara yang menyuarakan kebenaran dan kebaikan. Insya Allah.
Oleh karenanya, saya kerap
menjadi pendengar saat Ayah bercerita. Ah, Ayah. Meski yang diceritakan itu-itu
saja, tetap ada hal menarik di setiap potongan ceritanya. Bersebab Ayah, saya
belajar mendengar. Karena Ayah yang selalu bercerita. Hehehehe..
Lalu, apa hubungannya tulisan ini
dengan angka 24?
Hmmm itu ya, hanya sebuah angka
menarik. Bukan apa-apa. Terkadang sesuatu itu tak perlu penjelasan. Cukup
dicerna saja. Sama dengan judul ini. :D
Oh ya, mengenai larangan
mengatakan ‘iya, saya sudah tahu’, bagi saya menarik. Ayah menegaskan, saat kita
mengatakan kalimat tersebut, sejatinya kita telah menahan masuknya sebuah ilmu.
Alamaakk kata2 kakak niii.. meleleh adek kak.
BalasHapusTak semua org mampu menjadi pendengar, tak semua org mampu mengkritik sesuatu dengan memberikan solusi yang positif. Suka dgar kata "penerimaan" tdk smua org mampu menerima
Alamaakk kata2 kakak niii.. meleleh adek kak.
BalasHapusTak semua org mampu menjadi pendengar, tak semua org mampu mengkritik sesuatu dengan memberikan solusi yang positif. Suka dgar kata "penerimaan" tdk smua org mampu menerima
Terima kasih Mbak Diniya telah berkunjung ke rumah kami. Semoga ada manfaatnya ya. :D
HapusTulisan ini sangat bagus dan menjanjikan (hahaha). btw, 24 itu bukannya umur kak hekal?
BalasHapusKata siapa? Orang masih 17-an tahun kok. Baru juga lulus UN.
Hapus