Pages

Minggu, 22 Mei 2016

RESUME LET’S CHANGE


KEPEMIMPINAN, KEBERANIAN, DAN PERUBAHAN

Rhenald Kasali
Penerbit Buku Kompas, Februari 2014, PT Kompas Media Nusantara

Bab satu menekankan pada pentingnya perubahan sebagai jembatan untuk mendongkrak perbaikan sistem. Sudah barang pasti perbaikan tidak akan bisa berdiri sendiri tanpa ada elemen pendukung layaknya manajemen perubahan. Perubahan dirasa perlu manakala suatu sistem sudah tak layak pakai dan tak sesuai zaman. Namun, tidak selamanya perubahan yang dicipta mampu membawa dampak yang baik. Ada kalanya perubahan itu malah menjadikan sebuah sistem yang semula biasa-biasa saja menjadi sangat buruk dan tak bernilai. Namun, tanpa adanya perubahan, tidak akan ada yang namanya kemajuan. Hal yang sangat disayangkan, manakala suatu pihak menyatakan perlu adanya perubahan, maka pihak lainnya cenderung menjadi pihak oposisi. Meskipun perubahan kerap diwarnai dengan aksi-aksi perlawanan, namun bukan berarti perubahan tidak dapat dilaksanakan Untuk itulah, diperlukan orang-orang berintegritas tinggi demi mencapai perubahan ke arah yang dituju. Orang-orang yang berani mengambil keputusan dan bertanggung jawab meskipun kerap dibayangi dengan ketidakpastian akan keberhasilan perubahan tersebut.

Bab kedua lebih menekankan pada kepemimpinan atau leadership. Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia, meski yang menempati bangku parlemen adalah orang yang bertitel tinggi, namun tak semua memiliki kemampuan memimpin. Leadership tidak hanya menuntut pandai berbicara di depan khalayak namun juga aksi nyata berupa tindakan-tindakan asertif yang mampu mengkonsolidasikan pikiran dan tindakan rekan sejawat. Tidak mudah memang menyatukan pikiran dan tindakan. Terlebih saat menyatakan perlunya perombakan. Ada kalanya pemimpin perlu diterapi agar jiwanya kembali bersih dan hangat di tengah-tengah perbedaan. Agar mampu memimpin suatu kelompok, maka diperlukan penampilan dan gaya bicara yang tidak begitu kaku dan monoton agar menarik perhatian kelompok. Meskipun kita hidup dari produk masa lalu, namun menjadi seorang pemimpin dibutuhkan keberanian dan kemauan yang besar untuk menciptakan suatu perubahan melalui terobosan baru. Sosok berintegritas seperti ini, sudah sepatutnya mendapat perlindungan dan pengakuan publik. Jangan sampai banyak ahli-ahli berkebangsaan Indonesia lebih memilih untuk berkarir di negara orang lain daripada di negara sendiri akibat lemahnya pengakuan dan penghargaan dari tanah ibu pertiwi.

Bab ketiga membahas tentang perlunya manajemen untuk setiap perubahan. Karena perubahan tanpa adanya manajemen yang memadai akan pincang. Layaknya pergi berperang, namun lupa membawa senjata dan perlengkapan perang. Namun, perubahan akan sulit bergerak tanpa adanya kesatuan visi dan misi dari elemen-elemen lain yang bersangkutan. Disini lebih dikenal dengan istilah alignment, yaitu penyatuan visi dan misi agar lebih terkoordinir. Hal ini diperlukan agar ada ketegasan terhadap fungsi masing-masing elemen. Jangan sampai fungsi setiap elemen menjadi saling tumpang-tindih akibat misalignment.

Bab keempat menyajikan tentang pendidikan. Suatu kesalahpahaman masyarakat dewasa ini yang melepaskan tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya kepada sekolah atau instansi pendidikan. Karena perlu diketahui, pendidikan yang didapat oleh seorang anak di sekolah hanyalah sepertiganya. Selebihnya akan didapatkan dari keluarga dan lingkungan. Maka dari itu, peran orang tua juga diharapkan mampu mendongkrak pendidikan anak. Guru yang baik adalah guru yang tidak hanya mampu mentransfer ilmu, namun juga nilai-nilai pendidikan, sehingga efeknya membekas dan menempati sisi long time memory. Namun sayangnya, guru-guru inspiratif seperti ini sulit dicari keberadaannya. Kebanyakan kita temukan kasus dalam lapangan, guru yang mengajar dengan orientasi KKM dan kurikulum. Yang penting nilai lulus dan kurikulum berjalan. Nilai yang tinggi seolah membuktikan bahwa guru telah berhasil mengajar anak didik. Maka tak heran, jika kita sering menemukan siswa curang. Aksi plagiarime mewabah. Tak jarang pula kita temukan, anak yang pintar, namun kesehariannya sangat tertutup. Nilai akademisnya membanggakan, namun sebaliknya, sosialnya amatlah memprihatinkan. Ini adalah produk-produk dari guru yang menghambakan nilai dan kurikulum tanpa memperhatikan sisi psikologis dan mental siswa yang barangkali tertekan dengan mata pelajaran yang jumlahnya tak terperkirakan. Disinilah perlu adanya perubahan pola pikir untuk setiap akademisi pendidikan bahwa nilai bukanlah sebuah orientasi, melainkan batu loncatan. Ada hal yang lebih penting dibandingkan nilai siswa, yakni menjadi guru inspiratif, yang mana pendidikan yang diberikan kepada siswa akan membekas dalam jangka panjang dan menjadi amalan yang tidak hanya berguna bagi siswa, namun memberikan dampak besar terhadap peradaban.

