Pages

Sabtu, 08 November 2014

S.Pd Yang Gak Bikin Pede

Rembulan enggan tersenyum. Dihiasi awan kelabu yang turut mewakili kedukaan dan lara. Rintik hujan mulai menggenangi kubangan tempat nyamuk beranak pinak. Dedaunan kian menari melambai-lambai diterpa angin. Hujan semakin menggila. Aku buru-buru menutup jendela kamar. Kaca jendela seketika menguap, tanda embun sedang mempertontonkan aksinya. Samar-samar aku pandangi dedaunan dan kelopak bunga yang baru akan bersemi seketika luruh. Jatuh. Terkulai lemah tersapu debu. Aku terpaku menyaksikan kehidupan yang sejatinya baru saja akan dimulai. Pandanganku tak lepas dari dedaunan dan kelopak malang itu.

Aku hanya menatap dedaunan itu dan merasa iba. Hening. Aku kembali melangkah malas menuju tempat tidur. Kuhidupkan murattal untuk menemani tidur. Jarum pendek telah bertengger di angka 1. Album murattal telah habis terputar. Sementara kodok di luaran sana masih asyik menyanyikan lagunya. Apa yang terjadi? Aku tidak bisa terlelap. Lelap yang kurindukan sejak terakhir aku diwisuda.

Pikiranku menyesak. Menembus ruang dan lorong waktu. Kembali teringat memori indah satu tahun silam.

***

“Cepatlah, Nak. Nanti kau bisa terlambat.”

Ayah tak sabaran mendampingiku di hari wisuda. Tak heran, sebagai anak pertama yang akan diwisuda, aku menjelma menjadi selebriti keluarga. Mendongkrak pamor ayah yang hanya sebagai pekerja serabutan. Sementara ibu, ibuku sudah lama menghadap ilahi rabbi. Sejak melahirkan adik perempuanku. Kehabisan banyak darah katanya. Adik perempuanku sangat menggemaskan. Ditambah dengan rambut ikal dan pipi chubbinya. Aku geram dan sesekali mencubit nakal pipinya. Di ruangan lain, ayah tengah terisak menangisi kepergian ibu.

“Gimana penampilan ayah?”. Boro-boro melihat penampilanku, ayah malah sibuk merapikan rambut klimisnya. Dengan setelan baju batik dan sepatu kilatnya, ayah tak kalah mentereng dengan penampilanku yang mengenakan jas alakadar bin apa adanya.

“Yaaaah, ayah. Aku yang mau diwisuda, lha ayah yang repot-repot dengan penampilan.” Ayah hanya senyum-senyum. Masa bodoh dengan ucapanku. Ayah kembali menyisiri rambutnya. Aku hanya bisa menggeleng-geleng kepala dan menarik napas dalam-dalam.

***

Adakah hal lain yang lebih menakutkan daripada hantu PNS? Batinku kesal. Ya, sejak saat itu aku mulai menyebut PNS dengan sebutan hantu. Tiap malam selalu menggelayut di sudut kamar. Menghiasi dinding-dinding kamar yang ku penuhi dengan poster-poster pemain Real Madrid kesayangan. Bisa kau bayangkan, baju bola dan sepatu olahraga Cristiano Ronaldo berubah menjadi seragam ala PNS. Benar-benar buruk. Bahkan lebih buruk dari yang aku bayangkan jika suatu hari Ronaldo memutuskan gantung sepatu. Aku menarik napas dalam-dalam dan kembali menghempaskan diri di atas tikar yang menjadi alas tidurku selama ini.

Sejak aku telah ditetapkan sebagai sarjana, ayah mulai sibuk menanyakan tentang persiapanku menuju tes CPNS. Ini membuatku sesak.

“Bagaimana? Apa kau telah mendengar kabar mengenai tes CPNS?”, tanya ayah seraya mengepulkan asap rokoknya.

Demikian percakapan awal kami pagi itu. Aku yang tengah menyeruput kopi, menghentikan seduhanku. Lantas menggeleng tanpa suara. Bukannya aku belum mendengar kabar itu, hanya saja aku tak pernah berkeinginan untuk menjadi PNS, yang katanya pilihan sejuta umat.

