Pages

Sabtu, 20 Februari 2016

Me And Malam Minggu

Menurut gue, Sabtu sore itu paling asik buat jalan-jalan ke toko buku. Karena apa? Bagi yang belum ada pasangan halal kayak gue, baiknya malam Minggunya diisi dengan membaca buku-buku bermanfaat. Jadi, kalau ada yang latah nanya-nanya,”Kok gak malam mingguan?”, Kita punya jawaban keren ”Sorry, Bro, Sist, malam Minggu gue terlalu berharga jika dihabiskan dengan hanya jalan-jalan”. Kerennya dimana? Ya itu dia, saat kita menjawabnya sambil membaca buku. Ya elah dramatis banget. 

Belakangan ini gue tertarik dengan buku-buku yang bisa bikin gue tergugah untuk memperbaiki diri. Bukan buku motivasi, karena ntah kenapa, kalau buku motivasi itu gak ada yang nempel-nempelnya di otak gue. Gue juga kurang suka digurui. So, ya itulah kenapa gue ogah-ogahan kalau disodorin buku motivasi. Jadinya gue lebih tertarik ke buku-buku yang Islami. Kan gue bilang memperbaiki diri tadi. 

Salim A. Fillah salah satu penulis yang gue tunggu-tunggu karyanya setahun belakangan. Bahkan untuk karya yang bagi pecinta buku katanya udah baholak banget, lha gue nya baru mencoba mencari-cari. Gue selalunya telat sadar. Buku yang udah sold out, guenya baru deh nanya-nanya ke mas-mas penjaga toko buku, “Bang, ada buku Salim A. Fillah yang judulnya tetooot?”

Jawaban si mas udah tertebak dong ya, bukunya zaman kapan, gue belinya kapan. Nasiiib nasiiib. Dan perjuangan ini terus gue gencarkan sampek tadi sore. Ada tiga toko buku yang gue kunjungi, dan tiga-tiganya hasilnya nihil. Mirisnya, ada si mbak yang kagak kenal sama Salim A. Fillah. Waduh, mbok ya maunya kan penjaga toko buku suka membaca juga, biar keren. Hmm beruntung si mbak gak ngejawab, “Maaf, kita punya kenalan masing-masing”, kan bisa mati gaya guenya. 

Gue punya cita-cita, kalau udah berumah tangga nanti, pengen punya pustaka mini, isinya buku-buku gue plus buku suami. Eh, itu sih kalau suaminya suka membaca ding. Maka dari itu, sejak cita-cita itu muncul, gue berusaha untuk menghemat uang, nyambi kerja, buat beli buku-buku bermanfaat itu. Meski terkadang masih suka beli novel. 

Tapi akhirnya gue sadar, kalau novel hanya bisa jadi penghibur sesaat sesaat. Artinya apa, kali aja ntar novel itu dibaca sama anak gue, cucu gue, ceritanya udah gak up to date lagi dengan zamannya mereka. Meski memang ada novel menyejarah seperti novelnya Buya Hamka, yang dijadiin film itu lho. Itu kan novel zaman yang baru booming sekarang. Untuk kasus seperti ini, boleh lah novelnya kita cari. Tapi kita kan gak bisa prediksi. Maka untuk meminimalisasi praduga, gue beralih untuk membeli buku-buku yang bermanfaat. Setidaknya, meski ilmu pengetahuan selalu berkembang tiap waktu, ilmu agama, tatanan agama, akan tetap sama. Kalau novel,  akan dikurangi, meski belum bisa dihilangkan begitu saja. 

Alhamdulillah, tadi gue nemu buku Shaidul Khathir, buku yang udah gue incar selama ini. Meski bahasanya agak berat bagi yang suka baca novel kayak gue, pengalaman membaca beberapa buku Salim A. Fillah yang konon bukan novel, sedikit membantu. 

Pukul enam lebih seperempat gue mampir ke mesjid Oman. Emang udah niat sih, buat Maghrib dan 'Isya' disini. Sekali-kali malam mingguan di mesjid,Bro, biar gak mainstream. Kan gue juga ogah dicap Si Helka, anak jalanan, gegara malam mingguan di jalan. 

