Pages

Rabu, 24 Februari 2016

Emak dan Penantian



Sejak merantau dan kuliah di Banda, itulah kali pertama saya berjarak dengan orang tua. Dulu ketika akan masuk SMP, besar harapan saya agar diterima di pesantren Lueng Putu, tapi tak ada izin dari Ayah. Kalau Mak, ikut apa kata Ayah. Akhirnya, saya masuk SMP. Setamat SMP, saya memenuhi kualifikasi untuk mendaftar di SMA Modal Bangsa, namun lagi-lagi, Ayah tak mendukung. Katanya, masih takut dengan kejadian tsunami 3 tahun lalu. Saya kira itu hanya alasan saja. Orang tua mana yang ingin berjarak dengan anaknya. Ya sudah, saya ikuti saja kemauan ayah. Saya rasa, jika Unsyiah ada di Bireuen, mungkin saya akan kuliah di Bireuen juga. Demikian lah.

Satu hal yang saya syukuri juga Unsyiah ada di Banda, dalam artian bukan ingin berjarak dengan orang tua, hanya saja ingin belajar mandiri. Karena jika selalu bersama orang tua, saya merasa selalu berkecukupan. Segala kebutuhan terpenuhi. Saatnya saya belajar memenuhi kebutuhan secara mandiri. Maka, jika ada tawaran untuk tinggal di rumah saudara, batin saya menolak mentah-mentah. Alhamdulillah, orang tua tidak kepikiran kesana, yeay!

Tulisan kali ini tidak mengulas perjalanan hidup saya. Namun bercerita tentang Emak dan Penantian. Ada apa dengan penantian ini? Berikut ulasan yang tak singkatnya.

Minggu (21/2), tiga hari yang lalu, Mak berangkat ke Banda dengan menumpangi bus sekolah dengan rute dari Bireuen menuju Banda. Kabar ini telah saya terima beberapa hari sebelumnya. Kata Mak, beliau berangkat dengan rombongan Linto Baro ke Ujung Batee, jadi saya diminta jemput Mak di Mesjid Raya Baiturrahman selepas acara tersebut. Karena mungkin akan Dzuhur disana. Kabar ini mampu menggenapkan perasaan senang dan sedih. Senang sebab akan berjumpa Mak. Sedih sebab akan melepaskan Mak balik ke Bireuen lagi nantinya.

Jika boleh memilih, saya lebih senang mengunjungi daripada dikunjungi. Karena menjadi orang yang ditinggalkan itu pedih!

Tapi tak mungkin saya menolak kedatangan Mak. 

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Ternyata Mak mengirim pesan untuk menunggu di Simpang Mesra saja, karena bus sekolah akan melewati jalan itu. Jika harus jemput ke mesjid raya, terlalu jauh bagi kami, saya dan Andi, adik saya, demikian dalih mak. Kami pun yes saja. 

Setelah pesan itu sampai di kami, kami laju menuju Simpang Mesra dan memutuskan menunggu di tempat yang mudah dilihat oleh Mak. Andi pun menunjuk halte yang baru dibangun, tak jauh dari bundaran Simpang Mesra. 

“Mangat ta rasa duek di halte sigoe-sigoe, bek hana sagai”, katanya. Saya ikut saja. Karena saya pikir, iya juga. Hahaha

Ternyata pilihan kami tidak salah. Strategis, mudah dilihat, dan diperhatikan. Terbukti, sejak detik pertama kami duduk di halte, siapapun yang melintas, rasanya tidak nikmat jika tidak memperhatikan kami. Adik saya yang risih, langsung berpindah tempat duduk. 

“Kadang dipikee tanyoe pacaran”, demikian pikirnya.

Sebenarnya saya sudah menduga. Hanya saja, saya tidak begitu menghiraukan. Tetiba Mak sms, ”Ini baru siap makan dan naik bus, lagi tunggu satu orang lagi”.

Jiah, baru naik bus? *batin saya berteriak

“Bro, baru geu-ek moto”, kata saya pada mabro. 

Andi tak kalah terperanjat. Demi melihat air mukanya yang menjadi tak beraturan, saya tak kuasa menahan gelak. 

