KEPEMIMPINAN,
KEBERANIAN, DAN PERUBAHAN
Rhenald
Kasali
Penerbit
Buku Kompas, Februari 2014, PT Kompas Media Nusantara
Bab
satu menekankan pada pentingnya perubahan sebagai jembatan untuk mendongkrak
perbaikan sistem. Sudah barang pasti perbaikan tidak akan bisa berdiri sendiri
tanpa ada elemen pendukung layaknya manajemen perubahan. Perubahan dirasa perlu
manakala suatu sistem sudah tak layak pakai dan tak sesuai zaman. Namun, tidak
selamanya perubahan yang dicipta mampu membawa dampak yang baik. Ada kalanya
perubahan itu malah menjadikan sebuah sistem yang semula biasa-biasa saja
menjadi sangat buruk dan tak bernilai. Namun, tanpa adanya perubahan, tidak
akan ada yang namanya kemajuan. Hal yang sangat disayangkan, manakala suatu
pihak menyatakan perlu adanya perubahan, maka pihak lainnya cenderung menjadi
pihak oposisi. Meskipun perubahan kerap diwarnai dengan aksi-aksi perlawanan,
namun bukan berarti perubahan tidak dapat dilaksanakan Untuk itulah, diperlukan
orang-orang berintegritas tinggi demi mencapai perubahan ke arah yang dituju.
Orang-orang yang berani mengambil keputusan dan bertanggung jawab meskipun
kerap dibayangi dengan ketidakpastian akan keberhasilan perubahan tersebut.
Bab
kedua lebih menekankan pada kepemimpinan atau leadership. Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia, meski yang
menempati bangku parlemen adalah orang yang bertitel tinggi, namun tak semua
memiliki kemampuan memimpin. Leadership
tidak hanya menuntut pandai berbicara di depan khalayak namun juga aksi nyata
berupa tindakan-tindakan asertif yang mampu mengkonsolidasikan pikiran dan
tindakan rekan sejawat. Tidak mudah memang menyatukan pikiran dan tindakan.
Terlebih saat menyatakan perlunya perombakan. Ada kalanya pemimpin perlu diterapi
agar jiwanya kembali bersih dan hangat di tengah-tengah perbedaan. Agar mampu
memimpin suatu kelompok, maka diperlukan penampilan dan gaya bicara yang tidak
begitu kaku dan monoton agar menarik perhatian kelompok. Meskipun kita hidup
dari produk masa lalu, namun menjadi seorang pemimpin dibutuhkan keberanian dan
kemauan yang besar untuk menciptakan suatu perubahan melalui terobosan baru.
Sosok berintegritas seperti ini, sudah sepatutnya mendapat perlindungan dan
pengakuan publik. Jangan sampai banyak ahli-ahli berkebangsaan Indonesia lebih
memilih untuk berkarir di negara orang lain daripada di negara sendiri akibat
lemahnya pengakuan dan penghargaan dari tanah ibu pertiwi.
Bab
ketiga membahas tentang perlunya manajemen untuk setiap perubahan. Karena perubahan
tanpa adanya manajemen yang memadai akan pincang. Layaknya pergi berperang,
namun lupa membawa senjata dan perlengkapan perang. Namun, perubahan akan sulit
bergerak tanpa adanya kesatuan visi dan misi dari elemen-elemen lain yang
bersangkutan. Disini lebih dikenal dengan istilah alignment, yaitu penyatuan visi dan misi agar lebih terkoordinir. Hal
ini diperlukan agar ada ketegasan terhadap fungsi masing-masing elemen. Jangan
sampai fungsi setiap elemen menjadi saling tumpang-tindih akibat misalignment.
Bab
keempat menyajikan tentang pendidikan. Suatu kesalahpahaman masyarakat dewasa
ini yang melepaskan tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya kepada sekolah
atau instansi pendidikan. Karena perlu diketahui, pendidikan yang didapat oleh
seorang anak di sekolah hanyalah sepertiganya. Selebihnya akan didapatkan dari
keluarga dan lingkungan. Maka dari itu, peran orang tua juga diharapkan mampu
mendongkrak pendidikan anak. Guru yang baik adalah guru yang tidak hanya mampu
mentransfer ilmu, namun juga nilai-nilai pendidikan, sehingga efeknya membekas
dan menempati sisi long time memory.
Namun sayangnya, guru-guru inspiratif seperti ini sulit dicari keberadaannya.
Kebanyakan kita temukan kasus dalam lapangan, guru yang mengajar dengan
orientasi KKM dan kurikulum. Yang penting nilai lulus dan kurikulum berjalan.
Nilai yang tinggi seolah membuktikan bahwa guru telah berhasil mengajar anak
didik. Maka tak heran, jika kita sering menemukan siswa curang. Aksi plagiarime
mewabah. Tak jarang pula kita temukan, anak yang pintar, namun kesehariannya
sangat tertutup. Nilai akademisnya membanggakan, namun sebaliknya, sosialnya
amatlah memprihatinkan. Ini adalah produk-produk dari guru yang menghambakan
nilai dan kurikulum tanpa memperhatikan sisi psikologis dan mental siswa yang
barangkali tertekan dengan mata pelajaran yang jumlahnya tak terperkirakan.
Disinilah perlu adanya perubahan pola pikir untuk setiap akademisi pendidikan
bahwa nilai bukanlah sebuah orientasi, melainkan batu loncatan. Ada hal yang
lebih penting dibandingkan nilai siswa, yakni menjadi guru inspiratif, yang
mana pendidikan yang diberikan kepada siswa akan membekas dalam jangka panjang
dan menjadi amalan yang tidak hanya berguna bagi siswa, namun memberikan dampak
besar terhadap peradaban.
Bab
kelima mengangkat tema tentang ekonomi. Hampir bisa dipastikan seluruh bab
mengusung tema perubahan. Hanya saja dipecah ke dalam beberapa poin yang
termaktub dalam bab-bab. Daya saing dan daya jual menjadi kata kunci dalam
perekonomian. Bekerja dalam situasi stagnan hanya akan memperburuk situasi.
Berbicara tentang persaingan internasional, maka tak lepas dari daya saing yang
tidak kalah hebatnya. Kebijakan yang telah dilaksanakan dalam waktu yang lama
dengan terpaksa harus berganti manakala pihak asing mengajukan persyaratan yang
mengejutkan. Tak masalah dengan perubahan kebijakan, selagi hal itu dapat
mempertahankan daya saing internasional. Namun, perubahan yang tidak
dimanajemeni secara terstruktur layaknya sayur tanpa garam. Karena memang pada
hakikatnya kita terlahir dari produk-produk masa lalu dan sulit menerima
perubahan. Dibutuhkan apresiasi tinggi bagi para ekonom yang mampu meningkatkan
daya saing perekonomian Indonesia hingga level dunia. Pada dasarnya berubah itu
mudah, hanya masalahnya terletak pada subjek dan sistemnya sendiri. Mau diubah
atau tidak.
Bab
keenam mengusung tema tentang birokrasi. Layaknya dua sisi mata uang, birokrasi
juga memiliki dua sisi, “sehat” dan “tidak sehat”. Kembali kepada masyarakat, hendak menilai
dari sisi yang mana. Setiap kali seorang pemimpin melakukan reformasi, ia akan
memulai dengan melakukan pemetaan, namun hal ini tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan. Namun bukan berarti peluang itu tak ada. Peluangnya hanya akan
menjadi nol manakala pemimpin hanya berdiam dan melanjutkan birokrasi yang
itu-itu saja. Birokrasi yang telah terskenariokan puluhan tahun lalu. Di sisi
lain, seorang pemimpin memiliki hak paten berupa kekuasaan, maka tidaklah
begitu sulit untuk menyampaikan terobosan-terobosan baru demi terciptanya
reformasi birokrasi yang sesuai zaman dan tuntutan. Perlu dicatat, untuk
menilai berhasil atau tidaknya terobosan itu, dibutuhkan waktu tak kurang dari
tiga bulan. Maka, seorang menteri atau pemangku kekuasaan, baiknya langsung
turun ke lapangan meninjau setiap pelaksanaan yang menunjang terciptanya ide
terobosan tersebut.
