Pages

Sabtu, 13 Februari 2016

Tak Lagi Untuk Dinilai



Terkadang hidup tak berjalan sesuai rencana. Disinilah kita dituntut untuk berjuang. Namun, perjuangan pun bukannya tak berdarah-darah. Karena ianya berjalan seiring dengan pengorbanan. 

Perjuangan untuk saat ini adalah perjuangan menghadapi pertanyaan siapa calonnya dan kapan sidang? Pertanyaan yang terkadang bikin hati gerimis, mata menangis. Untuk pertanyaan pertama yang tiada upaya saya menjawabnya, yang bisa saya lakukan adalah mendoakannya agar tak tersesat dalam pengembaraannya menyusuri jalanan. Meski terkadang ada kecemburuan yang membatin melihat teman yang telah menikah dan menimang bayi, namun saya meyakini yang janji Tuhan tak pernah meleset. Ketetapannya akan datang tepat pada waktunya. 

Untuk pertanyaan kedua, harus saya jawab meski terkadang pedihnya menyayat-nyayat. Perjuangan mendapati gelar S. Pd tak jarang membuat saya berkali-kali terjatuh hingga terseok-seok. Kata teman saya, "Gak apa, biar nanti ada sesuatu yang bisa kita ceritakan pada anak-anak". Sebuah alasan yang sedikit mengada-ada. 

Namun ada satu cita-cita kecil saya sebelum sidang, yaitu mengkhatamkan hafalan Al-Quran minimal juz 30. Sederhana sekali bukan? Juz 30 saja, di usia yang hampir mencapai seperempat abad. Malu rasanya, karena saya merasa terlambat sadar. Hidup dalam gelimang jahiliyah, tak membuat saya kepikiran untuk menghafal Al-Quran. Saya pernah berpikir, buat apa menghafal untuk kemudian saya lupakan, seperti hafalan-hafalan yang disarankan oleh guru PAI semasa sekolah dulu. Bukankah itu malah berdosa? Menghafal untuk nilai, lalu terlupa begitu saja. 

Pernah suatu ketika saya berdiskusi dengan seorang teman. Dia mengungkapkan pendapat yang sama persis seperti pemikiran saya dulu, saat dalam kubangan jahiliyah. Buat apa menghafal, bukankah lebih baik kita benarkan dulu bacaan Al-Quran kita? Kita pas kan dulu makhrajil hurufnya?

Yap, saya setuju untuk pendapat membenarkan bacaan Al-Quran ini. Karena salah-salah baca, maka artinya bisa saja melenceng dan mengurangi keberkahan membaca. Namun ungkapan buat apa menghafal itu sangatlah mengganggu. Seolah menggiring opini untuk tak perlu menghafal. Tak ubahnya seperti seseorang yang dinasehati kebenaran lalu dia merasa kesal karena sudah tahu dan harus mempraktikkannya. “Kan kalau gak tahu gak apa-apa, gak berdosa karena gak tahu”, demikian kesimpulannya. Inilah niatan yang kurang baik dan memicu penumpulan kinerja otak dan akal. 

Alhamdulillah, berkat doa orang tua sembari terus menggali ilmu, baik melalui bacaan ataupun berguru, saya membulatkan tekad untuk meninggalkan masa jahiliyah tersebut. Perlahan mind set saya mengenai menghafal berangsur berubah. Menghafal tak lagi untuk dinilai manusia, namun agar saya selalu dekat dengan Al-Quran dan mendapat nilai langsung dari Allah. Tak apa menghafal lima ayat setiap usai salat. Jika di juz 30, mungkin lima ayat tersebut hanya mencapai dua atau tiga baris saja. Bukanlah hal yang terlalu sulit menurut saya. Lantas, jika ada pendapat nyeleneh yang mengatakan agar menyiapkan skripsi dulu baru mikir yang lain, hati kecil saya memberontak. Bagaimana bisa lima ayat tersebut akan mengganggu kelancaran menyelesaikan skripsi?