“Ya Allah, dengan Ujung Batee that jioh. Dengan ibuk-ibuk lom that jai macam buet. Golom ibuk-ibuk yang asik selfie lom”, gerutunya. 

Demikianlah. Karena niatan tak ingin Mak yang menunggu kami, akhirnya kami stand by begitu cepat menunggu Mak. Hening, kami terdiam dengan pikiran dan khayalan masing-masing. Kami duduk dan memandang ke arah yang sama.

“Oman, hawa teuh eh krem nyan”, tiba-tiba Andi memecah hening, “Mak pasti trep mantong”, demikian ia membuat kesimpulan. 

Eng ing eeeng.  Sejujurnya sejak awal saya juga sudah mantap, ingin membeli es krim di swalayan seberang. Akhirnya, saya mengutus Andi untuk membeli Magnum versi murahnya, hehe

Kami sepakat untuk "Jak ta foto sigoe, bah na kenang-kenangan duek di halte" xixixixi

Harapan kami, dengan memakan es krim, rasa lapar dan lelah menunggu kian meluber dan lenyap seiring dengan lelehan es krim. Namun senikmat-nikmatnya es krim, ianya hanya bisa dinikmati dalam waktu yang sejenak. Sama seperti jika sedang bersama kekasih hati, satu jam rasanya seperti baru jumpa. Ternyata teori relativitas berlaku juga saat menikmati es krim. Hmm..

Percakapan kami pun bervarian. Dimulai dari rencana konser Bergek di Bireueun yang digagalkan oleh FPI setempat. Kami punya pandangan yang berbeda. Bahkan berasal dari buah cinta orang tua yang sama, kami punya pandangan yang berbeda. Maka, tidak heran untuk menyatukan dua pendapat itu sulit, dibutuhkan pengertian dan pemahaman dalam penyatuannya. Sedarah saja bisa beda. 

Namun berbeda tetap bisa mengikat. Selain sedarah, kami punya pemahaman, toleransi, dan alasan masing-masing yang sama kuatnya. Sehingga, tak ada yang namanya, memaksakan opini masing-masing. Biarlah kesimpulan kami dapatkan sendiri. Sering percakapan kami berakhir begitu saja, tak ada kesimpulan. Namun tak ada kesimpulan juga kesimpulan. Kesimpulan bahwa tak ada kesimpulan. *Tere Liye banget

Sebenarnya jauh dari itu, masing-masing kami kembali memikirkan apa yang lawan bicara kami katakan. Maka tak jarang, kami akhirnya sepakat dengan satu kesimpulan, meski dalam waktu yang berbeda. 

Lama berbincang, tetiba hape bergetar dan mendapati nama Mak muncul, “Kami singgah sebentar di Mesjid Kajhu ya, salat disini”. 

Saya mebaca ulang apa yang tertera di layar hape, dan sudah tertebak apa yang akan terjadi dengan mabro. Dengan lebaynya dia berucap “iiyyyaaa Allllllaaaaaaahhhh”

Dengan gerutu yang sama. Ibu-ibu yang lamban, selfie-selfie, dan penumpang yang gak penuh-penuh, entah terjebak dimana.

Ternyata ekspresi lebaynya tak luput dari pesepeda motor. Beberapa pengendara sepeda motor sengaja melambatkan laju sepmornya demi memperhatikan apa yang terjadi. Aih, saya dibuat malu jadinya, dan pura-pura gak kenal adik saya. 

“Saya gak kenal, Bang. Saya gak kenal”, batin saya sambil melihat ke arah sembarangan.

Akhirnya, dek bro memutuskan tidur-tiduran di halte yang saat itu hanya dikuasai oleh kami berdua. 
“Lon jak eh siat, teungeut that. Keterlaluan that miseu mak han deuh geu kalon tanyoe”, katanya becanda dan mulai rebahan. 
 
Benar juga kalau dipikir-pikir. Sebab, baik pejalan kaki, maupun pengendara sepeda motor, tak ada yang luput memperhatikan kami. Entah apanya yang aneh. Hmmm.. Keterlaluan memang jika mak melewatkan kami. Heuheu

Senyaman-nyamannya kursi halte, seratus kali lebih nyaman kasur yang meski sudah tak lagi empuk. Terlihat dek bro berkali-kali menggeliat dan akhirnya memutuskan untuk duduk kembali.

