Ah, ada apa ini? Tetiba deg-degan melihat
desain satu undangan pesta pernikahan teman. Bukan, bukan karena nama yang
tertera disana, lantas deg-degan. Tapi, tapi, hmmm....
Akhir-akhir ini kian ramai yang mengundang.
Saya sendiri, kapan
mengundang? Ini!
Terjawab ya.
Undangan ini kian bikin mellow manakala saat
menerimanya tengah mendengarkan sebuah tembang dari grup nasyid paling irit,
Edcoustic “Duhai Pendampingku” ditambah iringan musik hujan yang kian menambah
syahdu. Sedikit mewakili isi hati yang tengah menggalau-i akan hal itu. Ah,
kata itu amat indah terdengar. Bersabarlah wahai diri.
Wewarna kisah pernikahan (ah, tersebut juga
meski masih janggal sekali) yang dibaca, diceritakan, atau didengar, tetap tak
mampu mengalahkan indahnya ‘berbuka’ pernikahan saat mengalaminya sendiri. Senada
dengan apa yang diutarakan oleh Ustadz M. Fauzil Adhim, nikmatnya rasa jeruk
saat diceritakan, tetap tak lebih nikmat dibandingkan dengan saat kita
mencicipinya sendiri.
Pernikahan merupakan momen spesial, yang
seperti disebutkan dalam Al-Quran hanya pada tiga tempat dengan sebutan
Mitsaqan Ghaliza, sebuah perjanjian besar. Perjanjian besar Allah dengan Bani Israil
hingga Ia mengangkat bukit Thursina ke atas mereka dan perjanjian besar Allah
dengan rasulNya.
Saat tangan menjabat wali calon bidadari, wajar
saja berkeringat, gugup tak keruan. Bayangan bukit Thursina tengah mengelabat,
menggantung di atas pundak, apa gak berkeringat?
Sungguh Allah tidaklah menciptakan batasan,
melainkan untuk memberikan luahan kenikmatan. Ia membatasi interaksi pergaulan
laki-laki dan perempuan. Menggariskan jarak aman hubungan dengan lawan jenis. Namun
bersebab Allah mengetahui fitrah makhlukNya yang memiliki kecenderungan, Ia tunjukkan
jalan menuju fitrah kita sebagai makhluk melalui jalan pernikahan. Allah tak
membuat batasan, melainkan batasan tersebut menuai hikmah, menyempurnakan
separuh agama.
Barakallah buat teman-teman yang telah menggenap.
Semoga selalu membersamai seperti kebersamaan saat awal perjanjian digelar.
Duhai, bukanlah kami ini membisu lantaran belum
kepikiran. Perempuan mana yang tak mendambakan tangan walinya dijabat saat
ijab. Hanya terkadang, besarnya malu mengalahkan penampakan yang terlihat
tenang. Kebiasaan membuat rasa terendam. Penampakannya tak begitu kentara di permukaan. Padahal undangan yang bertubi-tubi
terus membisiki telinga untuk mencemburui.
Dibalik doa yang ikhlas, ada damba yang belum
kelar. Dibalik senyum menawan saat foto bareng tokoh utama di pelaminan, ada pertanyaan mengusik
yang menelisik, “Kamu, kapan nyusul?”
Semoga kita tidak menunggu pembangunan mesjid
raya Baiturrahman kelar ya.. hehehe
Atau memang sudah digariskan demikian? Sungguh Allah Maha Mengetahui apa-apa yang baik bagi diri. Jika memang sudah ketetapanNya, berarti memang seperti itulah yang tepat. Syukur, lagi dan lagi, sebab masih bisa mencicipi lezatnya 'berbuka'.
0 komentar:
Posting Komentar