Pages

Senin, 23 Desember 2013

Rekam Jejak Acara Untold Stories of Writers 2


Pagi ini, bertepatan dengan hari yang “katanya” hari Ibu, jam 7 teng aku bergegas berangkat ke Dinas Syariat Islam kota Banda Aceh. Bukan untuk apa-apa. Hari ini adalah hari besarnya anak FLP bulan ini, hehe. Karena di aula Dinas Syariat Islam akan diadakan seminar kepenulisan Untold Story of Writers 2 yang dibintangi oleh dr. Rosaria Indah, Beby Haryanti Dewi, dan Amalia Masturah yang memiliki nama pena Ia Safasna.

Sebagai relawan rumcay yang kiprahnya masih dipertanyakan, berangkatlah aku kesana. 07.06 aku memanaskan motor. Mungkin hanya 1 menit. Mengingat aku harus mengejar ketinggalanku. Kan ceritanya disuruh kumpul jam 7. Well, aku udah korupsi waktu 6 menit, belum lagi dengan waktu tempuh di jalan. Tidak usah diceritakan apa yang aku pikirkan selama di perjalanan. Aku hanya membayangkan pastilah disana sudah ramai sekali anak FLP yang sedang bersiap-siap untuk acara. 07.12 aku tiba di tempat. Bayangkan si raider bawa motor. Halah.

Tiba disana, halaman masih kosong melompong. Langsung saja aku berhentikan motorku di depan halaman. Aku bingung harus parkir dimana. Sepertinya aku jadi penghuni pertama wak. Hahaha. Ternyata yang aku bayangkan tadi memanglah hanya sebuah bayangan. Terlebih bayangan bagaimana aku harus meminta maaf karena telat. Memasang muka memelas. Aduh aduh, mengingat itu, aku langsung tersenyum gak jelas. Tidak lama kemudian senyum itu lenyap. Suasana begitu lengang. Aku menjadi sedikit ketakutan. Langsung ku rogoh saku untuk menemukan hapeku. Langsung saja ku hubungi kak Shana. Tidak diangkat. Kak Shana M3, tidak juga dijawab.

Aku bingung. Kata Kak Tina, aku langsung masuk saja. Kotak kue nya udah ada di lantai 2. Tolong masukkan kue ke dalam kotak kue. Penjelasan singkat itu membuat aku sedikit goyang. Masuk nggak, masuk nggak, masuk nggak. Aih, tapi rasa galauku lebih besar. Akhirnya aku memutuskan untuk mengintip ke dalam sebentar. Ku dapati abang-abang tertidur di kursi tunggu terbangun olehku. Hiissh,, langsung saja aku kabur keluar lagi dan memutuskan untuk menunggu di parkiran saja. Seperti maling yang ketahuan gerak geriknya. Kali ini senyumku sedikit dipaksakan kepada abang itu. Semoga beliau tau senyum itu artinya minta maaf. Haha.

Sungguh, menunggu itu tidaklah enak. Aku tidak percaya kata-kata Bang Joni yang mengatakan, “menunggu untuk sesuatu yang tidak apa-apa”, dengan wajah sumringahnya. Bagiku, menunggu terlalu lama membuat aku jadi merasa bosan.

Berpikir, berpikir, berpikir. Aha, kan aku bisa menghubungi yang lain. Apa juga ada hape. Kenapa tidak kepikiran ya? Atau memang tidak punya pikiran? Astaghfirullah.. “Kak Junaidah, kak Junaidah, mana kak Junaidah”, aku mencari kontak kak Junaidah di hape. Langsung telepon. Hehe.. lagi banyak pulsa ceritanya. Halah.

Tuut, tuut, tuuut. Hanya bunyi itu yang aku dengar. Kak Junaidah juga tidak menjawab. Wah, gawat. “Atau jangan-jangan, mereka sudah di lantai 2”, pikirku sebagai penghuni pertama langsung buyar. Aku mencoa mendekati pintu masuk sekali lagi. Berharap menemukan keberanian untuk langsung naik ke lantai 2. Tapi tiba-tiba musik Insya Allah nya Maher Zain berbunyi, penanda masuknya sebuah sms di hapeku. Ah, Kak Junaida. “Kakak lagi di Peurada”. Oooohhh lagi di jalaaann.