“Mak peu na geu-sms lom?”

Sejujurnya tak ingin menyampaikan, namun ya dah lah.

“Mak peugah baru neuk ek moto nyoe”, demikian penjelasan singkat saya, tak sanggup meneruskan kalimat demi melihat wajahnya yang kembali menjadi tak beraturan. Wkwkwkwk

“Adeeeeuh, teupeu lagee nyoe, ka beh saboh pilem lon nonton”, jawabnya asal.

“Hana peu lah sigoe-goe tapreh. Pajan lom lagee nyoe”, jawabku tak kalah asal.

Sebenarnya kekesalannya hanya sebagai becandaan, karena menyesali keputusan kami untuk pergi ke Simpang Mesra terlalu cepat, sehabis salat Dzuhur. Mungkin terlalu bersemangat menjemput Mak. Sehingga kejadian tak terduga ini terjadi. Menunggu lebih dari satu jam dengan belum makan siang. Penyesalan tak seberapa untuk menunggu seseorang yang gak apa-apa. *kalimat akibat lapar

“Ci tanyong Mak di pat, meuhan bah tanyoe jemput keudeh mantong”, ujarnya.

Saya yang tengah menghayal, dibuat kekeh. Sebab itu baru kepikiran sekarang. Tapi sekali lagi, itu hanya becanda, agar kekesalan tak menumpuk di batin. Jadi saya tak terlalu menanggapi lagi. Hanya saja masih terkekeh dengan ucapan itu. 

Karena bosan, akhirnya kami memutuskan untuk membincangkan siapapun pelintas jalan raya yang memandangi kami, bahkan yang tidak peduli sekalipun, kaminya yang over peduli. Entah itu laki-laki yang mengendarai sepeda motor PINK, entah itu bapak-bapak yang mengendarai mobil tanpa atap, terlihat macho untuk ukuran bapak-bapak. Sampai ke mobil polisi yang kami berdua takjub, kenapa bisa dikenali meski jaraknya masih jauh. Becak pun tak luput dari perbincangan kami. Karena sudah lama tak lagi menaiki becak. Kami pun bernostalgia ke zaman SD dulu, sering naik becak Bang Suh. Sekarang Bang Suh sudah semakin sejahtera dan semakin banyak pelanggan becaknya. 

Tak lagi mengomel, kami bahkan menikmati sekali membincangkan orang lain. wkwkwkwk.

Hingga akhirnya bus sekolah muncul dari bundaran Simpang Mesra. Kami bertanya-tanya, apa benar itu bus yang dinaiki Mak, jangan-jangan bukan. Sebab Mak tidak menelepon atau meng-sms-i satu dari kami. 

Tiba-tiba saja bus berhenti di halte kami. Saya jadi salah tingkah dipandangi banyak pasang mata. Aih, kenapa saya harus segrogi ini. Mata kami liar mencari Mak. Alhamdulillah ada Mak diantara kerumunan. 

“Hampir saja kami sms Mamak, bilang Mamak dimana sekarang? Biar kami aja yang jemput kesana”, kataku usai membawa bawaan Mak sambil menunjuk-nunjuk mabro. “Andi yang bilang gitu, Mak. Bukan Eka”, kilah saya. 

Mak hanya tersenyum. Senyum paling manis di dunia. 


Tak ada yang lebih mengikat dari keluarga dan persaudaraan. Maka, no fb, no twitter pada hari itu. Just saya, mak, dan dek bro. Kehadiran Mak sudah lebih dari cukup untuk mengisi kegersangan diri. Kehadiran mak bak oase di padang tandus, layaknya tanah kering dan pecah-pecah yang disirami air hujan. *Perumpamaannya apa kali.


 Sayang Mak hanya semalam menginap akibat Ayah yang tak bisa jauh-jauh dari Mak. Sebentar-bentar nelpon. Kebiasaan kalau Mak udah pergi jauh. Huhuhu..







0 komentar:

Posting Komentar