Pages

Kamis, 26 Desember 2013

Refleksi Bersejarah Sembilan Tahun Silam


Masih ingatkah kalian dengan tragedi 9 tahun silam?
Sebuah kejadian yang menonjol sehingga menjadi pemberitaan berhari-hari. Disiarkan oleh siaran televisi nasional tiap jam nya untuk meng-up-date perkembangan beritanya. Pembuktian Maha Besar nya Allah di atas segala sesuatu.

Ombak besar yang menggulung kota Banda Aceh, tanpa ba-bi-bu, langsung melahap sebagian besar kotanya. Tidak kenal ampun. Mengabaikan jerit-jerit dan tangis ketakutan. Gempa yang mengakibatkan tsunami meluluhlantakkan jantong hatee Seuramoe Mekkah. Bencana yang menjadi catatan sejarah duka yang mendalam bagi Indonesia, khususnya Aceh sendiri.

Segala atribut kota ludes dalam seketika. Maraknya perayaan Natalan malamnya berubah menjadi kelabu. Banda Aceh mati. Paling tidak, untuk saat itu. Posko-posko penampungan pengungsi tersebar si setiap titik bebas tsunami.

Banda Aceh yang tertata indah berubah begitu menakutkan dan menyeramkan. Mayat-mayat bersliweran di setiap penjuru kota. Membuat mata dan hati terasa pedih menatapnya. Aceh berduka. Banyak keluarga yang kehilangan handai taulan. Istri yang beralih status menjadi janda, suami yang menduda, anak yang kehilangan orang tua, dan berbagai macam bentuk kehilangan lainnya.

Ujian, ataukah Peringatan?

Boleh jadi, Allah sedang menguji ummatNya untuk membuktikan seberapa besar ummat percaya dan cinta terhadapNya. Menjadikan kesabaran sebagai benteng keimanan. Karena sebagaimana kita tahu, Allah tidak akan memberikan suatu cobaan melebihi batas kemampuan ummatNya. Dan percayalah, di setiap ujian yang Allah berikan, pasti ada teka-teki kehidupan. Disitulah fungsinya kita sebagai manusia yang derajatnya paling tinggi diantara makhluk Allah yang lain, dituntut untuk menemukan jawaban dari rahasia dibalik setiap ujian itu. Mampu memetik hikmah di balik setiap cobaan. Fa inna ma’al ‘usri yusraa.

Barangkali, inilah peringatan yang diberikan Allah sebagaimana peringatan yang diberikan kepada kaum Nabi Nuh dahulu. Barangkali, Allah muak dengan segala tingkah polah hamba-hambaNya. Tercatat, begitu banyak kasus kriminalitas yang beredar dan menjadi perbincangan publik. Bisa dilihat di setiap surat kabar pro haba yang terbit setiap harinya. Atau krimintalitas yang sedikit lebih bergengsi. Antek-antek yang menjalani roda-roda pemerintahan. Tikus-tikus berdasi yang memakan uang rakyat untuk memenuhi kepuasan duniawinya. Fenomena politik-tainment. Sandiwara dan permainan politik.

Atau lihat saja, bagaimana muda mudi menikmati masa lajangnya. Sungguh akan kita temukan pemandangan yang menyesakkan, manakala muda mudi sudah kehilangan muka. Berduaan di tempat remang-remang, berasyik-masyhuk di depan umum. Tidak peduli dengan pandangan sinis dan sindiran dari orang sekitar. Astaghfirullah.

Bantuan segera berdatangan. Tidak hanya dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri. Banyak sekali relawan yang ditugaskan untuk membantu menguatkan mentalitas para pengungsi, terlebih anak-anak. Memberikan secercah cahaya akan janji-janji kehidupan yang lebih baik. Membangun kembali paradigma positif dari keterpurukan. Aceh terus berbenah. Infrastruktur dan prasarana kota terus dibangun. Lihatlah sekarang, Banda Aceh sudah kembali tertata rapi, bahkan tidak lebih dari kurun waktu 5 tahun.

Merujuk kembali pada pandangan apakah bencana tsunami itu merupakan ujian ataukah peringatan? Wallahu a’lam. Satu hal yang jelas, fenomena muda-mudi yang tampak menjadi fenomena biasa-biasa saja itu sekarang sudah muncul kembali. Kriminalitas juga gencar menghiasi media pemberitaan. Akankah kita terus menutup mata dan telinga?

Sembilan tahun sudah Aceh melewati zona kritis. Bangkit dari titik nadirnya. Masyarakat telah beraktivitas seperti biasa. Terlihat seperti telah melupakan apa yang terjadi beberapa tahun silam. Seolah-seolah, tidak ada lagi bekas tsunami dan gempa dahsyat itu. Lihatlah, krisis moral dan karakter kembali merajai bangsa. Tidak cukupkah bencana besar ini membuka mata hati kita? Entahlah.

Bencana maha dahsyat yang terjadi di pagi Minggu, 26 Desember 2004, patutnya harus selalu menjadi renungan untuk terus memperbaiki diri dan mendekatkan diri pada Sang Khalik. Momentum 26 Desember, sama halnya dengan hari Ibu 22 Desember lalu, agaknya harus selalu terpatri dan tersemai dalam diri.

#9TahunTsunamiAceh

0 komentar:

Posting Komentar