Pages

Selasa, 29 November 2016

Sebuah Awalan Baru



Tubuh tinggi besar itu memasuki matras. Setelah aba-aba, serempak kami memberi salam penghormatan dan berdoa menurut keyakinan masing-masing. Dengan mengenakan dobok putih dan sabuk hitamnya, ia memimpin pemanasan hingga usai. 

“Hari ini kita akan memperbagus tiga tendangan: Ap Chagi, Dollyo Chagi, dan Deol Chagi. Bosan memang. Karena itu-itu saja. Tapi itu materi dasar dan basic kita harus kuat”, ujar sabeum di awal sesi latihan. 

Sabeum membagi kami menjadi 7 kelompok dan berbaris sesuai kelompok. Hal ini mempermudah sabeum melihat tendangan dari setiap anak didiknya. 

“Barisan pertama masuk matras”, perintah sabeum. Berulang-ulang. Berulang-ulang. Berulang-ulang. Hingga seluruh peserta selesai memeragakan ketiga tendangannya. Sabeum memerintahkan kami mengatur napas. Keringat mengucur deras dan membasahi pakaian. Kadang kami meringis. Tapi hebatnya, kami tak pernah menangis. Dan hei, bukankah sebelum memutuskan untuk bergabung, kami sudah tahu konsekuensinya. 

Sekujur tubuh akan terasa nyeri pasca awal latihan. Pinggang, paha, betis, lengan, bahkan leher sakit bukan barang baru dan kadang kita harus melewati rasa sakit itu bukan dengan mengenyahkannya, tapi dengan memeluknya erat. Caranya dengan terus latihan. Bukan berhenti dan berdiam di tempat. 

“Beberapa diantara kalian sudah bagus tendangannya. Yang saya panggil, maju ke depan dan peragakan contoh gerakannya agar bisa jadi motivasi untuk teman yang lain”, ujar sabeum mantap.

Sabeum mendekat dan perasaanku mulai tidak karuan. “Nama kamu siapa?”, tanya sabeum dan fix aku jadi salah tingkah dan malu dipandangi puluhan pasang mata. Aku suka tantangan, tapi sejak dulu tantangan yang paling kuhindari adalah tampil di depan banyak orang, dan pertanyaan sabeum bikin suasana hatiku kusut. 

“Jati, Sabeum”, jawabku singkat. Ingin ini semua segera berakhir.

“Dollyo Chagi kamu bagus. Coba maju ke depan biar jadi motivasi untuk teman yang lain”, pinta sabeum.

Hidungku sempat mekar dan kembang kempis rasanya. Kepalan tanganku sigap meremas jemari. Entah kekuatan apa yang merasuki, saat itu aku tampil penuh percaya diri dengan kihap (teriakan dari dalam perut) yang dulunya malu-malu, kini lantang berkoar. Kalau boleh jujur, teriakan itu justru datang dari dalam jiwa yang tertekan. Untuk mengurangi tekanan itulah aku berteriak lantang dan sabeum mengatakan bahwa aku bagus kalau ditampilkan untuk aksi. Sejujurnya aku tidak terlalu paham aksi apa yang dimaksud. Tapi satu hal yang kupahami betul, sejak saat itu, semangatku bertambah-tambah. Aku seperti menemukan kembali semangatku yang sempat redup. 

Barangkali untuk membangkitkan semangat seseorang, dibutuhkan sebuah pengakuan. Aku telah menggenggam itu dan terus berusaha untuk terus menggenggamnya. Setiap ada latihan, aku selalu berusaha untuk hadir, kecuali bentrok dengan jadwal mencari nafkah. Maklum, berhubung anak ayah-mak yang masih single, jadi harus mandiri secara finansial. Hitung-hitung belajar hidup mandiri sebelum jadi double. Huhu.

Sesi latihan terus berlanjut hingga hitungan bulan. Tubuhku yang awalnya sering sakit-sakitan selepas latihan, kini berangsur membaik.
“Jati, kalau ada kejuaraan, kamu mau ikut?”, suara berat itu mengejutkanku. Bukan karena volume suaranya yang menggema, akan tetapi sebab pertanyaannya tertuju padaku dan tak bisa langsung kujawab. Kutatap ia sekilas, memastikan keseriusan pertanyaannya. 

“Mau bilang”, timpal satu senior. “Mau, sabeum! Gitu jawab”, desaknya lagi setelah tak terlihat tanda-tanda aku akan menjawab. 

“Ah, iya, mm.. mau sabeum!”, jawabku ragu dan patah-patah, sedang teman yang lain sedang berlatih memeragakan tendangannya. 

“Usia tidak mempengaruhi, Sabeum?”, tanyaku dan ini adalah pertanyaan yang sejak lama ingin ditanyakan. 

***
 
Oya, Aku Jati. Kata Emak, itu nama yang disarankan oleh dokter yang mengurusi persalinan Emak. Dr. Jati namanya. Kata jati yang identik dengan kayu jati yang bersifat keras agaknya cocok mewakili karakter anak sulung sepertiku. Aku pun mulai menyukai nama ini. 

Sudah lama aku ingin berlatih bela diri. Namun niatan ini berbenturan dengan fokusku di bidang akademik hingga mimpi ini pun menguap. Sejak awal tidak ada niatku untuk ikut kejuaraan atau merebut medali dan mewakili dojang atau instansi manapun. Bahkan melintas di pikiran saja tidak, sebab usia yang telah lanjut. Berlatih bela diri murni untuk self defense saja. 

Sebagai perempuan yang sering menjadi mangsa empuk pelaku kriminal, ini salah satu bentuk ikhtiar yang bisa kuusahakan. Berita kriminal yang mengkhawatirkan, mau tak mau ikut menyedot perhatianku. 

Meski belum mencapai sasaran, sepertinya ini akan menjadi awal yang baik. Jika pun tidak kesampaian, toh ini tidak melukai niatan awal yang hanya ingin berlatih untuk melindungi diri. Tapi agaknya Tuhan berkata lain. Tuhan ingin aku mengepakkan sayap lebih lebar. Ia memberikan bonus. 
 

0 komentar:

Posting Komentar