“Bagaimana bisa kamu belum mendengar kabar yang santer dibicarakan oleh anak muda seusiamu?”, tanya ayah dengan suara yang sedikit ditinggikan. Melihat alis mata ayah yang demikian runcing, aku bergeming. Sedikit bergetar tak tertahankan. Sebegitu besarkah keinginan ayah agar aku menjadi PNS. Sedangkan aku? Tak sedikit pun terlintas untuk menjadi PNS pasca menjadi sarjana. Ah, aku menghela napas sebelum mengambil alih pembicaraan. 

“Ayah, ayah sudah makan? Sebentar Afdhal belikan nasi bungkus untuk ayah.”

Dhuuaaarr. Menyebalkan. Niatnya ingin meyakini ayah bahwa menjadi PNS bukanlah tujuanku. Aku bisa menjadi apa saja asal tidak PNS. Sejak kecil aku terbiasa memilih jalan hidupku sendiri. Begitu pun untuk yang satu ini. Tapi, apa yang aku lakukan? Bukannya mengambil alih pembicaraan, aku malah menanyainya sudah makan atau belum. Bukannya memberi pencerahan ala Mario Sungguh, aku malah menawarinya nasi bungkus. Apa-apaan ini. Sial. Tiba-tiba aku mengutuki diri sendiri. Berlalu meninggalkan ayah tanpa mendengar jawabannya.

Saban hari tempat tongkronganku selain rumah adalah warung kopi wak Jali. Tidak ada yang spesial dari warung kopi ini. Hanya warung kopi sederhana yang ramah alam. Propertinya terbuat dari sentuhan alam, kayu dan atapnya berupa daun rumbia. Hanya saja, disini bisa menjadi ruang tempatku bernafas lega. Kenyataanya, aku lari dari kehidupan. Ingin menjadi reporter, tapi lamaranku ditolak. Minim pengalaman, ditambah ijazahku yang lulusan Sarjana Pendidikan.

“Kamu ini, wong kamu lulusan sarjana pendidikan, mau jadi reporter segala, gak nyambung toh nduk.”

Aku tak kuasa membantah. Ayah berharap besar dengan ijazah ini, aku bisa mendaftar tes CPNS. Tapi aku, lagi-lagi tak kuasa menahan hasratku untuk menjadi reporter. Bukan PNS.

Langkahku kembali gontai. Saat-saat krusial seperti ini, jika bukan ke warung kopi, maka aku akan mengurung diri di kamar untuk kemudian membenamkan diri di bawah bantal. Menafakuri jalan hidup yang tak kunjung berpihak padaku.

Terdengar muadzin tengah mengumandangkan adzan, tanda aku harus segera melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslim. Namun, sekali lagi, entah setan mana, selalu saja berhasil menghasutku untuk menghentikan gerakku menghadap sang pemilik rencana.

“Ah, 15 menit lagi saja salatnya”, well, kembali aku menjadi terhasut. Jujur saja, aku benci kehidupanku yang seperti ini. Kehidupan statis yang tidak bermanfaat.

“Afdhal, sudah salat, Nak? Salat dulu sana. Jika kamu menunda-nunda salat, maka jangan heran jika Allah juga menomorduakan dan menunda-nunda permintaanmu.”

Jleb. Perkataan ayah yang selalu mengingatkan aku untuk salat kali ini benar-benar membuat pikiranku bergerak cepat. Instingku bermain. Benar kata ayah. Selama ini aku selalu menunda-nunda kewajiban yang satu ini. Mungkin karena itu aku selalu gagal ketika wawancara menjadi reporter. Selain tidak mendapat ridha orang tua. Aku pun tidak mendapat berkat dari Allah.

“Baik, Ayah.”

Jika ayah sudah membawa-bawa nama Allah dan ibu, aku tidak mampu berbicara banyak. Agaknya, ayah tau rahasia membungkam mulutku.

“Mari kita salat berjama’ah. Kamu yang jadi imam kali ini”, perintah Ayah. 

“Siap, Ayah”, jawab Afdhal mantap.

Tak dapat dihindari, sepertinya aku harus mengikuti kata ayah. Ikut tes CPNS. Pun tidak lulus, baru aku akan mengikuti keinginanku, menjadi reporter. Demikian kesepakatan aku dan ayah selepas bermusyawarah panjang. Karena musyawarah, aku jadi jarang marah-marah. *Loh

TAMAT
Selamat malam Indonesia
Cling.. *menghilang

*Sebuah tulisan yang terinspirasi dari seorang sahabat dengan judul yang asal-asalan.

0 komentar:

Posting Komentar