Oke, akhirnya, aku memutuskan untuk balik ke parkiran. Ngeri saja membayangkan suasana sepi jika aku harus sendiri di lantai 2, hihihi. Pikiranku melayang kemana-mana. Huft, akhirnyaaaa kak Junaidah tiba juga. Sepertinya beliau tadi singgah sebentar untuk membeli sesuatu yang bisa dijadikan untuk sarapan. Terlihat dia menenteng sesuatu di kantong plastik. Langsung saja aku mulai berani untuk masuk dan menemukan abang-abang tadi lagi.

Sembari menunggu abang itu membuka pintu aula, kami langsung naik ke lantai dua dan berdiri-berdiri di depannya sambil bersandar di beberapa meja yang terparkir agak sedikit berantakan. Lain kak Junaidah yang betah bersandar di meja berlama-lama, lain pula dengan aku yang seperti cacing kepanasan. Tidak betah aja rasanya tidak tau mau melakukan apa. Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan, mengedarkan pandangan ke penjuru lantai 2, melihat ke lantai 1 dari pagar lantai 2. Keren sekali, aku tidak ketakutan. Haha memang aku tidaklah phobia ketinggian, apa pulak keren sekali. Haduh haduh.

Tidak lama kemudian, muncullah penguasa FLP, kak Nuril, dengan mengenakan baju biru muda seperti kak Junaidah. Wah, ternyata dress codenya biru untuk anggota FLP. Alhamdulillah aku gak jadi pake batik biru tadi, hahaha. Kalau disangka anak FLP, kan repot juga. Merasa diri tidak pantas. Hmm, well, kak Nuril yang berperawakan cukup gesit, akhirnya mencoba untuk membuka pintu aula. Saat itu, waktu telah menunjukkan pukul 7 lebih 25 menit.

“Jeh, gak terkunci kok”, kata Kak Nuril. “Appppaaaaahhh?? Gak terkuuunnccciii??” (dengan suara tempo lambat), tapi ini setengah dari suara batinku. Karena setengahnya lagi tengah tertawa ngakak menyadari kekonyolan aku dan kak Junaidah yang tidak berusaha untuk mencoba membuka pintu meutuah itu sama sekali. Adoooh. Dan aku hanya bisa mengikuti kak Junaidah dan kak Nuril masuk ke dalam ruangan. Padahal dalam hati pengen ketawa sejadi-jadinya. Tapi apalah daya, aku tidak ingin citra kerenku musnah. Maka aku putuskan berekspresi seperti tidak ada kejadian. *pura-pura amnesia akut. What?

Begitu masuk ruangan, cuma 1 kata yang bisa aku katakan. Iissh,, joooyyyoookk (baca: jorok). Lantainya penuh dengan sampah plastik dan debu. Tidak indah saja, jika FLP yang mengusung warna Islami, tapi tidak mengindahkan kebersihan yang notabene merupakan sebagian dari iman. Sayang jika nanti terdengar bisik-bisik tetangga yang tidak mengenakkan tentang FLP. Bagaimanapun juga, sebagai relawan rumcay yang apalah ini, aku harus berbuat sesuatu. Toh, aku disini bukan untuk hadir saja, tapi untuk berbuat. Rasanya tidak etis saja jika hanya hadir dan duduk menikmati seminarnya.

Begitu mendapati sapu yang sedang anggur, langsung ku gapai dan ku raih. Aksiku pagi itu pun dimulai dengan menyapu ruang aula setelah merapikan beberapa kursi ke sudut belakang. Yeeeeaaayyy.. semangat. Melihatku yang sedang asik sendiri dengan sapuku, kak Nuril pun bertanya pada abang-abang tadi yang sedang membawa ntah hapa, aku tidak begitu memperhatikan. Pokoknya sesuatu seperti wayer gitu. “Bang, ruang nyoe hana dipeugleh nyoh”?, tanya kak Nuril. Abang-abang itu sedang asik sendiri dengan kabelnya. Jadinya dia bertanya balik, dan kak Nuril pun bertanya balik juga. Mereka ini apa-apaan sih? Seperti balas pantun saja. Wkwkwkwk.

