Pages

Senin, 16 Mei 2016

Saat Merasa Paling Miskin Sedunia



Awali Senin pagi dengan semangat. Demikian janji semalam. Selepas Subuh dan menunggu matahari bersinar, saya mengunjungi sebuah mini market tradisional yang menjual aneka sarapan pagi. Ada kue kering, kue basah, bolu, gorengan, nasi gurih pakai ikan, ayam, hingga telur dadar. Karena niatnya cuma beli sarapan, maka saya hanya mengantongi selembar uang dua puluh ribuan. Tak perlu lah bawa-bawa dompet, apalagi hape, karena cuma sebentar.

Ternyata sebentar yang hanya diperkirakan lima belas menit ini berujung dua jam. 

Selepas membeli sarapan, niatnya langsung pulang. Nah, disinilah babang Varionya berulah. Gasnya sulit dikontrol. Saat direm, gak mempan. Gasnya melaju dengan kecepatan tinggi. Direm lagi, kali ini dengan agak kencang, malah terdengar bunyi gesekan ban dengan tanah yang bikin saya tambah panik. Berjubel pikiran berkelindan dalam ruang pikir. Pernah nonton sinema Rahasia Ilahi? Biasanya pemeran jahat akan meninggal secara tragis. 

Oh Tuhan, apakah ini saatnya? Mungkinkah saya.. sayaaa..?

Opsi pertama yang terpikirkan  : Loncat ke pinggir jalan dan membiarkan motor melaju seorang diri
Opsi kedua : menabrak tiang listrik atau pembatas jalan, atau pagar rumah orang lain agar berhenti.

Kedua opsi di atas terdengar heroik sekali. Tapi, hei, kan saya tidak sedang berakting untuk film action. Tidak mungkin. Saya belum siap!

Dalam kepanikan ini, muncul sederet nama artis yang meninggal akibat kecelakaan, selayaknya Nike Ardilla, Uje, hingga artis mancanegara Paul Walker. 

Allah, hamba belum siap!
 
Di tengah bayang-bayang seram, bervarian bayangan lain pun muncul. Kalau kalau meninggal, episode hidup saya akan berakhir dengan begitu tragis. Tragic ending. Kalau pun tidak, saya tidak bisa membayangkan jika akan.. akan.. ah, saya tidak sanggup melanjutkannya.

Akankah masa depan bisa menerima kekurangan fisik saya? Dengan segala ketidaksempurnaan ini saja rasanya harus banyak poles sana poles sini. Apalagi jika saya.. saya... Allah..

Di tengah kegamangan, seolah muncul layar lebar mempertontonkan titipan yang belum tertunaikan. Ada hutang yang belum terlunaskan.

Ah Ayah Mamak, saya masih belum wisuda. Apakah saya akan mati muda?
Tina, Ya Allah Tin, kami belum menyerahkan uang titipan teman, dan honor mengajar yang dititipkan lewat kami.
Masa depan, ah, saya belum menikah ya Allaaah...

Adegan selanjutnya adalaaah..
Motor berhenti seketika. Ya ampun. Ternyata saya refleks menekan cagak. Alhamdulillah berhenti otomatis. Kok ya saya gak kepikiran kesitu sebelumnya. Heuheu.. Otak, kemana otak?

Saya berusaha menenangkan diri dan membiarkan babang istirahat barang sejenak. Syukur karena saya masih bisa bernapas, tanda masih hidup ternyata. 

Huh! Hah! Huh! Hah!
Napas saya menderu kencang. Susah sekali dikontrol. Sekitar satu menit kemudian saya mencoba untuk menjalankan motor kembali, kiranya babang sudah mendingan. 

Bruuum.. brrruum.. brrrruuuuuuuuuuummm.. Motor melaju kencang.
Kali ini tidak lagi refleks, tapi memang sengaja menekan cagak. Panik kali ini luar biasa. Ini mulai nggak iya. Babang sepertinya tengah merujak. Saya terpaksa menghentikan perjalanan ini dan memutuskan untuk memapah babang sampai menuju bengkel sekitar lokasi. 

***

“Nyoe Pak, watee ta gaih, hana ditem meu-rhem, pakon nyan Pak?”, tanya saya menjelaskan duduk persoalan.

“Hai matic cit lagee nyan kan? Watee ta gaih, dijak laju”, jawab si Bapak polos.

