Ka,
selamat ya udah yudisium. Qe gak bilang-bilang.
Beuuugh! Itu sms paling kurang
aseum dari seorang sahabat. Baiklah, mari kita anggap saja mungkin dia merasa
terabaikan selama ini, sebab tak pernah lagi dapat berita dari saya, terlebih terkait
tugas akhir. Mungkin dia juga lelah, dan muncullah ide untuk menampar-nampar
saya. Meski dalam hati, saya sudah ngakak terlebih dahulu. Sadar sebab dia
ingin saya hubungi.
Well, akhirnya saya balas jugalah
smsnya itu. Tak pikir ini anak barangkali butuh belaian.
“Kenapa?”
Walah, sejak kapan saya bisa
balas sms sesingkat itu? Ya, cuma kenapa yang saya balas, lalu saya melanjutkan
tugas-tugas harian. Tetiba hape berbunyi musik Maher Zein, petanda ada telepon
yang masuk.
“Hmm, Wana”, desah saya. “Ada
apa, Wan?”
“Qe giliran aku sms kek gitu aja
baru mau qe balas ya”, serbunya.
Saya malah khem dhok-dhok (ketawa
ngekeh) di seberang telepon. “Hehe, jadi ada apa dulu sampek telepon-telepon?”,
sadar Wana mendengus, akhirnya saya mencoba untuk menahan geli.
“Jadi udah sampek mana dulu
skripsi qe? Aku telpon cuma mau tanya itu aja”. Serius! Itu pertanyaan paling
gak enak.
“Qe sekalinya nelpon aku kenapa
yang qe tanya skripsi? Qe gak tertarik untuk tau kabar aku? Jadi skripsi lebih
penting? Fine, kita putus!”
Tetooot...
Saya tidak sekejam itu
kok bilang-bilang putus. Tapi lebih dari itu.
*Tumis saya, Mak. Tumiiis!
Wana adalah sahabat di kampus
sejak kita memutuskan untuk bergabung di sebuah kelas yang sama. Kelas yang
dibentuk di FKIP Unsyiah, khusus jurusan Pendidikan MIPA. Kita terpilih dari
sekian puluhan yang ikut tes per bidangnya dan dikerucutkan menjadi 25, meski
pada akhirnya hanya tinggal 23 orang. Disinilah awal mulanya kita mulai
menjalin komunikasi yang intens, sampai saat ini. Awalnya saya ragu-ragu,
karena Wana orang Medan bah (meski kini menetap di Banda), tapi Wana yang tulus
dan terkadang lucu, kian menarik saya untuk jatuh dalam persahabatan ini.
“Jadi ada apa telepon-telepon? Qe
gak tau aku sibuk?”, saya mengucapkan ini sambil geli-geli.
“Nggak, aku rencana mau hadiahin
qe Al-Quran, mamak aku ada buat syukuran kecil-kecilan kemarin”, jawabnya kini
dengan serius.
“ Alhamdulillah, pas kali. Aku
pun sedang butuh Al-Quran kecil biar enak dibawa-bawa.”
Tetoooooot (lagi).
Saya keceplosan,
bilangnya butuh Al-Quran kecil padahal Wana mau hadiahnya...., mari kita simak
lagi.
“Oh gitu ya. Eh tapi, yang mau
aku hadiahkan Al-Quran besar. Tapi ada juga Al-Quran kecil yang di rumah punya
aku. Ambil aja nanti buat qe. Nanti aku ambil yang di Medan”, jelasnya.
Tetoooot (sekali lagi)
Mulut rasanya kebas. Dalam hati
memaki sejadi-jadinya. Kenapa saya jadi tidak bersyukur dan mengharap lebih
seperti ini? Huft! Sebenarnya bukan mengharap lebih. Hanya saja, saat Wana mengucapkan
ingin menghadiahkan Al-Quran, yang terlintas di pikiran saya memanglah Al-Quran
kecil yang enteng dibawa kemana-mana. Dasar pikiran!
Salah tingkah deh sayanya. Malu
lebih tepatnya.
Maafin
aku ya wan. Tapi Insya allah hadiah Al-Quran qe gak akan nganggur di rumah aku.
Dua-duanya akan aku gunakan. Yang besar untuk tilawah, yang kecil untuk muraja’ah.
Semoga bisa istiqamah.
Kemarin Wana berangkat umroh.
Setibanya di bandara Kuala Lumpur, kami masih bisa berkomunikasi lewat chat FB,
sembari menanti keberangkatan menuju Jeddah. Sekarang sampai sepuluh hari ke
depan, buat Wana dan Jannah, saudara Wana, semoga umrohnya berkah ya.
Mendengar kabar Wana akan umroh,
senang bukan kepalang. Sahabat saya akan umroh, sama menyenangkannya dengan
berita sahabat yang akan segera mengakhiri masa lajang. Kalau istilah
kekiniannya jomblo. Semoga nanti sahabat kalian yang satu ini juga bisa segera
mengakhiri masa jomblonya. Aamiiin..hehe *Aamiinkan ya, tolong aamiinkan.
Sebenarnya sudah lama ada niatan
untuk menghadiahkan Al-Quran kecil. Tapi setibanya di toko buku, melihat
tumpukan buku, saya jadi lupa dengan tujuan saya. Hingga akhirnya saya mendapat
hadiah Al-Quran dari Wana. Berharapnya dapat Al-Quran kecil, eh saya malah
dapat dua-duanya, kecil dan besar. Masya Allah.
Antara malu, sedih, dan senang
bercampur dalam three in one.
Malu lantaran keceplosan.
Bilangnya sudah lama ingin punya Al-Quran kecil, padahal Wana berniat
menghadiahkan Al-Quran besar. Huft mulut!
Sedih, sebab kok ya yang saya
ingat duniawi saja. Melihat tumpukan buku saya jadi lupa dengan tujuan awal. Lupa
melihat-lihat rak yang tersedia Al-Qurannya. Susahnya mengendalikan nafsu.
Senang karena ini hadiah. Insya
Allah lebih berkesan. Semoga berkah dan pahala bertambah-tambah dengan membaca
dan mentadaburi. Syukur-syukur hafalan juga ikut berbenah.
0 komentar:
Posting Komentar