“Kamoe kan kaleuh sewa tempat nyoe, pu ruangan nyoe hana dipeugleh nyoh?”, tanya kak Nuril sekali lagi. “Ooo hana dek”, begitu jawaban singkat dari abang itu. Setidaknya itulah yang tertangkap oleh pendengaranku menguping sedikit perbincangan mereka, hihi. “Jadi kekotoran yang disebabkan oleh orang lain, harus dibersihkan oleh orang lain”, kak Nuril membuat sebuah kesimpulan dan tersenyum, “pikee kamoe, karna kamoe ka sewa tempat, dipeugleh le awak yang kelola aula nyoe”, kak Nuril berbicara sendiri, karena abang itu tidak menjawab lagi. Semakin menjelaskan bahwa aku harus membersihkan ruangan itu. Tidak apa. Toh aku senang melakukannya, mengingat, kursi-kursi peserta sudah tertata rapi, kue belum datang, jadi tidak ada yang bisa aku lakukan selain bersih-bersih. “Semangat helka”, batinku.

Tidak lama kemudian, bang Ferhat muncul dari balik layar. Perawakannya yang tidak bisa tinggal diam juga langsung mencari sesuatu yang bisa dikerjakan. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya, yang jelas sepertinya dia sedang mencari sesuatu yang kurang. Begitu juga dengan yang lain. Intinya, semua tidak ada yang duduk-duduk santai. Bang Ferhat, kak Nuril, dan Kak Junaidah. Sementara aku masih berkutat dengan sapu itu. Tapi sayang, beberapa bekas noda yang hanya akan hilang dengan cara dipel masih kelihatan. Tapi setidaknya udah bolehlah.
Tidak berselang begitu lama, aku selesai dengan bersih-bersih itu dan mencari-cari apakah masih ada sampah yang mencuri-curi pandang denganku dari balik kolong kursi. Setelah memastikan semuanya aman, ku pastikan pula sampah-sampah ini berada di tempat yang seharusnya, yakni tong sampah. Yaph, misi pertama selesai. Yeehuuuyyy. Lanjut ke misi kedua: Masukkan kue ke kotak.

Hmmm, ternyata kuenya belum datang pemirsa. Tidak tau apa yang terjadi. Dan muncullah beberapa punggawa FLP lainnya, seperti kak Isni, kak Fanny, ketua relawan kak Shana dan beberapa anggota FLP lainnya, hehe karena beberapa diantaranya aku masih lupa namanya, tapi tidak dengan wajahnya. Kemudian kak Nuril menyuruh kami untuk membantu bang Ferhat yang sedang mengangkat kursi dari lantai 1 ke lantai 2. “Oke kak, sip,” batinku lagi. Aku, Kak Junaidah, dan Kak Isni pun mengangkat kursi itu. 2 buah kursi sekaligus dalam sekali angkat. Begitu perkasanya kan kami, hihi.

Ada kejadian menarik saat kami menaiki anak tangga. Kak Isni yang dijuluki “anak kesyil” kewalahan dengan kursi yang diangkatnya. Kami pun terlebih dahulu tertawa menyaksikan aksi kocak kak Isni, meskipun setelahnya muncul kak Junaidah  sebagai pahlawan bertopeng, hohohohoho.

Setelah menyusun dan merapikan kursi yang baru saja kami angkut itu, aku mulai bingung lagi apa yang harus aku lakukan. Akhirnya aku memutuskan untuk mengecek kotak kue itu lagi. Untuk ke sekian kalinya. Haha, ntah hapa maksud. Hemmhh, akhirnya kak Isni memintaku untuk membeli 10 buah aqua ukuran sedang berikut pipetnya, dan aku menyanggupinya, berhubung aku tidak tau apa yang harus aku kerjakan selanjutnya. Sementara kak Isni harus ke rumcay untuk mengambil beberapa peralatan yang ada di rumcay untuk dibawa ke tempat berlangsungnya acara.

Setelah menerima uang untuk membeli aqua dan peringatan agar aku tidak lupa untuk meminta bon, aku pun segera meluncur ke lantai 1. Di perjalanan (masih di anak tangga), aku berjumpa dengan beberapa peserta. Wah, ternyata mereka antusias sekali. Karena waktu itu masih sekitar jam setengah 9 kalau gak salah. Tapi mereka telah hadir di tempat. Bagiku, itu keren.

