Pages

Senin, 02 Desember 2013

Membenarkan yang Biasa atau Membiasakan yang Benar

Sebut saja namanya Yanto. Lelaki berusia senja. Bisa ditaksir usianya kini telah menjejali pertengahan abad. Sesuai dengan namanya, Yanto, pria ini asli wong Jowo, dan berpenampilan sederhana. Tutur katanya pun begitu khas, Jawa bhanget. Sepulang ngampus ataupun ngajar, biasanya aku sering mampir ke gerobak es krimnya. Yang aku ingat, pak Yanto selalu melayani para nasabah yang ingin menabung dengan senyuman dan keramahan. Tersedia banyak warna sesuai dengan rasanya. Ada rasa strawberry, durian, alpukat, dan yang terakhir coklat. Sluuurrppp,, rasanya aku ingin membelinya sekarang juga.

Nah, petang itu, seperti biasa, sepulang kuliah, sengaja aku mengambil rute perjalanan melewati taman itu. Mencari siapa lagi kalau bukan pak Yanto. Biasanya sekitar pukul setengah 5-an pak Yanto sudah nangkring dan para pembeli segera merapat ke gerobaknya. Harga yang murah (Rp 1000,00/ batang) dengan rasa yang begitu nikmat membuat dagangan pak Yanto selalu laris manis. Perkenalkan, aku salah satu fans gerobaknya pak Yanto, haha. 

Setelah mengantri beberapa lama, nah, sekarang giliranku, pembeli terakhir di kloter pertama. Mengingat tidak ada lagi yang mengantri setelah ku waktu itu. Seperti hari-hari sebelumnya, pak Yanto selalu mengawali pertanyaan yang sama, “ngajar di mesjid mana hari ini?” fyuuuh, pak Yanto,, pak Yantoo,, selalu mengira aku pengajar anak-anak TPA. Padahal kaan, ah sudahlah, ceritanya panjang. Intinya aku bukan pengajar anak-anak TPA. Titik. Ku katakan saja baru pulang kampus, maka urusan akan selesai dan perdebatan terelakkan. Masak iya harus berdebat dengan penjual es krim hanya gara-gara itu? Ah, bisa hilang citra kerenku, pikirku saat itu, adooohhh.

Seperti kataku tadi, sekarang harusnya giliranku. Akan tetapi, anak ini. “Duh, anak siapa lagi ini?”, batinku berteriak, “Lek, lek, saya 2 lek,, rasa coklat sama rasa durian”, serbu anak ini tanpa mempedulikan aku yang sedari tadi mengantri. “Hei hei, kamu, apa-apaan ini?”,lagi-lagi itu hanya suara batin.

Pak Yanto hanya tersenyum melihat raut wajah ku yang sedikit berubah acak-acakan. Haha aku terpaksa mengalah sama ini bocah. What? Terpaksa? yah, begitulah kira-kira. Tapi, tak apalah. Toh aku menjadi pembeli terakhir sesi itu sebelum akhirnya datang 2 orang kakak setelah aku memacu motor bebekku. 

Nah apa yang terjadi saat aku berduaan sama lelek es krim? Begitu kami biasa menyapanya, eits, jangan salah. Ini kondisinya ramai sekali orang ya. Jadi bayangkan aku tidak hanya berdua dengan lelek, okay. Lanjut. Selagi Pak Yanto menyiapkan pesananku, seperti biasa 3000 rupiah, coklat semua, aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru taman. Ramai sekali pengunjung saat itu. Ya memang, biasanya di sore hari, taman itu ramai sekali dikunjungi oleh pengunjung yang mengunjungi taman itu. Wadao bahasanyaHancuuuuurrr. Dengan cuaca yang sangat bersahabat, maka tidak heran jika taman pun dipadati dengan pengunjung. 1 hal yang tidak biasa, begitu mengagetkanku, apa itu? ya,, anda tidak tepat sekali.. anda tidak berhak mendapatkan 1 milyar rupiaahhh,, eh, apa lagi ini?

