Menurut gue, Sabtu sore itu paling asik buat jalan-jalan ke
toko buku. Karena apa? Bagi yang belum ada pasangan halal kayak gue, baiknya malam
Minggunya diisi dengan membaca buku-buku bermanfaat. Jadi, kalau ada yang latah
nanya-nanya,”Kok gak malam mingguan?”, Kita punya jawaban keren ”Sorry, Bro, Sist,
malam Minggu gue terlalu berharga jika dihabiskan dengan hanya jalan-jalan”.
Kerennya dimana? Ya itu dia, saat kita menjawabnya sambil membaca buku. Ya elah
dramatis banget.
Belakangan ini gue tertarik dengan buku-buku yang bisa bikin
gue tergugah untuk memperbaiki diri. Bukan buku motivasi, karena ntah kenapa,
kalau buku motivasi itu gak ada yang nempel-nempelnya di otak gue. Gue juga kurang suka
digurui. So, ya itulah kenapa gue ogah-ogahan kalau disodorin buku motivasi. Jadinya
gue lebih tertarik ke buku-buku yang Islami. Kan gue bilang memperbaiki diri
tadi.
Salim A. Fillah salah satu penulis yang gue tunggu-tunggu
karyanya setahun belakangan. Bahkan untuk karya yang bagi pecinta buku katanya
udah baholak banget, lha gue nya baru mencoba mencari-cari. Gue selalunya telat
sadar. Buku yang udah sold out, guenya baru deh nanya-nanya ke mas-mas penjaga
toko buku, “Bang, ada buku Salim A. Fillah yang judulnya tetooot?”
Jawaban si mas udah tertebak dong ya, bukunya zaman kapan,
gue belinya kapan. Nasiiib nasiiib. Dan perjuangan ini terus gue gencarkan
sampek tadi sore. Ada tiga toko buku yang gue kunjungi, dan tiga-tiganya
hasilnya nihil. Mirisnya, ada si mbak yang kagak kenal sama Salim A. Fillah.
Waduh, mbok ya maunya kan penjaga toko buku suka membaca juga, biar keren. Hmm beruntung
si mbak gak ngejawab, “Maaf, kita punya kenalan masing-masing”, kan bisa mati
gaya guenya.
Gue punya cita-cita, kalau udah berumah tangga nanti, pengen
punya pustaka mini, isinya buku-buku gue plus buku suami. Eh, itu sih kalau
suaminya suka membaca ding. Maka dari itu, sejak cita-cita itu muncul, gue
berusaha untuk menghemat uang, nyambi kerja, buat beli buku-buku bermanfaat
itu. Meski terkadang masih suka beli novel.
Tapi akhirnya gue sadar, kalau
novel hanya bisa jadi penghibur sesaat sesaat. Artinya apa, kali aja ntar novel
itu dibaca sama anak gue, cucu gue, ceritanya udah gak up to date lagi dengan
zamannya mereka. Meski memang ada novel menyejarah seperti novelnya Buya Hamka, yang
dijadiin film itu lho. Itu kan novel zaman yang baru booming sekarang. Untuk kasus
seperti ini, boleh lah novelnya kita cari. Tapi kita kan gak bisa prediksi.
Maka untuk meminimalisasi praduga, gue beralih untuk membeli buku-buku yang
bermanfaat. Setidaknya, meski ilmu pengetahuan selalu berkembang tiap waktu,
ilmu agama, tatanan agama, akan tetap sama. Kalau novel, akan dikurangi, meski belum bisa dihilangkan
begitu saja.
Alhamdulillah, tadi gue nemu buku Shaidul Khathir, buku yang
udah gue incar selama ini. Meski bahasanya agak berat bagi yang suka baca novel
kayak gue, pengalaman membaca beberapa buku Salim A. Fillah yang konon bukan
novel, sedikit membantu.
Pukul enam lebih seperempat gue mampir ke mesjid Oman. Emang
udah niat sih, buat Maghrib dan 'Isya' disini. Sekali-kali malam mingguan di mesjid,Bro,
biar gak mainstream. Kan gue juga ogah dicap Si Helka, anak jalanan, gegara
malam mingguan di jalan.