Oke, tanpa memperpanjang mukaddimah, aku pun segera menghidupkan mesin motor dan menjelajah mencari warung atau swalayan. Pas di depan simpang peurada, depan toko mie turis itu, aku menemukan sebuah swalayan kecil yang menyediakan pesananku itu. Setelah transaksi kecil itu, akhirnya kakak-kakak penjaga swalayan memasukkan botol aqua itu ke dalam plastik ukuran besar, berikut pipetnya. Kemudian aku menanyakan apakah ada dijual pulsa, soalnya kak Shana juga menitipkan untuk diisikan pulsa. Oke, ada. Semua beres. Aku sms lah kak shana untuk memastikan apakah pulsanya udah masuk. 1 menit. 2 menit. 2 setengah menit. Tidak ada balasan. Ah, mana pulak kak Shana sempat membalas dengan kondisi semua orang sibuk. Mungkin kak Shana lagi sibuk. Aku mencoba berpositif thinking.

Lalu, ibu-ibu empunya toko tanya, “Udah masuk dek pulsanya?”. Aku gaaallaaauuu, lalu ku katakan, “Sebenarnya ceritanya gini buk, teman saya yang menitipkan pulsa itu, belum dibalasnya udah masuk atau belum”. Alhamdulillah ibu itu pun ber-oo panjang penanda mengerti bahasa isyarat ini. “Gini aja dek, sini biar ibu tuliskan no kawan adek tadi, nanti ibu cek lagi udah masuk atau belum”, kata ibu itu. Akhirnya aku menuruti niat baik ibu itu dan mendektekan nomornya.

Saat ingin balik ke lokasi TKP, saat melihat botol aqua yang begitu banyak dalam plastik (maklum, sebelumya belum pernah beli sebanyak itu), aku ragu, sanggupkah aku mengangkatnya? Aih, benar saja, beratnya itu mengiyakan jawaban pertanyaanku. Iya, benar, aku tak sanggup maksudnya. Hahaha. Lalu aku imigrasikan setengahnya ke dalam tas ranselku. Jadi berkuranglah setengah beban ini.

Tiba di lokasi TKP, aku melihat mangsa yang sudah cukup ramai. Ada ribuan mangsa disana saking ramainya. Memadati langkahku mencapai lantai 2. Aku pun terseok-seok sambil membawa belanjaanku. Hehe, lebay sikit. Mangsanya ratusan, gak nyampek ribuan kok. Masih ada space untuk pejalan seperti aku yang apalah ini. Tidaklah sampai tersenggol-senggol kakak-kakak dan adik-adik peserta yang sedang mengantri menunggu jatah pendaftaran ulang. Semua sibuk dengan pekerjaannya. Dan aku pun sibuk dengan botol aqua ini. Setelah pipetnya aku masukkan ke sela-sela “judul” aqua itu, aku pun menempatkan aqua-aqua itu di deretan meja kursi tamu. Namanya juga peumulia jamee.

Aku tersadar, ternyata kak Ira, Aslan, Adit, Arif, kak Nawra, Kak Husna, dan beberapa sahabat FLP lainnya juga sudah mulai bermunculan dan sibuk dengan kerjaannya masing-masing. Begitu juga dengan sahabat relawan yang belum disebutkan namanya, yaitu Muna, Moly, dan Nova.

Kue sesi pertama berdatangan. Panitia segera beralih ke kotak-kotak kue yang sedari tadi teranggurkan. Alamaak, teranggurkan. Mulailah kak Husna, kak Zuri, kak Isni, kak Nawra, dan beberapa relawan berasyik masyhuk dengan kotak-kotak itu dan bekerja secepat kilat. Sebuah pemandangan yang luar biasa. Bagiku, itu lagi-lagi keren. Ternyata kue nya masih kurang, karena masih ada banyak sekali kotak yang teranggurkan. Kemana ini ya yang ambil kuenya? Huuft, acara sudah hampir dimulai.

Peserta sudah mulai melakukan sesi pendaftaran ulang. Dimana ada Nita, Kak Fanny, kak Nawra, dan kak Husnul yang berada di tempat registrasi ulang. Aku hanya sesekali bergabung dengan mereka karena sudah tidak ada lagi yang bisa ku kerjakan. Ah iya, aku hampir melupakan kak Shana. Jiwa dagangnya yang luar biasa terbukti di acara ini. Kak Shana ternyata tidak menyia-nyiakan situasi ini dan langsung menjajakan koleksi brosnya. Harganya cukup terjangkau untuk anak kuliahan seperti aku. Tak ketinggalan kak Fida juga menjajakan bros, fashmina, dan koleksi kalungnya. Harganya yaa kisaran harga ibu-ibu, karena kak Fida juga udah ibu-ibu. Ada beberapa jenis yang mencapai 50 hingga 65 ribuan rupiah.