Ya elah. Saya juga tau Pak. Tapi iniiii.. hmmm..

Lelah membuat saya malas menjelaskan dan membiarkan si Bapak mencagak motor dengan cagak dua. Saat distarter dan bunyi motornya brrrrruuuuuuuuuuummmm luar biasa mengejutkan, barulah si Bapak terkaget-kaget dan paham maksud saya. 

Itu dia Pak, itu!

“Oh, nyoe gaih jih, Dek, hana get paih le. Teuga that meu-gaih sang nyoh?”, tanya si Bapak. Yang ditanya cuma bisa cengar cengir. Diskak, meeen. 

“Jadi kiban nyan, Pak? Jeut neuperbaiki kira-kira?”, tanya saya.

“Siat beh”. Si Bapak menuju ke belakang bengkel dan muncullah anak muda. Hmmm, sepertinya anak muda ini yang akan memperbaiki motor saya. Baiklah, yang penting bisa pulang dengan selamat lah. 

Permasalahannya sekarang adalah, mau bayar pakai apaaa? Huwwwaaaaa..
Kenapa pagi ini seolah begitu tragis. Heuheu..

Dalam kemondar-mandiran, ada pikir yang berkelindan.
Saya harus hubungi siapa ini ya. Duh hai! Jangankan menghubungi, hape pun tak punya. Uang, dompet, tanda pengenal, apapun tak terbawa. Ya Allah, alhamdulillah tadi selamat. Karena kalau nggak, hmmm.. gak terbayangkan jika keesokan harinya akan ada tajuk berita “Ditemukan wanita muda tanpa tanda pengenal tewas masuk parit”
 
Ya Allah..
Saya harus bisa move on. Sekarang masalahnya adalah ini motor mau dibayar pakai apa. Sementara uang yang tersisa hanya sepuluh ribu. Kata si anak muda, tali pedal gas harus diganti. Karena kalau tidak diganti dan hanya diperbaiki saja, takutnya sewaktu-waktu, kejadian serupa terulang kembali. Membayangkan harus sedramatis kejadian tadi, saya ogah. Maka saya katakan yes saja lah. 

“Bang, kira-kira padum habeh meunyoe ta gantoe?”, tanya saya harap-harap cemas. Berharap jawaban anak muda ini tidak begitu mengejutkan. Maksudnya, tidak begitu mahal. Wkwkwkwk.

Alhamdulillah, nominalnya tidak terlalu besar. tapi tetap saja, sepuluh ribu masih jauh dari harga bayaran. Saya kok ya menyesal ya pagi ini keluar rumah tanpa bawa dompet dan hape. Ciaat ciaaat ciiaaaat.. *Mulai lapar

Sebenarnya bukan tanpa alasan, malas membawa dompet ini. Karena seringnya kalau bawa dompet, yang tidak begitu perlu juga ikut terbeli. Makanya untuk menahan laju pengeluaran, bawa uang seperlunya saja. Tapi beli belanjaan sebanyak-banyaknya.. *apa macam

Ide pertama yang terpikirkan adalah, menyetop siapa saja kenalan yang melintas saat itu. Lama sekali ternyata tak muncul-muncul. Babang digagahi dan dipreteli oleh anak muda. Babang yang dulu gagah kini tampaklah kerangka dalamnya dan terlihat begitu menyedihkan. Fisik luarnya boleh gagah, namun siapa sangka dalamnyaaa, hmmm, gitu lah ya. 

Siapapuuun, tolong muncullaaaah... Pinjamkan saya uaaang!!!. 

Lalu lalang pengendara yang melintas tak ada yang saya kenal, sementara anak muda telah hampir merampungkan kerjanya. Saya pun minta diri untuk berkunjung ke counter pulsa berselang tiga ruko dari bengkel. Counter ini biasa saya datangi untuk beli kartu internet atau isi pulsa. 

“Bang, boleh pinjam hape?”, tanya saya menyedihkan.
“Untuk?”, jawab si abang dua anak ini.
Singkat cerita, dengan alur yang sengaja dibuat menyedihkan (eh, sebenarnya emang perih lho), saya berhasil memenangkan hapenya. 

Lama sekali saya memencet tombol angka. Tulis hapus, tulis hapus. Ya Allah, saya kenapa bisa lupa nomor mabro, Andi. 

Lengkap sudah!