“Tumben ya Pak taman hari ini kelihatan bersih sekali, tidak seperti biasanya”, akhirnya kejanggalan itu pun tersampaikan melalui pertanyaan yang apalah ini. “Iya, kemarin sore Bapak yang membersihkannya”. Batinku berteriak, “apppppaaaaaaaaaahhhhhhhhhhh?”. Batin yaa batin,, gak beneran kok. Aku masih berusaha kelihatan keren di depan pak Yanto. Halah. Jadi ku simpan saja keterkejutanku saat itu. haha. 
Lalu berkelabatlah berbagai macam pertanyaan. Mumpung masih sepi, ku beranikan diri untuk bertanya, “Bapak yang membersihkan taman ini? Kok bisa?” aih,, pertanyaan apaan ini? Kok bisa? Duh, pertanyaan bodoh.

Ternyata Pak Yanto mengerti mau dibawa kemana perbincangan saat itu. ah, pak Yanto, perhatian sekali,, eits helka, sadarlah nak. “Iya, biasanya sebelum pulang ke rumah, Bapak yang mengutip sampah-sampah yang berserakan. Sayang sekali kalau taman yang sudah bagus ini dikotori dengan sampah-sampah. Apalagi plastik es krim yang mereka beli dari bapak”, begitu penjelasan singkat dari Pak Yanto. Untuk hal yang ini aku tidak ragu lagi, karena memang dulu sepulang kampus, waktu itu menjelang magrib, aku pernah memergoki beliau yang sedang memungut sampah di taman itu. Aku rasa aku salah lihat, jadinya aku tidak begitu perhatian saat itu. Tapi saat mendengar penuturan langsung dari lelek ini, aku yakin seyakin-yakinnya, kalau yang aku lihat waktu itu memanglah pak Yanto. Ya, pak Yanto. Aku yakin. Tidak salah lagi. 

Tidak tahan berlama-lama bermain dengan imajinasi ku sendiri, maka aku pun kembali menanyakan hal ihwal yang membuat aku penasaran,”Kenapa Bapak mau mengutip sampah-sampah yang berserakan itu? kan itu sudah menjadi tugasnya pihak pengelola taman ini”, aku bersikeras ingin tahu alasan lelek. “Kan mereka beli dagangan Bapak, jadinya Bapak merasa bertanggung jawab juga untuk membersihkannya. Bapak bersyukur bisa diberi izin jualan disini dan Alhamdulillah dagangan Bapak selalu laris. Jadi apa salahnya Bapak mensyukuri ini semua dengan membersihkan sampah-sampah disini. Dengan taman yang bersih ya kan besok-besok anak-anak atau pengunjung yang lain bisa main-main kemari lagi, syukur-syukur kalau mereka mau membeli es krim Bapak lagi”, pak Yanto menutup penjelasan singkat itu dengan senyuman khasnya. Begitu bersahaja.


Setelah mengantongi plastik es krimnya, aku pun pamit undur diri dari hadapan pak Yanto. Memang, apa yang dilakukan oleh pak Yanto tidaklah seberapa. Tapi lihatlah ketulusan itu. Kebersihan sebagian dari iman. Kita semua tahu, bahkan hafal di luar kepala kalimat ini. Tapi apakah kita sudah mencerminkan perilaku mencintai kebersihan? Itu kembali pada diri masing-masing. Terkadang, kita terlalu nyaman berada di posisi nyaman. Terlebih jika kita berada di pihak mayoritas. Membiarkan saja orang yang membuang sampah sembarangan adalah hal yang biasa. Biasa sekali. Bahkan untukku sendiri. Jarang sekali menegur mereka yang membuang sampah sembarangan, bahkan aku pun terkadang sering khilaf melakukan hal serupa, karena itu tadi. Merasa nyaman berada di pihak mayoritas. Istilah 'kerennya', itu pun jika bisa dikatakan keren, yakni ikut-ikutan.

Membenarkan yang biasa dan membiasakan yang benar adalah 2 hal yang berbeda. Sekarang kembali pada pribadi masing-masing, mau dibawa kemana kalimat itu.

Tulisan ini harusnya selesai hari minggu 1 Desember 2013 tepat pukul 12.00 teng. Tapi karena satu dan lain hal, aku terpaksa pamit dari kelas menulis hari itu dengan instrukturnya kak Syarifah Aini. Tema menulis hari itu adalah: “Inspiratif, Tapi Tidak Menggurui”

1 Desember 2013 jam 10 teng di rumcay, jam 10 teng 2 Desember 2013 di kost baru siap tulisannya. Rasanya ada hutang pribadi jika tidak menyelesaikan tulisan ini, haha. Maka selesailah dia dan aku beri judul, ”Membenarkan yang Biasa atau Membiasakan yang Benar”  

0 komentar:

Posting Komentar