Bab
ketujuh mengangkat tema pariwisata. Sudah sepatutnya pemerintah Indonesia
memberi perhatian lebih terhadap perkembangan pariwisata dalam negeri. Karena
di samping pasar properti yang memiliki daya jual, pariwisata pun sama halnya.
Pariwisata yang dikeloa dengan manajemen yang baik memiliki peluang bisnis yang cukup menjanjikan.
Dampaknya, Indonesia akan memiliki income
dari sektor bisnis pariwisata. Sudah bukan zamannya lagi, Indonesia hanya dikenal
dengan negeri yang “gemah ripah loh jinawi”, namun tak mampu menonjolkan
kekayaan luhur yang menjadi surga dunia bagi para pecinta wisata. Sepatutnyalah
pemerintah berbenah diri dan mengikuti perkembangan zaman. Jika hanya
mengandalkan candi Borobudur dan pantai Kuta di Bali, maka yang menjadi
wisatawan lintas negara hanya dari kalangan wisatawan mancanegara menengah
hingga ke bawah. Dapat diperkirakan berapa income
yang didapat seandainya hanya mengandalkan kearifan lokal itu saja. Padahal
Indonesia memiliki kearifan lokal menyejarah yang tak terkira. Sektor
pariwisata dapat dijadikan ladang untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah jika
dikelola dengan baik untuk kemudian diabadikan menjadi surga dunia bagi para
pecinta wisata lokal, bahkan wisatawan mancanegara.
Bab
kedelapan yang menjadi bab terakhir mengetengahkan tema tentang sosial
masyarakat. Potret buram kecemburuan sosial yang menjangkiti masyarakat
ditengarai akibat adanya kecemburuan sosial dan sikap “latah” ikut-ikutan. Hal
inilah yang memicu sikap konsumtif di pihak masyarakat. Padahal belum tentu
hasrat membeli berbanding lurus dengan daya beli. Maka bisa disimpulkan dari
segi sosial masyarakat, yang menjadi item perubahan adalah masyarakat yang
memberi pengaruh besar. Jika hidup di kalangan masyarakat dengan kepribadian
sederhana, maka dengan sendirinya kepribadian sederhana terbentuk dan bagaikan
virus, segera menyebar pada masyarakat lainnya. Demikian pula jika hidup dalam
masyarakat yang konsumtif, tak heran yang lainnya juga latah menjadi masyarakat
konsumtif.
Kesimpulan:
Kepemimpinan
itu penting. Kekusaan itu perlu. Keberanian melakukan terobosan dan perubahan
mutlak dimiliki oleh setiap pemimpin. Karena kepemimpinan tanpa adanya
kekuasaan dan keberanian bagai sayur tanpa garam. Dibutuhkan mentalitas dan
daya juang yang tinggi untuk menjalankan sebuah reformasi, karena dibalik
reformasi, selalu saja ada agresi dari pihak oposisi yang merupakan ciptaan
dari produk-produk lama. Namun, melalui buku ini diharapkan setiap pemimpin
memiliki jiwa yang berintegritas tinggi yang mampu membawa Indonesia menjadi
negara yang tidak hanya dilirik, namun dicari oleh dunia.
Bersebab tak terbiasa, buku ini cukup berat bagi saya yang terbiasa membaca novel. Heuheu.. Resume yang alakadar ini semoga bisa jadi pembelajaran diri.
*Nangis saya namatin membacanya.
0 komentar:
Posting Komentar