Begitulah sedikit gambaran yang terjadi saat persiapan acara untold stories of writers 2 ini. Acara  dimulai pada pukul... hmmm aku lupa lihat jam waktu itu. Intinya acara sudah dimulai aja lah ya. Acara dimulai dengan pembacaan puisi oleh 2 orang anaknya kak Fida, lupa namanya siapa. Disinilah kekocakan muncul dimana 2 bocah ini malah saling adu mulut di atas panggung. Tentu saja percakapan mereka terdengar oleh penonton. Dan itu tidak keren, tapi lucu. Menggemaskan sekali. Mendengar mereka membacakan puisi tentang ibu dengan suara khasnya anak-anak, membuat penonton terhenyuk dan bertepuk tangan ketika mereka selesai membacakannya. Wah, kalau yang ini, ini baru namanya keren.

Kemudian, untuk memberkati acara, Aslan ditunjuk untuk membacakan Al-Quran. Suasana lengang. Penonton menikmati lantunan ayat suci yang dibawakan Aslan. Selesai membawakan beberapa ayat, Aslan menutup tilawahnya dan MC pun membuka acara. Kak Junaidah ditunjuk untuk menyampaikan beberapa patah kata untuk acara ini. Bagaimana proses pengerjaannya, siapa saja sponsornya, berapa jumlah peserta seminar, dan beberapa tetek bengek lainnya. Aku tidak begitu kenal sosok yang membuka acara. Beliau memperkenalkan siapa saja yang menjadi penulis dalam buku “OMG, MY MOM”, sesi ini dikomandoi oleh kak Fida.

Kak Fida memanggil satu per satu nama yang tulisannya dimuat dalam antologi tersebut. Ada kak Ira, bang Rio, kak Syarifah Aini, kak Eky, dan beberapa nama lainnya. Mereka ini adalah anggota-anggota FLP Aceh yang kualitas menulisnya sudah mumpuni. Kagum sekali dengan sosok-sosok yang berdiri di depan itu. Dan juga ada adik-adik yang masih kelas 2 MTsN, namun tulisannya dimuat di antologi. Namanya Riska, setidaknya itulah nama panggilannya. Dia juga berada di jajaran orang yang berdiri di depan yang namanya disebut-sebut tadi.
Hmmm mereka pun diminta untuk menceritakan pengalaman mereka sampai tulisan mereka dimuat dalam antologi itu.

Dimulai dari kak Syarifah Aini yang mengatakan bahwa sanya tulisannya telah dicerca habis-habisan oleh kak Beby yang merupakan salah satu pengisi seminar di hari ini juga. Hmm tentu cercaan inilah yang justru membangkitkan semangat kak Aini untuk memperbagus tulisannya. Lagi-lagi, itu keren. Kritik yang akhirnya menuai banyak pujian. Hmmm kemudian ada bang Rio yang dikenal suka sekali membuat humor, menjelaskan pahit getir hidupnya bersama orang tua. Ada-ada saja. Tentu itu hanya lawakan yang sengaja diciptakan untuk menghidupkan suasana. Lalu kak Ira yang dengan sumringahnya menceritakan secara singkat bagaimana tulisannya ditulis, dikirim, diseleksi, terpilih, dan akhirnya dimuat. Kemudian yang terakhir Riska yang menjelaskan sejak kapan dia suka menulis dan sering mencuri-curi waktu untuk menulis di waktu senggang nya sekolah dan rutinitas tugas sekolah lainnya.

Selesai memperkenalkan para penulis, maka MC pun pamit undur diri, karena sekarang waktunya seminar untold stories of writers nya. Untuk seminar kali ini, Kak Nuril yang menjadi pemegang kekuasaan, alias moderator. Karena sedikit bermasalah dengan teknis, sembari menunggu Adit dan Aslan memperbaiki kesalahan teknis, kak Nuril mengajak ngobrol-ngobrol penonton dan meminta mereka untuk melihat ke bawah kursi, ada apa disana?

(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar