Terkadang hidup tak berjalan
sesuai rencana. Disinilah kita dituntut untuk berjuang. Namun, perjuangan pun
bukannya tak berdarah-darah. Karena ianya berjalan seiring dengan pengorbanan.
Perjuangan untuk saat ini adalah
perjuangan menghadapi pertanyaan siapa calonnya dan kapan sidang? Pertanyaan
yang terkadang bikin hati gerimis, mata menangis. Untuk pertanyaan pertama yang
tiada upaya saya menjawabnya, yang bisa saya lakukan adalah mendoakannya agar tak
tersesat dalam pengembaraannya menyusuri jalanan. Meski terkadang ada kecemburuan
yang membatin melihat teman yang telah menikah dan menimang bayi, namun saya
meyakini yang janji Tuhan tak pernah meleset. Ketetapannya akan datang tepat pada
waktunya.
Untuk pertanyaan kedua, harus
saya jawab meski terkadang pedihnya menyayat-nyayat. Perjuangan mendapati gelar
S. Pd tak jarang membuat saya berkali-kali terjatuh hingga terseok-seok. Kata teman saya, "Gak apa, biar nanti ada sesuatu yang bisa kita ceritakan pada anak-anak". Sebuah alasan yang sedikit mengada-ada.
Namun
ada satu cita-cita kecil saya sebelum sidang, yaitu mengkhatamkan hafalan Al-Quran
minimal juz 30. Sederhana sekali bukan? Juz 30 saja, di usia yang hampir
mencapai seperempat abad. Malu rasanya, karena saya merasa terlambat sadar. Hidup
dalam gelimang jahiliyah, tak membuat saya kepikiran untuk menghafal Al-Quran. Saya
pernah berpikir, buat apa menghafal untuk kemudian saya lupakan, seperti hafalan-hafalan
yang disarankan oleh guru PAI semasa sekolah dulu. Bukankah itu malah berdosa?
Menghafal untuk nilai, lalu terlupa begitu saja.
Pernah suatu ketika saya
berdiskusi dengan seorang teman. Dia mengungkapkan pendapat yang sama persis seperti
pemikiran saya dulu, saat dalam kubangan jahiliyah. Buat apa menghafal,
bukankah lebih baik kita benarkan dulu bacaan Al-Quran kita? Kita pas kan dulu makhrajil hurufnya?
Yap, saya setuju untuk pendapat
membenarkan bacaan Al-Quran ini. Karena salah-salah baca, maka artinya bisa saja
melenceng dan mengurangi keberkahan membaca. Namun ungkapan buat apa menghafal
itu sangatlah mengganggu. Seolah menggiring opini untuk tak perlu menghafal. Tak
ubahnya seperti seseorang yang dinasehati kebenaran lalu dia merasa kesal
karena sudah tahu dan harus mempraktikkannya. “Kan kalau gak tahu gak apa-apa,
gak berdosa karena gak tahu”, demikian kesimpulannya. Inilah niatan yang kurang
baik dan memicu penumpulan kinerja otak dan akal.
Alhamdulillah, berkat doa orang
tua sembari terus menggali ilmu, baik melalui bacaan ataupun berguru, saya
membulatkan tekad untuk meninggalkan masa jahiliyah tersebut. Perlahan mind set saya mengenai menghafal berangsur berubah. Menghafal tak lagi untuk dinilai manusia,
namun agar saya selalu dekat dengan Al-Quran dan mendapat nilai langsung dari
Allah. Tak apa menghafal lima ayat setiap usai salat. Jika di juz 30, mungkin lima
ayat tersebut hanya mencapai dua atau tiga baris saja. Bukanlah hal yang terlalu
sulit menurut saya. Lantas, jika ada pendapat nyeleneh yang mengatakan agar
menyiapkan skripsi dulu baru mikir yang lain, hati kecil saya memberontak.
Bagaimana bisa lima ayat tersebut akan mengganggu kelancaran menyelesaikan
skripsi?