Sembari menunggu adzan, gue nyambi lagi lihat-lihat cover
buku yang gue beli. Awalnya gue ragu bakal bisa mengeruk ilmu di dalam buku itu,
tapi Bismillah saja lah. Sesuatu yang baik, baiknya diawali dengan bismillah.
Demikian juga saat menentukan pilihan. Jujur, gue selektif banget di toko buku
tadi. Karena ada beberapa buku yang gue jinjing saat tengah menyortir buku yang
lain, eh tiba di kasir, seleksi alam pun berlaku dan hanya tinggal satu buku . Hihihi, kebiasaan.
Adzan Maghrib berkumandang dan singkat kata, kami salat berjamaah
dengan (mencoba) khusyuk. Menariknya, ibu di sebelah saya mengingatkan untuk
merapatkan barisan. Gue senang, terharu, dan bangga melihat ada ibu-ibu yang tidak abai
dengan hal ini, dimana saat imam bertakbir, kadang kita juga ikut bertakbir,
padahal saf masih kosong dan jarang.
Seperti biasa, selesai salat fardhu Maghrib, jeda beberapa
waktu untuk salat sunat rawatib, selanjutnya akan ada ceramah sembari menunggu
waktu 'Isya'. Kebetulan banget malam Minggu gue kali ini bisa dengerin ceramah
syekh dari Mesir. Aih, beruntungnya gue.
Tapi ternyata gue tak seberuntung perkiraan gue. Sebenarnya
ceramahnya menarik, hanya saja otak gue gak sejalan dengan isi ceramah yang dipenggal-penggal.
Syekh memberikan tausiyah beberapa kalimat dalam bahasa Arab, kemudian
translator akan menerjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Gue yang gak fokus,
akhirnya beralih untuk mengambil Al-Quran saja daripada mendengarkan ceramah
dengan terpaksa. Al-Mulk menjadi pilihan gue.
Gue sengaja memilih tempat yang agak sepi. Eh, tapi di
samping gue ada ibu muda dengan beberapa orang anak. Yang paling kecil masih
usia balita. Bacaan gue mulai gak fokus saat anak tertua meminta gadget si
bunda untuk kemudian main game.
Kejadian menariknya adalah saat si adik meminta gadget yang
sedang dimainkan sang kakak. Tidak memaksa, namun karena diminta
berulang-ulang, terdengar seperti memaksa sih ya. Gue akhirnya berhenti
sebentar membaca Al-Quran untuk menikmati kejadian ini.
Si kakak tidak mempedulikan adiknya yang dengan suara
menggemaskan itu meminta jatah giliran ia main. Gue sih bukannya iba, sedih,
atau apapun itu, tapi malah gemas mendengarkan suara adiknya. Adzan 'Isya' pun
berkumandang. Yang lebih menarik dan ngena di gue adalah saat adiknya berkata “Kak,
adzan”, dengan maksud, udahan dulu mainnya, nanti dilanjutkan kembali.
Masyaa Allah. Usianya, taksiran gue malah belum mencapai
tujuh tahun. Suaranya masih cadel khas anak-anak. Tapi ia paham, saat adzan
berkumandang, hentikan segala aktivitas. Deg! Gue tak sengaja digurui anak
kecil.
Tak hanya guru, ustadz, bahkan kita juga bisa belajar dari
anak kecil. Sudah semestinya gue bersyukur, lagi dan lagi. Karena masih bisa
merasakan, menikmati, dan memahami sekecil apapun kebaikan yang ada di
sekeliling gue. Sebab, masih banyak juga orang yang tak lagi memahami kebaikan,
bahkan besar sekalipun, terlebih lagi disusupi khusus padanya untuk
menasihatinya, namun ianya tak bergeming. Boleh jadi, ada nikmat yang telah terangkat.
Nikmat iman kah. Wallahu a’lam. Maka, layaklah gue kembali bersyukur untuk
setiap nikmat yang masih gue rasakan. Karena alam tak ubahnya perpustakaan
Ilahi. Ada ilmu dalam tiap-tiap jengkalnya.
0 komentar:
Posting Komentar