Sembari menunggu adzan, gue nyambi lagi lihat-lihat cover buku yang gue beli. Awalnya gue ragu bakal bisa mengeruk ilmu di dalam buku itu, tapi Bismillah saja lah. Sesuatu yang baik, baiknya diawali dengan bismillah. Demikian juga saat menentukan pilihan. Jujur, gue selektif banget di toko buku tadi. Karena ada beberapa buku yang gue jinjing saat tengah menyortir buku yang lain, eh tiba di kasir, seleksi alam pun berlaku dan hanya tinggal satu buku . Hihihi, kebiasaan. 

Adzan Maghrib berkumandang dan singkat kata, kami salat berjamaah dengan (mencoba) khusyuk. Menariknya, ibu di sebelah saya mengingatkan untuk merapatkan barisan. Gue senang, terharu, dan bangga melihat ada ibu-ibu yang tidak abai dengan hal ini, dimana saat imam bertakbir, kadang kita juga ikut bertakbir, padahal saf masih kosong dan jarang. 

Seperti biasa, selesai salat fardhu Maghrib, jeda beberapa waktu untuk salat sunat rawatib, selanjutnya akan ada ceramah sembari menunggu waktu 'Isya'. Kebetulan banget malam Minggu gue kali ini bisa dengerin ceramah syekh dari Mesir. Aih, beruntungnya gue. 

Tapi ternyata gue tak seberuntung perkiraan gue. Sebenarnya ceramahnya menarik, hanya saja otak gue gak sejalan dengan isi ceramah yang dipenggal-penggal. Syekh memberikan tausiyah beberapa kalimat dalam bahasa Arab, kemudian translator akan menerjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Gue yang gak fokus, akhirnya beralih untuk mengambil Al-Quran saja daripada mendengarkan ceramah dengan terpaksa. Al-Mulk menjadi pilihan gue. 

Gue sengaja memilih tempat yang agak sepi. Eh, tapi di samping gue ada ibu muda dengan beberapa orang anak. Yang paling kecil masih usia balita. Bacaan gue mulai gak fokus saat anak tertua meminta gadget si bunda untuk kemudian main game. 

Kejadian menariknya adalah saat si adik meminta gadget yang sedang dimainkan sang kakak. Tidak memaksa, namun karena diminta berulang-ulang, terdengar seperti memaksa sih ya. Gue akhirnya berhenti sebentar membaca Al-Quran untuk menikmati kejadian ini.

Si kakak tidak mempedulikan adiknya yang dengan suara menggemaskan itu meminta jatah giliran ia main. Gue sih bukannya iba, sedih, atau apapun itu, tapi malah gemas mendengarkan suara adiknya. Adzan 'Isya' pun berkumandang. Yang lebih menarik dan ngena di gue adalah saat adiknya berkata “Kak, adzan”, dengan maksud, udahan dulu mainnya, nanti dilanjutkan kembali. 

Masyaa Allah. Usianya, taksiran gue malah belum mencapai tujuh tahun. Suaranya masih cadel khas anak-anak. Tapi ia paham, saat adzan berkumandang, hentikan segala aktivitas. Deg! Gue tak sengaja digurui anak kecil. 

Tak hanya guru, ustadz, bahkan kita juga bisa belajar dari anak kecil. Sudah semestinya gue bersyukur, lagi dan lagi. Karena masih bisa merasakan, menikmati, dan memahami sekecil apapun kebaikan yang ada di sekeliling gue. Sebab, masih banyak juga orang yang tak lagi memahami kebaikan, bahkan besar sekalipun, terlebih lagi disusupi khusus padanya untuk menasihatinya, namun ianya tak bergeming. Boleh jadi, ada nikmat yang telah terangkat. Nikmat iman kah. Wallahu a’lam. Maka, layaklah gue kembali bersyukur untuk setiap nikmat yang masih gue rasakan. Karena alam tak ubahnya perpustakaan Ilahi. Ada ilmu dalam tiap-tiap jengkalnya.

0 komentar:

Posting Komentar