Tulis lagi, ah, sepertinya yang tertulis begitu asing dan memang bukan nomor dek Bro. Akhirnya saya telepon ke nomor Ayah dengan perasaan seperti baru habis dilihat doi. Deg-degan mampus. 

Tuuuut.. gak diangkat.. Tuuuuttt..
“Iya, halo. Assalamu’alaikum”, suara dari seberang. Alhamdulillah diangkat, rasanya seperti baru dapat hidayah, kembali ke jalan yang lurus. 

Setelah menjawab salam, saya pun mengenalkan diri. “Yah, ini Eka”, jawab saya berikut penjelasan panjang dimulai dari kronologis cerita, hingga berakhir tragis. Ayah bukan tipe yang bisa diajak ngobrol dalam keadaan panik. Karena dalam situasi harus cepat-cepat, ayah masih bisa menanyakan kenapa? Dimana? Addeeuuh ayah. Elepyu elepyu. Mungkin ayah juga gak kalah paniknya. Tapi ini nelpon pakai hape orang lho, Ayah masih harus dipuaskan rasa penasarannya. Fyuh. Akhirnya nomor mabro pun didapat dari ayah.

Setelah berhasil mengantongi nomor dek Bro, tak kirain penderitaan ini akan segera berakhir. Ternyataaaa..
Dek bro nggak angkat teleponnya pemirsa. Apa gak pura-pura gila aja kita?
Belasan kali ditelpon gak diangkat. Tenggelamkan! Hapenya!

Saya pasrah. Menyerah dan mengembalikan hape pada bapak dua anak ini. Si abang yang sudah bapak-bapak ini agak kasihan nampaknya. Tapi saya sudah keburu pamit kembali ke bengkel. 

Setibanya di bengkel, dengan perasaan dag dig dug, kali ini bagaikan mau jumpa calon mertua. *eh, emang pernah? Hehehe
Ternyata anak muda telah menghilang. Akhirnya saya menghampiri si Bapak.

“Pak”, sapa saya dengan sedikit jeda sembari berpikir, ”lon woe siat jeut? Nyoe na peng bak jaroe siploh ribee sagai.”
“Jeut, tapi keubah hape sebagai jaminan”, kata Bapak.

Rasanya dunia menghitam.

“Tapi Pak, hana lon ba hape, meu dompet hana roh lon ba. Meuhan lon woe ek labi-labi mantong jeut Pak? Lon jak cok peng dilee”, jawab saya pilu.
“Pat rumoh? Biasajih Dek kan, awak nyoe dikeubah hape, KTP, atau STNK. Yang keubah KTP pih jareung dibalek.”

Rasanya ingin pura-pura pingsan
.
Hmm saya sangat mengerti maksud si Bapak. Dan kondisi ini mengingatkan saya akan masa-masa Sahabat Rasulullah. Kapan-kapan lah ya saya ceritakan biar gak panjang kali tulisan ini. 

“Meunyoe meunan, lon woe dilee ek labi-labi. Lon keubah honda disinoe”, jawab saya pasrah. Jadi ceritanya, motor itulah jaminannya. 

Lama si Bapak berpikir, lalu berujar, “Boh ka jak ju ek honda.”

Hah? Hah? Apa? Batin saya girang bukan main. Saya memastikan untuk kedua kalinya. “Butoi Pak? Neu pateh lon kan? Terima kasih Pak beh.”
“Ya ya ya”, jawab si Bapak agak malas,”enteuk terima kasih watee kaleuh jok peng.”

Alamak, antara sedih dan senang deh sayanya. Tapi ya sudahlah. Yang penting si Bapak percaya dan saya tidak mau menyia-nyiakan kepercayaan Bapak ini. 

Dengan kondisi nggak bawa hape, tanda pengenal, dompet, uang cuma sisa sepuluh ribu, motor mendadak wajib masuk bengkel, dan yang diingat cuma nomor hape ayah. Itu rasanya seperti jadi orang paling miskin sedunia.

Tapi saat si Bapak ini menaruh kepercayaannya, percaya kalau saya tidak akan lari dari tanggung jawab membayar biaya perbaikan motor, kok ya rasanya jadi orang kaya ya? *agak lebay memang.
Tapi, bayangkanlah situasinya semenyedihkan itu, biar ngerti. *maksa ^^














0 komentar:

Posting Komentar