Percaya atau tidak, sebenarnya menghafal tidaklah sulit. Bagi pemula seperti saya, boleh jadi memuraja’ah adalah kesulitan terbesarnya. Karena semakin banyak kuantitas hafalan, maka semakin banyak pula ayat bahkan surat yang mesti kita ulang dan muraja’ah. Ditambah pengaruh iman yang naik turun. Ada kalanya giat menghafal dan mengulang-ngulang hafalan, namun ada saatnya ketika iman tengah lesu, kualitas hafalan menurun, dan gairah memuraja’ah sirna. Ada baiknya, semangat yang memadam diganti dengan membaca buku bermanfaat sebagai pemantik untuk menggugah kembali semangat menghafal ini. Atau berkumpul dengan teman yang memiliki visi yang sama bisa dijadikan pilihan untuk saling menguatkan. Apalah lagi jika teman hidup. Saya yang muraja'ah, kamu yang menyimak *ngeeeenggggg :)

Tak ada persaingan dalam menghafal, karena kita bersaing dengan diri sendiri. Namun, fastabiqul khairat adalah hal yang dianjurkan. Menghafal Al-Quran adalah hal yang baik, maka mari berlomba-lomba. Menghafal Al-Quran juga merupakan bentuk perjuangan. Perjuangan melawan godaan dan hawa nafsu. Godaan berisik akan selalu datang kapan dan dari arah mana saja. Sampai tulisan ini saya bagikan, godaan berisik belum berhenti menyambangi dan mampir. 

Saya percaya, godaan tersebut memang tak akan berhenti hingga saatnya tiba. Karena memang godaan tersebut datang setiap kali kita akan berbuat kebajikan. Godaan ini bermacam-macam bentuknya. Jenuh, menguap, susah menangkap hafalan, merupakan sedikit godaan yang tampak. Bersebab godaan tersebut tak akan bisa ditepis dan hilang begitu saja, maka semuanya berpulang pada diri kita masing-masing. Sejauh mana mampu mengatasi godaan berisik ini. Memperbanyak istighfar boleh jadi alternatif saat godaan tengah membadai hati.

Musik adalah kebahagiaan. Segoda-godanya godaan. Representasi perasaan. Ia adalah salah satu godaan terbesar selain maksiat dan godaan yang kasatmata. Perjuangan untuk meminimalisasi konsumsi musik bukanlah hal yang mudah. Karena tak hanya di kost, pusat-pusat perbelanjaan, bahkan angkutan umum, musik kian diincar sebagai pengusir sepi, meramaikan hati. Baiklah, saya bisa saja menghindari pusat-pusat perbelanjaan dan angkutan umum, namun saya tak dapat menghindari kost, tempat berteduh saya selama menjadi mahasiswa rantauan. Terkadang bukan saya yang menghidupkan musik, namun teman di kost. Ujian pun digelar. 

Yang saya ketahui, musik tidaklah baik bagi kualitas hafalan. Benar saja, saat saya telah menguasai beberapa ayat dan meletakkan Al-Quran untuk kemudian melakukan berbagai aktivitas dengan diselingi musik, maka yang terjadi, saat saya memuraja'ah hafalan, saya akan lupa entah itu satu ayat, atau bahkan barisnya yang berubah jadi acak adut.

Sebagai pembaca, tolong benarkan jika yang saya lakukan adalah sebuah kesalahan, bersebab masih teramat dangkalnya ilmu. Saya belum bisa menghapus musik dari kehidupan saya. Tapi saya sedang berusaha untuk meminimalisasi mendengarkannya. Maher Zain merupakan salah satu penyanyi yang darinya saya masih belum bisa move on. Saya masih mencari pembenaran untuk musik yang bernilai islami. 

Pilihan ini mau tak mau membuat saya harus ekstra keras menghafal kembali. Namun tak mengapa, dengan demikian saya akan sering mengulang-ngulang hafalan. Semakin besar daya juang, maka semakin dekatlah saya dengan Al-Quran, demikian pikir saya. Agaknya niat saya menghafal Al-Quran harus di-ugrade tiap waktu. Karena tujuan saya menghafal belumlah untuk mencapai hafalan berjuz-juz apalagi mencapai 30 juz, namun untuk mendekatkan diri dan hati dengan kalam Allah. Namun, juz 30 akan menjadi pijakan untuk bisa menghafal berjuz-juz. Semoga petunjuk di dalamnya selalu menjadi jalan penerang kehidupan. 

Duhai Yang membolak-balikkan hati, tetapkan hati kami di jalan orang-orang yang Kau beri nikmat atas mereka.

0 komentar:

Posting Komentar