Bab kelima mengangkat tema tentang ekonomi. Hampir bisa dipastikan seluruh bab mengusung tema perubahan. Hanya saja dipecah ke dalam beberapa poin yang termaktub dalam bab-bab. Daya saing dan daya jual menjadi kata kunci dalam perekonomian. Bekerja dalam situasi stagnan hanya akan memperburuk situasi. Berbicara tentang persaingan internasional, maka tak lepas dari daya saing yang tidak kalah hebatnya. Kebijakan yang telah dilaksanakan dalam waktu yang lama dengan terpaksa harus berganti manakala pihak asing mengajukan persyaratan yang mengejutkan. Tak masalah dengan perubahan kebijakan, selagi hal itu dapat mempertahankan daya saing internasional. Namun, perubahan yang tidak dimanajemeni secara terstruktur layaknya sayur tanpa garam. Karena memang pada hakikatnya kita terlahir dari produk-produk masa lalu dan sulit menerima perubahan. Dibutuhkan apresiasi tinggi bagi para ekonom yang mampu meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia hingga level dunia. Pada dasarnya berubah itu mudah, hanya masalahnya terletak pada subjek dan sistemnya sendiri. Mau diubah atau tidak.

Bab keenam mengusung tema tentang birokrasi. Layaknya dua sisi mata uang, birokrasi juga memiliki dua sisi, “sehat” dan “tidak sehat”.  Kembali kepada masyarakat, hendak menilai dari sisi yang mana. Setiap kali seorang pemimpin melakukan reformasi, ia akan memulai dengan melakukan pemetaan, namun hal ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Namun bukan berarti peluang itu tak ada. Peluangnya hanya akan menjadi nol manakala pemimpin hanya berdiam dan melanjutkan birokrasi yang itu-itu saja. Birokrasi yang telah terskenariokan puluhan tahun lalu. Di sisi lain, seorang pemimpin memiliki hak paten berupa kekuasaan, maka tidaklah begitu sulit untuk menyampaikan terobosan-terobosan baru demi terciptanya reformasi birokrasi yang sesuai zaman dan tuntutan. Perlu dicatat, untuk menilai berhasil atau tidaknya terobosan itu, dibutuhkan waktu tak kurang dari tiga bulan. Maka, seorang menteri atau pemangku kekuasaan, baiknya langsung turun ke lapangan meninjau setiap pelaksanaan yang menunjang terciptanya ide terobosan tersebut.

Bab ketujuh mengangkat tema pariwisata. Sudah sepatutnya pemerintah Indonesia memberi perhatian lebih terhadap perkembangan pariwisata dalam negeri. Karena di samping pasar properti yang memiliki daya jual, pariwisata pun sama halnya. Pariwisata yang dikeloa dengan manajemen yang baik memiliki peluang bisnis yang cukup menjanjikan. Dampaknya, Indonesia akan memiliki income dari sektor bisnis pariwisata. Sudah bukan zamannya lagi, Indonesia hanya dikenal dengan negeri yang “gemah ripah loh jinawi”, namun tak mampu menonjolkan kekayaan luhur yang menjadi surga dunia bagi para pecinta wisata. Sepatutnyalah pemerintah berbenah diri dan mengikuti perkembangan zaman. Jika hanya mengandalkan candi Borobudur dan pantai Kuta di Bali, maka yang menjadi wisatawan lintas negara hanya dari kalangan wisatawan mancanegara menengah hingga ke bawah. Dapat diperkirakan berapa income yang didapat seandainya hanya mengandalkan kearifan lokal itu saja. Padahal Indonesia memiliki kearifan lokal menyejarah yang tak terkira. Sektor pariwisata dapat dijadikan ladang untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah jika dikelola dengan baik untuk kemudian diabadikan menjadi surga dunia bagi para pecinta wisata lokal, bahkan wisatawan mancanegara.

Bab kedelapan yang menjadi bab terakhir mengetengahkan tema tentang sosial masyarakat. Potret buram kecemburuan sosial yang menjangkiti masyarakat ditengarai akibat adanya kecemburuan sosial dan sikap “latah” ikut-ikutan. Hal inilah yang memicu sikap konsumtif di pihak masyarakat. Padahal belum tentu hasrat membeli berbanding lurus dengan daya beli. Maka bisa disimpulkan dari segi sosial masyarakat, yang menjadi item perubahan adalah masyarakat yang memberi pengaruh besar. Jika hidup di kalangan masyarakat dengan kepribadian sederhana, maka dengan sendirinya kepribadian sederhana terbentuk dan bagaikan virus, segera menyebar pada masyarakat lainnya. Demikian pula jika hidup dalam masyarakat yang konsumtif, tak heran yang lainnya juga latah menjadi masyarakat konsumtif.

Kesimpulan:
Kepemimpinan itu penting. Kekusaan itu perlu. Keberanian melakukan terobosan dan perubahan mutlak dimiliki oleh setiap pemimpin. Karena kepemimpinan tanpa adanya kekuasaan dan keberanian bagai sayur tanpa garam. Dibutuhkan mentalitas dan daya juang yang tinggi untuk menjalankan sebuah reformasi, karena dibalik reformasi, selalu saja ada agresi dari pihak oposisi yang merupakan ciptaan dari produk-produk lama. Namun, melalui buku ini diharapkan setiap pemimpin memiliki jiwa yang berintegritas tinggi yang mampu membawa Indonesia menjadi negara yang tidak hanya dilirik, namun dicari oleh dunia.  

Bersebab tak terbiasa, buku ini cukup berat bagi saya yang terbiasa membaca novel. Heuheu.. Resume yang alakadar ini semoga bisa jadi pembelajaran diri. 
*Nangis saya namatin membacanya.

0 komentar:

Posting Komentar