Percaya atau tidak, sebenarnya
menghafal tidaklah sulit. Bagi pemula seperti saya, boleh jadi memuraja’ah
adalah kesulitan terbesarnya. Karena semakin banyak kuantitas hafalan, maka
semakin banyak pula ayat bahkan surat yang mesti kita ulang dan muraja’ah. Ditambah
pengaruh iman yang naik turun. Ada kalanya giat menghafal dan mengulang-ngulang
hafalan, namun ada saatnya ketika iman tengah lesu, kualitas hafalan menurun,
dan gairah memuraja’ah sirna. Ada baiknya, semangat yang memadam diganti
dengan membaca buku bermanfaat sebagai pemantik untuk menggugah kembali semangat menghafal ini. Atau berkumpul dengan teman yang memiliki visi yang sama bisa dijadikan pilihan untuk saling menguatkan. Apalah lagi jika teman hidup. Saya yang muraja'ah, kamu yang menyimak *ngeeeenggggg :)
Tak ada persaingan dalam menghafal, karena
kita bersaing dengan diri sendiri. Namun, fastabiqul khairat adalah hal yang dianjurkan. Menghafal Al-Quran adalah hal yang baik, maka mari berlomba-lomba. Menghafal Al-Quran juga merupakan bentuk perjuangan. Perjuangan melawan godaan dan hawa nafsu. Godaan
berisik akan selalu datang kapan dan dari arah mana saja. Sampai tulisan ini saya
bagikan, godaan berisik belum berhenti menyambangi dan mampir.
Saya percaya,
godaan tersebut memang tak akan berhenti hingga saatnya tiba. Karena memang
godaan tersebut datang setiap kali kita akan berbuat kebajikan. Godaan ini bermacam-macam bentuknya. Jenuh, menguap, susah menangkap hafalan, merupakan sedikit godaan yang tampak. Bersebab godaan tersebut tak akan bisa ditepis dan hilang begitu saja, maka semuanya berpulang pada diri kita masing-masing. Sejauh mana mampu mengatasi godaan berisik ini. Memperbanyak istighfar boleh jadi alternatif saat godaan tengah membadai hati.
Musik adalah kebahagiaan. Segoda-godanya
godaan. Representasi perasaan. Ia adalah salah satu godaan terbesar selain maksiat
dan godaan yang kasatmata. Perjuangan untuk meminimalisasi konsumsi musik
bukanlah hal yang mudah. Karena tak hanya di kost, pusat-pusat perbelanjaan, bahkan
angkutan umum, musik kian diincar sebagai pengusir sepi, meramaikan hati. Baiklah, saya bisa saja
menghindari pusat-pusat perbelanjaan dan angkutan umum, namun saya tak dapat
menghindari kost, tempat berteduh saya selama menjadi mahasiswa rantauan. Terkadang bukan saya yang menghidupkan musik, namun teman di kost. Ujian pun digelar.
Yang saya ketahui, musik tidaklah
baik bagi kualitas hafalan. Benar saja, saat saya telah menguasai beberapa
ayat dan meletakkan Al-Quran untuk kemudian melakukan berbagai aktivitas dengan diselingi musik, maka yang terjadi,
saat saya memuraja'ah hafalan, saya akan lupa entah itu satu ayat, atau bahkan barisnya yang berubah jadi acak
adut.
Sebagai pembaca, tolong benarkan
jika yang saya lakukan adalah sebuah kesalahan, bersebab masih teramat
dangkalnya ilmu. Saya belum bisa menghapus musik dari kehidupan saya. Tapi saya
sedang berusaha untuk meminimalisasi mendengarkannya. Maher Zain merupakan salah
satu penyanyi yang darinya saya masih belum bisa move on. Saya masih mencari
pembenaran untuk musik yang bernilai islami.
Pilihan ini mau tak mau membuat saya harus
ekstra keras menghafal kembali. Namun tak mengapa, dengan demikian saya akan
sering mengulang-ngulang hafalan. Semakin besar daya juang, maka semakin
dekatlah saya dengan Al-Quran, demikian pikir saya. Agaknya niat saya menghafal Al-Quran harus di-ugrade tiap waktu. Karena tujuan saya menghafal
belumlah untuk mencapai hafalan berjuz-juz apalagi mencapai 30 juz, namun untuk
mendekatkan diri dan hati dengan kalam Allah. Namun, juz 30 akan menjadi
pijakan untuk bisa menghafal berjuz-juz. Semoga petunjuk di dalamnya selalu
menjadi jalan penerang kehidupan.
Duhai Yang membolak-balikkan
hati, tetapkan hati kami di jalan orang-orang yang Kau beri nikmat atas mereka.
0 komentar:
Posting Komentar