Pages

Kamis, 26 Mei 2016

Kepada 24 Kita Belajar Mendengar


Entah kenapa saya lebih menyenangi kata ‘kita’ dibanding kamu atau saya. Saya hanya membayangkan kata ‘kita’ itu sekokoh alif. Seolah alam bawah sadar digiring untuk mempercayai kata ini begitu gagah dan tegak berdiri. Jadi, tak mengapa bukan jika kita mengabaikan penggunaan kata ‘kita’ pada judul ini? Apalah arti sebuah judul. 
Etapi, Kalau judulnya saja tidak menarik, apatah lagi isinya. Malas juga bacanya. Heuheuuu.. Penyakit lama. Nangis nentuin judul. 

Well yeah, kita lupakan saja judul yang apalah itu. Ada satu petuah menarik dari Ayah yang saya coba rekam dan aplikasikan selalu sebisanya, meski terkadang kerap menemui titik payahnya. 

“Kamu tak perlu terlihat pintar. Dengarkan apapun yang orang katakan meski sebenarnya kamu telah mengetahuinya. Jangan sekali-kali bersikap sok pintar dengan menyela dan mengatakan, ‘iya, saya sudah tahu’. Karena apapun yang mereka katakan, percayalah, ada sesuatu yang berbeda dari yang telah kita ketahui sebelumnya.”

Pernah tidak, berada di forum yang sama, tapi seusai forum, kita saling diskusi, dan menemukan diantara beberapa peserta yang mengikuti forum, akan ada silang pendapat?

Karena saya pernah. Sering malah. Berada di kelas yang sama, saat guru atau dosen memberikan tugas, saya memiliki pandangan tersendiri. Dia punya pendapat sendiri. Mereka lain lagi. Terkadang dalam waktu yang sama, kami punya tiga pilihan tugas yang harus dikerjakan. Kami memiliki pandangan yang berbeda mengenai tugas yang diberikan. Siapa yang paling benar? Tak satupun memihak. Hingga jawabannya kami temukan setelah mengkonfirmasi ulang kepada guru atau dosen yang bersangkutan. Kalau sudah begini, yang salah akan berdalih, “Kan mana tau. Mana tau saya benar.”

Itulah mengapa Ayah kerap mewanti-wanti untuk tak perlu lebay dalam berkomunikasi. Dengarkan saja, tapi tetap difilter. Jika memang ada kekeliruan, sama-sama diluruskan dengan akhiran “mari kita perbanyak membaca dan berguru lagi”. Jangan buru-buru menyalahkan. Karena terburu-buru selalu datangnya dari syaithan. 

Menarik, apa yang disampaikan Imam Syafi’i, “Pendapatku benar, tapi bisa mengandung kekeliruan. Sementara pendapat mereka salah, tapi boleh jadi mengandung kebenaran.”

Meski seorang calon sarjana pendidikan yang kerap betualang memamerkan kebodohannya di hadapan siswa, saya meyakini seorang guru pun hanyalah manusia biasa yang terbatas pengetahuannya. Saya terus berusaha untuk tak risih memiliki siswa kritis. Selain dituntut pengendalian emosi yang baik, percaya atau tidak, kita akan meraih ‘sesuatu’ yang baru. Penerimaan.  

Sudah saatnya kita tidak menjadi guru yang anti kritik. “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah”, demikian Gie pernah tersulut emosinya. Menahan kritik tak ubahnya dengan menutup mata terhadap berbagai sudut pandang. Menyumpal telinga untuk sebuah kebenaran. Boleh jadi siswa salah, guru lah yang benar. Namun karena kadung emosi, guru menjadi tak terkendali dan hilang kepercayaan diri. Padahal, dengan menginsyafi diri yang penuh kekurangan, belajar menerima kritik takkan lah membuat guru kehilangan muka. 

Sudah seharusnya kita belajar pada mereka yang mampu menyuarakan pendapat. Karena sulit sekali suara kini didengar. Pengalaman mengajar yang masih belum apa-apa ini sedikit tidaknya merangkum bagaimana siswa dewasa ini seolah bungkam untuk menyuarakan pendapat atau bertanya. Entah imbas masa konflik ataukah pengaruh keluarga dan lingkungan.

Saya pernah merasa rendah diri akibat ketidakfasihan dalam berkata-kata. Tak jarang, ketidakpandaian dalam berlisan membuat saya minder dan hilang kepercayaan diri saat harus tampil di depan umum. Ah, tapi saya kembali diingatkan, bukankah nabi Musa a.s. juga tak fasih dalam berkata-kata, hingga Allah mengutus nabi Harun a.s untuk menjadi teman perjalanan dakwah? 

Saya mencoba move on dan menganggap kekurangan ini sebagai kelebihan. Kelebihan mendengar di saat yang lain sibuk bersuara. Karena lidah yang agak kaku, ada tangan yang berusaha menyokong setiap suara yang menyuarakan kebenaran dan kebaikan. Insya Allah.  
Oleh karenanya, saya kerap menjadi pendengar saat Ayah bercerita. Ah, Ayah. Meski yang diceritakan itu-itu saja, tetap ada hal menarik di setiap potongan ceritanya. Bersebab Ayah, saya belajar mendengar. Karena Ayah yang selalu bercerita. Hehehehe.. 

Lalu, apa hubungannya tulisan ini dengan angka 24?

Hmmm itu ya, hanya sebuah angka menarik. Bukan apa-apa. Terkadang sesuatu itu tak perlu penjelasan. Cukup dicerna saja. Sama dengan judul ini. :D

Oh ya, mengenai larangan mengatakan ‘iya, saya sudah tahu’, bagi saya menarik. Ayah menegaskan, saat kita mengatakan kalimat tersebut, sejatinya kita telah menahan masuknya sebuah ilmu.




5 komentar:

  1. Alamaakk kata2 kakak niii.. meleleh adek kak.
    Tak semua org mampu menjadi pendengar, tak semua org mampu mengkritik sesuatu dengan memberikan solusi yang positif. Suka dgar kata "penerimaan" tdk smua org mampu menerima

    BalasHapus
  2. Alamaakk kata2 kakak niii.. meleleh adek kak.
    Tak semua org mampu menjadi pendengar, tak semua org mampu mengkritik sesuatu dengan memberikan solusi yang positif. Suka dgar kata "penerimaan" tdk smua org mampu menerima

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Mbak Diniya telah berkunjung ke rumah kami. Semoga ada manfaatnya ya. :D

      Hapus
  3. Tulisan ini sangat bagus dan menjanjikan (hahaha). btw, 24 itu bukannya umur kak hekal?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kata siapa? Orang masih 17-an tahun kok. Baru juga lulus UN.

      Hapus